Minggu, 14 Agustus 2016

[4_DOMBA] DUA MIMPI BURUK

oleh : hewan


Ringkasan cerita sebelumnya:


Dalam hati beberapa reverier, mereka bukannya tak percaya pada ucapan Zainurma. Mereka sempat melihat sendiri tadi, sekilas saja, tampak di kejauhan sosok patung yang wujudnya begitu mengerikan. Ah, bukan … yang paling mengerikan bukanlah wujud dari patung itu. Yang paling mengerikan adalah saat mereka menatap sekilas ke arah patung itu, mereka langsung merasa jiwa mereka tertekan teramat kuat. Mereka dihadapkan pada keberadaan yang begitu tinggi sehingga nalar mereka seolah bisa saja hancur seketika hanya sekadar menatap wujud keberadaan itu.

Semua akan mengingat tentang patung itu …

Sang Kehendak.

Sementara itu, terjadi perubahan drastis di semesta asal para reverier. Bangunan, jalanan, atau apapun yang tadinya menjadi lokasi Bingkai Mimpi mereka, semuanya kini menghitam. Begitu kelam, tak terasa memancarkan hawa kehidupan sedikit pun. Tampak begitu kontras dengan tempat lain di sekitarnya yang masih hidup dan berwarna. Orang-orang yang tadinya ada di sana kini menghilang. Semua berpindah secara ajaib ke Alam Mimpi sebagai Bingkai Mimpi. Yang tersisa dari tempat-tempat itu hanyalah warna hitam yang lebih kelam dari kegelapan itu sendiri.

Penduduk di tiap semesta itu panik luar biasa atas kejadian aneh tersebut. Dan entah apa reaksi mereka jika ada yang mengatakan “Semua ini barulah awal.”

-reveriers-

Di suatu wilayah Alam Mimpi, lansekap abstrak yang tadinya selalu berdistorsi dan berganti-ganti rupa kini telah ditempati oleh bongkahan yang teramat besar, menjadi sebuah wilayah konkret. Satu semesta—yang merupakan asal dari salah satu reverier—telah berpindah ke sana. 

Tatkala para reverier kehilangan impiannya di turnamen (dengan kata lain kalah), maka tak ada halangan lagi bagi Alam Mimpi untuk merebut segala apa yang ada di semesta asal sang reverier. Tanpa mereka sadari, setiap reverier terikat oleh beban untuk menjadi wakil dari semua yang bisa bermimpi, yang berada di semesta tersebut. Ketika reverier itu takluk, maka impian semesta tersebut musnah. Umat manusia dan sejenisnya yang berasal dari semesta tersebut akan mengikuti takdir buruk sang reverier: menjadi koleksi Museum Semesta. Pelan-pelan, Alam Mimpi akan memakan apa yang tersisa dari semesta tersebut sehingga wilayah tersebut akan kembali menjadi lansekap abstrak. Dan itu baru satu semesta. Berapa reverier yang tumbang dalam pertarungan terakhir?

“Aku … sungguh tidak suka Alam Mimpi yang sekarang.”

Dia hanya berdiri di sana, bersama kerumunan domba hitam yang digembalanya. Sosoknya tak kalah ajaib daripada Ratu Huban. Kepalanya berwujud bola mata besar dengan seluruh anggota badan lainnya adalah kerangka. Tubuhnya hanya dibalut oleh jubah berwarna ungu yang serasi dengan sarung tangan maupun sepatu bootnya. Di genggaman tangannya terdapat tongkat aneh yang disebut sebagai dreamcatcher—penangkap mimpi.

Namanya adalah Oneiros.

Saat itu, dia hanya bisa menggeram sebal. Bahkan dirinya tak bisa melakukan apa-apa untuk menanggapi jeritan tersiksa dari milyaran eksistensi pemimpi sejumlah semesta saat mereka direnggut oleh Museum Semesta untuk dijadikan koleksi baru di sana dalam wujud karya seni yang menyedihkan.

“Aku … benci Sang Kehendak!”

Tugas Oneiros adalah menggembala domba-domba hitam pemakan mimpi. Tetapi ketika begitu banyak impian direbut begitu saja oleh Sang Kehendak yang kuasanya kini meliputi Alam Mimpi, maka apa yang tersisa untuk Oneiros?

Perbedaan dasar antara Oneiros dengan Sang Kehendak adalah bahwa apa yang dilakukan si penggembala domba hitam adalah untuk menjaga keseimbangan. Para makhluk pemimpi dari segala semesta menciptakan begitu banyak untaian mimpi yang mewujud di Alam Mimpi, terus-menerus tanpa henti. Agar Alam Mimpi tidak penuh, maka domba-domba hitam yang digembala oleh Oneiros akan memakan mimpi-mimpi tersebut sehingga selalu ada tempat bagi terciptanya impian baru.

Namun kini … setiap impian lenyap dengan cepat, menyisakan sampah-sampah semesta yang teronggok di wilayah-wilayah Alam Mimpi. Keseimbangan akan segera hancur.

“Dan si Huban bodoh itu masih saja sibuk bermain-main, dia selalu lupa pada tugas-nya.”

Domba-domba hitam Oneiros lantas mengembik kelaparan. Si penggembala pun mengayunkan-ayunkan tongkat miliknya untuk mendeteksi apakah ada sisa-sisa mimpi dari bongkahan semesta untuk dimakan domba-dombanya.

Sejak saat itu, Oneiros bertekad.

“Pada kesempatan selanjutnya, biar kuusir saja mereka semua.”

Domba-domba hitam Oneiros pun mengembik lalu maju bersamaan. Mereka bergerak rapat dan bertumpuk-tumpuk sehingga tampak layaknya kumpulan awan gelap yang membukit. Babak selanjutnya dari turnamen ini sepertinya tidak akan berjalan semulus ronde yang telah lalu.

-reveriers-

Selepas pertarungan babak pertama yang teramat melelahkan, para reverier yang tersisa sudah kembali dipanggil oleh Zainurma. Tiga puluh dua pemimpi tangguh itu kini dikumpulkan di suatu tempat, menghadap sang Kurator dan juga Mirabelle. Beberapa tampak heran melihat sosok reverier lain yang seharusnya sudah mati saat bersama mereka di pertarungan babak pertama. Tapi mereka teringat kalau jiwa, raga, dan impian mereka sudah tersandera. Mudah bagi Mirabelle, dengan izin Sang Kehendak, untuk mengembalikan raga yang hancur dan menaruh kembali jiwa reverier di dalam raga tersebut sehingga bisa terus bertarung. Selama karya mereka masih diapresiasi Sang Kehendak, maka selama itu pula mereka akan terus dipaksa bertempur.

Tempat mereka berada saat ini adalah wilayah yang tersusun atas ratusan gunung yang menjulang menembus awan dengan pusatnya merupakan gunung tertinggi di mana sebuah kuil megah berdiri di puncaknya. Di dalam dan di sekeliling kuil tersebut, terdapatlah sejumlah patung raksasa dengan wujud-wujud menawan yang biasa tampak pada sosok dewa maupun dewi. Zainurma duduk penuh lagak di mimbar yang menghadap amfiteater di mana para reverier dikumpulkan.

Salah seorang reverier bertanya, “Patung-patung itu … hasil karya kitakah? Atau mereka adalah para peserta yang dikutuk karena pertempuran mereka jelek?”

Zainurma tidak menjawab. Dia mengangguk ke arah Mirabelle di sebelahnya, maka Dewi itulah yang selanjutnya menjelaskan. “Bukan,” katanya. “Mereka semua dulunya adalah Dewa dan Dewi sepertiku. Dan di sini tadinya merupakan surga kami … tempat kami menjaga umat manusia di semesta kami. Ini adalah Bingkai Mimpi-ku ….”

Reverier yang bertanya kini terdiam. Kehabisan kata-kata.

Akhirnya Zainurma membuka mulut, “Yah, singkat cerita, Dewa-Dewi payah itu dikutuk jadi patung sungguhan. Hahaha, sungguh ironis! Pemuja mereka biasanya membuatkan patung di kuil atau di rumah sebagai penghormatan untuk para Dewa-Dewi … tapi kini malah Dewa-Dewi itu sendiri yang dikutuk jadi patung oleh entitas yang jauh lebih tinggi dari mereka.” Zainurma melirik ke arah Mirabelle, “Tapi entah mengapa, si artefak brengsek menyisakan Mirabelle.”

Sosok naga tua di antara para reverier mengangkat tangan, meminta izin untuk berbicara.

“Ya, ada sesuatu yang ingin kau tanya, Naga?” sahut Zainurma.

“Err … begini, Kang, punten. Tadinya kami berpikir ini teh di Museum Semesta,” ujar si naga.

“Oh, jadi ternyata kalian penasaran dengan hasil karya kalian kali ini? Atau kalian penasaran ingin melihat wujud baru para pecundang yang dulunya setim dengan kalian?” balas sang kurator. “Mau kubawa ke sana?”

Naga tua itu merasa kalau dia mengatakan sesuatu yang salah. Sejumlah reverier lain tampak berkeringat dingin, ada juga yang menelan ludah. Sesungguhnya sedikit-banyak mereka juga penasaran. Akan tetapi, sejak pengalaman pertama dibawa ke Museum Semesta, mereka tak ingin berada lagi di sana. Seolah dengan berada sebentar saja di tempat itu, eksistensi mereka akan terkisis, mental mereka hancur remuk, lalu kewarasan menghilang.

Zainurma berdecak, “Cih, kalian ingin lihat tapi kalian semua takut, ya? Baiklah, anggap saja aku berbaik hati … nanti akan kukirimkan hasil karya kalian di prelim dan ronde pertama ke Bingkai Mimpi masing-masing. Kurasa si artefak tak akan protes. Silakan dipajang di tempat yang bagus lalu renungi, ahahaha! Tapi jangan dirusak. Itu barang koleksi Museum Semesta, ingat?”

Para reverier terdiam.

Sang kurator kini berdiri di mimbar. “Oke, sebenarnya alasanku memanggil kalian ke sini adalah untuk memperlihatkan ini.” Lalu dia menjentikkan jari dan muncullah bingkai besar keemasan berukir indah dengan ukuran panjang 10 meter dan tinggi 3 meter. Bingkai itu melayang vertikal seperti layar sinema. Kemudian di dalam bingkai tersebut muncul suatu adegan layaknya film … namun film ini jauh dari kata menghibur. Yang ditampilkan adalah adegan saat sejumlah semesta berpindah ke Alam Mimpi dan penghuninya direnggut—dan dikutuk—oleh Museum Semesta.

“Kalau kalian kalah di turnamen ini, bakal sial deh nasib semesta kalian,” ungkap Zainurma dengan entengnya.

Salah satu gadis reverier berkacamata pun berseru geram, “Eh bujug deh, Bang!! Sebenernye kite-kite ini nih mau diapain sih?! Udah disuruh berantem kesono-kemari, terus kalo kalah eh dunia kite dibikin kiamat! Ini kalo beneran mimpi udah kebangetan deh!”

Mirabelle yang menjawab, “Semua semesta itu memang akan direnggut oleh Sang Kehendak, dengan atau tanpa kalian menjadi reverier. Ketika kalian ditandai dan menjadi reverier—atau pemimpi unggul—maka setidaknya kalian punya kesempatan untuk mengubah takdir.” Kemudian Mirabelle melirik ke arah sang Kurator, sebab sang Dewi sendiri bahkan tidak tahu persisnya seperti apa kesempatan yang dimaksud tersebut.

Setelah menghela napas, Zainurma berkata dengan nada terpaksa, “Heh … kukasih sedikit bocoran deh. Alam Mimpi ini punya potensi untuk membangkitkan inspirasi tertinggi setiap pemimpi. Kalian mengerti? Inspirasi adalah kekuatan. Tapi tentu itu tidak mudah untuk diraih.”

“Saya masih tidak mengerti, Tuan,” seorang pemuda tampan nan polos di antara para reverier mencoba menyampaikan isi pikirannya. “Maksud Anda, pertempuran yang kami jalani ini bukan tanpa tujuan?”

“Itu saja yang bisa kukasih tahu untuk sekarang,” balas Zainurma. “Intinya, kalian terus bertarung dan jadilah semakin kuat.” Lalu sang Kurator menambahkan di dalam hati, dan jadilah jalan bagiku untuk meraih Arsamagna.

Perbincangan kali ini pun berakhir dengan tak mengenakkan bagi para reverier. Sang Kurator masih menyimpan banyak rahasia. Dan mereka tidak punya daya apa-apa selain terus terjebak dalam skenario sang Kurator. Benarkah mereka bisa meraih inspirasi tertinggi atau apapun itu yang tadi disebutkan oleh Zainurma?

Ratu Huban muncul dari balik atap kuil. Dia melompat turun dan berseru, “Ayo domba-dombaku~ bawa mereka pulang~~”

Maka para reverier pun diseret oleh domba mereka kembali ke Bingkai Mimpi masing-masing.

-reveriers-

Ketika para reverier sampai di Bingkai Mimpi mereka, tampaklah bahwa wilayah Bingkai Mimpi itu semakin meluas. Semakin banyak bagian dari semesta asal mereka, beserta para penghuninya, yang berpindah ke Bingkai Mimpi. Untuk sekarang, mereka semua aman. Tetapi ketika para reverier kalah … maka itu adalah kiamat bagi semesta yang mereka wakili.

Kini masing-masing reverier hanya bisa menanti tanda dimulainya babak berikutnya. Satu-satunya hal yang bisa sedikit menghibur diri mereka adalah melihat dua karya seni yang termanifestasi berkat perjuangan mereka di dua babak sebelumnya. Ternyata Zainurma benar-benar mengirimkan karya tersebut ke Bingkai Mimpi para peserta—dengan status pinjaman, tentunya.


[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.