Rabu, 03 Agustus 2016

[ROUND 1 - 11K] 32 - CATHERINE BLOODSWORTH | A SWEET REVENGE


CATHERINE BLOODSWORTH

oleh : Xeon4rvellen

--

BoR 6 – R1 : A Sweet Revenge
          
Sambil membaringkan diri di atas sofa, kuulurkan lengan kananku yang tengah menggenggam salah satu pisau Hexennacht ke arah langit-langit ruangan. Redup cahaya lampu terlihat memantul pada bilah tajamnya yang berwarna hitam mengkilap. Angie yang sedari tadi memanggilku dari ruangan sebelah tak kuhiraukan. Aku yang tengah berbaring, kini sedang melamun dan menelusuri kejadian yang telah kualami, di dalam pikiranku.
            Setelah si kepala bantal yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ratu Huban dan Oom-oom dengan dandanan mafia yang bernama Zainurma itu memberikan hadiah berupa seekor domba padaku, mereka kemudian mengatakan bahwa aku telah terpilih menjadi salah satu “Reverier” yang berhak untuk mengikuti sebuah turnamen demi mewujudkan mahakarya—impian yang kumiliki.
            Impian.
Satu-satunya hal yang kuimpikan hanyalah untuk bisa hidup dan menikmati segala hal yang bisa kudapatkan di dunia ini. Menghadapi hari demi hari sambil tertawa, menikmati hidangan lezat yang tersaji di meja, bermain-main bersama teman yang kumiliki...
...menjalani sisa hidupku bersama dengan seseorang yang menerima diriku apa adanya...

Bagi kebanyakan orang, hal-hal seperti itu mungkin terdengar normal. Tapi bagiku, impianku itu adalah segalanya. Aku tak bisa mendapatkan hal-hal yang bisa didapatkan oleh orang normal, tidak dengan keadaan fisikku yang seperti ini. Darahku yang telah bermutasi oleh miasma terus menggerogoti tubuhku dari dalam dan keadaan ini akan menjadi semakin parah. Aku sendiri tidak mengetahui kapan tubuh ini akan hancur sepenuhnya.
Oleh karena itu, berita tentang turnamen dimana aku bisa mewujudkan impianku tampak bagaikan secercah sinar harapan dalam hidupku. Bahkan, aku menurut saja ketika kedua orang itu membawaku ke sebuah tempat yang mereka sebut sebagai Museum Semesta.
Akan tetapi, apa yang menungguku disana? Sebuah pemandangan dimana para Reverier yang sama sepertiku diubah menjadi patung tanah liat karena performa mereka tak memuaskan.
PATUNG. TANAH. LIAT.
Oi! Hei! Yang benar saja! hanya karena performa mereka dinilai tak memuaskan, mereka diubah menjadi karya seni buruk rupa seperti itu? Ah, apa mungkin Zainurma dan si kepala bantal itu ternyata memang mencari tumbal persembahan untuk sosok patung yang berbentuk seperti otak disana dengan menggunakan turnamen ini sebagai kedok mereka? Jangan-jangan seluruh peserta akan dijadikan sebuah patung buruk rupa, lalu...
‘Oke, Stop!’ batinku, ‘Tenangkan dirimu, Catherine Bloodsworth. Berpikir terburu-buru hanya akan membuatmu panik!’
Masih banyak hal yang belum kuketahui, dan sepertinya mereka memang menyembunyikan banyak rahasia. Untuk sementara ini, lebih baik aku bersiap demi menghadapi apa yang akan terjadi selanjut...
“Mbeeeeeeek!”
“Hngghhh!!”
Seekor domba berbulu putih tebal melompat dan menjatuhkan dirinya diatas tubuhku yang tengah nyaman berbaring. Badan gemuknya yang tertutupi bulu lembut tampak gemetar dan napasnya terlihat terengah-engah dengan mulut yang terbuka lebar mendekati wajahku.
Eh? Hah? Domba itu hewan pemakan rumput, kan? lalu kenapa mulutnya tampak menganga, seolah ingin memakan diriku?! Aku yang tengah panik mencoba untuk mendorong hewan yang menindihku itu, lalu terdengar suara bergemuruh dari dalam perutnya.
“Mblerghhhh!”
“Gyaaaaahhhh!!”
Aku berteriak kaget ketika makhluk itu memuntahkan sepucuk surat yang basah oleh air liur dalam jumlah banyak di wajahku. Angie yang mendengar jeritanku kemudian berlari mendekat dengan langkah terburu-buru. Melihat wajahku berlumuran air liur domba yang tengah menindih tubuhku, wanita berjas dokter itu kemudian menatapku sambil mengernyitkan dahi.
“Emh... kukira kau sedang tidur karena tak menjawab panggilanku. Apa kau begitu frustasi sampai menerima seekor domba untuk menjadi partnermu?” Angie bertanya sambil memasang wajah jijik, “laki-laki ataupun perempuan tidak masalah, tapi setidaknya carilah seorang manusia. Itu lebih baik.”
“Berhenti bicara yang tidak-tidak dan bantu aku untuk menyingkirkan binatang mesum ini!!”
                                                           
-Catherine Bloodsworth – 1-
“Jadi...” ucapku pelan, “apa isi surat itu?”
Setelah pengalaman menjijikkan tadi, aku segera membersihkan diri dan pakaianku. Angie yang duduk di kursi sofa tempatku tidur terlihat sedang membaca isi amplop dengan logo hati yang dimuntahkan oleh dombaku sambil mengenakan sarung tangan steril.
Merasa malas untuk mengambil kursi lain, kujatuhkan diriku ke punggung dombaku yang berada di lantai untuk duduk. Binatang itu mengembik dan tampak gembira saat aku duduk bertopang kaki pada dirinya. Golongan darahmu apa? M? Menjadi tempat duduk seorang gadis cantik seperti diriku membuat binatang masokis sepertimu bahagia, hmm? Berterima kasihlah karena tuanmu ini tidak mencoba untuk memasak dirimu menjadi Sheperd Pie setelah apa yang kau lakukan tadi!
“Invasi Bentala Vayu,” Angie menjawab pertanyaanku, “di surat ini tertulis sebuah desa bernama Bentala Vayu tengah mengalami krisis akibat serangan sekumpulan naga.”
“Bentala Vayu? Aku tidak pernah mendengar nama tempat itu sebelumnya, bagaimana caranya aku bisa pergi kesana?”
“Mbeeeeeek!” Domba yang tengah kududuki mengembik pelan.
“Hmm? Kau bisa mengantarku pergi?”
Dombaku menjawab pertanyaan itu dengan mengangguk berulang kali. Binatang ini bisa mengerti bahasa manusia? Aku jadi penasaran bagaimana si kepala bantal itu melatih makhluk ini.
“Hmm... akan sulit memanggilmu jika kau tak memiliki nama. Baiklah! Mulai sekarang kupanggil kamu dengan nama Mutton!”
“Cara penamaanmu yang unik itu tetap tidak berubah ya,” Angie mengomentari nama yang kuberikan pada dombaku sembari melempar kertas surat yang telah dibacanya ke atas meja.
Sang domba yang baru saja kuberi nama tampak mengangguk senang dan mulai mengambil ancang-ancang. Tak sampai tiga detik berlalu, Mutton kemudian berlari ke arah ruang tamu lalu melompat keluar jendela. Angie yang mengulurkan tangannya untuk menarikku turun kalah cepat oleh gerakan domba yang hendak membawaku pergi.
“Ah! Oiii!! Aku tidak bilang kita akan pergi sekarang! Putar! Putar lagi ke belakang!!”
Aku mencoba untuk memutar arah lari Mutton dengan menarik-narik tanduknya, namun terlambat. Sebuah lubang hitam yang tampak seperti terowongan muncul di tanah dan Mutton melompat masuk kedalamnya. Pemandangan di belakangku tampak semakin mengecil dan menghilang dalam kegelapan. Ah, perasaan ini sama seperti ketika aku sedang bermimpi sebelum melawan kakek gila itu.
Di ujung pandanganku, dapat kulihat lingkaran cahaya yang sepertinya merupakan pintu keluar dari terowongan gelap ini. Angin kencang dapat kurasakan menerpa tubuh kami saat pintu keluar semakin dekat. Cahaya senja yang menyilaukan membuatku sedikit menyipitkan mata, namun Mutton yang tampak tak terpengaruh melompat keluar begitu saja dari terowongan gelap itu.
Setelah keluar, kini kami berada di tengah hutan dengan pohon kayu raksasa yang tak kukenali jenisnya. Angin yang bertiup semakin kencang membuat daun kering dari pepohonan di hutan sekitarku menjadi berguguran. Banyak hewan yang tak pernah kulihat sebelumnya tampak berlarian—tidak lebih tepatnya beterbangan di udara.
Beberapa ekor ular bersayap terbang bagaikan berenang di perairan. Tidak hanya ular, makhluk lain seperti ikan dan laba-laba pun tampak turut memanfaatkan angin untuk bergerak. Melihat kumpulan hewan liar itu aku merasakan kejanggalan. Mereka semua bergerak, pergi menuju ke arah yang sama.
‘Apa mereka mengejar sesuatu?’ Aku bertanya dalam hati.
Kutendang sisi perut Mutton agar dia berlari lebih kencang. Saat berada di belakang kerumunan hewan liar itu, kufokuskan pandanganku ke depan dan dapat kulihat binatang-binatang liar itu mengejar seseorang. Ah, tidak ada urusannya denganku, lebih baik kubiarkan saja orang itu... Hmm...?
Seorang anak perempuan yang membawa tas selempang dengan rambut coklat berkepang dua berlari dengan napas terengah-engah di depan sana. Rok pendek dan kaus kaki hitamnya robek di beberapa tempat, sepertinya ia juga sudah mulai kehabisan tenaga untuk berlari.
Oh...?
Ohhh...!?
“Lari lebih kencang lagi, Mutton!” Aku menendang dombaku lebih keras.
Mendapati perlakuanku yang cukup kasar, Mutton mengembik dengan lantang sambil mempercepat larinya. Napasnya terengah-engah, namun wajahnya tampak bahagia. Kau senang kutendang? Dasar binatang mesum.
Sang gadis yang telah kehabisan tenaga itu kemudian jatuh tersungkur tak jauh di depanku. Dari yang kulihat, kaki anak itu tersandung oleh akar pohon yang menonjol keluar dari tanah. Mutton yang melesat dengan kecepatan tinggi mulai menyusul para hewan yang hendak menerkam anak malang itu. Dengan segera, aku mengulurkan tanganku untuk menangkap dirinya dan berhasil!
Loli imut, GET!!
Setelah kuraih dirinya yang terjatuh, kubawa dia pergi menjauh dari rombongan hewan buas kelaparan yang hampir memangsanya. Ah, anak ini bukannya salah satu Reverier yang berada di museum semesta? Hmm, biarlah. Yang penting aku mendapatkan satu orang yang bisa kumintai keterangan tentang tempat ini.
                                                           
-Lilia Fiennes – 1-
Langit senja yang berwarna kemerahan tampak semakin gelap tatkala sang surya mulai ditutupi oleh awan. Angin malam yang berhembus kencang pun membuat tubuhku gemetar kedinginan. Melihat diriku yang menggigil, wanita di depanku melepaskan mantelnya dan memberikannya padaku. Aku, Lilia Jane Fiennes, kini tengah beristirahat setelah berlari sekuat tenaga untuk menghadapi salah satu krisis terbesarku.
Usai pergi meninggalkan desa Bentala Vayu untuk mengejar seseorang bernama Seth, sekawanan binatang buas di hutan mencoba untuk menjadikanku mangsa mereka. Keadaan menjadi semakin parah ketika aku jatuh tersandung oleh akar pohon. Dalam keadaan lelah sehabis bertempur melindungi desa, aku pasrah menerima nasib yang akan menimpa diriku. Untung saja seorang wanita yang tengah melewati hutan itu datang menolong. Melihat dirinya yang mengendarai seekor domba, sepertinya ia juga sama sepertiku. Seorang Reverier.
“Terima kasih karena telah menyelamatkan saya, umm...”
“Hmm? Ah, namaku Catherine,” wanita itu memperkenalkan dirinya sambil tersenyum, “Catherine Bloodsworth.”
“Terima kasih telah menyelamatkan saya, nona Catherine. Saya berutang budi kepada anda. Nama saya Lilia Fiennes, senang berkenalan dengan anda.”
“Aww... jangan formal begitu, panggil saja aku dengan sebutan Cathy dan aku akan memanggilmu Lilia, oke?”
“Eh...? Ah... tapi...”
“Aku memaksa,” pinta dirinya, “oke?”
“Umm... baiklah kalau begitu, Kak Cathy...?”
                                                           
-Catherine Bloodsworth – 2-
Kak...
Kakak.
KAKAK!
Ahhh! Betapa senangnya! Untuk diriku yang merupakan seorang putri tunggal, dipanggil kakak oleh anak semanis dia seperti sebuah berkah! Heeheeheehee... Ah! Gawat, gawat. Saking senangnya, hampir saja aku melupakan keadaan di sekitarku dan memasuki duniaku sendiri.
“Hmm... hmm! Ada apa, Lilia?”
“Kakak juga seorang Reverier sepertiku, kan? Apa yang sedang kakak lakukan di hutan itu?”
“Ahh, kakak baru saja sampai ke tempat ini,” aku menjawab pertanyaan Lilia dengan santai, “secara kebetulan, aku melihat kawanan hewan mengejar dirimu yang terjatuh. Untung saja aku sempat menyelamatkanmu.”
“Ya... sekali lagi, terima kasih...”
“Sudah-sudah, tak usah dipikirkan. Daripada itu, kakak ingin bertanya tentang situasi sekarang. Lilia sudah lebih dulu berada di tempat ini kan? Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Saya... Ah! Aku baru berangkat dari desa Bentala Vayu untuk mengejar seseorang,” melihat wajahku yang sedikit cemberut, Lilia mengoreksi ucapannya. “Namanya Seth, dari informasi yang kudengar di desa, ialah dalang penyerangan ini.”
“Begitu, ya. Berarti desa itu sudah diserang?”
“Iya, di sana juga ada seorang Reverier lagi. Namanya Serilda, Serilda Artemia. Ia dan beberapa penduduk mencoba untuk melindungi desa dengan melawan kumpulan naga yang menyerang, sementara aku mencoba untuk mencari Seth.”
Satu orang Reverier lagi. Sejauh ini sudah ada tiga orang yang berkumpul di tempat ini. Matahari sudah terbenam, mengejar seseorang dalam keadaan gelap gulita di tempat seperti ini terdengar berbahaya. Apa boleh buat, lebih baik aku pergi mengunjungi desa itu terlebih dahulu bersama dengan Lilia.
Usai mendengar laporan Lilia, aku meminta dirinya untuk mengantarku ke desa. Lilia menyetujui usulku tanpa berpikir panjang. Melihat penampilannya yang tampak semrawutan dengan pakaian robek di sana-sini, sepertinya ia ingin kembali ke desa untuk beristirahat sejenak dan menenangkan diri.
Setelah menaiki Mutton, Lilia yang duduk di depanku mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas selempang miliknya. Pada bagian sampul buku itu tertulis Basic Elementals Magic for Idiot. Fire Edition. Tunggu sebentar, anak ini seorang penyihir?
“Lilia, kau seorang penyihir?”
“Eh? Iya. Tapi aku belum terlalu mahir, sih...” Lilia menjawab pertanyaanku sambil memalingkan wajahnya. Apa aku menginjak topik ranjau, ya?
“Ka... kalau begitu, apa kau tahu sesuatu tentang miasma?!”
“Miasma... maksud kakak kabut beracun yang tercipta dari kumpulan energi negatif?”
Bingo!
Tak kusangka aku bisa mendapatkan info soal miasma dari Reverier lain dalam waktu secepat ini. Sebelumnya, aku pernah bertanya pada Angie mengenai tiap detil dari kabut beracun yang tengah menjangkiti tubuhku ini. Namun, karena ia hanya turut membantu dalam pembuatannya saja, Angie tak bisa memberikan jawaban yang memuaskan.
Yang bisa kuberitahu padamu hanya dari sisi ilmu pengetahuan pasti, cobalah cari informasi lain dari sudut pandang yang berbeda.’ Itu adalah kalimat terakhir yang ia ucapkan saat aku bertanya mengenai miasma pada dirinya.
“Apa kau tahu cara untuk membersihkan miasma?”
“Memangnya ada apa dengan miasma?” tanyaku.
“Umm... itu...” aku merasa segan untuk memberitahu Lilia apa yang terjadi di masa laluku, tapi mungkin tidak akan datang lagi kesempatan untuk bertanya mengenai miasma kepada seorang penyihir.
“Kau tahu, kakak ini... sebenarnya terserang penyakit yang mematikan...”
                                                                       
-Lilia Fiennes – 2-
Usai menciptakan api untuk menerangi perjalanan kami menuju desa Bentala Vayu, kak Cathy menceritakan sedikit tentang masa lalunya padaku. Ia mengatakan bahwa miasma telah membuat darahnya berubah dan hidupnya takkan berlangsung lama. Oleh karena itu, ia menjadi seorang Reverier untuk mencari cara menyembuhkan penyakitnya.
Aku merasa sedikit janggal setelah mendengarkan masa lalunya. Dari semua buku yang kubaca, tidak ada satu pun informasi mengenai tubuh seseorang bermutasi akibat konsentrasi miasma yang tinggi. Walaupun begitu, tidak ada hal yang tidak mungkin dengan sihir. Begitulah kutipan kata-kata dari orang bijak yang pernah kubaca dari koleksi buku sihirku.
“Untuk membersihkan miasma, diperlukan energi positif yang cukup besar. Tergantung seberapa pekat miasma yang ingin dibersihkan, konsentrasi mana maupun prana yang telah terkumpul harus segera dimurnikan oleh kekuatan suci dan cara paling mudah adalah dengan menggunakan relik yang... errr... kak Cathy?”
Wanita yang tengah mendengarkan penjelasanku itu tampak kebingungan. Aku memberikan penjelasan tentang miasma dengan asumsi bahwa ia mengerti tentang sihir, apa mungkin kak Cathy tak pernah belajar menyihir, ya? Hmm... sulit juga untuk menjelaskannya dengan istilah yang lebih mudah dimengerti oleh umum.
“Hmm... sihir pengobatan bukan keahlianku, tapi mungkin aku bisa mendapatkan informasi lebih jika bisa kembali pulang dari tempat ini.”
Jika aku bisa kembali dari tempat ini, aku bisa mencari info tambahan dari buku-buku di perpustakaan. Untuk seseorang yang telah menyelamatkan diriku, hanya hal ini yang bisa kulakukan demi membalas kebaikannya.
“Yang benar?! Ah... akhirnya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya aku menemukan petunjuk untuk menyembuhkan penyakitku. Terima kasih, Lilia!!” Sambil mengucapkan terima kasih, kak Cathy mengulurkan tangannya, lalu memelukku dari belakang.
“Hyah! Ja... jangan peluk-peluk sembarangan!”
“Eeh... habis dingin, sih. Mantelku kan dipakai sama Lilia, jadi cuma cara ini yang tersisa. Hehehe...”
Merasakan kehangatan tubuhnya yang memelukku dari belakang, aku hanya bisa diam dan memalingkan wajahku yang merah merona sepanjang perjalanan.
            -Serilda Artemia – 1-
            Suara isak tangis menggema di sekitarku ketika para penduduk desa melihat jasad dari saudara sekampung mereka bergelimpangan di sekitar reruntuhan bangunan desa. Setelah kawanan naga menyerbu tempat ini secara tiba-tiba, aku memimpin para penjaga desa untuk menahan serangan kawanan binatang buas itu bersama dengan seorang Reverier lain bernama Lilia.
            Pada awalnya, mereka merasa ragu karena diperintah oleh seseorang yang baru mereka temui. Akan tetapi, secara lambat laun mereka mulai menuruti perintah yang kuberikan setelah melihat kemampuan memanahku di medan tempur. Kami pun berjuang keras untuk memukul mundur kawanan naga yang mencoba untuk membumihanguskan desa.
Ketika sebuah cahaya misterius tampak di kejauhan, kuperintahkan Lilia untuk memeriksanya. Tetua desa mengatakan bahwa cahaya itu berasal dari sebuah artefak yang mampu mengontrol pikiran naga milik seorang pria bernama Seth. Sudah sekitar satu jam berlalu semenjak kepergiannya yang mengikuti cahaya itu ke dalam hutan, namun ia belum juga kembali. Langit kini sudah menjadi gelap, kuharap dia baik-baik saja diluar sana.
“Berengsek,” seorang gadis berambut merah terdengar mengutuk tindakan dari dalang di balik penyerangan ini. Matanya yang membara kini menatap keadaan di sekelilingnya dengan ekspresi wajah muak. “Membantai orang lain sesuka hati tanpa mengotori tangan sendiri, benar-benar rendahan!”
Airi Einzworth namanya, ia adalah seorang Reverier sepertiku yang secara kebetulan muncul ketika para naga meluluhlantakkan desa Bentala Vayu ini. Ia dan kemampuan Catastrophe miliknya merupakan bantuan besar bagi kami dalam memukul mundur pasukan musuh. Dari nada bicaranya, gadis itu terdengar amat marah pada ulah sang pelaku pembantaian, Seth.
Setelah mengambil busur dan quiver milikku yang tergeletak di lantai, aku segera meminta para penduduk desa yang selamat untuk memindahkan mayat-mayat yang berada di sekitar agar bisa dimakamkan. Musuh telah menghentikan serangan mereka, namun bukan berarti masalah ini sudah selesai. Waktu tenang yang berharga ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk beristirahat.
Saat hendak menyuruh Airi dan para penjaga desa lain untuk mengistirahatkan diri, aku melihat Lilia kembali ke desa menaiki seekor domba, bersama dengan seorang wanita lain.
“Nona Serilda! Apa anda baik-baik saja?” Lilia berlari ke arahku dengan panik.
“Seperti yang dapat kau lihat, aku baik-baik saja. Keadaanmu sendiri bagaimana? Aku benar-benar khawatir karena kau meninggalkan desa cukup lama.”
“Saya juga dalam keadaan baik, semuanya berkat bantuan dari beliau,” Lilia memperkenalkan wanita yang bersamanya sejak tadi, “nona Catherine... Ah, maksudku kak Cathy menyelamatkan saya ketika dikejar kawanan binatang buas di dalam hutan.”
“Hmm... yap! Anak baik, anak baik,” wanita yang dipanggil Cathy itu membelai rambut Lilia dengan lembut. Diperlakukan seperti anak kecil membuat pipi Lilia semakin merah merona, entah karena ia merasa malu atau kesal. “Namaku Catherine Bloodsworth, panggil Cathy saja kalau kepanjangan. Salam kenal.”
“Hee... bertambah lagi dua orang Reverier di desa ini?” Airi yang mendengar pembicaraan kami datang mendekat, “Namaku Airi Einzworth. Airi atau Ai, terserah kalian mau memanggilku dengan sebutan apa.”
Empat orang Reverier kini telah berkumpul di desa, ini merupakan sebuah kesempatan bagus. Setelah memperkenalkan diri, kami memasuki rumah tetua desa yang terletak di dekat gerbang menuju jalan setapak ke arah sebuah pohon raksasa yang berdiri dengan gagah, menaungi desa Bentala Vayu.
“Terima kasih, para pendatang. Karena bantuan kalian, kami bisa bertahan hingga saat ini,” sang tetua desa mengucapkan terima kasihnya pada kami, Reverier yang membantu melindungi desa.
Melihat seorang manusia setengah burung berbicara layaknya orang normal, ekspresi wajah wanita bernama Cathy yang diperkenalkan oleh Lilia tampak berbinar.
Di dunia ini terdapat ras lain selain manusia, yaitu Archan. Tubuh bangsa Archan mirip seperti manusia, hanya saja mereka memiliki sayap dan kepala burung. Dengan kekuatan fisik yang lebih tinggi dari orang pada umumnya, mereka bertugas sebagai penjaga desa sementara para manusia bekerja di ladang.
“Mohon maaf, karena kami hanya bisa menyuguhkan ala kadarnya saja. Mungkin hanya sedikit, tapi silakan dinikmati.”
Usai sambutan sang tetua desa, beberapa orang penduduk yang tersisa membawakan jamuan berupa manisan buah serta kudapan lain. Mengadakan pesta penyambutan kecil-kecilan setelah serangan musuh terdengar cukup aneh, tapi karena hal ini bisa meningkatkan moral prajurit yang tersisa, kami menerimanya dengan senang hati.
“Aku minta perhatian kalian semua sebentar,” tak ingin membuang waktu, aku mulai berbicara. “Mungkin ucapanku akan terdengar merusak suasana, tapi kita tidak boleh lengah. Lawan bisa saja menyerang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, lebih baik kita mengatur strategi dalam menghadapi musuh.”
Sambil membuka peta yang kudapat dari salah seorang warga, kujelaskan beberapa hal penting yang dapat digunakan di medan pertempuran. Bentala Vayu merupakan sebuah desa yang terletak diantara lembah dari dua gunung yang berdekatan. Posisinya yang berada di tempat sempit dan hanya terdapat satu jalan untuk keluar-masuk desa membuat tempat ini cukup terisolir.
Tidak hanya itu, angin yang berhembus kencang melewati lembah seolah menciptakan dinding penghalang bagi mereka yang mencoba untuk menerobos tempat ini dari udara. Dengan kondisi seperti ini, Bentala Vayu tampak bagaikan sebuah benteng yang tak bisa ditembus oleh prajurit manapun.
Masalahnya, musuh kali ini bukanlah prajurit Human maupun Archan. Musuh yang harus kami lawan adalah bangsa naga yang terkenal akan kekuatan mereka. Angin kencang yang bertiup di atas desa akan menyulitkan makhluk itu untuk terbang menerebos tempat ini, tapi bagaimana dengan mereka yang mencoba memaksa masuk dari depan?
Saat kami mendiskusikan berbagai hal, terjadi keributan di luar rumah. Awalnya, aku mengira musuh kembali menyerang desa ini, namun pemandangan yang kulihat di luar berkata lain.
Para Archan yang tengah menjaga gerbang menuju pohon raksasa suci yang berada di samping desa tampak terikat oleh sulur-sulur tanaman liar. Mereka mencoba untuk melepaskan diri dengan meronta, namun tak berhasil. Ikatan sulur yang begitu kencang merenggut kebebasan bergerak mereka sepenuhnya.
Diantara para Archan yang tak berdaya itu, seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri dengan anggun. Mata indahnya yang berwarna hijau menatap kami yang berada di pintu masuk rumah tetua desa. Dari pakaiannya yang tampak asing di dunia ini, kami langsung mengetahui siapa dirinya.
Seorang Reverier.
Melihat tindakan wanita bermata hijau yang berada di tengah sulur tanaman itu, Airi yang sedari tadi tampak tenang kemudian melompat keluar sambil mengepalkan tangannya. Setelah mengaktifkan kekuatan Catastrophe miliknya, ia mencoba untuk melesatkan pukulan pada wanita itu.
Sang perempuan berpakaian serba hitam itu tidak berusaha untuk mengelak. Tinju yang dilancarkan oleh Airi kemudian menghantam objek yang sama sekali lain dengan target awalnya. Sebuah pohon tumbuh secara cepat, melindungi diri sosok anggun bermata hijau yang tak bergeming sedikitpun dari hantaman bogem mentah yang mengarah pada dirinya.
“Ah, tidak bisakah kalian memberikan sambutan yang lebih sopan?” Wanita itu berbicara dengan nada tenang sambil mengangkat kedua tangannya, “Aku hanya ingin melihat pohon raksasa itu dari dekat. Tidak kurang, tidak lebih.”
-Airi Einzworth – 1-
Suara benturan keras terdengar nyaring saat sarung tangan Orichalcum yang menutupi kepalan tanganku menghantam batang kayu dari pohon yang tumbuh secara tiba-tiba di samping dirinya. Dengan percaya diri, ia melangkah ke samping diriku yang masih dalam keadaan terkejut karena ia telah berhasil menahan seranganku.
“Ah, tidak bisakah kalian memberikan sambutan yang lebih sopan? Aku hanya ingin melihat pohon raksasa itu dari dekat. Tidak kurang, tidak lebih.”
“Tch, lebih sopan? Setelah apa yang kau lakukan pada mereka?” setelah melirik para Archan yang terlilit sulur pohon, aku kembali memasang kuda-kuda bertarung untuk menghadapi serangan balasan darinya.
“Oh,” wanita itu menjentikkan jarinya yang kemudian disusul oleh hilangnya akar-akar pohon yang melilit para penjaga untuk membebaskan mereka, “itu karena mereka menghalangi jalanku.”
“Haah? Jangan bercanda! Kau pikir kami akan percaya omong kosongmu? Kau kemari untuk menghancurkan pohon pelindung desa ini kan!?”
“Namaku Samara Yesta. Kalian semua merupakan Reverier yang sama sepertiku, bukan?”
“Hei! Dengarkan aku, sialan!”
“Hahh... sebelum kau ingin didengarkan, maka dengarkan dulu ucapan orang lain. Kau bahkan tak bisa memperkenalkan dirimu sendiri, kepala wortel?”
“Siapa yang kau sebut dengan kepala wortel, hah!?”
Melihat situasi menjadi semakin memanas, Serilda kemudian datang mendekat untuk melerai kami. Gah! Sungguh menjengkelkan! Datang secara tiba-tiba dan membuat kekacauan, dasar sok!
“Namaku Serilda Artemia dan dia Airi Einzworth. Seperti yang kau bilang, kami adalah Reverier yang juga dikirim ke tempat ini untuk menyelesaikan masalah di desa ini.”
“Bisa ceritakan lebih detail?”
“Seorang pria bernama Seth mengendalikan kawanan naga dan mencoba untuk menghancurkan desa ini, agar ia bisa menghancurkan pohon suci. Entah bencana apa lagi yang akan terjadi jika ia berhasil mencapai tujuannya,” jelas Serilda.
“Hei! Serilda! Kau percaya begitu saja pada orang ini? Bisa jadi dia seorang mata-mata dari pihak musuh!”
“Hhh... aku malas meladeni ucapanmu. Tapi jika kubiarkan saja, sepertinya kau akan terus mengoceh tentang hal yang tidak-tidak,” Samara membalas ucapanku, “Aku. Tidak. Memiliki. Hubungan. Apapun. Dengan. Seth. Jelas? Lagipula, mana mungkin aku berniat menghancurkan tumbuhan indah semegah itu.”
“Khh! Jadi kau benar-benar tak berniat menghancurkan tempat ini?”
“Ah! Sudahlah! Pikirkan saja sendiri, berbicara denganmu seperti tak ada habisnya.”
Saat aku hendak membalas ucapannya, suara lolongan aneh terdengar dari kejauhan. Para penduduk yang mendengarnya langsung panik dan berlarian. Serilda yang telah melerai kami langsung memasang wajah serius dan mulai memberi perintah.
“Musuh kembali datang! Cepat bersiap untuk menghadapi lawan! Ingatlah posisi masing-masing! Airi dan Cathy, hadapi lawan bersama pasukan penjaga desa di garis depan! Aku dan Lilia akan memberikan bantuan dengan serangan jarak jauh!”
“Ah, sudah tiba saatnya bagiku untuk tampil, ya.” Wanita bernama Cathy itu kemudian menarik sebuah belati dengan permata berwarna merah tertanam pada bagian pangkal bilahnya, “Mmmh... aku ingin segera menyelesaikan semua ini, lalu pergi tidur.”
“Samara, maaf. Padahal kau baru saja datang, tapi apa kau bisa memperkuat dinding luar desa dengan kemampuanmu?”
“Tidak masalah,” Samara menjawab pertanyaan Serilda dengan enteng, “toh, aku juga ingin cepat menyelesaikan masalah ini dan kembali ke rumah.”
Huff... aku menarik napas dalam-dalam lalu mengepalkan kedua tanganku. Baiklah! Sekarang lupakan dulu soal cewek hutan itu dan fokus lindungi desa dari serangan musuh! Takkan kubiarkan satu ekorpun dari kalian memasuki desa!
Usai mengambil sepasang tonfa andalanku, kami bergerak menuju gerbang keluar desa yang mengarah ke hutan. Di kejauhan, puluhan ekor naga tampak bersiap untuk menyerbu desa. Bentuk dan ukuran tubuh mereka bervariasi, ada yang berjalan menggunakan empat kaki, ada juga yang terlihat lebih seperti manusia kadal. Walaupun termasuk bangsa naga, kekuatan mereka masih berada pada tingkat paling bawah.
Setelah seluruh pasukan garis depan berkumpul, serilda yang tengah menaiki domba miliknya mengambil ancang-ancang untuk menembakkan panah bersama dengan para penjaga lain.
Tak sampai lima detik berlalu, para naga kemudian berlari mendekati desa. Melihat kejadian itu, Serilda dan para pemanah lain melepaskan tembakan. Langit malam yang diterangi oleh cahaya bulan kini tampak dipenuhi oleh anak panah yang tak terhitung jumlahnya dan mulai menghujani lawan.
Begitu barisan depan pasukan musuh lumpuh, aku segera mengaktifkan kekuatan Catastrophe milikku dan menerobos pasukan lawan. Di hadapanku, kini berdiri seekor naga yang berdiri menggunakan empat kaki dengan panjang tubuh mencapai dua setengah meter.
Setelah mengumpulkan kekuatan di tangan kananku, kuhantam makhluk itu dengan menggunakan tonfa andalanku hingga tercipta ledakan yang cukup besar. Sisik makhluk itu pun hancur, memperlihatkan kulit yang berada di bawahnya.
“Airi! Mundur! Kau berada terlalu jauh di depan!”
Mendengar teriakan Serilda aku mencoba untuk melompat ke belakang, namun tak kusangka ternyata ada seekor naga lain yang mencoba untuk menyerangku. Naga yang satu ini berdiri dengan dua kaki dan ia tengah bersiap menggunakan cakar tajamnya untuk menebas.
Dalam kondisi yang berbahaya itu, sebilah pisau hitam dengan permata berwarna merah melesat cepat, menusuk leher naga yang hendak menghabisi diriku. Cathy yang berada di belakangku kemudian berlari ke depan untuk mengambil pisaunya kembali sambil mengoyak leher manusia kadal itu.
“Mmh... terlambat!” dengan menggunakan tonfa milikku, kuhantam naga yang sisiknya telah terkelupas dengan kekuatan penuh, “Kemana saja kau?”
“Tenang sedikit kenapa, sih?” Cathy menjawab pertanyaanku dengan nada tidak puas, “Aku tidak sekuat dirimu, tahu.”
Usai mengucapkan kata-kata itu, kami mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak aman. Seketika itu juga, semburan api dan hujan anak panah kembali menelan musuh yang mencoba untuk mengejar kami.
Beberapa musuh yang selamat dari serangan itu mencoba untuk kembali berdiri. Akan tetapi, dengan sigap Cathy menggunakan sepasang belati hitam miliknya untuk menghabisi mereka. Baru kali ini aku melihat pisau yang mampu memotong musuh dengan begitu rapi.
Puluhan ekor naga pasukan musuh telah kami kalahkan, tapi akhir pertarungan ini masih belum jelas terlihat. Naga-naga itu kembali bergerak maju tanpa rasa takut ketika melangkahi mayat-mayat sebangsa mereka. Kekuatan pengendalian naga yang digunakan oleh Seth sepertinya begitu kuat hingga para pasukan ini dapat dikendalikan sepenuhnya.
“Gelombang kedua datang! Hati-hati!” Serilda kembali memperingatkan para pasukan yang berada di depan.
Musuh kami kali ini tampak lebih besar dan kuat. Sial, menghadapi gelombang pertama saja sudah cukup merepotkan, sekarang muncul lagi makhluk yang lebih kuat. Para prajurit Archan pun dibuat kewalahan oleh para naga yang memiliki sayap. Cukup banyak dari mereka yang terluka dan membutuhkan perawatan, sementara pasukan musuh terus berdatangan seolah tak ada habisnya.
“Ada cahaya misterius di arah jam dua!” salah seorang prajurit Archan yang bertindak sebagai pengintai berteriak di atas kami, “Seth! Dia berada di dekat hutan!”
Hah! Akhirnya muncul juga dalang penyerangan ini. Tapi, dengan jumlah musuh yang begini banyak bagaimana caranya aku bisa pergi kesana? Serilda yang seolah mengerti jalan pikiranku kemudian memberi perintah lain.
“Airi dan Cathy, kejar musuh! Samara, tolong buat jalan untuk mereka!”
“Serahkan padaku!” Samara yang telah menciptakan dinding pohon untuk melindungi desa muncul secara mendadak sambil menaiki dahan pohon yang memanjang.
Saat kakinya menyentuh tanah, akar-akar pohon mencuat keluar dan menembus barisan musuh yang mencoba untuk menerjang, menciptakan jembatan bagi kami berdua untuk melewati musuh yang tersisa.
“Good job, cewek hutan!”
“Siapa yang kau panggil cewek hutan, dasar kepala wortel!!”
Tanpa mempedulikan ucapan Samara, aku menaiki jembatan kayu itu bersama Cathy. Cahaya berwarna biru terang dapat kulihat bersinar tepat di samping hutan. Sepertinya, karena ia melihat sebuah dahan pohon raksasa yang tumbuh secara tiba-tiba, Seth menjadi lebih waspada dan mencoba untuk berlari ke dalam hutan.
“Tunggu, berengsek! Takkan kubiarkan kau lari setelah apa yang kau lakukan pada penduduk desa!” aku meluapkan amarahku dengan berteriak, “Berhenti, dasar kurang ajammpphhhhh...!!”
Cathy yang berada di sampingku membekap mulutku dengan tangan kanannya. Melihat diriku yang meronta, ia mengacungkan telunjuk tangan kirinya dan mendekatkan jari itu pada mulutnya, memintaku untuk diam.
Setelah aku lebih tenang, ia melepaskan tangannya dan memintaku untuk mengikutinya. Kami berdua bergerak memasuki hutan secara perlahan. Sambil mengikuti Cathy yang berjalan lebih dahulu, kuperhatikan gerak-geriknya dari belakang.
            ‘Berjalan di hutan dengan gerakan mengendap-endap tanpa suara, siapa ia sebenarnya?’ batinku,            ‘kemampuan menyembunyikan dirinya cukup hebat. Kalau aku tidak berkonsentrasi, mungkin ia akan menghilang dari hadapanku dengan cepat.’
Setelah beberapa saat mengikuti dirinya dari belakang, ia tampak berhenti sejenak sambil mengintip dari balik semak belukar. Dengan gerakan pelan, aku bergerak ke samping dirinya untuk turut melihat situasi di depan. Diterangi oleh cahaya bulan, seorang anak lelaki berambut hijau tampak menggenggam kalung yang bersinar redup.
‘Ketemu!’
Dari postur tubuhnya yang terlihat seperti seorang anak-anak, sulit dipercaya kalau ia adalah orang yang menjadi dalang penyerangan desa. Tapi, kalung yang ia gunakan itu menjadi sebuah bukti yang tak terbantahkan kalau ia adalah pelakunya.
Melihat sang otak pelaku pembantaian desa di hadapanku, aku melompat keluar untuk menyerang dirinya. Seth yang menyadari kehadiranku kemudian melompat mundur sejauh beberapa meter. Gerakannya begitu luwes bagaikan terbawa angin. Ah! Sekarang bukan waktunya terpesona!
Dengan gerak cepat, Seth meraih kedua senjata api miliknya. Dua suara tembakan terdengar menggema di dalam hutan yang sunyi. Kedua peluru yang melesat keluar dari mulut pistolnya melewati telinga kiriku, menyisakan dengung yang menyakitkan.
“Siapa dan apa mau kalian?” ia bertanya sambil menodongkan senjata apinya kearah kami.
“Ah... ketahuan, ya?” ujar Cathy yang keluar dari tempat persembunyiannya sambil mengangkat tangan, “namamu Seth, kan? dalang dibalik pembantaian warga desa Bentala Vayu?”
“Kalau iya, kenapa?”
“Sudah jelas, kan!?” teriakku, “kami datang kesini untu menghabi...”
“Aku kemari untuk bergabung denganmu.”
“Eh...?”
-Catherine Bloodsworth – 3-
Si kepala wortel tampak begitu terkejut dengan kata-kata yang kuucapkan. Jujur saja, aku tidak peduli dengan seberapa banyak penduduk desa yang mati, selama aku bisa kembali pulang lebih cepat. Lagipula, pada surat itu tertulis bahwa kami hanya perlu menyelesaikan konflik ini, tidak ada detail mengenai cara apapun yang harus dilakukan.
“Kau... apa kau sadar apa yang telah kau katakan, jalang?! Ngghhh...!!”
Anak perempuan nggak boleh ngomong kasar! Sebagai hukumannya, kutusuk saja dirinya menggunakan salah satu pisauku. Airi yang merasa kesakitan menatapku tajam dengan mata merahnya.
Untuk hadiah perpisahan, kutarik pisauku secara menyamping hingga merobek abdomen gadis itu. Luka di perutnya kini terbuka lebar hingga darah beserta organ lainnya tumpah keluar. Airi yang tak sanggup berdiri sambil menahan rasa sakit langsung ambruk ke tanah.
“Peng...khianat...”
“Hail Seth,” Aku membalas ucapan Airi sambil tersenyum.
Nah, satu masalah sudah dibereskan. Sekarang aku hanya perlu meyakinkan pihak lainnya agar ia menerima diriku sebagai kawan. Hmm... jadi dia yang namanya Seth. Sulit dipercaya kalau anak sekecil dia sanggup mengendalikan kawanan naga itu untuk menyerang desa.
“Kau... apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Seth sambil mengarahkan moncong kedua senjatanya padaku.
“Ah, jangan curiga begitu. Kakak datang kesini untuk membantumu menghancurkan desa itu,” jawabku, “lihat, aku bahkan sudah mengalahkan satu musuh dari pihak sana.”
Kutendang tubuh Airi yang terkulai lemah di tanah, mulutnya lalu mengeluarkan erangan pelan. Ah, rupanya dia masih hidup. Tapi, biarlah! Sebentar lagi juga ia akan mati kehabisan darah. Seth yang tak merasakan aura jahat dariku kemudian menyimpan kembali kedua pistol miliknya.
“Jadi, kau menerima kakak sebagai kawanmu?”
“Hanya kali ini saja,” jawab Seth, “lagipula aku juga butuh informasi tentang musuh.”
“Hmm... hmm! Kakak senang kalau kamu mengerti.”
Usai percakapan singkat kami, aku mulai memperkenalkan diri dan menjelaskan situasi desa kepada Seth. Kuberitahu dirinya bahwa ada tiga orang Reverier lain disana, seorang pemanah, seorang pengendali tanaman dan seorang penyihir yang harus diwaspadai.
Seth yang telah mendengarkan penjelasanku tampak termenung, memikirkan langkah apa yang akan ia ambil selanjutnya. Ekspresi wajahnya yang kekanakkan terlihat sangat imut ketika ia memikirkan sesuatu.
“Hei, Cathy,”
“Hmm?”
“Bayaran apa yang kau inginkan?”
Seth yang masih merasa ragu kembali bertanya padaku. Kali ini ia bertanya tentang bayaran. Wajar saja sih, jika seseorang datang dan mengatakan ia akan membantumu menyelesaikan misi secara cuma-cuma, kau pasti akan curiga.
“Hatimu saja sudah lebih dari cukup?” aku menjawab pertanyaan Seth sambil mengedipkan mata kiriku.
“Aku serius...”
“Um! Ekspresi wajahmu yang tampak serius juga terlihat manis!” candaku, “Tapi, bayaran ya... Ah! Kalau begitu, aku minta agar kau tidak berbuat apapun pada seseorang di desa. Namanya Lilia, seorang gadis berambut coklat dengan warna mata biru kehijauan.”
“Hanya itu...?”
“Yap! Hanya itu. Bagaimana? Kakak tidak hanya cantik, tapi juga dermawan, bukan?”
Mendengar pertanyaanku, Seth hanya bisa menghela napas. Ia kemudian duduk dan meraih kedua pistolnya untuk mengisi peluru di dalamnya.
Sambil menunggu Seth, kuraih sebuah bungkusan yang terdapat di saku mantelku. Perutku terasa sedikit lapar setelah bertarung tadi, untung saja aku membawa sebungkus manisan dan kue yang disajikan tadi di rumah sang tetua desa.
Kuambil sepotong kecil kue dari dalam bungkusan itu untuk mengisi perutku dan kulahap dengan satu gigitan. Seth yang tengah berpikir keras tadi, kini tampak menatap diriku yang sedang memakan camilan itu.
Menyadari tatapan matanya, kuambil potongan kue lain dari dalam bungkusan itu, lalu kugerakkan ke samping secara pelan. Mata bulat Seth tampak mengikuti gerakan tanganku yang sedang memegang kudapan manis itu.
“Makanan manis atau kakak manis. Pilih yang mana, Seth? Ah! Jangan-jangan kau memilih dua-duanya? Dasar anak nakal!”
“Makanan saja sudah cukup...”
“Aww... jawabanmu tidak mengasyikkan.”
Selesai bercanda dengan Seth, aku mendengar suara langkah kaki dari seseorang yang mendekat. Seth yang juga menyadari hal itu kemudian menarik kedua senjata api miliknya, sementara aku meraih dua bilah pisau yang tersimpan di paha kananku.
“Hmph, tadinya aku khawatir karena kau tidak kunjung kembali, tapi lihat apa yang kutemukan. Si kepala wortel sudah dalam keadaan tak bernyawa, sedangkan kau bermesraan dengan musuh di dalam hutan.”
Samara sang pengendali tumbuhan menemukan diriku yang tengah mengakrabkan diri dengan Seth.
-Samara Yesta – 1-
Cathy yang tengah bermesraan bersama Seth tampak terkejut ketika ia melihat diriku. Setelah dirinya bersama Airi bergerak memasuki hutan, formasi kawanan naga yang tengah menyerang desa menjadi kacau balau. Aku yang telah memperkuat pertahanan desa dengan menciptakan dinding pepohonan di sekitar memutuskan untuk menyusul dua orang itu.
Awalnya, kukira mereka berhasil mengalahkan Seth. Namun, apa yang kulihat? Sosok mayat Airi terkulai di tanah dengan luka yang menganga di perutnya, sementara Catherine mengobrol dengan santainya dengan musuh yang menjadi target utama kami.
Tanpa berpikir panjang, kugunakan kemampuan botanokinesis untuk menciptakan sulur tanaman demi menyerang mereka. Sulur sepanjang kurang lebih lima meter itu bergerak bagaikan cambuk, lalu menghantam tanah tempat kedua orang itu semula berdiri. Tsk, gesit juga mereka.
Seth yang melompat mundur untuk menghindar kemudian memperlihatkan kalung yang bercahaya terang. Seekor naga kecil bersayap kemudian terbang mendekat dan membawa dirinya pergi.
“Aku pergi duluan,” ujar Seth, “kau urus dia di sini, sementara aku menyerang desa bersama pasukanku!”
“Ah! Hei! Ingat janjimu baik-baik! Jangan sampai kau salah menyerangnya!” teriak Cathy
“Kesempatan!” teriakku, sambil memunculkan akar pohon yang runcing dari dalam tanah untuk menusuk gadis bermata heterochromia itu.
“Uwah! Hei! Bahaya tahu!” teriak Cathy yang bergerak ke samping untuk menghindari seranganku. Setelah menyiapkan sebilah pisau di masing-masing tangannya, ia melompat kearahku untuk menyerang.
Kuciptakan dinding pertahanan berupa akar dari tanaman yang berada di sekitarku, namun pisau miliknya memotong benda itu dengan mudah. Usai menyingkirkan dinding yang menghalangi kami, gadis itu berputar dan menggunakan kaki kanannya untuk melancarkan tendangan ke arahku.
Tak memiliki waktu yang cukup untuk menghindar, kuangkat kedua tanganku sebagai bentuk pertahanan terakhir. Tendangan darinya cukup kuat hingga membuatku kehilangan keseimbangan dan terdorong ke samping.
Dengan napas yang terengah-engah, kami berdua saling menatap satu sama lain.  Sedikit saja lengah, masing-masing dari kami akan terkena akibatnya. Seth bersama pasukannya saat ini sedang menuju desa, pertarungan ini harus kuselesaikan secepatnya.
Pada waktu yang bersamaan, kami menghentakkan kaki sekuat tenaga ke tanah untuk memulai kembali pertarungan yang tertunda. Menggunakan kedua bilah pisau di masing-masing genggaman tangannya, gadis heterochromia itu melancarkan rentetan serangan berupa tebasan dan tusukan ke arahku.
‘Pisau itu benar-benar merepotkan,’ pikirku.
Sulur tanamanku dapat dengan mudahnya ia potong menggunakan benda itu. Untuk mengalahkannya, tak ada cara lain selain menghentikan gerakan dirinya. Dengan mati-matian, aku mencoba untuk menghindari serangan bertubi-tubi yang ia lancarkan. Hingga akhirnya, pijakan kakiku goyah karena menginjak sebuah batu yang mencuat keluar dari permukaan tanah.
Melihat kesempatan bagi dirinya untuk menyerang, Cathy melompat maju sambil menghunuskan kedua pisaunya pada bagian dada dan perutku. Wajahnya tampak tersenyum sadis saat bilah tajam benda itu merobek pakaian dan menembus permukaan kulit tubuhku.
Akan tetapi, hal inilah yang kuincar...
“Kena kau,” kuulurkan lenganku untuk meraih pundaknya agar ia tak bisa kabur.
“Eh..?”
Empat akar pohon berduri kemudian menyeruak keluar dari permukaan tanah tempat dirinya berdiri, mencoba untuk menusuk tubuhnya yang berada dalam dekapanku.
-Seth Blover – 1-
Setelah meninggalkan Cathy yang tengah bertarung melawan seorang Reverier pengendali tumbuhan, aku kini mulai memasuki medan pertempuran lain. Pasukan naga yang kupanggil telah berhasil melumpuhkan para penjaga desa yang mencoba untuk melawan. Beberapa diantara mereka bahkan telah berhasil menerobos pagar pepohonan yang melindungi desa.
Diantara kerumunan penduduk yang panik, seorang wanita berambut hitam panjang yang mengenakan gaun panjang serta baju baja pelindung tampak memberikan instruksi pada tetua desa untuk segera mengevakuasi warga. Dari informasi yang diceritakan Cathy padaku, kuketahui nama wanita itu adalah Serilda.
Melihat diriku yang berada di dekat gerbang, ia langsung menyadari bahwa aku adalah musuhnya. Dengan gerak pelan ia menarik busurnya sambil membidik diriku sebagai target, lalu melepaskan tembakan.
Menanggapi tantangan darinya, kutarik kedua senjata api yang tersimpan dalam sarung pistol di pinggangku, lalu kutembakkan empat peluru secara berurutan kearah dirinya. Kami berdua sama-sama menyerang sambil bergerak menuju puing-puing bangunan yang telah hancur untuk berlindung dari proyektil yang beterbangan di udara.
Tak lama setelah aku mengambil posisi untuk menembak dari balik reruntuhan, beberapa anak panah terlihat melambung tinggi dan menukik di udara, mengarah padaku. Serilda kini menembakkan anak panahnya sambil menaiki seekor domba.
Gerakannya yang begitu cepat menunjukkan bahwa ia telah terbiasa memanah dari atas tunggangan. Untuk mengimbangi kecepatannya, kugunakan kemampuan memanipulasi massa tubuh untuk meringankan berat badanku.
Menggunakan kemampuan ini menurunkan akurasi seranganku karena tubuh yang ringan tak lagi sanggup menahan gaya dorong pistol saat menembak. Kusarungkan kembali pistol kembar yang berada dalam genggamanku dan kuganti dengan belati militer andalanku.
Serilda yang menunggangi domba kemudian melempar panahnya, dan mengambil sebuah pedang milik seorang penjaga yang telah gugur. Jarak antara kami berdua semakin menipis. Dalam hitungan detik, terdengarlah bunyi dentingan antara belati milikku dengan pedang yang dipegang Serilda.
“Jangan halangi aku, Nona pemanah! Aku harus segera menghancurkan pohon terkutuk itu!”
“Seth! Kenapa kau begitu ingin menghancurkan pohon suci hingga mengorbankan para penduduk desa demi tujuanmu itu?!”
“Suci? Begitukah kesan yang terlihat di matamu?” tanya Seth, “kau tak tahu apa-apa mengenai tumbuhan itu!”
Aku kembali mengayunkan senjataku untuk menyerang Serilda. Ia kemudian menggunakan perisai kulit miliknya untuk menahan seranganku. Serilda yang berhasil menangkis tebasan pisauku membalas dengan ayunan pedangnya, namun serangan itu meleset karena aku menghindarinya dengan cara menunduk. Aku tak ingin mengakuinya, tapi tubuhku yang kecil ini memudahkanku dalam menghindari serangan musuh yang lebih tinggi dariku.
“Aku memang tak mengetahui apa-apa tentang tumbuhan itu, Seth,” Serilda berbicara padaku sambil menuruni tunggangannya, “tapi aku tahu bahwa mengorbankan orang lain demi kepentingan dirimu sendiri itu salah! Kalau kau bersedia menyerah disini, aku takkan melawanmu lebih lanjut! Menyerahlah, Seth!”
“Tidak akan pernah!” aku menolak tawaran Serilda sambil meraih pistolku.
Serilda yang tak sanggup menghindar, mencoba untuk menahan tembakanku dengan menggunakan perisainya. Tembakan beruntun dari pistolku merusak perisai kulit itu dengan mudah. Beberapa peluru bahkan menembus benda itu dan mengenai tubuh Serilda. Ia kemudian jatuh terduduk sambil menahan sakit saat darah mengalir keluar dari luka yang dihasilkan oleh timah panas yang bersarang di dalam tubuhnya.
“Jika pohon suci itu begitu penting hingga orang tuaku harus dikorbankan, maka akan kuhancurkan tumbuhan itu beserta mereka yang melindunginya!”
-Catherine Bloodsworth – 4-
Dengan napas terengah-engah dan luka di sekujur tubuh, aku mencoba untuk tetap berdiri. Di hadapanku, Samara yang telah kutusuk pada bagian dada dan perutnya berjalan dengan santai dengan dua pisau Hexennacht milikku masih bersarang di tubuhnya
“Tak kusangka, kau bisa melepaskan diri dari keadaan seperti itu,” ucap Samara, “sebenarnya berapa banyak pisau yang kau miliki?”
 Setelah ia berhasil menangkapku, kulepaskan dua pisau yang masih menancap di tubuhnya dan segera mengambil pisau lain yang tersembunyi dari balik mantelku. Setelah itu, kupotong kedua tangannya yang mendekap diriku dengan erat untuk meloloskan diri. Telat sedikit, saja maka hidupku akan berakhir.
Tangan kiriku kini lumpuh. Darah berwarna hitam pekat mengucur cukup deras dari luka di sekujur tubuhku. Ugh, pandangan mataku mulai kabur. Kalau penyakitku kambuh sekarang, maka berakhirlah sudah.
Bunyi dentingan logam yang jatuh dapat kudengar dengan jelas dari arah depan. Samara yang terluka cukup parah, kini kembali terlihat bugar. Luka di sekujur tubuhnya hilang tak berbekas. Tak hanya itu, tangannya yang terputus pun kini kembali normal.
“Heh... monster...” tanpa sengaja, kuucapkan kata-kata itu.
“Hmph! Kau sendiri? Melihat warna darahmu yang seperti itu, aku tak yakin bisa menyebut dirimu sebagai manusia!”
Akar-akar berduri kembali mencuat dari dalam tanah dan melesat kearahku. Dengan sisa tenaga yang kumiliki, bahkan menghindari serangan seperti itu saja sudah menyulitkan. Salah satu dari benda itu bahkan berhasil merobek bahu kiriku. Melihat tubuhku yang terluka parah, Samara mendekat dan berdiri di sampingku sambil menyiapkan sulur berduri untuk serangan terakhirnya.
Ahh... hanya sampai sini saja? Padahal, aku telah berhasil menemukan petunjuk mengenai penyakitku ini. Aku ingin segera pulang dan tidur di rumah Angie, tapi sepertinya sudah tidak mungkin ya? Ah, tapi kalau aku berakhir disini... mungkin aku bisa bertemu dengan ibu di sana...? Kenangan manis akan masa lalu terbersit secara cepat dalam pikiranku.
Kenangan manis...
“Heheheh...”
“Hmm?”
“Ahahah... AHAHAHAHAHAHAH!” gelak tawaku terdengar menggema di dalam hutan.
‘Benar juga, belum saatnya aku pergi ke sana. Masih banyak hal yang ingin kulakukan di dunia ini. Bukan begitu, partner?’
Dengan susah payah, kuambil pisau Hexennacht yang berada di paha kananku. Darah yang mengucur kemudian membasahi pisau dengan permata berwarna jingga yang tertanam pada bagian pangkal bilahnya itu.
Malleus Maleficarum, Gula!”
Permata yang tertanam pada pisau Hexennacht Gula milikku bersinar terang dan siluet berbentuk seekor babi dapat terlihat pada bagian tengahnya.
Merasakan ada yang tidak beres, Samara menyerang diriku dengan sulur berduri yang telah ia siapkan. Menggunakan segenap tenaga yang tersisa, kuhindari serangannya dengan berguling ke sebelah kanan untuk mendekat, lalu kutusuk kaki kiri wanita itu menggunakan pisauku.
Samara yang meringis kesakitan kemudian berusaha melepaskan senjataku yang menancap di kaki kirinya. Ia menendang tubuhku dengan kaki satunya, lalu melompat mundur. Saat pijakan kakinya menyentuh tanah, ia sedikit oleng, lalu terjatuh.
            Usai menyerang dirinya, aku mencoba untuk kembali berdiri. Lengan kiriku masih lumpuh, tapi luka lain di sekujur tubuhku mulai membaik.
“Apa... apa yang kau lakukan?!” teriak Samara. Sepertinya ia mulai merasakan keanehan pada tubuhnya.
“Heheheh... hanya ini, kok!” aku menjawab ucapan Samara sambil menancapkan bilah tajam Hexennacht pada pohon yang berada di dekatku. Pohon kayu yang tinggi itu kemudian layu dengan cepat. Batangnya mulai mengering dan daunnya pun berguguran, “Ah... pohon biasa begini tidak memiliki cukup banyak energi, ya?”
Setelah menyadari kekuatan Hexennacht Gula, Samara kembali menyerangku dengan akar-akar pohon dari jarak jauh. Kuhindari serangan itu meski rasa sakit tengah menjalari seluruh tubuhku yang penyakitnya telah kambuh, lalu kutusuk akar itu dengan pisauku.
Energi kehidupan Samara yang ia gunakan untuk mengendalikan akar itu kuserap habis menggunakan belati kesayanganku. Seluruh energi yang kudapatkan itu kemudian kupakai untuk menyembuhkan luka di sekujur tubuh ini.
Samara yang energinya telah kuserap kini tampak kelelahan. Mengingat ia telah menggunakan banyak tenaganya sejak melindungi desa tadi, bisa bertahan selama ini merupakan kehebatan tersendiri.
“Belum cukup...” aku mendekati wanita berpakaian serba hitam itu sambil berjalan terhuyung-huyung, “aku masih membutuhkan lebih banyak energi...”
“Khh... jangan mendekat!” Samara kembali menyerangku dengan tumbuhan miliknya.
Kutusukkan senjataku pada tiap sulur dan akar tanaman yang ia gunakan untuk menyerang diriku. Ya, teruslah gunakan tumbuhanmu itu. Akan kuserap energimu sedikit demi sedikit hingga kau mati lemas!
Merasa tak ada jalan keluar, Samara menggunakan seluruh kekuatannya untuk menciptakan akar pohon berduri dengan lebar seukuran mobil. Melihat hal itu, kugunakan energi yang tersisa pada Hexennacht untuk memulihkan tenagaku.
Akar pohon raksasa itu melaju, mencoba untuk melumatku dengan berat dan ukurannya. Dengan tenagaku yang telah dipulihkan, kuhindari serangan itu dengan cara melompat dan berguling. Samara yang telah menggunakan seluruh kekuatannya kini memiliki banyak celah untuk bisa kuserang.
Kulempar Hexennacht Gula pada dirinya, dan kuambil pisau lain yang terdapat di balik mantelku. Pisau yang kulempar menancap tepat di ulu hatinya. Samara yang telah kehabisan tenaga tak bisa berbuat banyak saat aku melompat kearah dirinya, lalu kutusuk jantungnya dengan pisau lain yang berada dalam genggaman tanganku.
“Ah...” ucapnya pelan.
Wanita bermata hijau itu kemudian ambruk setelah Hexennacht Gula menyerap sisa energi yang terdapat di tubuhnya. Merasa keadaan mulai aman, aku berjalan mendekat dan kucabut pisau itu untuk memulihkan diriku menggunakan energi yang tersisa.
Hmm... aku tak ingin menyia-nyiakan tubuhnya, tapi tak ada waktu untuk mengambil organ dalam miliknya. Seth sekarang sedang bertarung mengambil alih desa, lebih baik aku segera menyusulnya.
Usai memulihkan diri, aku menenggak kapsul obat dari botol kecil yang selalu kubawa di balik mantelku, lalu kembali menuju desa Bentala Vayu yang telah porak poranda akibat serangan Seth dan pasukan naganya.
-Lilia Fiennes – 3-
Usai mengevakuasi penduduk, aku kembali menuju desa untuk membantu Serilda bertarung. Akan tetapi, hal yang tak kuinginkan telah terjadi. Serilda tampak berlutut dengan air mata bercucuran membasahi pipinya. Gaun yang ia kenakan telah bersimbah darah dari luka di sekujur tubuhnya.
Di hadapannya, Seth yang juga terluka dengan beberapa anak panah menancap di tubuhnya tengah menodongkan senjata api andalannya pada dahi Serilda. Aku berlari sekuat tenaga, mencoba untuk menolongnya, namun terlambat. Bunyi letusan terdengar menggema ketika peluru yang dimuntahkan oleh benda itu menembus kepala Serilda.
“Ah... AHHHHHHHHHH!!”
Merasakan amarah menumpuk di dalam diriku, kuambil Grimoire yang berada di dalam tasku, lalu menyerang Seth dengan semburan api. Seth yang terlambat menghindar mendapatkan luka bakar pada lengan kanannya. Menyadari keberadaanku, ia mencoba untuk menyerang dengan menembakkan pistolnya, namun dapat kulihat ekspresi bimbang memenuhi wajahnya.
“Kau... kau juga telah dipengaruhi oleh tetua...?”
Tak mempedulikan ucapannya, aku kembali menyerang Seth dengan menciptakan semburan api. Seth yang tampak kesal kemudian menghindar ke samping dan menembak diriku dekan pistolnya. Sebuah peluru menembus bahu kananku hingga mengucurkan darah.
“Gghhh! Kenapa... kenapa kau melakukan ini semua?! Jawab, Seth!”
“Seharusnya aku yang bertanya! Kenapa kau percaya saja pada tetua desa?!” Seth membalas ucapanku dengan teriakannya, “Demi melindungi pohon itu, ia menjualku pada kerajaan! Orang tuaku yang menolak keputusan itu dikorbankan! Semua hanya demi melindungi pohon suci itu!”
“Tidak berarti kau harus membunuh warga desa lainnya, Seth! Tak bisakah kau menggunakan cara baik-baik?!”
“Hah! Kuberitahu satu hal saja! Pohon itu telah menumpuk ratusan nyawa di dalamnya!” bentak Seth, “Setiap tahun, ritual pengorbanan selalu dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh tetua desa! Hal itu dilakukan agar di desa ini terlahir seorang anak dengan kemampuan spesial yang kemudian akan dijual pada kerajaan! Pada malam ketika aku diculik oleh tentara kerajaan, kedua orang tuaku dibunuh dan dijadikan persembahan untuk pohon ini!”
Mendengar ucapan Seth, aku terkejut bukan main. Aku pernah membacanya pada salah satu buku di perpustakaan. Mengenai ritual pengorbanan dimana makhluk hidup dikorbankan demi kekuatan. Tak kusangka, ternyata desa ini melakukan ritual yang sama.
“Sekarang kau mengerti, kan? Cepat minggir!”
“Aku menolak....”
“Kau... bahkan setelah mengetahui hal itu, kau masih menghalangiku?!”
“Aku... aku tidak bisa percaya begitu saja! kita harus mendiskusikan hal ini baik-baik bersama tetua desa!”
“Diskusi kau bilang? Kau pikir sudah berapa kali aku mencoba melakukannya? Sudah berulang kali aku mencoba untuk berbicara empat mata dengan tetua, tapi lihat! Aku malah dicap sebagai peneror yang mencoba untuk menghancurkan desa! Karena itu, aku bergerak sesuai keinginannya. Akan kuhancurkan desa ini beserta seluruh penduduknya!”
“Tapi...”
“Minggir, atau kutembak kau...!”
“Seth,”
Suara yang kukenali dapat terdengar dari dari balik puing-puing bangunan tak jauh di sampingku. Kak Cathy berjalan mendekat dengan tubuh yang terluka. Bagus! Kalau kak Cathy ada disini, kami bisa menangkap Seth dan...”
“Seingatku, aku sudah bilang untuk tidak melukai Lilia”
“Eh...?”
“Tapi dia menghalangiku! Lihat, luka ini bahkan kuterima akibat serangan dari dirinya!”
“Kakak tidak peduli,”
“Ta... tapi...”
“Seth,” nada bicara Kak Cathy terdengar serius, “nanti kakak marah, lho?”
Selesai mengucapkan kata-kata itu, rasa takut yang tak terbayangkan meliputi diri kami. Hawa pembunuh yang begitu kuat dan menyesakkan, seolah-olah udara menjadi berat. Aku bahkan tak bisa menggerakan tubuhku. Perasaan yang mengerikan ini terpancar dari satu orang wanita yang tengah berjalan mendekati diriku, kak Cathy.
“Hmm... maaf ya, Lilia. Gara-gara ulah Seth kau jadi terluka, seharusnya aku mengontrolnya dengan baik,”
“Ja... jangan mendekat!” Secara refleks, kupukul lengan kanannya yang memegang wajahku.
Mendapati perlakuanku, kak Cathy mundur secara perlahan. Dari kejauhan, pemandangan berupa pohon suci yang tengah terbakar membuat langit malam di kejauhan menjadi tampak terang.
“Mmhhh... akhirnya malam yang panjang ini selesai,”
Hawa pembunuh yang memancar dari kak Cathy menghilang dalam sekejap. Masih merasa panik, aku dan Seth jatuh terduduk di tempat. Dari kejauhan, dapat kulihat domba-domba kami berdatangan. Kak Cathy kemudian menaiki domba miliknya dan berjalan mendekatiku.
“Ah, aku mau pulang dan istirahat. Sampai jumpa lain kali, Lilia,” ucapnya dengan riang, “Oh, dan jangan lupa. Aku menunggu informasi lain tentang miasma darimu. Mungkin kau sudah tahu, tapi tolong tepati janjimu atau kau tahu sendiri apa yang terjadi. Heeheehee...”
Mendengar perkataan dirinya, aku hanya bisa diam terduduk, berharap semoga mimpi ini berakhir.

14 komentar:

  1. Shiiiieeeettt. Plot twistnya gila, gak sampai kepikiran. Narasi sudah mengalir lancar, aku suka adem ayem interaksi Cathy sama Lilia.

    Yang aku masalahkan di sini terkadang narasi menjadi terlalu tell pada beberapa adegan, sehingga penggambaran intensitas kurang.

    Hail Seth! Nilai 9~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
  2. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : B
    Reading enjoyment : B

    Entri ini lumayan oke, tapi ada beberapa poin yang bikin saya kepikiran

    Pertama, meski multiple pov1, tapi setiap karakter yang jadi fokus ga gitu kerasa bedanya. Padahal lumayan potensial buat nunjukin karakter masing" dengan narasi yang notabene pandangan atau pola pikir mereka. Plus, di beberapa bagian agak terlalu tell

    Kedua, awalnya saya seneng nemu entri pertama di mana keliatannya semua entran ada di kubu yang sama, tapi terus Cathy malah membelot. Entahlah, buat saya motivasinya kurang jelas, dan rasa"nya lebih cepet konflik ini selesai kalo Cathy bunuh Seth di pertemuan pertama mereka alih" gabung sama dia

    ==Final score: B (8)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  3. Yahalooo kagero disini...

    awal2 baca.. seneng banget sama POV yang ganti2 but somehow.. err slain cathrine sama Lilia sendiri rasanya plain..

    datang... battle... mati..

    dan pas ending...

    saya cuma bisa "Loh kok udah selesai?" resolusinya terlalu err gimana yah..

    disini Kagero kasih.. 8
    Well done :3

    TTD
    kagero yuuka
    (Airi Einzworth)

    BalasHapus
  4. Hmm.. Walau tiap karakter diperankan tiap sudut pandangnya, sifat yang paling menonjol di sini hanya sifat Catherine yang menonjol.

    Tapi sebenernya ane tertarik dengan sifat cwe psikopat ini.
    ---------------
    Rate: 7
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
  5. Whoa, POV satunya menarik. Dari awal2 baca, cara penulis menyajikan sudut pandang tokoh utama ini bikin hooked. Aku suka terutama setiap inner-tought nya nongol juga sebagai narasi, relatable dan karakternya dapet.

    Dan aku suka peralihan POV-nya, asik. Karakterisasinya lebih berasa, meski jatah selain Cathy terasa agak kurang luwes dibanding Cathy sendiri. Tapi yg aku agak aneh, Serilda seolah dapat jatah hanya untuk menjelaskan dunia setting. Samara juga agak kaku, jadi aku kurang suka. Begitu masuk Part Seth, i’m screaming inside. Kaget juga ternyata Seth kebagian jatah XD tapi seketika kecewa, sama kayak Serilda dan Samara, Seth kurang luwes dibawainnya. Kayak narasi biasa kurasa. Apalagi narasi tidak terasa didominasi oleh POV Cath, ga berasa MC jadinya...

    Di luar Lilia dan Cathy, gaya narasi antar karakter tidak terlalu jelas perbedaannya. Akan sangat lebih enak dibaca seandainya antar OC ditekankan beda cara pemikirannya.

    “Hail Seth,” GOD DAMMIT wkwkwk ini menghibur banget, part ini ngagetin sekaligus bikin ketawa. Captain America’s ‘Hail Hydra’ reference yah? XD Plottwist nya mayan kena, tapi ya udah ini aja yang bisa dinikmati.

    Itu Serilda kenapa tiba2 lempar panah? .__.

    Pertarungan Cathy dan Samara agak terasa ganjil, entah kenapa. Aku ga terlalu bisa menikmati. Mungkin ini masalah selera, tapi susah untuk diabaikan. Ending itu apalagi. aku agak2 ga suka soalnya antiklimatik. Like, “Udah nih gitu aja?” Abis tarung yang aku gak gitu suka, lalu kasih tahu alasan Seth menyerang, tau2 Cathy datang dan beres ceritanya.

    Yg bisa dinikmati di mataku hanya ketika narasi masuk POV Cathy waktu lagi gak adegan tarung dan ketika ada plottwist itu, yang mana bahkan berasa minoritas di cerita ini (padahal MCnya Cathy).

    Therefore, 7/10

    ~Pencipta Kaleng Ajaib

    BalasHapus
  6. Sebenernya kekuatan entri ini ada pada multi-POV-nya, membuat semua karakter tergambar dengan baik. Tapi minusnya, bikin pembaca hampir sulit untuk fokus ke protagonisnya, karena hampir semua karakter dapet POV. Beda dengan adegan awal yg emang jelas fokus ke si Cathy.

    Tapi selebihnya, cerita ini unik, hal yg ditawarkan entri ini adalah twist yg menurut sy sukses membuat pembaca excited/intrigued, dan itu point plusnya.

    NILAI: 8
    (Martha)

    BalasHapus
  7. Halo, ini pertama kalinya saya baca entri Catherine B.

    Begitu selesai baca, kira-kira ... reaksi saya itu: "udah?" Yah, sesuai kata authornya Airi. Saya kurang ngeh apa yang terjadi. Entah karena sempet skim atau apa. Tau" dombanya udah pada bermunculan.

    Terus masalah PoV1 yang adil merata. Yah, sesuai kata suhu-suhu di atas juga, kurang keliatan bedanya. Paling Cathy sama Lilia aja. Perpindahannya pun kurang mulus. Semacam lagi enak" nonton film, tau" berenti. Kalo saya liat sih entri lain sebelum pindah PoV, mereka kayak ngasih kalimat yang bikin kalimat-kalimat yang bikin penasaran gitu. Tapi di sini kayak langsung motong di bagian yang kurang enak.

    Titip 8.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  8. Halo eneng Keterin, dis is Mbah Amut sepiking.

    Lakon eneng leh uga.

    Mbah seneng ada dinamika antara eneng Keterin dengan Lilia yang menurut mbah bisa dinikmati. Secara keseluruhan perlakonan dan penjiwaannya sudah oke.

    Cuma mbah rasanya aneh aja. Pembelotan neng Keterin ini rasanya kayak terlalu terburu-buru dan kurang sreg aja ama keseluruhan lakon. Mbah rasa motif ama cara eneng membelot bisa dipercantik lagi, padahal. Mbah rasa juga eneng Keterin ini semacam lic--cerdik, jadi harusnya bisa main lebih cantik lagi dong.

    Nilai akhir dari mbah 8 deh.

    TTD

    Mbah Amut.

    BalasHapus
  9. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Baik = 1,5
    Enjoy : Baik = 1,5
    EYD : Sangat Baik = 2
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 1,5 + 1,5 + 2 + 2 = 9

    Nilai berkurang di plot dan enjoy
    sebenernya plot sudah bagus dengan twist yang WOW, hanya saja pas ending "Eh udah beres?"
    terus perpindahan antar Pov 1 kok terkesan sama semua

    NewbieDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
  10. Hmm... Multiple POV dan ditangani dengan bagus, sehingga sifat para OC terasa tanpa kehilangan alur cerita. Bisa saya jadikan referensi buat ke depan. Banyak yang sudah dikomen pembaca lain, jadi langsung saja kasih nilai.

    Nilai : 9
    OC : Nora

    BalasHapus
  11. Twist ok
    Multiple pov membuatnya jadi lbh unik.
    Semuanya sudah pas lah tapi di bagian terakhir itu, terasa buru2 mau di endingkan sampai adegan last battle lsg kena skip. Poin itu yg terasa ganjil.

    Rasanya agak SKSD datang2 lsg main kakak kakak aja.

    8
    Samara Yesta~

    BalasHapus
  12. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  13. Pov1 yang merata disini sangatlah ide yang baik, dengan ini karakterisasi oc lain serta situasi tempurnya bisa keliatan dan tergambar jelas.

    Lalu datang plot yang bikin saya kaya: "SSSSSSSSHIT!" , mulai dari situ saya mulai kebawa suasana melupakan segala kekurangan entri ini. Termasuk ending yang menurut saya kurang jelas sih hehe

    Nilai 8

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  14. "Hail seth." - Catherine America

    Awalnya baca komen di babagan 'Apresiasi terkini', ada twist. Dan ya, kuakui oke punya. Kaget juga(?)

    Dan, entah kenapa pendapat saya agak bertentangan dari matoritas, kayaknya sifat, tujuan, dan latar belakang Cathy sepertinya harus digali lebih dalam lagi. Penasaran(?)

    8/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.