Kamis, 04 Agustus 2016

[ROUND 1 - 11K] 37 - SERILDA ARTEMIA | KALA ANGIN DAN API BERADU

oleh : Naurah Deatrisya G.
---  

Kala Api dan Angin Beradu
Awal yang Baru
            Serilda melihat sekelilingnya. Ia berada di ruang takhta dengan Griselda berada di sampingnya. Ia juga dapat melihat Amalthea, domba yang ia namai secara agak asal, sedang tersenyum iseng karena ia telah menjungkalkan Serilda untuk mengantarnya ke Museum Semseta. 
            "Yang Mulia, tidak kenapa-napa 'kan?" tanya Griselda.
            "Gri, aku masih waras 'kan?"  
            "Eh?"
            "Tidak, tidak. Aku baik-baik saja. Lupakan kalimatku sebelumnya Hei, badanmu sudah tidak sakit lagi?"
            "Terdengar aneh mungkin, tapi saat aku sadar semua rasa sakit itu seolah terangkat dan ruangan ini kembali rapi. Aku juga melihat domba itu dan, ini yang paling aneh, tidak ada yang masuk ke ruangan ini atau menyadari ada yang aneh."
            "Ngomong-ngomong, domba itu kunamai Amalthea. Tadi aku juga mengalami pengalaman aneh tapi nanti saja aku ceritakan."
            "Sebentar, kenapa ada sepucuk surat di sana?"
            Kedua gadis itu segera mengambil sebuah gulungan kertas yang muncul entah dari mana. Setahu mereka tidak ada dayang, atau siapapun, yang masuk ke sana selama mereka berbicara. Meski begitu, mereka tetap memutuskan untuk membaca surat dari antah berantah tersebut.

Kamu akan dikirim ke  Bentala Vayu, sebuah desa di mana angin selalu berhembus.
Manusia dan manusia setengah burung hidup berdampingan selama ratusan tahun.
Namun seorang pemuda kembali ke desanya untuk membinasakan seluruh penghuninya.
Seth akan datang membawa pasukan naganya dan tidak akab berbelas kasihan.

Aturan:
1.    Tujuan kamu adalah untuk menang dan definisi menang tergantung pemikiranmu.
2.    Akan ada 4 reverier lain yang ada di Bentala Vayu bersamamu.
3.    Mereka bisa menjadi kawan maupun lawanmu tergantung tindakanmu.
4.   Kamu diizinkan untuk membawa pendamping dan mempersiapkan diri.
5.    Jika kualitas karyamu rendah, bersiaplah menghadapi akhir yang buruk. 
6.   Rawat dombamu karena nantinya dombamu akan sangat berguna dalam bertarung.
            "Apa maksud dari surat ini?" 
            "Kau akan tahu sendiri nanti, Gri. Sekarang aku mau membersihkan badanku dulu dan mempersiapkan segala keperluan. Ada baiknya kita memakai baju berbahan wol karena desa yang ada di dalam surat ini dikenal berangin."
            "Baik, Yang Mulia."
            "Tambahan, jangan panggil aku seperti sedang di istana. Panggil saja dengan sebutan kamu ataupun pakai namaku. Mengerti?"
            "Baik."  
            "Nah, begitu. Kamu tidak ganti baju?"
***
            Serilda segera pergi ke kamarnya dan membersihkan diri dengan mandi secepat kilat. Sedikit ia bersihkan zirahnya dari bercak darah yang mungkin terlihat dan ia memilih pakaian yang akan ia pakai. Akhirnya ia memilih sebuah gaun wol sederhana yang, katanya, sangat ampuh menahan dingin. Musim dingin di Khilyra memang tidak terlalu ekstrem seperti di daerah pegunungan di utara.
            Gaun wol itu ia pakai di atas zirahnya untuk mempermudah berbaur dengan orang-orang di sana dan lapisan gaun di bawah zirah juga dapat memberikan kehangatan tambahan. Lagipula siapa yang mau percaya jika ada orang berpakaian aneh dan membawa senjata datang ke permukiman mereka dan bilang kalau bahaya mengintai?
            Tidak lupa ia menyampirkan busur dan tabung anak panahnya dan memakai gelangnya. Setidaknya untuk panah ia masih bisa beralasan kalau ia sedang berburu dan tersesat ke sana untuk mencari pemilik domba. Mengantisipasi iklim di sana lebih dingin dari perkiraan, ia juga memakai tudung wol yang lumayan tebal. Untuk perisai, sepertinya ia harus meminta Griselda untuk menciutkan perisai itu karena termasuk atribut yang paling mudah terlihat dan mencurigakan.
            Sepertinya sudah cukup hangat untuk pergi ke tempat yang berangin dan, mungkin, dingin.
            Ia mengambil belati kesayangannya dan meletakkannya di atas lengan kiri bawahnya dengan posisi seperti akan menikam dirinya sendiri. Tidak, ia bukan mau bunuh diri. Ujung belati itu mulai menghilang, terserap ke dalam tubuh gadis itu. Pada akhirnya seluruh belati telah masuk ke dalam tubuhnya dan siap dikeluarkan dalam keadaan mendesak, serta membuatnya tidak dicurigai sebagai pembunuh bayaran karena membawa belati setajam itu.
            Setiap pewaris takhta memang mewarisi Belati Selene ataupun Pedang Helianis. Jika ia memiliki salah satu pusaka maka saudaranya akan memiliki pusaka yang satunya. Pusaka hanya dapat diserap oleh pemilik asli pusaka tersebut kecuali jika yang bersangkutan telah meninggal.
            Serilda sendiri sering mencoba untuk menyerap Pedang Helianis, namun tidak bisa. Memang sebuah fakta kalau pedang itu ada pada dirinya namun selama adiknya masih hidup maka Serilda tidak dapat menyerap pedang itu. Toh Griselda juga menjaga pedang pusaka itu dengan baik.    
            "Yang Mulia sudah siap?" tanya Griselda yang masuk tiba-tiba.
            "Sudah, kok. Sebentar, kamu sudah menyiapkan bekal?" jawab Serilda.
            "Roti gandum dan sedikit daging burung hasil buruan serta 2 kantong kulit berisi air harusnya cukup, sih…."
            "Yap, itu sudah cukup dan, ngomong-ngomong, di mana Amalthea dan bisa kecilkan perisaiku?"
            "Untuk Amalthea tadi sudah kulepas di taman. Semoga saja taman istana tidak gundul saat kita datangi. Untuk perisai, mazevo!"
            "Terima kasih, Gri. Sepertinya cukup aku jadikan hiasan di ikatan jubah.  Sekarang, ayo ke taman istana. Amalthea bisa kesepian jika kita tinggal selama ini."
***
            Kedua gadis itu berjalan beriringan di lorong istana dengan cepat. Tidak ada bekas-bekas pertempuan sama sekali. Para dayang juga melakukan tugas mereka seperti biasa tanpa ada ketakutan di mata mereka. Serilda dan Griselda tahu kalau ada yang aneh.    
            "Yang Mulia, kami menemukan seekor domba di taman. Apa yang harus kami lakukan?" tanya seorang dayang yang datang dari arah taman.
            "Bawa saja ke istal. Nanti aku susul. Jika kamu bingung itu domba siapa, itu dombaku," jawab Serilda tanpa memedulikan tatapan heran si dayang.
            "Ba-baik, Yang Mulia."
            "Dan, tambahan, aku dan Griselda akan melakukan perjalanan jadi tolong beritahu anggota parlemen dan Dewan Penasihat kalau untuk sekarang hingga aku kembali tidak ada rapat. Mengerti?"
            "Baik, Yang Mulia."
            Sesampainya di istal, beberapa dayang membawa Amalthea yang memasang tampang tidak berdosa. Dilihat dari tampang para dayang, sepertinya Amalthea telah memakan setiap semak yang ia lihat dan kabur saat dikejar. Serilda sendiri sudah pasrah dengan keisengan Amalthea yang sudah ia rasakan saat pergi ke Museum Semesta. Sabar adalah hal yang wajib dimiliki seseorang jika merawat Amalthea.
            Kalau bukan karena kamu ini milik si Kepala Bantal, tadi aku sudah minta kamu disembelih dan dagingnya aku bagikan ke para penduduk tahu!
            "Sekarang kalian bisa pergi," titah Serilda, "dan, Gri, tolong ambilkan sadel di sana."
            "Ini. Untuk apa? Dipasang di domba ini?" tanya Griselda.
            "Kau kira untuk apa?!"
            "Baik… nah, sudah selesai. Bekal makanan bisa aku yang bawa dan kita berdua bisa duduk di sadel."
            "Seharusnya sadelnya cukup untuk kita berdua, sih, jadi ayo naik!"
            Saat Amalthea mengembik, sebuah portal muncul lagi. Amalthea berjalan beberapa langkah ke belakang dan memasang posisi siap. Dengan cepat domba itu berlari melintasi tanah berlapis jerami dan melompat ke dalam portal yang mengambang itu. Serilda dan Griselda hanya dapat berpegangan erat dan memejamkan mata karena ngeri mereka bakal terjungkal.

Desa Berangin
            "Sudah sampai 'kan?"
            "Seharusnya sih begitu, Yang Mulia."
            "Sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan itu di luar istana. Mengerti?"
            "Baik."
            Mereka membuka mata dan melihat sekeliling. Sebuah desa kecil indah di lembah. Dari kejauhan terlihat sosok-sosok manusia bersayap dan berparuh terbang dan mendarat serta para manusia melakukan aktivitas masing-masing. Namun dingin yang menusuk mengingatkan dua gadis itu kalau mereka ada di sana bukan untuk berdiri dan diam.
            "Hei, langit mulai menggelap dan aku bisa melihat kabut mulai turun di seberang. Kita harus mencari tempat bermalam di desa itu. Ayo cepat nanti aku yang akan bicara soal kedatangan kita."
            "Amalthea bagaimana?"
            "Kita bawa. Nanti aku bilang kalau Amalthea itu domba yang hilang dan kita sedang mencari pemiliknya. Cepatlah, Gri. Jangan lamban seperti siput di taman istana."
            Dengan menuruni jalan setapak terjal dan berpegangan pada akar-akar pohon mereka menuruni sisi lembah itu.. Angin yang kencang dan kabut membuat mereka lebih berhati-hati. Benar-benar tidak lucu jika mereka mati konyol di tempat asing. 
            "Nah, sudah sampai. Ayo, Gri!"
            "Amalthea-"
            "Mbeeek~ (I believe I can fly~)"
            Domba betina itu melompat dari atas jalan setapak seperti ia bisa terbang dan melayang sejenak, karena angin yang kuat, sebelum gravitasi dengan senang hati mengkhianati domba itu. Domba itu mengembik panjang saat tubuhnya jatuh dengan cepat hingga meniban gadis berambut kelabu di bawahnya namun abstraksi bekerja dan mengubah domba itu menjadi awan-awan putih dan kembali seperti semula di punggung Griselda.
            "Aduh! Amalthea, badanmu berat!"
            "Ya ampun! Amalthea, lebih hati-hati ya kalau menuruni bukit. Jangan main lompat. Kasihan Griselda tertiban badanmu. Ayo!" 
            Mereka agak terlambat. Matahari sudah terbenam dan kabut yang semakin tebal membuat jarak pandang semakin berkurang. Angin juga semakin lama semakin dingin. Cahaya lentera-lentera di kejauhan yang memandu mereka sampai ke gerbang desa kecil berangin itu.
            "Hei, kalian yang ada di sana! Perlu tempat menginap?" tanya seorang gadis.

Bermalam
            "Silakan masuk."
            "Terima kasih, Nona. Gri, ikatkan dombanya di depan biar aku yang berbenah di dalam."
            "Ah, kalian membawa domba, ya? Nona, biar aku yang tunjukan arah ke kandang untuk dombamu."
            "Terima kasih tapi tolong panggil aku Griselda saja."
            "Baik, Griselda. Lewat sini…."
             Serilda segera masuk ke dalam rumah mungil itu. Di dalam hanya ada satu lentera mungil di tengah ruangan dan beberapa alas untuk tidur di atas lantai berlapis jerami. Di tengah ruangan ada sebuah undakan tanah rata berlapis kulit hewan yang, sepertinya, digunakan sebagai meja dengan beberapa gerabah untuk peralatan makan. Untuk ventilasi, terdapat lubang-lubang di dinding batu
            "Serilda, kamu di dalam?"
            "Masuk saja, Gri."
            Griselda segera masuk dan menutup pintu. Setelah melewati tumpukan jerami empuk, ia meletakkan buntalan bekal di atas "meja" dan menuangkan air ke gelas. Serilda mengambil daging buruan dan roti gandum bagiannya dan mengisi perutnya yang agak kosong.
            "Hei, Gri. Tadi mereka tidak menanyakan kenapa kita memasang sadel di punggung Amalthea?"
            "Tadi gadis itu, Joanne, menanyakan soal itu dan aku hanya bilang kalau domba itu memang memakai sadel saat kita menemukannya di hutan."
            "Gadis itu percaya?"
            "Iya. Ngomong-ngomong, untuk besok pagi, katanya, kita bisa makan di dapur umum desa ini dan aku diberi peta desa ini oleh Joanne. Mungkin nanti akan berguna."
            "Kalau sudah selesai makan, sisa makanannya dimasukkan ke dalam buntalan bekal saja agar tidak usah mencuci piring."
            "Baik."
            "Ngomong-ngomong, kamu pernah cerita kalau kedua orangtuamu telah meninggal dan kamu tidak pernah menceritakan hal itu secara rinci. Apa yang membunuh mereka?"
            "Kasih sayang yang membunuh mereka. Ngomong-ngomong, apa Anda tidak mengantuk?"
            "Eh? Ya, aku merasa agak mengantuk. Kamu?"
            "Sangat mengantuk. Ada baiknya kita langsung berbenah dan tidur."
            "Ayo."
            "Perlu kumatikan lenteranya?"
            "Tidak usah, Gri."
***
            Dorongan alamiyah untuk buang air membuat Serilda harus ke kamar kecil yang memang berada di luar rumah. Dengan hati-hati ia mengambil peta desa yang ada di dekat Griselda agar dayang kesayangannya itu tidak terganggu tidurnya. Dengan segera ia keluar dan berlari secepat-cepatnya.
            Ah, lega. Ada air bersih juga. Sistem desa ini bagus juga untuk dipakai di Khilyra.
            Sebelum Serilda bisa keluar dari bilik itu rerumputan bergemerisik seperti ada yang melewati. Insting bertahannya aktif dan membuatnya duduk di lantai bilik, menutup pintu bilik dan menahannya dengan tungkai jenjangnya. Dengan hati-hati ia mengeluarkan Belati Selene dari tubuhnya dan memperbesar lubang di pintu bilik.
            Jangan buat suara. Jangan buat mereka menyadari kamu ada di sini jika kamu mau kembali dalam keadaan hidup. Ingat itu, Serilda. Ingat itu.
            Seorang wanita seumuran Griselda datang bersama seorang pria. Rambutnya hitam seperti Serilda namun warna matanya berbeda, berkulit agak pucat, dan memakai mantel berwarna kelabu yang tidak dikancing. Di tangannya terdapat beberapa pisau dengan permata-permata berbeda sebagai penanda yang siap ditikamkan.  
            Aih, kenapa tadi aku lupa membawa busur dan panah-panahku? Firasatku mengatakan kalau akan ada pembunuhan di sini. Aura pembunuh si Rambut Hitam kuat sekali.
            Si Rambut Hitam, sesuai julukan yang Serilda berikan, dan pria itu mendekati satu sama lain. Nafsu si pria terlihat dari tatapan liarnya namun si Rambut Hitam menatapnya sambil menyiapkan pisaunya. Si Rambut Hitam menatap mata kiri si pria yang berwarna biru safir dan tersenyum sebelum melesakkan salah satu pisaunya ke rongga mata si pria.
            "Argh!"
            Tidak berhenti di situ, ia membuat sayatan di perut pria itu seperti memotong kertas dengan silet. Pria itu tumbang dan si Rambut Hitam tidak memedulikan isi perut yang keluar dan mulai memotong organ-organ yang ia inginkan. Serilda ingin muntah tapi ia tidak bisa bergerak karena keberadaan si Rambut Hitam membuatnya ngeri.
            Seorang laki-laki mendatangi si Rambut Hitam. Posturnya seperti remaja namun lagaknya terlihat lebih dewasa, kecuali bagian ia mengulum sesuatu saat si Rambut Hitam bicara. Yang menonjol adalah warna rambutnya yang hijau seperti rumput.
            Aneh. Kenapa aku ada firasat kalau si Kepala Rumput itu Seth yang ada di surat tadi? Untuk sekarang jangan bergerak sampai si Kepala Rumput dan Rambut Hitam pergi.
            Si Kepala Rumput, lagi-lagi hanya julukan dari Serilda untuk mengidentifikasi lelaki itu, mendatangi si Rambut Hitam dan mengajaknya berbincang. Walau badannya masih berbalur darah, si Rambut Hitam menanggapi dan mereka segera pergi.
            Serilda memungut belatinya dan bersiap keluar namun suara logam beradu dengan batu cukup keras untuk menarik perhatian si Rambut Hitam. Serilda menyadari kalau ia tidak bisa terus menghindar saat si Rambut Hitam semakin dekat dengan bilik berdinding batu itu.
            Lawan atau mati, Serilda. Kamu bisa melawannya. Tanpa panah kamu bisa. Anggap saja dia beruang raksasa seperti saat di pegunungan. Kamu bisa menggunakan belatimu, Serilda. Kamu bisa.
            Jantung Serilda berdebar dan dadanya kembang kempis karena takut. Belatinya sudah siap ia gunakan namun lengannya gemetar. Saat pintu kayu reyot itu terbuka, Serilda bersembunyi di balik pintu itu dan membiarkan si Rambut Hitam masuk.
            "Halo~ perkenalkan, namaku Catherine. Kau juga boleh memanggilku Cathy jika mau."
            "Eh, iya. Namaku Serilda, Serilda Artemia. Kau bisa memanggilku Serilda jika mau… ah, aku ada urusan dulu. Sampai bertemu nanti…."
            "Hei, jangan pergi dulu. Temani aku!"
            Satu…, dua…, tiga….
            "Maaf!"
            Dengan gesit, Serilda menghantamkan pegangan belatinya ke tulang pipi Cathy sambil melompat ke arah pintu dan berlari secepat mungkin. Cathy mengikuti di belakang dan melempar salah satu pisaunya ke arah Serilda. Permata ungu di gagang pisau terlihat di sudut mata Serilda saat nyaris mengenainya.
            Nyaris.
            Pisau itu memantul saat menyentuh tanah dan kembali mengarah ke arah Serilda namun, dengan satu elakan, ajalnya tertunda namun betisnya terluka lumayan dalam. Meskipun salah satu kakinya pincang, Serilda terus berlari tanpa peduli apakah pisau itu akan mengenai dirinya atau tidak.
            Cathy nyaris melemparkan pisau lain namun penyakitnya kambuh. Penyakit yang disebabkan oleh kabut beracun di tempat asalnya menghitamkan skleranya dan rasa sakit mulai menjalar dari perut kanannya membuatnya terduduk dan merogoh kantung mantelnya. Walau merasa agak bersalah, Serilda terus berlari dan masuk ke dalam "rumahnya". Ia menyadari kalau betisnya sudah sembuh dan segera tidur secepat mungkin.  
            Ibu, aku takut.

Perpustakaan Bentala Vayu
            Gadis berambut abu itu harus berhadapan dengan kantuk luar biasa majikannya. Gadis berambut hitam itu hanya mengerjap-ngerjap dan menggeliat di atas alas tidurnya karena sangat mengantuk. Memang salahnya sendiri tadi malam tidur terlalu larut namun matahari sudah meninggi dan mereka belum membersihkan diri.
            "Serilda, bangunlah! Ayolah, Nona! Anda tidak bisa terus menerus menggeliat di alas tidur seperti ulat."
            "Iya, Gri, iya. Kita harus sarapan 'kan? Ayo ke dapur umum."   
            "Iya, Nona."
            "Gri, masih ingat apa yang aku bilang saat di istana?"
            "Eh, iya. Maaf, Serilda, tadi aku salah omong."
            "Ya, sudah. Jangan sampai lupa lagi. Ayo berbenah sedikit setelah itu ke dapur umum."          
            Setelah sedikit merapikan pakaian dan menggunakan sedikit air minum untuk membersihkan dan menyegarkan wajah. Senjata-senjata dan baju zirah Serilda diletakkan di dalam agar tidak dicurigai oleh para penduduk dan pintunya diberi segel sihir oleh Griselda agar tidak ada barang yang hilang.
***
            Dua orang gadis duduk di dipan dapur umum itu sambil menikmati sarapan mereka. Biarpun hanya bubur gandum sedalam satu ruas jari dan  sedikit daging ikan dari sungai, yang katanya bisa terbang, mereka merasa cukup kenyang. Mungkin gandum Bentala Vayu telah beradaptasi dan menyimpan jauh lebih banyak dari gandum biasa.
            "Gri, aku merasa ada banyak hal yang tidak kita ketahui tentang desa ini. Di sini ada perpustakaan 'kan?"
            "Sebentar… iya. Ada perpustakaan di dekat sini tapi kamu tidak ingin mandi dulu?"
            "Ah, iya! Pakaiannya bagaimana? Aku tidak menyiapkan pakaian ganti saat di istana."
            "Aku yang akan cuci. Di dekat tempat kita bermalam ada kamar mandi dan air bersih, kok. Seharusnya pakaiannya bisa bersih."
            "Baguslah. Yuk, kita kembalikan piringnya dan mandi."
***  
            Sebuah bangunan seperti rumah-rumah penduduk biasanya dengan ruangan bawah tanah yang sangat luas adalah definisi perpustakaan desa itu. Di dalam seorang wanita berparuh, bersayap, dan memiliki mata seperti burung hantu di konter peminjaman sedang fokus dengan bacaannya.
            "Permisi, Nona. Apakah di sini benar Perpustakaan Bentala Vayu?"
            Archan betina itu menengok dan menjawab, "Ya. Ini perpustakaannya. Ada keperluan apa, ya?"
            "Apakah di sini ada buku tentang sejarah desa ini? Ah, dan juga tentang naga."
            Archan itu menatap Serilda lekat-lekat dengan mata besarnya dan bertanya, "Kau. Kau bukan bawahan Seth 'kan?"
            "Si Kepala Rumput? Bukan, bukan. Aku bukan bawahannya atau mata-matanya."
            "Kau tidak berbohong 'kan? Ini buku-bukunya: Sejarah Bentala Vayu, Sejarah Naga-Naga, dan Profil Penduduk Bentala Vayu 100 Tahun Terakhir. Aku akan berikan dengan syarat kamu bukan seorang mata-mata dari pihak manapun dan jika kamu berbohong jangan harap kamu keluar dari desa ini dalam keadaan seperti ini. Kau menerima syarat dan konsekuensinya?"
            "Saya tidak berbohong dan saya menerima konsekuensi yang kamu berikan."
            "Baiklah. Turuni tangganya dan di sana ada beberapa bilik nyaman untuk membaca. Jika lenteranya terlalu redup, kamu bisa pinjam punya bilik sebelah."
            "Terima kasih, Nona."
            Sambil membawa buku-buku bersampul kulit yang berat, Serilda menuruni undakan-undakan batu ke lantai bawah tanah. Hanya ada beberapa lilin sebagai penerang membuatnya sedikit ngeri. Setidaknya tangga itu tidak terlalu licin ataupun curam.
            Ruangan-ruangan untuk membaca ada di sepanjang koridor dan Serilda memilih yang paling dekat, mengingat buku-buku lumayan merepotkan. Dengan menendang pelan pintu kayu di depannya, ia masuk dan meletakkan buku-bukunya. Setelah mengatur cahaya lentera dan menutup pintu, ia mulai membaca buku-buku itu. 
            Ia mulai membaca meskipun definisi buku di Khilyra agak berbeda mengingat buku di Bentala Vayu menggunakan kertas dan buku di Khilyra menggunakan perkamen dari kulit hewan yang lebih berat. Dengan cepat, Serilda membolak-balik halaman-halaman buku sejarah naga-naga dan Bentala Vayu. Untungnya si pustakawan juga memberikan buku daftar penduduk yang dilengkapi ilustrasi wajah mereka dan mempermudah Serilda mencari identitas si Kepala Rumput.
            Seth Blover Green. Si Kepala Rumput memang Seth. Keluarganya datang ke Bentala Vayu sebagai pengungsi sama seperti penduduk lainnya namun kedua orangtuanya dibunuh dan ia dibawa oleh tentara kerajaan Vaya. Masa kecilnya lumayan keras. Ah, seharusnya ia memiliki batu darah naga karena di surat disebutkan kalau ia mengendalikan naga-naga….
            Belum selesai ia  membaca halaman itu, terdengar suara dari lantai atas dan Serilda merasa ada yang salah. Dengan cepat ia mengeluarkan Belati Selene dan menaiki anak-anak tangga dengan perlahan. Gelapnya lorong itu memang keterlaluan namun setidaknya ia tidak akan terlalu terlihat.
            Ia merasa ada perubahan suhu saat ia mendekati lantai atas. Dapat dilihat ada dua orang gadis di sana. Salah satunya berambut merah lembayung terurai sampai ke belakang lututnya dan yang satunya berambut putih semata kaki dengan kuciran kecil di sebelah kiri dan bando maid
            "Sedang apa kalian?!"
           Serilda dapat melihat apa yang terjadi dengan jelas. Archan betina, yang merupakan pustakawan, terkulai lemah di atas lantai menahan panas yang memancar dari si Rambut Merah. Kali ini Serilda tidak akan tinggal diam seperti sebelumnya.
            "Kalian apakan pustakawan itu? Jawab atau aku akan menyerang!"
            "Hanya melakukan misi yang diberikan," jawab si Rambut Merah.
            "Melukai makhluk lain?! Minta maaf ke dia dan bawa dia ke tabib terdekat atau… belatiku akan beraksi."
            Kedua gadis itu tidak menjawab dan Serilda semakin tidak tahan dengan panas intens di ruangan itu. Keringat menuruni wajahnya yang memerah seperti udang yang direbus. Perlahan ia semakin tidak tahan dan akhirnya memilih untuk melawan selama masih ada tenaga.
            Serilda mencoba memukul kedua gadis itu dengan tangan dan pegangan belatinya. Memang keputusan yang bodoh namun ia tidak peduli. Konsentrasi Serilda semakin menurun dan serangannya tidak ada yang tepat sasaran dan akhirnya ia terkulai di lantai setelah beberapa tonjokan dan pukulan tonfa dari kedua lawannya.
            "Huh! Kau pikir kamu bisa mengalahkanku?! Naif! Ayo, Erica! Kita harus melapor ke Seth."
            "Sebentar, Nona Airi. Sentuhan terakhir."
           Dengan satu gerakan tangan, buku-buku di rak depan melayang di atas pustakawan dan Serilda. Seketika buku-buku itu jatuh menimpa Serilda dan pustakawan. Berat buku yang menimpa tubuh Serilda membuat kesadaran Serilda semakin merosot meskipun ia masih sadar.
            "Erica, apa tidak apa-apa? Aku takut mereka terluka."
            "Tidak usah takut, Nona. Nona ingin kita bebas bukan?"
            "Iya, sih. Ayo!" 
            Gri, atau siapapun yang ada di dekat sini, tolong. Aku tidak tahan…

Pemulihan
            Semilir angin membelai wajah Serilda. Griselda membawanya ke rumah tabib desa dan sekarang sedang mengompresnya. Setidaknya ia masih hidup walaupun ia pingsan lumayan lama. Angin dari lubang ventilasi dan asap dari minyak beraroma yang dibakar membuatnya merasa tenang.
            "Gri? Tadi aku pingsan berapa lama?"
            "Sekitar satu atau dua jam. Sudah enakan?"
            "Lumayan. Di sini sangat sejuk, ya."
            "Kalau bukan karena sejuk aku tidak akan membawamu ke sini saat aku menemukan kamu pingsan di lantai perpustakaan."
            "Archan pustakawan itu bagaimana kabarnya?"
            "Sayangnya ia tidak selamat. Ia terpapar panas jauh lebih lama darimu dan ia sebenarnya sakit-sakitan, yang menjadi alasan kenapa ia menjadi pustakawan bukan penjaga desa, sehingga ia meninggal saat ia dibawa ke tabib."
            "Sayang sekali."
            "Ah, aku ingat sesuatu! Para ketua desa ini mengundang kita untuk mengikuti pertemuan desa nanti malam di bawah Pohon Keramat."
            "Pohon Keramat? Pohon raksasa di sisi jauh desa?"
            "Yap. Sekarang kamu istirahat dulu dan aku yang akan mengambil makanan untukmu."
            "Sebentar. Belatiku ada di kamu 'kan? Tolong berikan ke aku."
            "Ini, Serilda. Ah, dan jangan lupa minum air yang banyak."
           "Terima kasih. Aku bakal minum sesuai kebutuhanku dan, ngomong-ngomong, cepat kembali, ya, Gri!"
            Setelah menyerap belati itu ke dalam tubuhnya dan memuaskan dahaganya, Serilda kembali tertidur mengingat ia benar-benar kekurangan tidur malam sebelumnya. Ia membiarkan semilir angin dan aroma minyak pewangi membuatnya tidur perlahan.
***
            Beberapa jam terlah berlalu dan Griselda sedang melakukan pengamatan terhadap Bentala Vayu di luar setelah mereka menumpang makan di rumah itu. Tiba-tiba pintu rumah tabib itu terbuka dan seorang gadis berambut hitam, berpakaian serba hitam, dan bermata hijau daun masuk. Seorang lelaki, wanita lain, dan dua buah robot juga ikut masuk. Serilda, yang iseng mencari bacaan, menyadari kedatangan rombongannya dan gadis bermata hijau menghampirinya.
            "Gri? Eh… hei, kamu reverier juga?" tanya Serilda.
            "Iya. Namaku Samara Yesta."
            "Namaku Serilda, Serilda Artemia. Senang berkenalan denganmu, Samara."
            "Ah, iya. Laki-laki yang di sana itu Vidi, bola yang melayang itu Bold, robot anjing itu Buster, dan robot yang mirip manusia itu Astronema."
            "Rombonganmu agak aneh, ya. Jujur saja aku tidak pernah melihat makhluk yang dinamakan robot di Terra Matria."
            "Mereka bukan makhluk hidup. Bold, Buster, dan Astronema hanya mesin yang diberi komando dalam bentuk program. Mereka hanya melakukan perintah."
            "Baik... ngomong-ngomong, kenapa kamu ke sini? Kamu mencari tabib?"
            "Iya. Aku sedang mencari tabib desa. Tidak ada, ya? Sampai nanti."
            "Sampai nanti, Samara."

Pertemuan
            "Serilda, kamu sudah siap? Kita tidak mungkin berlama-lama di sini. Bintang-bintang sudah mulai terlihat lho!"
            "Iya, Gri! Sebentar! Nah, sudah siap. Aku boleh membawa panah ke sana 'kan?"
            "Nona, kalaupun nanti kita memang membutuhkan panah kita bisa langsung ke sini."
            "Ya, sudah. Ayo, Gri! Semoga malam ini anginnya tidak separah kemarin dan kau masih ingat hal itu 'kan?"
            "Ah, iya! Hanya 'Serilda' bukan 'Nona Serilda'. Kali ini saya usahakan agar tidak lupa."
            Kedua gadis itu berjalan menuju ke tempat pertemuan sambil membawa lentera seperti yang dilakukan penduduk desa yang lain. Jalanan lumayan ramai mengingat pertemuan itu terbuka untuk seluruh penduduk desa dan tamu yang sedang mengunjungi Bentala Vayu.  
***
            Di bawah Pohon Keramat, dua orang Ketua, dari ras manusia dan archan, duduk menunggu para penduduk. Penduduk manusia duduk di sisi kanan, para archan duduk di sisi kiri, dan para tamu, meskipun jumlahnya hanya sedikit, duduk di tengah-tengah.
            "Malam ini kita akan membahas tentang bahaya yang mengintai desa kita ini. Bahaya yang diduga berasal dari putra desa ini. Saya, Ketua Hans, dan Ketua Avian membuka pertemuan ini," ucap Ketua dari ras manusia.
            "Pagi ini kami menemukan mayat salah satu saudara kita dengan keadaan yang sangat buruk dan siang tadi pustakawan desa meninggal tanpa penjelasan. Apakah ada yang mengetahui apa yang terjadi?"
            "Saya! Saya menyaksikan kedua peristiwa itu terjadi dengan mata kepala saya sendiri."
            Para penduduk langsung menengok ke Serilda dan berbisik-bisik ke satu sama lain baik manusia maupun archan. Kedua ketua juga membicarakan pernyataan Serilda tadi. Tentu saja Serilda tahu kalau ia dicurigai sebagai penyebab kedua kematian itu namun ia hanya ingin menyampaikan kebenaran.
            "Silakan Anda lanjutkan, Nona. Saya dan Ketua Avian akan memercayai perkataanmu."
            "Terima kasih, Ketua Hans. Tadi malam saya sedang berada di kamar kecil dan saya melihat seorang gadis bermata biru safir dan ungu amethyst membunuh pria yang dimaksud dengan salah satu pisaunya. Saya juga melihat seorang pemuda berambut hijau muda di sana yang saya asumsikan sebagai Seth Blover Green, anak yang dibawa dari Bentala Vayu bertahun-tahun yang lalu."
            "Dan untuk kematian pustakawan?" tanya seorang archan.
            "Saya tidak melihat keseluruhan peristiwa namun saya melihat dua orang gadis di sana. Yang satu berambut merah dan yang satunya berambut putih. Tubuh gadis yang berambut merah memancarkan panas luar biasa dan pada akhirnya saya terbaring di lantai setelah berusaha melawannya. Setelah itu, gadis yang berambut putih, sepertinya, membuat beberapa buku melayang dan menjatuhkannya di atas saya dan saya pingsan selama satu atau dua jam."
            "Gadis yang memancarkan panas?! Buku-buku melayang?! Ketua, sepertinya ia berbohong!" seru seorang pria dari bagian belakang.
            "Bagaimana mungkin saya berbohong di hadapan orang-orang terhormat? Ketua, saya menjabarkan hal-hal itu sesuai apa yang saya saksikan dan saya berani menjamin hal itu." 
            Suara bisikan para penduduk semakin kencang. Di Bentala Vayu sihir dianggap mitos ataupun dongeng sebelum tidur dan jarang sekali ada yang percaya soal itu. Hal itulah yang membuat kedua Ketua semakin sibuk berdiskusi mengenai apakah ucapan Serilda dapat dipercaya atau hanya racauan wanita gila yang terlihat waras.
            "Kau berkata kalau kau bisa menjamin kata-katamu. Jika memang seperti itu, sesuai keputusan yang saya dan Ketua Hans buat, kau harus membantu kami melawan bahaya yang akan datang. Apakah kau setuju?"
            "Saya menyetujui keputusan Ketua dan saya akan membantu sekuat saya dalam melawan Seth dan naga-naganya."
            "Naga? Nona, apakah Anda dapat menjelaskan hal itu?"
            Si-sial. Si Kepala Rumput tidak membawa naga, atau apapun yang menurutku berkaitan, malam kemarin. Cuma surat dari si Kurator sama Kepala Bantal yang menjelaskan adanya naga.
            Serilda terdiam. Ia belum melihat naga-naga yang dimaksud dan hanya mengetahui kalau si Kepala Rumput memiliki naga dari surat yang ia tinggalkan di istana sebelum berangkat. Untungnya seorang archan tiba-tiba datang mengintervensi dengan pekikan kencangnya.
            "Salam, Ketua. Saya membawa kabar buruk. Sesuai kabar yang beredar, Seth akan menyerang Bentala Vayu. Masalahnya ia membawa 3 ekor naga yang bernapas api dan ia telah menghancurkan desa sebelah. Menurut perkiraan saya, Seth akan tiba di sini dalam waktu dua sampai tiga hari."
            "Mendengar kabar yang disampaikan oleh salah satu saudara kita, kita harus menyiapkan diri untuk skenario terburuk. Nona, apakah ada lagi hal yang ingin Anda sampaikan?"
            "Ketua, saya ada rencana. Apakah di dekat sini terdapat gua yang lumayan besar untuk menampung semua penduduk?"
            "Nona! Saya pernah pergi ke sebuah gua yang sangat besar saat memancing. Meskipun letaknya di pinggir sungai, saya yakin bagian dalamnya tidak terlalu lembab karena saya pernah bermalam di sana saat angin terlalu kuat dan kabut sudah turun."
            "Bagaimana kalau para penduduk tinggal di sana untuk sementara dan mereka yang dapat bertarung melidungi desa? Jika desa sudah aman, para penduduk dapat kembali dan hidup seperti biasa."
            "Nona, apa yang Anda maksud dengan 'mereka yang dapat bertarung'?" tanya seorang archan kecil.
            "Yang saya maksud dengan 'mereka yang dapat bertarung' adalah laki-laki dan perempuan, manusia ataupun archan yang dapat menggunakan senjata dan melawan Seth. Hanya yang mau yang boleh bertarung karena mereka yang tidak mau tidak akan membantu siapa-siapa. Apakah ada yang mau menawarkan diri menjadi para prajurit yang melindungi desa?"
            Satu persatu penduduk Bentala Vayu menawarkan diri untuk melindungi desa mereka walaupun sudah ada para archan yang memiliki kewajiban sebagai penjaga desa. Penduduk yang masih muda hingga paruh baya, lelaki dan perempuan, archan ataupun manusia, yang merasa diri dan hati mereka siap secara sukarela akan melindungi desa mereka.  
            Jumlah orang yang secara sukarela ingin bertarung semakin bertambah dan nyaris seluruh archan dewasa yang dalam keadaan sehat, karena memang sudah menjadi kewajiban mereka, serta sebagian manusia mau menjaga desa tempat mereka tinggal. Serilda tersenyum senang menyadari betapa rela penduduk Bentala Vayu memberikan jiwa dan raga mereka untuk desa tempat mereka tinggal.
            "Bagaimana, Ketua?"
            Kedua Ketua menatap satu sama lain dan tersenyum kepada satu sama lain, tanda mereka setuju. Mereka tahu keputusan yang akan mereka buat riskan dan dapat menyebabkan nyawa beberapa penduduk melayang namun Bentala Vayu adalah desa yang harus mereka lindungi dengan segala cara.
            "Saya dan Ketua Avian telah memutuskan bahwa esok pagi seluruh warga yang tidak dapat mengangkat senjata akan dievakuasi ke gua yang dimaksud salah satu saudara kita dan pelatihan akan dimulai. Keputusan ini tidak dapat diganggu gugat. Malam ini siapkanlah diri kalian dan apa saja yang akan kalian bawa. Sekian pertemuan malam ini. Selamat malam."
            Para penduduk segera kembali ke rumah mereka masing-masing dan mempersiapkan diri untuk esok hari dan apapun yang akan terjadi nanti. Serilda dan Griselda kembali ke "rumah" mereka dan, setelah sedikit perbincangan, tidur senyenyak mungkin.

Evakuasi
            Dinginnya udara pagi seolah menusuk tulang namun para penduduk tetap berkumpul di dermaga untuk evakuasi. Banyak dari mereka yang akan berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai untuk hari ini dan, mungkin, selamanya hanya karena dendam salah seorang putra desa ketika mereka terlalu bodoh untuk bertindak.
            Beberapa kapal mengangkut penduduk ke gua yang dimaksud. Mulai dari anak kecil hingga manula duduk berdesakkan di kapal itu dan berlayar melewati kabut yang menari-nari di atas sungai. Riak air terdengar sangat jelas saat mereka berlayar menjauh.
            Serilda, Samara, dan gadis remaja berambut coklat duduk di kapal terakhir bersama dengan barang-barang dan suplai makanan dan alas tidur. Griselda dan rombongan yang datang bersama Samara berjaga di desa bersama dengan penduduk lain. Kabut yang tebal mengganggu pelayaran mereka karena lilin yang mereka punya sumbunya basah dan tidak dapat dinyalakan walau sudah dicoba.
            "Tuan, bolehkah saya membantu?" tanya gadis berambut coklat itu.
            "Silakan saja, Nona," jawab nakhoda kapal.
            "Tuan, apakah ada minyak atau lemak di sini?"
            "Ada sedikit alkohol di sini. Untuk apa ya, Nona?"
            "Tolong oleskan di dasar lentera dan biar aku yang menyalakan apinya. Bagian dalam, ya, Tuan!"
            Meskipun agak heran, nakhoda kapal melakukan apa yang gadis itu katakan dan mengoleskan alkohol di bagian dalam lentera itu. Gadis berambut coklat itu juga merogoh tasnya untuk mencari sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah buku tua bersampul kulit bertuliskan "Basic Elemental Magic for Idiots: Fire Edition" dari tasnya.
            Nakhoda kapal menyodorkan lentera ke gadis itu. Gadis itu membuka buku tebal itu dan membaca mantra. Di ujung jarinya muncul api yang ia dekatkan ke bagian yang terlapisi alkohol. Setelah tersulut, gadis itu segera memadamkan api di jarinya dan memasang lentera itu.
            "Kamu bisa sihir, ya? Perkenalkan, namaku Serilda, Serilda Artemia. Aku yang bicara kemarin malam."
            "Saya Lilia Fiennes, suatu kehormatan bisa mengenal Anda, Nona Serilda."
            "Panggil aku dengan namaku saja. Aku sudah bosan dengan formalitas dan protokol. Jika agak aneh, panggil saja dengan sebutan 'Kak'. Itu agak lebih baik."  
            "Baik, Kak Serilda."   
***
            "Ayo segera cari posisi yang nyaman untuk bermalam. Setelah masakannya matang kalian bisa makan. Samara, aku mau ke dapur menyusul Lilia, ya. Kalau sudah selesai langsung ke sana biar kita bisa kembali ke desa."
            "Terserah kamu saja."
            Serilda berjalan ke salah satu cabang gua raksasa itu. Para ibu-ibu yang tidak bertarung memasak bubur gandum dan ikan terbang asap untuk makanan hari itu karena bahannya tidak sulit dicari. Cekungan-cekungan di lantai gua dijadikan tungku untuk memasak sehingga Lilia harus membantu agar apinya tetap menyala.
            "Lilia! Masakannya sudah siap? Perutku rasanya kosong sekali."
            "Sebentar lagi, Kak. Jika terlalu panas kasihan yang tidak kuat makan makanan panas."
            "Kau orangnya peka, ya. Bisa sihir pula. Kamu mirip sekali dengan adikku saat masih kecil."
            "Kakak yang berambut kelabu itu?"
            "Mereka memang sangat mirip. Dari nama hingga kemampuan memang ada banyak kemiripan tapi Griselda yang bersama denganku bukan Griselda adik kandungku."
            "Jangan konyol, Kak. Kakak dan kakak yang berambut kelabu jauh lebih cocok sebagai kakak beradik daripada teman dekat. Bahkan tadi malam aku mengira kalian kembar."
            "Kembar? Selisih umur kami 3 tahun, lho. Soal apa dia memang adikku yang hilang atau bukan biar waktu yang menjawabnya, Lilia. Hei, buburnya apa tidak terlalu dingin tuh?"
            "Eh?! Kakak, apakah Kakak mau ikut membantu saya membagikan makanan?"
            "Tentu saja. Kamu pegang sebelah sana dan aku pegang sebelah sini. Mengerti? Satu, dua,… tiga!"
            Kedua gadis itu membawa kuali raksasa bersama-sama. Samara juga membantu mereka dengan menunjukan arah dan memastikan tidak ada bubur yang tumpah ke dasar gua. Para ibu-ibu juga membantu untuk memindahkan kuali itu ke dekat meja pendek tempat makan bersama sebelum membaginya ke semua penduduk di sana.
            "Kau Samara 'kan? Kamu memiliki hubungan ke alam, ya? Mata hijau daun sangat jarang di duniaku dan dipercaya mereka yang bermata hijau bisa melakukan sihir pada tumbuhan."
            "Aku memiliki kekuatan botanokinesis, kemampuan mengendalikan tumbuhan. Memang apa masalahnya?"
            "Tidak, tidak. Aku hanya menanyakan. Tidak usah seperti itu. Suasana hatiku langsung buruk tahu!"
            "Ya, sudah. Itu urusanmu 'kan?"
            "Iya, iya." 

Strategi
            "Akhirnya sampai juga di desa. Terima kasih, Tuan Nakhoda. Lilia, Samara, yuk!"
            Ketiga gadis itu turun dari kapal dan nakhoda menambatkan perahu itu ke tiang dermaga. Sesuai kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, mereka segera ke Pohon Keramat untuk bertemu dengan yang lain. Griselda dan rekan-rekan Samara seharusnya sudah melatih para prajurit, bersama dengan komandan dan ketua dari masing-masing ras, dan sekarang hanya perlu mengatur strategi.
            "Pertemuan ini untuk mengevaluasi latihan yang telah kita lakukan tadi. Saya, Ketua Hans, telah membagi divisi dan berlatih untuk medan darat, baik panah, tombak, maupun pedang. Bagaimana dengan Anda, Ketua Avian?"
            "Para Archan telah menjadi penjaga desa ini sejak gerbang Bentala Vayu berdiri sehingga, bagi kami, berlatih telah menjadi rutinitas. Ada baiknya kita sekarang merencanakan bagaimana kita menghadapi esok atau lusa. Semuanya setuju?"
            "Setuju, Ketua."
            Aneh, kenapa mereka tidak seperti malam kemarin? Apa mereka telah bertengkar tadi? Mungkin nanti aku harus bertanya ke Ketua Avian soal ini….
            "Jadi, apa ada yang tahu atau dapat memperkirakan dari mana serangannya? Ketua Avian?"
            "Ah, mengingat kabar yang saya dapat tadi malam, kemungkinan besar mereka akan masuk dari arah hilir. Menurut perkiraan saya mereka akan datang esok pagi mengingat jarak antara desa yang dijarah Seth dengan desa kita lumayan jauh."
            "Terima kasih, Aquila. Mengingat waktu yang cepat berlalu, ada baiknya kita mulai mengatur strategi sekarang. Saya sudah membawa peta dan penanda-penanda. Ada yang bisa memberi usul?"
            Seorang pemuda menatap ke sekeliling dan menjawab, "Kebanyakan bangunan di desa tidak ada yang memakai. Bagaimana jika sebagian kita pakai sebagai barak dan sebagian sebagai pos prajurit?"
            Seorang pemudi archan juga ikut mengatakan usulnya, "Kita tidak pernah tahu kapan Seth dan rombongannya sampai jadi bagaimana jika salah satu dari para archan berpatroli dan memberitahukan jika pasukan Seth sudah bergerak? Jika perlu saya akan mengusulkun diri."
            "Usul-usul kalian sangat bagus. Jika dirangkum dengan strategi yang telah saya buat maka akan menjadi seperti ini. Di dalam setiap rumah akan ada kelompok pemanah yang bersembunyi. Bagian luar bangunan akan menjadi tempat berjaga untuk yang memakai tombak dan pedang serta beberapa pemanah. Untuk para archan, posisinya akan berada di tebing dan menggunakan senjata masing-masing. Ada yang keberatan?"
            Ahli strategi yang lumayan hebat. Menguasai medan dan masih mau mendengarkan pendapat anggota pasukan. Tapi kenapa Ketua Hans tidak bergabung dan hanya mengangguk? Apa beliau dan Ketua Avian bertengkar tentang sesuatu? Ah, entahlah pikiran lelaki memang tidak tertebak.
            "Kami setuju, Ketua."     
            "Baik. Karena kita telah menetapkan strategi yang akan kita pakai, pertemuan ini saya dan Ketua Avian tutup. Hal-hal yang lebih rinci akan diberitahukan nanti dan sekarang kalian dapat kembali berlatih secara mandiri. Sekian, selamat siang."
            Baik archan maupun manusia, semuanya bubar dan banyak yang berlatih secara mandiri dengan papan sasaran, manikin jerami, ataupun ke sesama teman dengan pedang kayu. Sesekali Serilda membantu mengajarkan cara memanah yang benar ke sukarelawan yang masih muda dan kadang mengajak mereka berbincang singkat sambil sesekali berlatih memanah.
***
            Matahari sudah terbenam lebih dari satu jam yang lalu dan bulan-bulan dan gemintang telah naik. Ia baru menyadari kalau ada lima buah bulan di dunia itu dan rasi bintang di sana berbeda dengan yang ia tahu. Seketika ia ingat sesuatu dan segera mencari Ketua Avian untuk menanyakan semua pertanyaan di otaknya.  
            "Ketua Avian? Apakah Anda bisa meluangkan waktu sejenak untuk saya?"
            "Ada apa, Nona Serilda? Apakah ada hal yang ingin kau tanyakan tentang strategi untuk esok hari? Apakah sebaiknya ada pengubahan terhadap pembagian kelompok?"
            "Tidak, Ketua. Bukan itu yang ingin saya tanyakan. Tolong jangan marah dengan pertanyaan saya ini…."
            "Tanyakan saja, Nona. Tidak perlu takut."
            "Apakah hubungan Anda dengan Ketua Hans sedang dalam masalah? Apakah ada hubungannya dengan Seth? Saat rapat tadi saya menyadari kalau ada yang ganjil di gaya bicara dan interaksi Anda dan Ketua Hans. Maaf jika terkesan tidak sopan."
            "Sebenarnya hubungan pertemanan saya dan Ketua Hans memang sedang ada masalah dan memang ada hubungannya dengan Seth. Hal ini sangat sensitive, terutama bagi Ketua Hans, dan untuk sekarang tolong jangan disebarkan ke siapapun. Mengerti?"
            "Saya mengerti, Ketua."
            Archan dengan penampilan seperti elang itu mengadah ke langit dan mulai bercerita, "Bertahun-tahun yang lalu, saat saya dan Ketua Hans masih remaja, Seth dan keluarganya datang ke desa ini. Seth dan aku segera menjadi teman akrab. Akhirnya aku tahu kalau dia dan orangtuanya adalah pengendara naga yang kabur dari genosida yang dilakukan oleh raja kala itu. Saat itu kondisi desa sedang sangat buruk dan kumuh dan malam itu terjadi…."
            "Jika Anda tidak dapat menceritakan apa yang terjadi selanjutnya, Anda dapat berhenti sekarang, Ketua."
            "Tidak, tidak. Saya akan lanjutkan. Malam itu saya pergi ke hutan diam-diam untuk berjalan-jalan. Saat itu saya melihat beberapa tentara kerajaan dan ada Hans sedang berbincang dengan mereka. Malam itu saya mengira kalau dia akan ditangkap namun ia malah kembali ke desa sehingga saya berpikir kalau ia hanya memberitahu arah ke kota di dekat sini dan saya terbang kembali ke desa. Keesokan harinya tentara-tentara itu muncul dan mencari Seth dan orangtuanya. Kedua orangtua Seth mati saat melindungi anak kecil itu. Akhirnya Seth ikut tentara-tentara itu dan saya tidak tahu apa yang terjadi kepada anak itu."
            "Sepertinya Seth dendam kepada para penduduk karena tidak ada yang berusaha menolong keluarganya saat para tentara datang. Ngomong-ngomong, menurut saya sebuah kejahatan tidak boleh dibiarkan saja dan dengan posisi Anda sebagai ketua di kalangan archan apakah Anda ada rencana mengenai tindakan Ketua Hans?"
              "Jika pertempuran melawan pasukan Seth dan naga-naganya telah selesai, saya sudah merencanakan penangkapan Ketua Hans bersama dengan para archan yang lain dan beliau akan kami bawa ke ibukota untuk diadili. Raja yang diangkat setelah pemberontakan beberapa tahun lalu terkenal sangat adil. Namun rencana itu hanya dapat dilaksanakan jika kita menang."
            "Tenang, Ketua. Kita harus berprasangka baik terhadap masa depan. Jika kita berusaha dengan keras maka kita akan berhasil. Ngomong-ngomong, saya izin pamit mengingat malam yang telah larut."
            "Silakan, Nona."

Api dan Angin
            Gadis archan itu menatap dari kejauhan. Rombongan kapal dengan 3 ekor naga mengekori. Dengan cepat ia terbang dengan sunyi agar tidak ketahuan oleh anggota pasukan itu. Masih tengah malam namun jika ia terlambat, hasil akhir pertempuran yang akan terjadi bisa menjadi sangat berbeda.
            Tebing-tebing mulai terlihat dan ia segera terbang lebih rendah mengikuti arah sungai. Angin yang kencang membantunya terbang lebih cepat hingga ia melihat bukaan lebar di antara dua tebing serta melewati gua tempat penduduk lain mengungsi. Dengan sekencang mungkin ia berseru agar rekan-rekannya terbangun.
            Para archan dan manusia keluar dari tempat-tempat persembunyian mereka dan menyandang senjata yang mereka akan pakai. Semuanya telah memakai baju zirah masing-masing. Serilda, yang tidak terlalu tahan dingin, memakai baju zirah di bawah gaun wolnya agar tetap hangat meskipun pergerakannya tidak bisa segesit biasanya.
            "Pagi ini kita kedatangan musuh yang ingin menghancurkan desa kita dan kita akan menghancurkan mereka. Siapkan senjata, raga, dan jiwa kalian. Ingatlah bahwa desa ini adalah rumah kita dan tidak ada orang yang boleh menghancurkan desa kita ini. Apakah kalian siap?!" 
            "Siap, Ketua Hans!"
            Maafkan aku, Hans, tapi jika kita memenangkan pertempuran ini kau harus mempertanggungjawabkan apa yang telah kamu perbuat terhadap Seth dan kedua orangtuanya.
            "Sekarang, pergilah ke pos kalian dan pastikan diri kalian telah siap. Salam."
***
            Raungan naga menggema ke penjuru desa. Pemuda berambut hijau di atas naga yang berwarna merah darah masih mengulum permen loli kesukaannya. Di atas naga biru Cathy, si Rambut Hitam, menyiapkan ketujuh pisaunya dan di atas naga jingga Airi, si Rambut Merah, dan Erica, si Rambut Putih, terbang tandem.
            "Desanya sudah dekat," ujar Seth pelan.
            "Kami juga tahu, Seth." Ketiga gadis itu menatap Seth.
            "Aku hanya bilang saja. Airi, ambilkan permen dong."  Naga merah darah itu didekatkan ke naga jingga.
            "Iya, iya. Nih permennya. Kau yang pegang saja kantongnya dong! Repot tahu!" Kantong berisi permen dioper dari genggaman Airi ke Seth.
            "Iya, deh. Hei, Cathy! Jangan pakai pisaunya ke nagaku, ya."
            "Iya, iya." Cathy menyimpan Hexennacht di saku mantelnya.
            Sambil mengulum permen loli pemuda itu mengingat masa kecilnya di Bentala Vayu. Ia ingat bagaimana ayahnya bercerita tentang naga-naga dan memberikan batu yang membuatnya dapat mengendalikan naga-naga sebelum anak panah menembus punggungnya. Ia juga ingat bagaimana ibunya mengajaknya ke Pohon Keramat dan menceritakan bagaimana setiap jiwa terhubung dengan pohon itu. Namun ia ingat kalau misinya adalah menghancurkan Bentala Bayu dan ia harus tetap profesional.   
***
            Tiga semburan api dari atas membuat seluruh pasukan Bentala Vayu semakin waspada. Serilda memasang kuda-kuda memanah saat ia melihat kapal-kapal mulai menepi. Ketegangan menyeruak saat tentara Seth turun dari kapal mereka.
            "Serang!" Ketua Hans dan Avian serta pasukan mereka menyerbu.
            Hujan anak panah dari atas membunuh banyak tentara Seth namun semburan api dari ketiga naga membunuh lebih banyak orang. Cathy, Airi, dan Erica turun dari naga mereka dan menyerang pasukan Bentala Vayu dengan kekuatan masing-masing.
            Airi menggunakan kekuatan Catasthrope yang ia miliki, ia membuat jubah tembus pandang dan terus menyerang dengan tonfanya. Erica, dengan sarung tangan besinya memukul mundur dengan serangan-serangan lincah. Cathy menggunakan bilah-bilah pisaunya dan banyak anggota badan pasukan Bentala Vayu yang menjadi korbannya.
            Serilda memanah anggota pasukan Seth yang akan menyerang pasukan Bentala Vayu selincah mungkin. Griselda menggunakan Pedang Helianis untuk melewati lautan pasukan musuh. Buster, Bold, dan Astronema bekerja sama untuk menyerang pasukan lain dengan Astronema meniru serangan lawannya dan Buster mencakar lawannya seperti kucing biasa saat Bold mencari data pertempuran. Vidi bertempur dengan mengendalikan logam yang telah ia serap sebelumnya. Dan di kejauhan Lilia menyerang lawan-lawannya dengan memanipulasi api dari obor-obor yang ada di sekitarnya.
***
            Samara menghindari pertempuran dan mendekati Pohon Keramat. Ia menumbuhkan dinding jelatang untuk menghalangi musuh yang ingin menyerangnya dan ia meletakkan tangannya di batang pohon raksasa itu untuk memetakan DNA pohon itu.
            Persetan dengan pertempuran. Aku juga memiliki rencana sendiri.
            Setelah bermenit-menit memetakan pohon raksasa itu, Samara berdiri dan mencoba mencari rekan-rekannya. Tidak perlu takut soal terluka atau mati karena kekuatan vitakinesisnya akan menumbuhkan bagian tubuh baru jika ia terluka selama jantungnya masih ada di tubuhnya.
***
            "Ketemu juga kau, Anak Kecil. Ayo tunjukan kemampuanmu!" Cathy memainkan Hexennacht di tangannya sambil menatap Lilia.
            Lilia, sambil memegang grimoire, mulai memanipulasi api di sekitarnya dan mencoba mengepung Cathy dengan lingkaran api yang tidak terlalu besar. Sayang, Cathy melempar salah satu pisaunya dan suara pecah terdengar saat pisau dengan permata biru tua itu menusuk jantung grimoire Lilia.
            Melihat api di sekitarnya padam, Cathy melangkah mendekati Lilia. Lilia, yang tidak melihat keadaan sekitarnya dan akhirnya ia tersudut dan Cathy bersiap untuk menggoreskan pisau kesayangannya ke gadis remaja itu. Nyaris saja pisau itu menyayat pembuluh darah Lilia jika anak panah Serilda tidak melesat di dekat mereka.
            "Jangan lawan anak kecil yang tidak memiliki senjata. Lawan aku jika kau memang petarung dan bukan pengecut!" Serilda memberi isyarat agar Lilia lari.
            "Ayo! Kita pernah bertemu sebelumnya 'kan?" Lilia segera berlari saat Cathy menoleh.
            "Ya. Saat itu aku tidak siap tapi sekarang aku siap. Ayo lemparkan pisaumu, Pembunuh!"
           "Aku memang pembunuh, Bodoh. Rasakan ini!" Cathy menggoreskan pisaunya ke wajah Serilda. "Aku bisa menambahnya lho!"
            Dengan gesit Serilda menendang Cathy hingga terjatuh dan berujar, "Begitukah? Menyerah sekarang dan aku akan membiarkanmu hidup."
            "Menyerah? Tidak akan." Cathy melempar pisau dengan permata merah ke rumah di belakang Serilda. 
            Serilda segera berkelit dan pisau itu menancap di bahu Cathy. Serilda juga mengunci kedua lengan Cathy agar ia tidak melempar pisau atau apapun. Mata Serilda membulat saat sklera mata kiri Cathy menghitam dan darah hitam mulai keluar.
            "Menyerah sekarang dan aku akan membiarkanmu hidup."
            "Ti-tidak akan."
            "Kau sakit 'kan? Kau ingin bebas dari rasa sakit 'kan? Tutup matamu dan bayangkan yang indah-indah. Bayangkan kalau kau sembuh dari penyakitmu." Serilda mengeluarkan Belati Selene dari tubuhnya.
            Perlahan ia menusukkan belati itu ke tubuh Cathy dan darah hitam semakin banyak yang keluar. Ia berusaha untuk membunuh gadis itu dengan cara yang semanusiawi mungkin. Dalam hati ia juga mengucapkan maaf berkali-kali hingga ia menyadari kalau gadis itu telah mati.
            "Maaf. Semoga kau bisa hidup dengan tenang di alam bawah."
***
            Griselda merasakan keberadaan seseorang di sekitarnya namun tidak satu orangpun yang terlihat. Sebuah tonjokan ke bagian belakang kepalanya membuatnya menoleh ke belakang. Erica sudah ada di sana dan memakai sarung tangan besinya. 
            "Erica?" Airi melepas "jubah panas" yang ia pakai dan wujudnya terlihat.
            "Kalian bisa menyerangku jika kalian mau dan kalian bisa berpihak denganku serta membantu pasukan Bentala Vayu."
            "Buat apa coba?" Airi menengok ke arah Erica dan memberi aba-aba.
            Gadis-gadis berambut merah dan putih menyerang Griselda secara bersamaan. Gadis berambut kelabu itu segera merapalkan mantra dan tanah di sekitarnya mulai bergerak. Dengan lincah ia menjatuhkan kedua lawannya dan menodongkan pedangnya.
            "Sudah kubilang bergabunglah. Aku akan menjamin kebebasan kalian." Griselda menatap kedua lawannya.
            "Kau berjanji akan menjamin kebebasan aku dan Erica 'kan? Kalau begitu aku akan membantumu." Airi menjabat tangan Griselda.
            "Pilihan yang bagus, Nona."
***
            Vidi menggunakan logam yang ia dapat sebagai pedang dan menebas lawan-lawannya. Di dekatnya Astronema, menyamar sebagai Vidi, menggunakan badan besinya untuk menyerang siapapun. Buster juga mencakari lawannya seperti kucing liar dalam bentuk robot. Bold memberikan informasi kepada rekan-rekan robotnya mengenai keadaan pertempuran dari atas.
            "Vidi, ayo pergi!" Samara mendatangi rekan-rekannya.
            "Ada apa, Samara? Kau ingin mengajakku kencan di hutan?"
            "Diamlah. Bawa Astronema, Bold, dan Buster. Kita akan ke hutan. Ah, dan jangan komentar apa-apa."
            "Memang ada apa, sih, Samara?"
            "Ikuti saja komandoku! Kamu masih mau hidup 'kan?"
            Saat Astronema, Bold, dan Buster sudah berkumpul, Samara dan Vidi berlari menembus lautan manusia yang sedang berperang itu. Mereka berlari secepat mungkin dan menyerang seperlunya. Ketika mereka sampai di gerbang desa, mereka segera menyusuri jalan pintas ke hutan di tebing.
***
            Seth menatap Pohon Keramat. Ia tahu semua naga yang telah ia panggil sudah mati di tangan pasukan Bentala Vayu namun misinya lebih penting. Ia menatap beringin raksasa yang ingin ia hancurkan. Ia tahu kalau jiwanya telah terikat dengan pohon itu dan menebang pohon itu sama saja membunuh dirinya sendiri.
            Ia mendekati pohon itu dan menyiapkan kedua senapannya, yang pelurunya telah ia isi dengan zat pembunuh tanaman yang ia dapat di kota, serta mengarahkannya ke batang pohon itu. Ia menghela napasnya dan ia mencoba mengingat masa kecilnya lagi.
            "Seth! Apa yang akan kamu lakukan?!" Archan dewasa itu berdiri tidak jauh dari Seth.
            "Kak Avian? Apa yang Kakak lakukan di sini?" Seth memasang tampang lugunya.
            "Seth, jangan hancurkan pohon itu. Aku tahu kamu membenci penduduk desa ini karena mereka tidak mencegah pembunuhan orangtuamu tapi tolong jangan hancurkan pohon itu." Ketua Avian menatap Seth.
            "Lalu apa yang akan aku dapat, Kak? Mereka telah mati dan aku sendiri di sini." Suara Seth semakin berat dan air matanya mulai mengalir.
            "Aku tahu siapa yang memberitahu tentara kerajaan tentang keberadaan keluargamu di sini. Jika kamu tidak membunuh pohon ini maka aku akan melaporkan orang itu. Aku bersumpah jika aku berbohong kau boleh membunuhku."
            "Kakak berjanji?" Seth berjalan ke arah Ketua Avian dan menjatuhkan senjatanya.
            "Ya, Seth. Kakak berjanji. Jangan menangis. Ini permen untukmu." Ketua Avian mengambil sebuah permen biru muda dari kantungnya.
            "Terima kasih, Kak, tapi aku harus menghentikan pertempuran ini dulu." Seth berjalan ke arah medan pertempuran.
            Dengan hati-hati ia meringankan badannya dan terbang di atas medan perang dan berseru, "Pasukanku! Menyerahlah sekarang! Aku tidak akan menghancurkan desa ini! Tenang, bayaran kalian bisa diambil, kok!"
            Semua orang menatapnya dan pertempuran itu terhenti. Seth memberatkan badannya dan membiarkan pasukan Bentala Vayu menangkapnya saat ia memijak tanah. Entah bagaimana semua dendam dan amarah di hatinya menghilang dan angin Bentala Vayu yang membelainya membuatnya merasa nyaman.

Semuanya Selesai
            Serilda memasuki ruangan tempat Seth ditahan. Pemuda berambut hijau itu segera mempersilakan Serilda duduk di meja tanah di tengah ruangan. Serilda agak heran saat melihat wajah kekanakan Seth. Terlalu manis untuk menjadi seorang pembunuh bayaran.
            "Kau ke sini karena kau disuruh atau karena kau ingin membalas dendam?" Serilda berbicara selembut yang ia bisa.
            "Dua-duanya, sih. Aku diminta seseorang untuk membunuh seluruh warga Bentala Vayu dan aku masih dendam dengan pilihan mereka untuk bungkam saat orangtuaku dibunuh." Seth menjawab sesantai mungkin.
            "Aku tahu rasanya saat orangtuaku dibunuh. Aku melihat ibuku meninggal dengan mata kepalaku sendiri beberapa tahun lalu. Aku juga dendam tapi hanya kepada bibi jauhku, yang menjatuhkan hukuman mati kepada ibuku, bukan kepada seluruh penduduk Nefar." Serilda menatap Seth selekat mungkin agar ingatannya tentang malam itu tidak membuatnya menangis.
            "Tapi aku benci mereka yang telah membunuh kedua orangtuaku."
            "Kalau begitu laporkan mereka. Bukankah raja yang baru terkenal adil?"
            "Tapi aku tidak tahu siapa mereka."
            "Bodoh! Berusaha sedikit, dong! Kau bisa ke perpustakaan untuk mencari data mereka atau dengan cara yang lain. Ngomong-ngomong ini untukmu. Aku pergi dulu, ya! Sampai jumpa." Serilda menyodorkan sebuah toples berisi permen sebelum pergi.
***
            "Ketua Hans!" Archan itu berdiri di belakang pria itu.
            "Ada apa, Avian? Hei, kenapa kemarin tidak kamu bunuh saja si Seth itu. Aku benci mengingat bagaimana ia menjadi sahabatmu dan kau melupakan aku."
            "Maaf, Hans Kau harus mempertanggungjawabkan hal yang telah kamu lakukan." Dengan satu isyarat tangan, beberapa archan meringkus Ketua Hans.
            "Apa maksudnya ini?! Kejahatan apa?!" Ketua Hans memberontak saat ia diringkus.
            "Kau yang melaporkan keberadaan Seth dan keluarganya ke para tentara. Itu berkhianat. Kalian, bawa Ketua Hans. Besok kita akan ke ibukota."
            "Siap, Ketua." Archan-archan itu membawa Ketua Hans ke sebuah sel yang telah Ketua Avian siapkan.

Pulang
            "Serilda, maafkan kejadian yang di perpustakaan, ya!" Lilia mendatangi Serilda yang sedang bersama Griselda.
            "Minta maaflah ke para archan juga tapi untuk yang terjadi padaku aku maafkan, kok. Kau Airi Enzworth 'kan?"
            "Iya, aku Airi. Ngomong-ngomong, Lilia mana?"
            "Mungkin ke perpustakaan. Ia, sepertinya, sangat suka membaca."
            "Ya, sudah. Sampai jumpa!"
***
            "Mbeek!" Domba berbulu putih itu tiba-tiba muncul di depan Serilda dan Griselda.
           "Gri, kita akan pulang. Ayo ambil semua keperluan kita. Belatinya sudah kucuci dan kuserap, kok. Kamu tinggal bawa bekal dan pedang saja."
            Mereka berdua segera merapikan barang bawaan mereka. Mulai dari senjata hingga bekas tempat makanan. Setelah selesai mereka menaiki Amalthea dan sebuah portal muncul di depan mereka. Dengan berpegangan erat, Serilda dan Griselda memasuki portal itu…


>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 50 - SERILDA ARTEMIA | KESEMPATAN KEDUA
>Cerita selanjutnya : -

15 komentar:

  1. Serilda : akhirnya bisa baca juga salah satu the lovely.
    Setelah baca beberapa dialog, saya agak bingung buat siapa yang ngobrol, siapa yang njwab. Minimnya dialog tag itu yang membuat saya harus konsen buat milah-milah,”yang ngomong itu siapa ya?”.
    Plotnya sendiri bikin sya pengin ngomong “huh gitu, doang? Gampang amat kelarnya.” Padahal seth itu kuat sinting meski polos. Saya berharap adanya kerja sama para lovely buat mungkin sekedar ngasi pertunjukan perang apalagi serilda itu tipikal ratu yang sering perang.
    7

    BalasHapus
  2. yaharoo disini kagero..

    dari awal sy mikir pas baca.. err berasa wall of text.. (maaf) jadi smpet nahan baca smpe kahirnya 2 hari baru selesai //skip

    plotnya sbnernya bagus,, tapi kok.. saya somehow kecewa..
    kok serilda gitu doank? endingnya saya kurang sreg.. smpe... loh udah? gotu doank? @3@

    disini kagero kasih.. 8.
    Welldone :3

    TTD
    Kagero Yuuka
    (Airi Einzworth)

    BalasHapus
  3. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : C
    Overall character usage : C
    Writing techs : C
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : C

    Satu yang saya notice dari entri ini adalah banyaknya adegan dan dialog mundane yang sebenernya kurang perlu, kayak persiapan di awal atau sebagian besar percakapan Serilda-Griselda. Pas ketemu Samara sama Lilia juga, padahal ketemu sesama reverier kayak Cathy atau Airi lho, tapi berkesan lalu gitu aja

    Ah ya, dialog"nya juga kurang (atau bahkan bener" jarang) pake dialogue tag

    Juga, saya perhatiin entri ini kayaknya kebanyakan ngobrolnya daripada actionnya. Bagian percakapannya kadang sampe wall of text, kadang sifatnya ga relevan tapi banyak sepanjang cerita, sementara begitu aksi malah terlalu tell pas mulai perang lawan naga

    Satu lagi, agaknya kurang variasi buat ngedeskripsiin tiap pemeran di sini ketika ga nyebut nama, kayak 'gadis berambut hitam/kelabu/merah/putih itu', bikin repetitif

    Dan endingnya...entahlah, kok gampang banget Seth cuma perlu denger sedikit kata" Avian terus perangnya bubar gitu aja. Antiklimatik jadinya, sekaligus ngilangin semua tensi yang ada (kalo emang ada)

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  4. Hai, hai~

    Kesan pertama saya baca entri ini, berasa kayak novel (atau novella) fantasi petualangan yang dijadiin cerpen. Soalnya sampe kegiatan remeh-temeh pun diceritakan. Sementara bagian konfliknya agak kurang (malah cenderung tell). Tapi masalah bakbikbuk sih saya gak terlalu protes ya, soalnya saya pun masih sulit buat bawain.

    Serilda punya kebijaksanaan gitu, ya. Saya suka OC cewek kuat begini. Dia bisa merencanakan sesuatu buat orang lain, dsb. Tapi ada beberapa hal yg mengganjal, misal kenapa dia segampang itu masuk perpus dan ngomong di hadapan sesepuh desa. Padahal dia orang asing.

    Persiapan tempurnya bagus. Kalo di entri lain kayaknya mah mau perang ya perang aja di tempat. Tapi ini pake preparasi. Ini buat saya positif sekaligus negatif. Positifnya karena realistis. Tp ini kan cerpen, kenapa harus dibuat sedetail itu? Nah, ini negatifnya. Sayangnya pas menjelang akhir, konfliknya selesai begitu doang.

    Saya titip 8.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  5. Eng, aku agak aneh bacanya... Gimana ya, narasinya lumayan... tapi adegan2nya berasa gak gitu alami... Kayak dipaksa untuk ikut suatu skenario tapi akting, dialog, dan direksinya gak sinkron.

    Interaksi Samara dan Serilda juga terkesan dipaksakan. Kayak mereka ngobrol cuma buat kasih informasi aja soal diri mereka ke pembaca, bukan sebagai karakter yang saling berinteraksi.

    Pas dia keceplosan bilang naga, ini menarik. Tapi sayangnya kamu cuma jadikan potensi konflik itu sebagai angin lalu XD padahal kalo dia dicurigai gara2 itu kan asik. Pembuktian bahwa dia bukan di pihak Seth jelas seru buat dibaca.

    Lalu bagaimana kedua ketua percaya gitu aja sama pendatang dan nurutin segalanya mau dia tanpa sebuah kalimat yang meyakinkan? Dia aja sempat melakukan hal mencurigakan, menyebut nama naga padahal tidak pernah ada kata naga sebelum mulut dia berucap.

    Ok, background Seth menyerang desa ini juga menarik. Cuma sayang, disampaikan dengan sangat datar. dan rasanya kayak terlalu hambar untuk penggambaran bagaimana Avian dan yang lain mencurigai Hans, kurang emosi di sana. Pun tuduhannya kurang terasa, gak ada penekanan bahwa orang yg ditunjukkan arah oleh Hans itu memang para pembunuh orang tua Seth. Lagipula itu kejadian sudah lama tapi kenapa baru sekarang ketegangan antara Avian dan Hans terjadi? Gara2 Seth datang ke desa? Aneh, harusnya tuduhan itu dibahasnya udah dari sejak ortu Seth dibunuh jadi hubungan Hans-Avian harusnya udah renggang sejak awal tapi kamu gambarin kerenggangan itu baru setelah pembahasan strategi perang .-.

    Adegan ambil permen ini juga out of place banget, gak berasa alami. Cuma seolah ada buat nunjukin kalo Seth suka permen. Cukup diceritakan kalo dia lagi ngemut permen juga cukup sebenernya kurasa. Seseorang pernah bilang ke aku, kalau di cerita ga ada pengaruhnya mending dihapus. Jangan ditulis hanya karena pengen hal itu ada. Kalo hal itu ada tapi sama sekali ga ngaruh ke cerita, mending jangan.

    Pertarungannya juga. Pas mulai pertarungan narasinya dikit2 banget. Si A menyerang dengan pedang, si B menerjang dengan cakar, si C memburu dengan jurus2nya. Cuma kayak gitu, susah untuk dinikmati. Mending gak usah sekalian kalo aku. Jelaskan aja semuanya menyerbu bersama2. Percuma kurasa kalo sekedar dimasukin biar pembaca tahu mereka ikut perang .__.

    Apa2an Airi menyerah begitu doaaang? Gak ada keliatan usahanya T_T

    Apapula ini pertarungannya Seth beres begitu aja? Gak ada perlawanan? Menyerahnya cuma karena tuduhan yg belum terbuktikan? Oh God T_T

    tl;dr

    Dialog dialog dialog. Entri ini terlalu banyak dialog yang kurasa gak perlu, ada cuma karena kamu pengen itu ada. Pun narasinya juga beberapa cuma menggambarkan bagaimana kamu pengen sesuatu itu ada. Pengaruh ke cerita? Nyaris gak ada.

    Latar belakang temanya bagus, tapi gak digambarkan dengan baik. Apalagi endingnya. Aku tahu kamu pengen bikin adegan emosional di mana Seth menyerah karena janji sahabatnya, tapi ayolah... kata2 yang dipakai sama sekali gak membuatnya tergerak. Adegan kayak gini juga gak cuma sekali, adegan yg idenya bagus tapi penyampaiannya minim.

    Untuk itu, nilai dari aku 6/10

    ~Pencipta Kaleng Ajaib

    BalasHapus
  6. entah kenapa saya seneng sama kontras antara narasi yg 'serius' sama dialog yg terkesan 'cheesy'. bikin senyum2 sendiri selama baca lol

    yg masih ganjel cuman akhir dari samara, abis dia memetakan pohon itu terus lari ke hutan. dia udahan duluan? ww

    dan battlenya bener2 berpusat antar reverier ya. ini sebenernya bagus, tapi mungkin bakal seru liat serilda lawan salah satu naga misalnya :3

    yah karena pada dasarnya saya suka cerita petualangan/fantasi kaya gini, jadi enak aja ngikutinnya. poin2 yg disampaikan juga dapet walau gak baca charsheet sama setting. jadi itu nilai plus.

    nilai: 8
    oc: castor flannel

    BalasHapus
  7. Berasa rame bener ni entri, semua sub oc ikut andil sampai-sampai tak ketinggalan satupun.

    Untuk narasi masih sedikit kaku, mestinya dikembangkan lbh luas lagi biar lbh keeksplor dan gak itu-itu aja.

    Penyelesaian konfliknya... itu... kek naruto lg pakai bacot no jutsu dan musuh pun menyerah. Gak masalah sih, tpi di sini malah kyk dinasehati, nyadar, lalu selesai.

    Ngomong-ngomong tu Samara nyasar ya di dalam hutan? Kok gk nampak batang hidungnya lagi.

    7
    Samara Yesta~

    BalasHapus
  8. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  9. "Halo, ratu militer. Kisahmu tentang peperangan mengingatkanku tentang Tombak Utama Nagart, guru keduaku. Kebetulan dia seorang panglima. Tapi, yang paling kuingat darinya adalah, dia menyebalkan."
    -Marikh

    +PROS
    +Imej Serilda sebagai cewek(ampun ratu) yang tangguh tapi masih memiliki kekhawatiran keliatan banget terutama waktu ketemu sama si Gutpicker.
    +Perangnya bener-bener perang, jadi bukan hanya gebuk-gebukan satu lawan satu atau 3 on 3(basket kali). Jarang ada yang ngambil model begini, yang mau tak mau membuat saya terkenang akan epiknya Lord of the Ring :D

    -CONS
    -Waktu ditengah-tengah Serilda kepo tentang orang tua Gri dan dijawab 'kasih sayang yang membunuh mereka' kenapa kok Serilda gak nglanjutin nanya? Maksudku, jawaban itu pastinya mengundang pertanyaan, tapi kok kesannya Serilda malah 'O, mati karena kasih sayang, toh. Ya udah deh.' sambil lalu gitu. Apa ini yang disebut cuek bebek? XD
    -Dialognya entah kenapa agak aneh. Kayak terlalu formal. Boleh sih begitu, tapi gak semuanya seformal itu juga, kan?
    -Ngomong-ngomong soal strategi, memakai panah di Bentala Vayu itu pilihan yang nggak banget deh. Tahu kenapa? Karena desanya berangin. Panah kena angin semilir aja melenceng apalagi disono yang notabene ikan aja sampai adaptasi berenang di udara(katanya). Bisa dimaklumi kalo pasukannya Seth itu buanyak banget sampe nembak ngawur aja kena, tapi sayang gak dijelasin dia bawa berapa pasukan. Mungkin lebih epik ya kalau "10.000 tentara berderet rapi, baju besi mereka berkilat tertimpa cahaya mentari," atau gimana gitu.

    Titip 6 buat Serilda~ moga kedepannya bisa lebih baik ya.

    TTD
    Dewa Arak Kolong Langit

    BalasHapus
  10. Ikut drop komen juga dong.

    Serilda di R1 lebih kerasa aura ratu-nya. Benar-benar wanita tangguh.

    Meskipun eksekusi plot dan penarasian cerita kurang luwes, harus ada satu hal yang saya akui di sini: Interaksi antar karakternya menarik.

    Meskipun dialognya kadang-kadang panjang dan menurut saya agak melantur, tapi kerasa sih dinamika interaksinya, hidup begitu.

    Cuma ya, kurang luwes aja.

    Plotnya cukup umum menurut saya, tapi bukan masalah.

    Nilai dari saya 7.

    Salam dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  11. Entry yang rameee disertakan dengan deskripsi gahar yang bahkan menyaingi grupku (yang harusnya jadi paling rame, kan kami dua-duaan semua, cih!).

    Dialog terasa dinamikanya, rada ngelantur dan ga penting di beberapanya. Kaku? Ya, kurang luwes dan terkesan dipaksakan. Kurang alami, besok-besok makanya pake shampo herbal /eh

    7
    Jess Hutcherson

    BalasHapus
  12. Entri ini berasa terlalu padat karena tampilan antar paragraf di blog cukup mepet, ga ada jarak.

    Sifat Serilda tampak menonjol di sini. Interaksi antara Serilda dengan Griselda cukup bagus buat menjelaskan keadaan sekitar, tapi kalau terlalu banyak rasanya jadi menumpuk hal yang gak masuk ke poin utama cerita.

    Yang terakhir, penyelesaian konfliknya buat saya kurang memuaskan. Entah karena mepet deadline atau apa, Seth menghentikan perang dengan mudahnya itu berasa aneh buat saya.

    Nilai dari saya 6
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  13. Saran untuk Entri Serilda berikutnya : Pakai double enter ketika ganti paragraf karena agak risih membaca paragraf yang terlalu dempet, paling tidak begitulah di mata saya.

    Sama seperti beberapa komentator di atas, beberapa dialog terasa ngelantur, ending yang kurang greget etc. Tapi menurut saya penggambaran setting sudah bagus.

    Nilai 7

    OC : Nora

    BalasHapus
  14. Entri ini sebenernya menawarkan kesederhanaan, bisa dibilang hampir tak ada konflik yang benar-benar bisa bikin pembaca merasa tersentuh hatinya.

    Dialognya terkesan kaku, dan karakterisasi semua tokohnya terasa datar, seakan gak ada semangatnya. Mungkin kurang dalam pendalamanan karakternya.

    NILAI: 7
    (Martha)

    BalasHapus
  15. Memorable scenes:

    "Mbeeek~ (I believe I can fly~)" lol, westlife!

    Hmm, gaya penceritaan ini unik di dialognya: sepertinya berakar dari narasi khas slice of life yang dicampur semangatnya alur petualangan dan ujaran2 khas RPG.

    Dari mulai keberangkatan, ada pelayan Griselda yang sering lupa terus nyebut gelar Gri. Padahal Gri gamau ketauan status noblenya ya. Narasinya yang ringan somehow ngedukung rasa noble dan lovely yang dibawa Griselda. Sifat Serilda juga lebih menonjol gegara Griseldanya jadi foil.

    Untuk battle, sepertinya perlu ditambah dinamika lagi. Karena udah bagus sebenernya dari awal di perpustakaan sampai perjalanan sama Samara Yesta. Misalnya, kasih dramatisasi lebih di adegan penusukan Cathy.

    Overall, teknisnya udah well written ini. Well done.

    7

    Pucung

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.