Kamis, 04 Agustus 2016

[ROUND 1 - 2B ] 39 - PUCUNG | REM 01: PARADOXICAL

oleh : Wildan Hariz

--

PUCUNG – REM 01: PARADOXICAL

PARADOX 1
BRIGHT HAUNTING GOSPEL



Kota Brando tak pernah sesepi ini sejak imbauan lantang dari mobil-mobil bertuliskan "GOSPEL" usai terdengar. Padahal satu jam lalu mereka masih berlalu-lalang dengan pengeras suara, menelisik sudut kota. Polisi berpartisipasi dengan sepeda. Gang-gang gelap yang tak terjamah mobil dapat dimasuki sepeda. Di antara gang itu, seorang polisi terlihat sedang menunjukkan surat perintah di depan sebuah kedai. Papan nama tempat itu bertuliskan 'Tavern of the Black Alley'.

"Perintah berkumpul di Gereja Con Clavi bagi para grandlighter," ujar Master Yafeth sembari melempar surat itu ke meja spot khusus para pelanggan regular. Wajahnya nampak tak sebersahabat saat meladeni polisi tadi. "Jadi bagaimana langkah kita selanjutnya, Detektif Ro?"

Pria bertopi cokelat tua itu merespon, "Kita bergerak sekarang, Master. Polisi pasti akan memeriksa tempat ini dua kali untuk mencari grandlighter yang tersisa."

Orang-orang mungkin tak akan menduga ia setinggi itu ketika berdiri dari kursinya. Dengan badan tegap seperti itu, tidak pula mereka menyangka bahwa sebenarnya umur Detektif Ro sudah menginjak 55.

Dua pelayan cantik dan seorang butler menghampiri saat Master Yafeth memberi tanda dengan jarinya. "Vanessa, Brigitta, bereskan semua meja. Axel, berjagalah di luar. Aku tidak ingin ada siapapun yang mencurigakan di depan kedai ini."

Tanpa diperintah dua kali, tiga orang itu tahu harus pergi ke mana. Tanda 'tutup' memang sudah terpampang di depan pintu masuk Tavern, tapi itu tidak berarti ketiga orang itu dapat berleha-leha. Sejak pagi ini sudah ada pertemuan antar anggota Tavern. Jadi Vanessa, Brigitta dan Axel sudah menata ruangan agar terasa senyaman mungkin.

"Lyca, kuserahkan kedai padamu." Kepala Master Yafeth menoleh pada seorang wanita. Ia adalah pemimpin para pelayan.

"Baik, Master. Berhati-hatilah."

Detektif Ro mempersiapkan cerutu untuk dihisap kesekian kalinya. Kacamata hitamnya menambah kesan mengancam pada orang-orang yang berniat mendekatinya, kecuali bagi Lyca yang tidak merasa canggung sedikitpun ketika menghampirinya.

"Sudah habis berapa cerutu, Detektif Ro?" sindir Lyca. Bukannya ia keberatan karena memang merokok di kedai bukanlah masalah. Justru masalahnya adalah jumlah tumpukan cerutu yang ia perhatikan di asbak.

Bahu Detektif Ro terangkat, "Kalau tidak ini aku tidak bisa berpikir jernih, Lyca." Jawaban Detektif Ro hanya dibalas dengan senyum maklum Lyca.

"Sebaiknya kau pikirkan masak-masak sebelum kembali berdeduksi, Ro. Kalau tidak, aku akan sangat tidak senang setelah semua keributan ini," sahut seorang pria berjanggut menatap Detektif Ro penuh keseriusan dari sudut koran yang dibacanya. Kaki bercelana khaki-nya terbaring santai di sebuah meja.

"Kali ini aku bersungguh-sungguh, Zoel. Kau tidak lihat bagaimana bocah bernama Axel itu mempunyai bakat walaupun kasarnya minta ampun? Akan kutraktir kau minum racikan terbaik di Tavern saat semua ini selesai. Tapi pertama-tama …," Detektif Ro menyalakan pemantik, "si bangsat Pokiel harus berhenti meracuni kota tua ini."

"Hmph, kalau kau sudah seyakin itu aku tak akan protes lebih jauh. Benar traktir, ya? Kupegang janjimu. Aku ikut."

Zoel bangkit dari kursinya. Nampaknya Zoel sudah cukup lama mengenal Ro. Keduanya lantas mengikuti langkah Master Yafeth ke sebuah ruangan rahasia dibalik counter barista.

Sementara itu. di luar Tavern Axel menemukan seseorang yang nampaknya ingin masuk ke dalam. Orang itu mungkin tak melihat tanda 'tutup', maka Axel menghampirinya.

"Mohon maaf. Kami sedang tidak menerima pelanggan." Seperti butler yang baik, Axel mengusir sopan pemuda pirang itu tanpa mempedulikan penampilannya Jujur saja, pemuda itu seperti menantang musim dingin dengan dada terbuka

"Huh," keluhnya, "ya sudah. Terima kasih, kawan." Pemuda itu melambaikan tangan tanda akan pergi.

"…."

Axel melihat ada luka di tangan pemuda itu. Sempat ia berniat menyuruhnya masuk. Namun firasat Axel memberitahunya bahwa itu bukanlah hal yang bagus. Lagipula, beramah-tamah bukanlah keahliannya.


***

Museum Semesta. Zainurma menyebut tempat ini begitu. Wanita bernama Mirabelle menyambut Pucung, Ratu Huban dan Zainurma di pintu gerbangnya setelah mereka berdua keluar dari portal penghubung dengan Bingkai Mimpi.

"Selamat datang kembali, Tuan Zainurma, Ratu Huban. Rapid Recovery EEG telah siap. Tuan Pucung, silakan ke arah sini," ujar Mirabelle ramah nan tegas. "Namaku Mirabelle de I'Artemisia. Aku akan memasang kembali lenganmu."

Pucung meragu, "De-dengan benda ini?" Ia memperhatikan benda yang disebut Rapit Recovery EEG. Bentuknya menyerupai tempat tidur empuk, lengkap dengan bantal dan guling. Yang membedakannya dengan tempat tidur biasa adalah ranjangnya yang terbuat dari mesin.

"Ya. Sang Kehendak menghendakiku menyembuhkanmu. Benda ini adalah electro-encephalograph dengan tingkat pemulihan paling cepat yang kami miliki. Kau tidak perlu khawatir."

Mirabelle mengembangkan senyum di depan Pucung. Helm berkilaunya sedikit menambah kesan kaku, tapi setidaknya tindakan Mirabelle berhasil membuat Pucung percaya dan menurut. Perempuan berbaju zirah itu mengulurkan tangan ke dalam sebuah bagian ranjang. Rapid Recovery EEG pun bersinar.

Benar saja. Pucung merasa baikan. Lengan jeraminya yang rusak tumbuh kembali! Seketika itu pula ia merasa bugar—merasa punya banyak energi untuk berjalan ke sana-kemari.

"Bagaimana," Zainurma menghampiri Pucung yang keheranan, "praktis, bukan? Sekarang, maukah kau mengikuti tur Museum Semesta? Aku yakin pajangan di sini bisa menghiburmu."

"A-aku tidak yakin punya waktu banyak. Jadi cepatlah," ujar Pucung dengan nada memerintah, tanpa melepaskan pandangan pada lengannya yang telah pulih secara aneh.

"Jangan buru-buru, reverier bersepatu mobil-mobilan. Terkadang kau harus pelan-pelan untuk memahami sesuatu—seperti menikmati karya seni."

Setelah menyimpan mantelnya pada sebuah gantungan, Zainurma beralih pada Ratu Huban, "Hmm, Ratu Huban. Bisakah kau tinggalkan kami berdua? Aku khawatir obrolan kami akan terlalu pribadi nantinya, jadi …."

"Dengan senang hati," sahut Ratu Huban dingin. Zainurma hanya tersenyum geli melihat reaksinya.

Mirabelle pun undur diri. Ia bilang bahwa ia akan menyembuhkan reverier lainnya. Sesungguhnya Pucung ingin melihat juga seperti apa reverier lainnya yang ada di Alam Mimpi ini. Namun sepertinya ia harus menunggu Zainurma selesai dengan tur konyolnya.

"Mari," ajak Zainurma dengan gerakan tangan elegan yang biasa ia lakukan dalam menerima tamu. Lorong dengan lukisan dan patung di kanan dan kiri menjadi tujuan tur Zainurma dan Pucung. Walau Pucung tak punya hidung, ia bisa mencium aroma baru dari setiap karya yang dipajang di sana.

"Ini adalah lorong karya Preliminary Gallery. Hampir satu per tiga karya di sini adalah karya yang tersisihkan dari para reverier pilihanku. Kau mungkin akan merasakan sesuatu yang familier. Tapi ku harap itu tidak mengganggumu. Karena yang terpampang di sini bisa jadi adalah realitas lain dari apa yang seharusnya terjadi di duniamu."

Dari semua karya di lorong karya Preliminary. Ada dua karya yang sempat membuat Pucung terhenti. Karya pertama adalah gambar lukisan seorang anak yang memeluk lutut di sebuah bangku kayu. Banyak binatang kecil mengelilinginya. Pucung merasa familier dengan sebagian wajah sang anak yang tidak terbenam di antara lututnya.

Rasa penasaran Pucung terjawab sudah saat ia melihat bahwa judul karya itu adalah "Asep."

"I-ini … apa maksudmu, Zainurma? Kenapa Asep ada di sini?"

Pria berkacamata hitam itu tersenyum. Tanpa bermaksud berkelit, Zainurma menjawab apa yang ia tahu.

"Kejadian dan wujud yang memancing intrik dinilai sebagai sebuah karya seni oleh Sang Kehendak. Kisahmu dan bagaimana kau hidup dalam tubuh itu adalah sebagian besar alasanmu dipilih menjadi reverier."

"L-lantas, apa peranmu? Aku yakin kau tahu kenapa Sang Kehendak yang kau sebut itu bertindak demikian," Pucung seolah mendelik kendati ukuran matanya sebenarnya sama saja.

"Jadi di sinilah aku sebagai kuratornya. Mana karya yang patut dikoleksi adalah urusanku. Saat Sang Kehendak menghendaki, ia wujudkan kehendak itu. Pengumpulan karya dari seluruh dimensi adalah kehendak utamanya. Sebuah kehendak yang sangat mewah, bukan?

"A-aku hanya tidak bisa mengerti dengan definisi kemewahan seperti itu."

"Namun jangan salah," lanjutnya, "hanya sebagai kurator bukan berarti aku tak punya keinginan memiliki karya-karya ini juga. Secara personal."

"K-kau yakin mengatakan itu padaku? Aku bisa saja suatu saat mengatakan itu pada Sang Kehendak; itu jika aku bisa menemuinya. Aku yakin reaksinya akan menarik."

"Oh aku tak akan khawatir. Kau pikir ia akan percaya begitu saja padamu? Ia hanya akan menganggap itu sebuah lelucon." Senyum Zainurma berubah licik.

"…."

Mengesampingkan Zainurma yang menyebalkan, karya kedua yang berhasil memikat Pucung adalah sebuah jukebox besar. Ukurannya tak jauh dari ukuran tubuh Pucung. Warna cokelat dan kuning yang mengkilat sangat memikat. Hal mengejutkan lainnya tak Pucung duga adalah saat Zainurma menepuk tangan, menyalakan jukebox yang langsung memainkan sebuah lagu.


        Aneh. Aku merasa sangat intim dengan lagu ini. Padahal aku yakin tak pernah mendengar ini sebelumnya, batin Pucung. Sesaat kemudian jukebox menampilkan layar hologram berisi senarai nama.

        Nama-nama itu adalah nama-nama pupuh. Tidak hanya para pupuh Sekar Alit, namun juga Sekar Ageung. Tulisan 'Kinanti' tersorot cahaya, menandakan itulah judul lagu saat ini.

        "Da-Dandanggula … Sinom … sampai Jurudemung juga. Baiklah, Zainurma. Aku mulai kagum dengan bagaimana kau bisa mengetahui banyak tentang pupuh," ujar Pucung menengadah.

"Terkesan? Kau bisa jadi apapun di semesta mimpi yang lain. Tidak tahukah kau bahwa kalian para pupuh hanyalah lagu-lagu karangan belaka di semesta mimpi lain?"

"To-tolong cerahkan sedikit penjelasanmu," pinta Pucung.

"Bukankah itu estetik, menjadi nirwujud?" Jemari Zainurma mengelus lembut tepi jukebox, "Menjadi sebuah keberadaan abstrak … menjadi abstraksi?"

"A-apa itu abstraksi?"

"Kau akan tahu. Pada saatnya. Fakta bahwa aku mengetahui banyak tentang para pupuh juga tak terlepas dari anugerah Sang Kehendak. Kau bisa anggap kami bersekongkol dalam hal ini. Jadi jangan hanya benci aku."

Dengan penjelasan menggantung, Pucung harus puas meninggalkan jukebox dan mengikuti langkah Zainurma.

Saat ini Pucung dan Zainurma sudah berada pada penghunjung lorong karya. Di sana Ratu Huban sudah menanti. Jangan tanya bagaimana si Kepala Bantal bisa berada di sana. Ini bukan sesuatu yang mengherankan untuk makhluk yang dapat membuka portal ruang dan dengan mudah keluar di sisi portal lainnya. Ada semacam benda putih di samping Ratu Huban. Pucung tak yakin itu apa.

"Seperti yang ku katakan tadi, singkatnya, Sang Kehendak menghendaki karya-karya estetik untuk dikoleksi di Museum Semesta ini. Jadi tugasmu adalah membuat kisah mimpi yang menarik. Dan untuk mewujudkannya, kau akan dihadiahi—"

"Mbeee!"

Benda putih tadi ternyata adalah seekor domba. Apa-apaan ini, batin Pucung. Bukankah seharusnya binatang dilarang masuk tempat bernama museum? Kecuali ia datang secara sukarela untuk diberi air keras dan bernasib sama seperti kadal besar tinggal tulang yang kerjanya berdiri sepanjang hari di tengah ruangan.

"Tu-tugasku? Aku tidak ingat sejak kapan hal yang barusan kau katakan menjadi tanggungjawabku. Dan ini. Ini—sama sekali tak terlihat seperti hadiah bagiku."

Zainurma berdehem, "Kau tak punya pilihan. Satu-satunya cara untuk bangun dari mimpi ini adalah kau menjalankan tugas ini. Dan itu—percaya padaku—takkan mudah. Domba mimpi ini akan membantu. Umumnya reverier harus memejamkan mata sejenak untuk memanggil domba mereka …."

"Apa mataku terlihat seperti bisa terpejam bagimu?" tanya Pucung retoris.

Lipatan bibir Zainurma jelas menunjukkan bahwa ia menahan tawa, "Tentu tidak … karena itu, reverier sepertimu hanya butuh menonaktifkan pandanganmu sejenak, lalu bergumamlah 'domba' diikuti nama dombanya."

Mantra baru untuk Pucung. Sebaiknya ini benar-benar membantu. Jika tidak, akan aneh sekali jika ia bergerak diikuti seekor domba ke mana-mana. Orang-orang mungkin akan menganggap itu lelucon, alih-alih takut pada Pucung.

Sebuah tanda gestur diberikan Zainurma pada Ratu Huban. Dengan ayunan tongkat surealis si Kepala Bantal, domba itu segera merasuk pada mata kiri Pucung.

"Tolong … jaga baik-baik Alejandro Teheneseja. Kau bisa memanggilnya Ale atau Tehee," mohon Ratu Huban.

"A-aku tak bisa berjanji. Bagaimana jika aku menolak? Aku ingin pulang."

"Sudah ku bilang, kau tak punya pilihan," kata Zainurma.

"Su-sudah ku bilang, aku ingin pulang!"

Gerak cepat, Pucung menggamit tangan Ratu Huban. Roda sepatu mobil-mobilan Pucung bergesekan dengan lantai museum, meluncur cepat menyusuri lorong karya yang ia lewati tadi. Pucung bermaksud memaksa Ratu Huban membuka portal mimpi, dengan harapan bahwa ia bisa pulang ke Preanger.

"Heeeeiii! Lepaskan akuuuu!"

Tak ada perlawanan berarti dari Ratu Huban yang dibawa kabur.

Sementara itu, percaya bahwa yang dilakukan Pucung sia-sia, Zainurma hanya diam di ujung lorong dengan seringai dan gumaman.

"Kau tak pernah belajar ya, Pucung."

Tepat saat Pucung dan Ratu Huban keluar dari lorong karya. Sebuah tombak besar menancap dari samping pada pinggang Pucung, menyebabkan ia kelihatan seperti sebuah karya instalasi modern yang janggal terpajang di dinding. Pucung tak sadarkan diri.

"Adududuh … sakit … Mira! Kalau kena aku bagaimana tadi, hah!?" protes Ratu Huban setelah terlempar karena berhenti mendadak.

"Tenang saja. Tombakku tahu mana kawan mana lawan," ujar Mirabelle. Wanita berzirah itu berjalan santai ke arah Ratu Huban, membantunya berdiri. Tak lama, muncullah Zainurma dari dalam lorong karya.

"Oh lihat yang kau lakukan, Mirabelle. Kalau begini kita harus memperbaikinya lagi."

"Jadi, kau punya saran lebih baik untuk menghentikannya, Tuan Zainurma?"

Zainurma tertawa kecil, "Aduh, kau bisa saja. Hahaha. Kerja bagus, Mirabelle."


***

Rekoleksi ingatan Pucung selesai sampai di situ. Kini ia perlu mencari tempat untuk memulihkan luka-lukanya di antara salju dan pepohonan ini. Bukan luka dari tombak Mirabelle. Tapi luka bakar dari seorang pemuda pirang yang bertarung dengannya baru-baru ini.

Pucung ingat secara samar bahwa setelah ditusuk tombak Mirabelle, ia dibawa kembali oleh Ratu Huban melalui portal ke tempat yang disebut Bingkai Mimpi. Di sana ia diberi surat yang berisi rincian tugas. Tak ia sangka tugas dari Sang Kehendak ia dapat secepat ini.

"D-domba: Alejandro."

"Mbeee!"

Seekor domba putih muncul dari mata kiri Pucung. Sesungguhnya Pucung masih belum tahu apa yang bisa domba itu lakukan untuk membantu. Yang pasti, sekarang ia butuh bantuan menemukan tempat aman. Ia tidak mau pemuda pirang sialan itu membakar punggungnya lagi. Pucung hanya bisa berjalan lemas menaiki dombanya.

Namun terlampau sedikit yang diketahui Pucung, pemuda pirang yang ia maksud ternyata mengintainya di balik pepohonan.  Pemuda pirang itu akhirnya yakin setelah ia melihat wujud domba pendampingnya yang juga diberikan oleh Zainurma.

"Oh kawan. Jadi, ini berarti … makhluk itu … reverier juga."


***

PARADOX 2
YOUR CLARITY IS MY INSANITY


Gereja membahana. Rupa-rupa pujian para warga panjatkan untuk nama-nama agung yang dipercaya. Arsitektur gothic secara janggal menambah khidmat kegiatan 'ibadah' mereka. Ada 50 orang pengikut setia agama Grand Light mengisi bangku gereja. Beberapa bahkan harus puas duduk di tempat yang disediakan panitia di luar gereja dan menatap layar datar. Jika penganut Grand Light terus melunjak, sepertinya mereka akan butuh sebuah katedral.

"Harail Meraphisto. Harail Diarablo. Hunuskan tangan-tangan ringkihmu wahai para grandlighter, selayak antena semut tak berdaya di telapak Grand Light Yang Maha Kuasa! Maka kuburlah prasangka jika kita inginkan surga!"

Di hadapan mereka berdirilah Pokiel penuh wibawa. Ia lantangkan sermon yang telah ia ketik dua malam sebelumnya. Saking percaya dirinya, ia tak perlu lagi latihan di depan cermin sebelum ini. Hari ini dikenal sebagai Hari Askensi dalam ajaran Grand Light. Hari disucikannya dosa-dosa grandlighter yang taat, dan diangkatnya mereka ke surga. Pokiel tentu tak bisa mengecewakan umatnya dengan memberikan sermon yang buruk, bukan?

Tubuh jangkung Pokiel dituju lampu sorot. Jubah pendeta merah marun yang ia kenakan terkesan keunguan. Hal yang sama juga terlihat pada logo jajar genjang khas Grand Light di topi lancipnya. Disorotnya Pokiel menyebabkan para jemaat Grand Light di sana bangkit berdiri. Mereka tahu bahwa ini saat yang tepat untuk berdoa, mengikuti gestur Pokiel sebagai panutan.

"Pppfft …."

Di balik pintu panggung gereja, Pokiel kini menahan tawa. Tak ia sangka 'domba-domba' yang tersesat ini begitu mudah diiming-imingi rasa nyaman spiritual. Melihat itu semua layaknya sebuah ekstasi baginya.

"Semua ini terima kasih padamu, O. Sudah lama aku menantikan 'dia' bangkit. Balutan warna ungu yang indah dari Venomous Chalice takkan mengecewakanku. Senada dengan warna jubahmu, O."

"…."

Kelihatannya ada sebuah figur di dalam sudut gelap gereja. Tapi apapun itu tidak merespon perkataan Pokiel. Sosok yang dipanggil 'O' itu terselimuti gelap. Yang bisa dilihat hanya sebagian kecil jubah ungunya.

Gereja Con Clavi pernah menjadi gereja tak terawat dan tertinggalkan oleh para penganutnya. Jadi banyak sudut gelap tak tersinari cahaya. Meski begitu, Pokiel menyuruh para panitia Hari Askensi menata ulang gereja, setidaknya agar dapat digunakan hari ini.

        Pokiel tak terlalu menghiraukan O yang diam. Setahunya, O memang pendiam. Jam dinding di ruang belakang panggung tempat ia saat ini menunjukkan jam 15:20. Itu berarti ritual Askensi sudah menjelang. Maka kembalilah ia ke atas panggung, dengan kejutan yang sudah dipersiapkannya.

"Sekarang, mari kita lihat mereka yang tersesat dalam anarkisme," ujar Pokiel sembari membuka matanya. Ia memberi tanda pada panitia berkerudung di samping panggung untuk membuka tirai. Gemuruh terdengar kemudian dari arah penonton.

"I-itu, kan …," ujar mereka seolah tak percaya.

Entah datang dari mana dan sejak kapan, sepuluh pimpinan pasukan keamanan dan beberapa warga sipil dan bahkan petinggi negeri federal ini sudah diikat pada pasak. Rupanya beberapa aktivis kemanusiaan dan pejabat negara menentang keberadaan Grand Light. Mereka seharusnya telah merencanakan misi rahasia untuk memusnahkan kepercayaan ini.

Alas, petinggi kepolisian sudah disuap Pokiel. Rencana mereka berhasil digagalkan. Tentu, lemahnya payung hukum lagi-lagi jadi alasan mengapa Pokiel dan panitia Hari Askensi bisa selamat sampai hari ini.

"Cthuralu! Varalac! Belraphegor!" Pokiel mengagungkan sebagian kecil nama-nama agung yang ia tahu, "Sampaikanlah doaku pada Grand Light agar kami semua terlindung dari domba-domba tersesat ini. Berikan ampun dalam penghakimanmu! Ooooh Grand Light!"

"Oooooh Grand Light!" Para grandlighter mengikuti ucapan Pokiel.

Tak lama setelah bahana suara para grandlighter menyeruak dari dalam dan luar Gereja Con Clavi. Terdengar bunyi ledakan. Awalnya beberapa grandlighter menyangka bahwa itu adalah efek dari seruan doa mereka. Tapi sebagian lainnya mulai panik. Pokiel mencoba untuk tetap tenang. Ia mengisyaratkan pada panitia Hari Askensi untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Beberapa ledakan menyusul setelahnya. Itu semua adalah ulah Zoel dan Master Yafeth dari sebuah gudang kosong di belakang gereja. Mereka berhasil memasang peledak sederhana di beberapa bagian gereja.

Zoel andal dalam perkomputeran dan persenjataan. Sementara Master Yafeth sudah menganggap meracik zat-zat kimia sebagai camilan. Tak heran bom rakitan mereka berhasil meledak dengan indah. Hanya saja Zoel agak protes dengan warna-warna cerah asap yang dihasilkan racikan Master Yafeth. Menurutnya itu kurang maskulin.

Meledak dan meledak. Degradasi klimatik menaungi gereja dan Lubang Askensi. Gereja Con Clavi awalnya tak mempunyai tempat macam itu. Namun mereka sudah menggalinya khusus untuk hari ini. Letak lubangnya adalah di halaman belakang gereja yang sangat luas memanjang.

Pokiel berjalan cepat ke sana. Sebagai pendeta, pakaian jubahnya mencegah untuk berlari. Ia kelihatan tak gentar. Malah, ia senang karena dengan ini, ritual Askensi akan lebih cepat terlaksana. Semuanya terangkum dalam kata-kata imbauan yang keluar dari mulutnya kemudian.

"Semuanya! Hadirin yang terpilih pada Hari Askensi! Jangan panik! Berserahlah pada Grand Light. Jatuhkan diri kalian pada Lubang Askensi ini. Nama-nama yang agung akan melindungi kalian. Bawa juga sepuluh orang pelaku anarkisme ini!"

"Ke-kenapa kami harus membawa mereka juga, ya Pokiel!?" Seorang grandlighter memberanikan diri bertanya di tengah kepanikan.

"Agar jiwa mereka senantiasa suci. Semoga kasih sayang Grand Light tetap bersama kita. Sehingga menguatkan kita dalam memaafkan dan mengasihi sesama, khususnya mereka yang berdosa!"

"Oooooh Grand Light!" sahut grandlighter yang terkesan dengan perkataan Pokiel. Pelan-pelan yang lain pun mengikuti.

        Maka berhamburanlah para grandlighter ke dalam Lubang Askensi. Ada yang melompat saking semangatnya. Ada pula yang lebih tenang dengan menuruni tangga.

Lubang Askensi luasnya hampir menghabiskan seluruh halaman belakang gereja. Kalau begini, menampung 50 grandlighter di dalamnya bukan hal mustahil. Panitia Hari Askensi pun mulai turun ke sana satu per satu.

Tapi Pokiel tidak. Ia sibuk merapal entah mantra apa. Para grandlighter pun keheranan.

"Yaa Pokiel, ayolah turun! Ledakan-ledakan itu bisa melukaimu!"

"Benar, Pendeta Pokiel. Ikutlah bersama kami ke surga! Kaulah panutan kami!"

Mulut Pokiel selesai komat-kamit. Matanya yang tadi fokus terpejam memancarkan tatapan angkuh penuh percaya diri.

"Terima kasih, grandlighter. Terima kasih. Biar kuberi satu rahasia besar Grand Light untuk kalian. Tapi kalian harus menjawab pertanyaanku. Bagaimana … kalau Grand Light ada untuk iblis?"

Hampir semua grandlighter terdiam. Sampai salah satu di antaranya berseru.

"A-apa maksudmu, Pendeta Pokiel? Mana mungkin Grand Light ada untuk iblis! Kau sendiri yang menunjukan pada kami kasih sayang Grand Light! Betapa agungnya Grand Light!"

Senyum Pokiel mengembang, "Sayangnya, itu mungkin. Bahkan sangat mungkin sampai kalian akan menyaksikannya beberapa saat lagi. Saksikanlah, karena namanya saja terlalu agung, sama sekali tak pantas kaum rendahan seperti kalian ketahui."

Degradasi klimatik berlanjut. Lebih parah, sekarang di atas Lubang Askensi terdapat pusaran awan hitam dengan lidah api menyambar-nyambar dari dalamnya. Para grandlighter mulai ragu bahwa mereka akan naik ke surge. Tidak, mereka seharusnya ragu sejak awal.

"I-i-ini … bohong, kan!?"

"Sekarang dengarkanlah ini baik-baik, wahai para grandlighterku yang dungu, nama iblis yang agung ini adalah … Rebel Chief of Hell Empire! Sathanas!"

Sathanas. Nama iblis yang hanya diketahui Pokiel itu ketika disebut seakan benar-benar mendatangkan bencana. Cakar dengan banyak luka terbuka mengoyak lubang hitam di langit. Dari dalam telapak cakar itu secara mistis legion setan dan iblis kecil berjatuhan.

Awalnya memang kecil. Lama kelamaan, ukuran mereka membesar seiring dekatnya dengan daratan. Mereka menyebar ke seluruh kota Brando. Pendaratan mereka tak selalu mulus. Jadi para penduduk harus menerima rusaknya bangunan-bangunan kota yang sudah berumur ratusan tahun gara-gara mereka.

Lebih buruk lagi, penduduk yang sial malah dimakan hidup-hidup oleh sebagian iblis dan setan yang lapar. Manifestasi makhluk-makhluk itu sungguh nyata. Semua luka yang mereka timbulkan, juga kerusakannya.

Mata para penduduk berubah nelangsa. Begitu pula dengan para grandlighter di Lubang Askensi. Jika iblis adalah satu-satunya jalan menuju keselamatan, maka mereka tak keberatan. Asalkan selamat dari Kewarasan orang-orang di sana makin terkikis tiap menitnya.

        Bunyi tabrakan sesuatu terdengar dari arah gerbang halaman depan gereja. Rupanya Detektif Ro dan Axel datang dalam sebuah jeep bersama seorang supir bernama J. Fudo. Sang supir sepertinya sudah terbiasa menjalankan mobil secara kasar.
       
        "Terima kasih tumpangannya, J. Aku berhutang padamu," ujar Detektif Ro pada sang supir berbadan tak kalah besar dengan Detektif Ro. Pria paruh baya berkacamata itu mendengus, "Hah, sudah terlalu banyak hutangmu padaku, Tua Bangka!"

        Detektif Ro tak begitu menghiruakannya. Begitu pintu jeep terbuka, Detektif Ro langsung berlari ke arah halaman belakang gereja, layaknya sudah tahu di mana para grandlighter. Darah detektifnya sepertinya terlalu mendidih.

"Pokiel! Hentikan semua ini!" perintahnya.

"Detektif ini lagi … maaf saja. Aku sedang sibuk hari ini. Bisa kita tunda interogasinya!? Askensi sedang berlangsung, mereka akan—"

"Bunuh diri."

"Hoo. Bagaimana kau tahu, hah? Tidakkah kau pikir spoiler itu menyebalkan!?"

"Venomous Chalice menyebabkan itu semua. Racun dari dalamnya akan membuat orang merasakan kerentanan nalar tingkat tinggi, sampai jika kau meminumnya dengan rutin, kau akan merasakan bahwa informasi yang diterima dari luar adalah benar adanya. Dengan kata lain, itu semacam amplifikasi penyerapan informasi."
Sebuah belati melayang dari balik jubah Pokiel. Detektif Ro yang untungnya sedang sigap menghindar ke arah kanan. Hampir ia jatuh ke dalam Lubang Askensi. Tinggal beberapa senti.

"Sampai tahu tentang Venomous Chalice, ya. Ku kira ahli deduksi menggunakan logika seperti Detektif Ro bukanlah orang yang mudah percaya kemampuan mistis barang antik?"

"Huh, ku akui ada yang berhasil meyakinkanku tentang ini. Jadi itu alasannya kau memberi mereka minuman laknat itu sebelum setiap sermon-mu. Juga jubah-jubah konyol itu. Kau benar-benar membuatnya nyata bagi mereka, Pokiel."

"Senang sekali kau menguntit, Detektif Ro. Bukannya itu pelanggaran terhadap privasi orang? Kau juga sudah melakukan pelanggaran, loh. Apa bedanya kau denganku?"

"Jangan samakan aku denganmu," sanggah Ro sembari berlari mendekat

        Bermaksud meraih jubah Pokiel, niat Detektif Ro tergagalkan oleh tanah yang terguncang. Rupanya ancaman dari atas langit tak suka untuk diabaikan. Dua iblis besar mendarat di dekat Pokiel dan Ro. Yang satu berwujud serangga, satu lagi mempunyai tangan panjang layaknya ranting pohon.

        "Meraphisto dan Diarablo lapar? Saatnya sugestiku kulepaskan unutk memulai persembahan untuk Sathanus. Akan sangat bagus jika kalian menyingkirkan detektif ini sementara aku melakukannya," ujar Pokiel di belakang dua iblis.

Menyaksikan itu, Axel Elbaniac tak tinggal diam. Ia mengikuti Detektif Ro melompat keluar dari jeep. Nuansa ini bukan hal baru bagi Axel. Sudah entah berapa kali kewarasannya terganggu karena ini. Pekerjaan butler di Tavern memang menyediakan jumlah uang yang bagus, namun ia lebih suka pekerjaan sejatinya, yaitu sebagai demonologist.

"Axel, lebih baik kau punya penjelasan yang bagus mengenai ini," kata Detektif Ro saat Axel mendekatinya. Namun hal itu tak lekas Axel respon. Dua iblis meraung, memaksa mereka berdua menutup telinga.

Axel mungkin mulai kebal dengan raungan iblis yang memekakan telinga, tapi ia tidak cukup bebal untuk menghiraukan jeritan para grandlighter di balik dua iblis itu. Rupanya ritual sudah dimulai.

"Aku bisa jelaskan, tapi aku khawatir kita sudah terlambat untuk menyelamatkan mereka."


***


"Kalau diizinkan, aku ingin mengabadikan kecantikanmu dalam lukisan. Bolehkah aku, Nona Tal Becker?"

Seorang pria 40 tahunan sedang mencoba merayu seorang gadis berambut merah. Sang gadis nampak agak risih. Kendati begitu, rayuan si pria terdengar sangat alami baginya, mengubur keinginan untuk menolak.

"Ba-baiklah. Kalau kau memaksa. Tapi sebentar saja, ya."

Wajah William Amadeus Anderson berubah sumringah mendengar setujunya Tal Becker untuk menjadi model lukisannya. Dari sudut monokelnya, William mengarahkan pose yang menurutnya terbaik untuk Tal Becker. Gadis itu nampak menawan di pinggir jembatan dengan pemandangan kolam di belakangnya.

"Sempurna. Sempurna. Sekarang bagaimana kalau kau naikan sedikit dagumu?"

"Begini?"

"Ya. Ya, seperti itu. Tahan, ya …."

Tiba-tiba kuas William berhenti menorehkan cat pada kanvas. Rupanya ia merasakan sesuatu yang janggal.

"Loh … apa yang ada di belakangmu itu?"

Tal Becker menoleh. Kuciran rambutnya bergoyang pelan. Rupanya ada suatu sosok dalam balutan kain kafan di belakangnya. Hal yang lebih aneh adalah bahwa sosok itu datang dengan seekor domba sebagai tunggangan.

Itu Pucung dan Alejandro.

Alejandro memacu kakinya cepat. Ia melompat dari daratan yang memisahkan kolam dan jembatan. Lompatannya diikuti beberapa bola api di belakang. Tal dan William hanya bisa ternganga melihat lompatan itu, seolah itu adalah hal yang majestik.

Pucung tak dapat menahan keseimbangan. Alejandro bukanlah tunggangan yang aman. Tak ada fasilitas seperti sabuk pengaman. Maka mencelatlah tubuh Pucung.

"Bahaya sekali. Tapi ku akui lompatan tadi itu mengagumkan," komentar William saat mengambil topi tingginya yang jatuh karena kaget.

"Aku benci mengakuinya. Tapi aku setuju." Tal mengiyakan.

"Domba itu berlari karena baru melihat setan atau apa?"

Yah, dugaan William tak sepenuhnya benar. Pemuda berambut pirang yang mengejar mereka dikenal dengan nama 'Ghoul'. Entah siapa nama aslinya. Tapi biasanya orang-orang di Underground City of Genocide menyamakan ghoul dengan setan. Ia pelaku pelemparan bola api tadi. Dan sekarang ia sudah sampai di jembatan, dekat William dan Tal.

"Maaf, kawan. Aku masih ada perlu dengan jerami itu. Jadi bisa tolong minggir?" sapa Ghoul. Pemuda itu juga terlihat menunggangi dombanya. Itu menjelaskan bagaimana ia bisa sampai di jembatan dengan cepat.

Baik Tal dan William, keduanya sadar saat melihat domba tunggangan Pucung dan Ghoul. Mereka juga punya domba seperti itu. Tanpa diketahui masing-masing, mereka adalah reverier.

Tal teringat sesuatu. Melihat wujud Pucung dari ujung kaki sampai kepala membuatnya membatin, Jerami … kain … mobil mainan …. Ciri-cirinya cocok!

Lamunan Tal buyar saat William menggamit tangannya, "Nona Tal. Di sini kelihatannya tidak aman. Kau tak akan mau berurusan dengan orang yang muncul bara api di tangannya itu, bukan? Ada yang tak beres. Kelihatannya itu bukan tipuan sulap."

"Tapi—ada yang ingin ku pastikan mengenai mereka—"

"Aku memaksa. Keselamatan seorang gadis harus diutamakan saat ini. Apalagi, aku punya tanggung jawab terhadap model lukisanku. Di sekitar sini ada gereja tua. Setidaknya kita akan aman di sana."

Tal Becker benci pergi ke gereja. Bukan karena ia bukanlah pribadi yang religius. Tapi lebih karena mengingatkannya pada kenangan pahit yang selalu ingin ia hapus.

Mengingatkannya bahwa ia meninggal saat dalam perjalanan menuju gereja untuk pembaptisan pernikahannya.


***


        Dugaan William kali ini sepenuhnya salah. Gereja bukanlah tempat yang baik untuk berlindung. Lihat saja. Dari gerbangnya saja sudah terlihat suram. Ada sebuah jeep yang ditinggalkan pengemudinya.

        Bagaimanapun, bagian terseram dari gereja adalah banyaknya orang dengan bagian tubuh janggal. Beberapa mereka bersayap serangga. Sebagian lain berlengankan tulang. Yang paling aneh adalah yang berkepala babi dan berbagai bentuk makhluk tak karuan lainnya.

        "Apa yang terjadi pada mereka!? Kutukan!?"
       
        "Jadi ide siapa tadi bahwa gereja adalah tempat aman?"

        William hanya bisa tersenyum pahit.

Oh. Betapa buruknya malam ini untuk mendapatkan kutukan. Batin Tal Becker menggemakan hal serupa. Tak ada ucapan simpatik keluar dari mulut dengan bibir sensualnya itu. Terlalu sibuk ia merekoleksi kenangan yang sekarang bak sebuah martil yang tak henti memalu kepalanya. Tal Becker tahu benar bagaimana rasanya melawan saat tubuhmu diubah ke sesuatu yang lain, yang tentu saja tak kau inginkan.

"Ku mohon … ubah aku juga …." Seseorang memohon dengan suara bergetar pada segerombolan orang yang nampaknya adalah keluarganya. Bentuk mereka mengerikan. Bagaimanapun orang itu memohon, tak ada respon dari mereka.

"Bunuh aku! Bunuh saja. Hahahaha! Aku mendapatkan kedamaian. Ooooh Grand Light!"

"Aaaah! Hentikan! Hentikan ini semua!"

"Aku tidak mau mati! Haaaa!"

"Ooooh Grand Light! Angkat aku ke surga sekarang!"

Seruan demi seruan memekakan telinga. Mereka yang berhasil keluar dari Lubang Askensi tak mempunyai kestabilan mental yang mumpuni untuk menghadapi keadaan mencekam sekarang ini. Sebagian besar berhasil bunuh diri dengan sukses, menjadikan mereka persembahan untuk cakar besar di angkasa yang Pokiel sebut dengan Sathanus.

Sugesti Pokiel sukses, tidak … rencana ritual persembahannya sudah terbilang sukses kalau begini.


PARADOX 3
SHOULD YOU WORSHIP THE CHAOS


Meraphisto dan Diarablo mengamuk. Warga di sekitar Gereja Con Clavi sudah lari tunggang langgang saat melihat wujud besar mereka. Keberadaan mereka tak bisa tertutup dinding halaman gereja. Tidak … dinding itu bahkan tak mampu barang sedikitpun menahan kekuatan langkah mereka yang mulai merambah jalanan.

Beberapa warga yang tidak beruntung harus rela menjadi santapan dua iblis itu. Ada yang dipatahkan badannya. Ada yang ditelan bulat-bulat. Tak ada cara yang lebih beradab. Apalah adab di hadapan para iblis?

Pucung dan Ghoul melihat keributan itu semua dari kejauhan. Tapi tak seperti Ghoul yang lengah, Pucung memanfaatkan itu untuk meluncur bebas dari permukaan mulus jembatan. Tangan Ghoul mencoba menangkap Pucung, tapi Pucung sambut tangannya dengan sayatan roda sepatu. Lompatan Pucung mengalahkan Alejandro dari segi ketinggian. Domba itu sudah hilang, diperintah oleh Pucung.

Ghoul mematung di sana, menatap luka di tangannya. Kemudian ia teringat sesuatu. Ia dengar dua orang yang menuruti permintaannya untuk pergi tadi menuju ke semacam gereja. Pucung pun ia duga menuju arah yang sama. Ada undangan tertentu yang bisa ia hadiri di sana.

Entah undangan apa itu. Yang pasti. Kondisi Gereja Con Clavi sedang buruk-buruknya. Belasan mobil polisi dan tentara mengitari gereja. Tembakan demi tembakan mereka lakukan untuk melawan Meraphisto dan Diarablo. Namun terlihat tak terlalu memberikan kerusakan berarti. Apakah memang sekuat itu para iblis?

Mata Master Yafeth terlihat blingsatan ketika melihat seseorang berbadan besar terlempar dan menancap di bagian runcing pagar tinggi gereja. J. Fudo baru saja gugur dengan mulut menganga. Pelakunya adalah Diarablo dengan lengan serabut layaknya tumbuhan yang bisa memecut.

"J! Siaaaal!" Master Yafeth menyerbu hidung Diarablo dengan peluru senapan mesin. Belum pernah ia lepas kendali dalam menembak seperti ini. Peluru yang ia tembakan lebih efektif memberikan kerusakan pada Diarablo. Polisi pun keheranan. Rupanya Master Yafeth

"J akan menikah bulan depan, Bodoh!! Sekarang apa yang akan aku katakan pada calon istrinya, hah!?" Master Yafeth masih belum puas meracau. Ia naik ke lengan Diarablo, berusaha mengarahkan moncong senjatanya ke mata iblis itu.

Tak jauh, Zoel sedang berurusan dengan Meraphisto. Pria berjanggut itu bekerjasama dengan Axel untuk mengecoh Meraphisto dengan dua arah tembakan. Sayangnya Axel hanya dibekali sebuah handgun, tak seperti Zoel yang setidaknya dibekali AR-15.

"Wah wah. Master Yafeth semangat sekali," nada bicara Zoel terasa ringan. Padahal ia juga sama sedihnya. Pada saat ia bergabung dengan Tavern, ia mestinya sudah tahu bahwa pekerjaan orang-orang Tavern sangat berbahaya. Bahkan sebagian besar jauh dari kata 'baik'.

"Kita makamkan dia nanti, sekarang mari fokus pada yang ada di depan," Detektif Ro mengingatkan. Ia memfokuskan serangan pada para grandlighter yang terkutuk menjadi bentuk tak karuan dengan dessert eagle-nya. Bahu bidangnya yang sudah tua ternyata masih kuat untuk menahan tolakan pistol berat itu.

Axel bilang, mereka tak perlu menahan diri, karena para grandlighter terkutuk sudah tidak bisa diselamatkan. Energi mereka kehidupan mereka sudah dihisap Sathanus. Meski sekarang mereka kelihatan sadar dan dapat masih dapat berpikir, mereka akan mati dalam dua hari.

"Zoel, apa tidak apa-apa kau tangani ini sendiri? Aku merasakan hawa jahat yang fluktuatif dari Sathanus. Ku kira cakar sialan itu akan melakukan sesuatu."

"Heh, tentu saja, bocah. ini membuatnya jadi lebih menantang."

Langkah demi langkah Zoel ambil ke belakang. Sampai akhirnya ia dekat dengan "Hei polisi! Kalau kalian bisa membantuku menggiring si besar ini, aku akan berterima kasih sekali!"

"Siapa kau!? Serahkan ini pada kami! Jangan seenaknya memerintah!"

"Sudahlah! Lakukan saja! Kalian mana tahu yang sedang terjadi sekarang, hah!?" sahut Zoel naik pitam.

Dalam kebingungan, beberapa polisi yang ragu pun mulai menurut. Ada kebanggan sendiri bagi Zoel bisa membentak mereka seperti itu. Kau tidak bisa membentak polisi setiap hari, kan?
Zoel dan Master Yafeth sudah melakukan tugas dengan baik. Mereka dengan sigap menyelinap dengan berjalan memutar agar tidak terjatuh ke Lubang Askensi. Bahkan mereka mendukung Axel dan Ro dengan amunisi yang cukup. Tak terasa amunisi dari jeep yang dikemudikan J sudah lama habis.

Bunyi gebrakan terdengar dari atap mobil-mobil polisi. Pucung masih berusaha mendekat. Ia tak punya cara lain selain melompat dari mobil ke mobil. Akses ke gereja cukup tertutup. Jika ia bisa melewati gerbang dengan mulus, maka selanjutnya akan lebih mudah.

"Ng!? Apa itu!? Tembak!"

Komando Zoel membuat peluru-peluru menerjang Pucung, tapi tak ada satu pun yang kena. Anggap saja Pucung beruntung memanfaatkan momentum. Ia kini berada di atap.

Sayangnya di atap ada juga belasan iblis dan setan kecil berjenis vermin  dan imp. Keberadaan Sathanus di udara seperti membuat 'hujan iblis dan kutukan'. Kendati Punggung Pucung belum sepenuhnya sembuh, ini kesempatan bagus untuk melemaskannya.

"I-inspirasi … Zainurma bilang aku kehilangan inspirasi. Melawan si pirang cukup merepotkan karena belum terbiasa dengan kemampuan yang hilang. Melawan vermin dan imp ini sepertinya lebih mudah."

Banyak vermin terlempar dari atap. Hanya tinggal kemampuan bela diri dasar yang biasa Pucung ingat, maka ia gunakan itu. Sesekali Detektif Ro dibuat bingung karena vermin yang dari atap sudah mati. Ia menduga pelaku di atap adalah Axel, tapi ia tadi melihat Axel menghampiri Lubang Askensi.

Axel menengadah, ia lalu mundur beberapa meter dari Lubang Askensi. Detektif Ro penasaran dengan gerak janggalnya, lalu bertanyalah ia.

"Kenapa, Axel?"

"Itu … akan jatuh."

"Apa?"

"Cakar itu, Sathanus …."

Dari bawah, cakar itu tak terlihat terlalu besar, namun saat benar cakar itu terjatuh ke lubang, ukurannya seakan meningkat tiga kali lipat. Para grandlighter terkutuk yang masih ada di dalam lubang praktis tertindih cakar, menyebabkan banjir darah di halaman belakang gereja. Mereka tak ubahnya seperti jus tomat.

Detektif Ro dan Axel muntah. Tak sempat berpaling. Itu sudah terbilang beruntung. Sangat mengerikan membayangkan bahwa nyawa begitu banyak manusia bisa hilang dalam kurang dari 20 detik, menunjukkan betapa tidak berharganya nyawa manusia di hadapan iblis bernama Sathanus ini.

"Pokiel … si brengsek bertopi lancip itu harus membayar semua ini!" Perlu beberapa saat bagi Detektif Ro untuk menyadarkan diri akan tujuannya. Membuktikan bahwa Pokiel bersalah atas ritual Hari Askensi dan seluruh kegiatan Grand Light ini adalah hal yang krusial baginya.

Tentu saja, sebisa mungkin ia harus menahan diri untuk tidak menghajarnya sampai mati setelah apa yang ia lakukan.

Axel memberi tanda pada Detektif Ro untuk berhenti di depan pintu darurat gereja. Ia merasakan hawa jahat dari dalam. Karena terkunci, maka ditembaklah daun pintunya, Tangga spiral dihiasi obor-obor menyambut Ro dan Axel. Tapi yang lebih mengejutkan adalah munculnya anak remaja bertanduk. Poni ungu cerah nakalnya ia mainkan dengan cara ditiup.

"Akhirnya ada pengganggu. Ha! Pokiel tak bisa diganggu! Sebaiknya kalian berdua pulang!" usir si bocah.

"Kau … manusia?" tanya Axel.

"Hehehe. Ketahuan ya, perkenalkan, namaku Ulrich Sorge Schmidt. Bercanda! Tetot! Aku bukan manusia!"

"Pantas saja. Hanya firasat."
 "Kalau kalian bersikeras …," Ulrich mengeluarkan sebuah peniup balon berdiameter 5 cm, "Plasma Bubble maker X-050XZ v.023 akan siap melayani Anda!"

Peniup balon itu menghasilkan balon warna biru berukuran 10 cm. Lama kelamaan ukurannya mengembang menjadi 20 cm. Detektif Ro menarik kerah leher belakang kemeja putih Axel.

Ia secara kasar menariknya ke bawah tangga spiral. Saat balon itu meledak, aura dingin mematikan obor-obor. Hampir mematikan Axel juga jika Detektif Ro tidak sigap. Yang tersisa hanya rasa dingin menusuk.

Seolah tak tertusuk dingin, langkah Axel cepat menaiki lagi tangga. Ia menepis Plasma Bubble maker X-050XZ v.023 dari tangan Ulrich. Yang bersangkutan nampak terkejut terutama saat Axel menabrakan badan Ulrich ke dinding.

"Kenapa. Kau, iblis yang punya kesadaran penuh—dan kelihatannya cukup cerdik ini memihak mereka?"

"Sederhana. Pokiel menyediakan tempat untukku. Yang kubutuhkan hanya tempat—"

Sebuah peluru meretakkan salah satu tanduk putih Ulrich. Ia kelihatan tidak senang. Tetapi pelaku penembakan itu terlihat lebih tidak senang lagi.

"Jangan main-main denganku, bocah." Nada bicara Detektif Ro sangat dingin. Mungkin ia tak suka anak-anak. Khususnya yang seperti Ulrich.

Secara mengejutkan Ulrich bisa menahan emosi, "Begitukah? Terserah deh. Bicara dengan kalian mulai membosankan. Ayo kita main yang lebih seru."

Kabut pekat membuyarkan konsentrasi Axel dan Ro setelah Ulrich berguling mengambil kembali peniup balonnya, lantas membuat balon putih yang meledak. Dengan sigap mereka berusaha keluar dari kabut. Ro adalah yang pertama berhasil. Ia lebih tahu tata letak halaman gereja. Radius kabut sudah ia perhitungkan.

Ujung kabut meninggi di luar gereja. Terlihat sesuatu meroket, mencapai balkon lantai dua. "Gila. Itu tingginya sekitar tiga meter!" Ro terkesiap waktu menyadari itu adalah Ulrich yang meloncat, "Axel, kita tidak boleh kehilangannya!"

"Dengan senang hati tanpa kau perintah pun akan kukejar," sahut Axel tenang, "Sepertinya bocah itu iblis campuran. Jadi kita harus bersiap dengan kemampuannya yang bisa jadi punya unsur kejutan."

"Mereka datang dalam berbagai bentuk dan ukuran, heh?"

Mengelilingi bagian barat gereja awalnya adalah ide bagus bagi Axel dan Detektif Ro. Namun melihat situasi sekarang, Meraphisto dan Diarablo masih belum bisa dilumpuhkan sepenuhnya. Ini bisa jadi cukup berbahaya jika gerakan tim Detektif Ro terpecah.

"Tunggu, tunggu. Detektif Ro," pinta Axel menghentikan langkah Detektif Ro.

Detektif Ro sudah mencium ada yang tak beres, "Jelaskan, Axel."

"Iblis ini cerdas. Kalau kita terpancing lebih jauh, kita akan kesulitan bergabung dengan tavernor lain."

Tavernor. Begitulah panggilan para anggota Tavern of the Black Alley. Orang-orang ini melakukan tindakan independen tanpa banyak orang tahu. Baik itu perbuatan baik atau perbuatan buruk. Semboyan mereka adalah, 'Apa yang diceritakan di Tavern, tinggal di Tavern.' Tidak heran informasi tentang Grand Light bebas dibicarakan di sana.

"Huh, tak mudah diberi umpan, ya," gerutu Ulrich di atap. Ia berjongkok sambil meniup balon dari permen karet yang sedari tadi dikunyahnya. "Ah! Fernando! Di sana kau rupanya. Kau siap mencoba anugerah Sathanus? Pokiel bilang hasilnya akan sangat besar."

Katak merah bersayap melayang dari balik tudung jumper hijau Ulrich. Ia nampaknya setuju-setuju saja dengan perkataan Ulrich. Binatang itu menahan napas. Perut dan tenggorokannya tak bisa dibedakan karena mengembung.

"Hah, Zainurma konyol. Siapa yang butuh domba kalau kau punya kodok terbang?"

Pertumbuhan ukuran katak merah bernama Fernando tak kunjung henti. Ukurannya kini tidak ingin kalah dengan Meraphisto dan Diarablo.

"Kodok terbang yang besar!" Senyum tersungging di bibir Ulrich.

Di bawah, Axel dan Ro langsung menembaki perut besar Fernando yang tanpa perlindungan. Hujan darah, tapi Fernando tak kelihatan merasakan kesakitan yang berarti. Hal berikutnya mengejutkan Ulrich saat Fernando membuka mulut.

"Holly crab! Kau baru saja memberi makan Fernando dengan apa, hah!?"

Seekor vermin dilempar ke dalam mulut Fernando. Pelakunya Pucung. Sangat mudah baginya melempar dari atap gereja yang letaknya kebetulan lurus dengan mulut Fernando.

Dua kali badan Fernando oleng. Pertama, karena tersedak vermin. Kedua, karena Pucung mendaratkan diri di atas Fernando. Kejutan, kejutan—pendaratan Pucung dikejutkan dengan meledaknya balon berwarna kuning hasil karya Ulrich.

"Rasakan! Pengganggu!"

"Si-sialan …."

Seharusnya ledakan listrik dari balon kuning Ulrich dapat melumpuhkan gerakan manusia dewasa. Sayangnya, Pucung bukan manusia. Kendati begitu, Pucung mengalami kesulitan bergerak, juga menjadi lambat. Ini seharusnya bisa Ulrich manfaatkan untuk menyingkirkan Pucung. Maka ia jalankan rencana tipuan pertamanya.

"Tali sepatumu lepas, tuh!"

"Ta-tapi aku tak memakai sepatu bertali."

"Aaarrgh! Dasar! Bagaimana bisa kau tak tertipu!?"

Gagal. Pucung memang memakai sepatu mobil-mobilan tanpa tali. Berikutnya!

"Hal apa yang paling menyebalkan?" Ulrich menyodorkan sebuah tebak-tebakan acak.

"…."

"Berada di atas Fernando bersamamu saat ini!" jawab Ulrich.

Pucung yang masih hanya bisa bergerak lambat didorong dengan desakan bahu Ulrich ke tepi tubuh Fernando. Ia hampir jatuh kalau saja ia tak kebetulan berpegangan pada tanduk Ulrich. Si bocah remaja bertanduk pun hilang keseimbangan.

"Makhluk brengseeeek! Jangan sentuh tandukku! Apalagi bergelantungan padanya!

"Ka-kau semacam memintaku melakukannya. Lagipula jawabanmu barusan tidak relevan. Terlalu subyektif."

Cukup terkesan Ulrich, melihat bagaimana makhluk yang dihadapinya ini sempat menganggap serius trik murahan yang ia balut dalam sebuah tebakan acak.

Pucung mendekatkan diri pada Ulrich dengan tekukan tangannya, "A-Apa kita ke sini untuk terus bertukar caci-maki? Kau sebaiknya menarikku dengan baik, bocah keparat!"

Dari kejauhan sebuah helikopter hijau mendekat. Pilotnya adalah seorang tavernor bernama Zen. Patut diacungi jempol bahwa ia bisa-bisanya mencuri helikopter militer pada saat seperti ini. Sambungan nirkabel di headset pilot terjalin dengan Master Yafeth, Zoel, Axel dan Detektif Ro.

"Ada yang butuh malaikat pembasmi iblis?" seru Zen. Pria berambut cokelat dengan rompi biru muda itu memang cukup punya selera humor.

"Tunggu, Zen. Si iblis kecil berambut ungu bisa jadi berbahaya. Ada yang membantu kita melawannya di atas sana. Aku tidak tahu dia bersahabat atau tidak, apa kau bisa melihat jelas makhluk apa itu?" tanya Detektif Ro dalam sambungan. Ia hanya bisa menengadah.

"Dekat si rambut ungu? Bentuknya seperti … bungkusan guling?"

"Guling?"

"Hei. Si iblis kecil jatuh!" seru Zen. "Sekarang boleh kujatuhkan katak bersayap itu?"

"Sangat boleh, Zen." Master Yafeth mengizinkan, "Tolong singkirkan binatang menjijikan itu, aku tak mau pemandangan malam kotaku dikotori dengan monster-monster jelek."

"Tak bisa lebih setuju lagi, Zen! Setelah selesai dengan itu, bisa tolong jatuhkan si besar yang du sini juga?" Zoel setuju.

Senapan mesin heli menyalak. Ratusan peluru dimuntahkan untuk menjatuhkan Fernando. Dan itu membuahkan hasil. Fernando jatuh di atas si Cakar, Sathanus. Iblis itu berpendar. Meledak menjadi serpihan tulang-belulang.


PARADOX 4
DEMONOLOGY AND HEARTACHE


Sehari sebelum Hari Askensi. Malam di kota Brando seolah punya niat jahat pada setiap insan yang berkeliaran di luar. Betapa tidak, cuaca pun berkonspirasi, dengan benda putih dingin berhamburan dari langit. Menyelimuti pohon-pohon halaman rumah, termasuk pohon di Taman Hutan Raya. Tak luput pula mobil dan kendaraan lainnya yang kebetulan diparkirkan di tepi jalan.

"Se-sepertinya aku sedang dihadiahi situasi yang kurang menguntungkan," gumam Pucung, bersandar pada sebuah pohon di Taman Hutan Raya.

Meski ia datang ke tempat itu dari Bingkai Mimpi dengan menunggangi Alejandro, Pucung menolak berjalan-jalan dengan domba. Tak nyaman, pikirnya.

Ia memutuskan berjalan dengan sepatu rodanya saja. Alas, saat ia melintas di kolam beku Taman Hutan Raya, ia lepas kendali, menabrak seorang pemuda pirang. Awalnya pemuda itu menatapnya dengan tatapan ngeri. Tapi entah sejak kapan ia mulai berani melawan Pucung. Terjadilah pertarungan.

Untuk membuat pertemuan itu semakin menghibur, si pemuda pirang ternyata dapat mengeluarkan api dari kedua tangannya. Hasil pertarungan singkat itu sudah bisa ditebak: jerami Pucung jadi korban lalapan api.

Untungnya api masih berbaik hati melahap hanya punggung Pucung. Beruntung pula Pucung langsung berguling setelah terkena. Ia nampaknya harus berterima kasih pada benda putih dingin yang menutupi tanah ini.

"Napasmu menarik, kawan. Seolah-olah kau sedang dikejar sesuatu. Kau takut akan sesuatu, benar kan? Tapi sayangnya itu bukan aku," ujar si pemuda pirang. Pastilah kini ia merasa sedang di atas angin.

Langkah pemuda itu memperpendek jarak dengan Pucung. Dalam satu embusan napas, ia kembali menyalakan api di tangannya. Pucung agak panik, salju pada permukaan hampir membuatnya terjerembab saat ia mengambil langkah pendek ke belakang.

Pemuda pirang menoleh pada api di tangan, "Oh? Kau takut ini? Pantas iramanya berubah."

Lagi-lagi, Pucung berterima kasih pada salju. Hampir jatuh tadi, Pucung menyadari bahwa salju bisa menguntungkannya. Maka ia pun berbailk, memutar roda mobil-mobilan. Salju berhamburan ke arah si pemuda. Api di tangannya padam. Ia tampak tenang membersihkan salju setelah itu, namun sesungguhnya merasa sangat diremehkan.

Selanjutnya seperti yang telah diketahui, Alejandro membantu Pucung bergerak menemukan tempat berlindung. Setidaknya sampai malam hari berakhir dan luka d punggungnya pulih.

***

Tujuh hari sebelum Hari Askensi. Senja melanda Kota Brando. Hari itu Detektif Ro dan Axel Elbaniac sudah tiga jam duduk di kursi depan sebuah mobil antik. Rupanya mereka mengikuti ke mana Pokiel pergi. Di bawah lampu kota mobil itu terparkir, menunggu Pokiel ke luar dari sebuah rumah mode beretalase mewah.

"Pertanyaannya adalah untuk apa Pokiel mengarahkan opini kolektif ini." Axel lantas menyangga rahangnya dengan tangan. Orang-orang tak akan terlalu bisa melihat dahinya yang mengernyit tanda berpikir tertutup rambut panjangnya.

"Kita sudah pernah membicarakannya kan, Axel," Detektif Ro berhenti sejenak menghisap cerutu, "Ku rasa harta bukan lagi incaran Pokiel. Buktinya kepolisian Brando dengan mudah ia suap dari hasil penjualan mansion miliknya. Menurut catatanku, dia sempat tinggal di sini beberapa tahun. Tak ada aktivitas signifikan selama itu. Setelah dikabarkan menghilang ke luar kota, barulah ia berjaya dengan ajaran Grand Light ini."

Pokiel ke luar dari rumah mode dengan beragam tas. Ia memasukannya pada sebuah limosin yang menjemputnya. Bukan hak Detektif Ro dan Axel menilai selera berpakaian Pokiel, tapi mereka berdua setuju bahwa penampilan Pokiel sekeluarnya dari rumah itu terlampau dramatis. Bagaimana tidak, ia mengenakan jubah merah marun dan topi lancip. Apa sekarang ia pikir bahwa dirinya adalah anggota dari semacam klux klux clan?

"Jadi, apa kau pikir ada sesuatu di luar kota Brando yang menghubungkan Grand Light dengan Pokiel?" tanya Detektif Ro.

"Yah, macam-macam. Tapi jika kita melihat silsilah keluarganya, kakek buyutnya sempat terjerat rumor menarik, yaitu disinyalir sebagai pemimpin aktivitas occult di tahun 1093. Menurutmu ini ada hubungannya?"

"… kau percaya setan, Axel?"

"Hmph …," Axel menahan tawa, "seorang demonologist tak akan menyatakan kepercayaannya pada iblis atau setan. Masalah kepercayaan dan agama tidak kami bawa saat berurusan dengan mereka. Karena demonology bukan sistem yang bertujuan 'menyembuhkan' mereka yang percaya maupun tak percaya."

Detektif Ro mencoba mencerna kata-kata Axel. Belum sempat ia merespon, Axel balik bertanya, "Detektif Ro, apa kau percaya Tuhan?"

"Anggap saja begitu," jawab Ro dingin.

"Kalau begitu … ini mungkin waktu yang tepat bagimu untuk percaya iblis."

Axel yang menyetir, menginjak rem agar mobil berhenti. Ia menunjuk tempat tujuan Pokiel selanjutnya. Sebuah papan nama toko bertuliskan 'UNRAVEL' terpampang.

        Terlihat Pokiel keluar dari toko barang antik. Cukup menakjubkan melihat berapa kali Pokiel pergi ke toko hari ini. Hal terakhir yang ia lakukan sebelum pulang ke abbey adalah membagikan minuman kepada para grandlighter sebelum ia menyampaikan sermon-nya di Gereja Con Clavi seperti biasa.

Sepintas tak ada lagi yang unik dari aktivitas Pokiel. Tapi Detektif Ro bisa tahu bahwa Axel mendapatkan sesuatu dari itu semua. Ia hanya perlu memastikan.

"Kabarnya tanggal 29 Februari mereka akan mengadakan Hari Askensi di Gereja Con Clavi. Ku dengar dari beberapa pemuka agama bahwa itu bukanlah tanggal bagus," kata Detektif Ro.

"Berapa hari lagi itu?"

"Tujuh."

"Dan sudah berapa Grand Light ini mencurigakan?"

        "Mulai terlihat gerak-gerik mencurigakan Grand Light sejak tiga bulan silam. Beberapa organisasi kemanusiaan sudah mendesakku mengungkap kasus ini sejak lama. Tapi sejauh ini aku hanya dibantu orang-orang di Tavern," Detektif Ro mematikan cerutunya, "Mereka bahkan tak dapat bayaran untuk itu. Bicara buruk tentang Grand Light di kota Brando hanya akan mendatangkan nasib buruk bagimu."

        "Jadi di mana tempat bicara buruk tentang Grand Light?"

        "Tavern tempat sempurna untuk itu."
       
"Baiklah. Kita ke sana sekarang juga."


***

        Tubuh seksi Tal Becker didorong oleh William ke dinding. Laki-laki itu tak sepenuhnya berbohong saat ia bilang akan mencari tempat aman. Ia menemukan sebuah ruang kamar di lantai atas gereja. Tal Becker awalnya menurut, tapi melihat cara William mengunci pintu dari dalam, ia tahu bahwa William bermaksud buruk padanya.

"Tidak perlu munafik! Aku tahu kau hanya seorang pembual ulung yang menyedihkan!" Tal melepaskan tangannya dari William.

"Kalau benar memangnya kenapa? Aku sudah sangat jujur bahwa menikmati tubuh wanita adalah kesenian yang mengagumkan. Aku pemerkosa. Dan aku bahagia. Kalau ada yang munafik, bukankah semua korbanku sebenarnya menikmati seks? Siapa yang tidak? Bukankah mereka?"

"Kau sakit, William," ujar Tal sembari menepis rengkuhan William. Ia sangat tidak ingin dikecup, "Ku harap jika kita bertemu di kesempatan berikutnya, kau akan lebih tahu cara memperlakukan wanita."

Agak takjub William melihat tubuh Tal Becker berubah transparan kemudian menghilang tanpa jejak. Ya. Hanya 'agak'. Ini bukan kali pertama ia melihat yang seperti itu.

Di samping William, muncul seorang gadis berpenampilan sederhana dengan sebuah one-piece dress. Hanya William yang dapat melihatnya. Itu adalah iblis yang mengikutinya. Iblis itu dipanggil Bathory.

"Tak ada darah untukku hari ini?" tanya gadis itu lirih.

Kepala William menggeleng, "Bathory, sepertinya Nona Tal Becker itu hantu, ya? Bagaimana jadinya kalau dia tahu bahwa ia telah ku perangkap dalam lukisan ini?"


***

        Ditelusuri tangga menurun gereja oleh Tal Becker. Dengan kemampuan teleportasi jarak dekat seperti tadi, sebenarnya ia tak terlalu butuh bantuan William untuk selamat di tempat penuh iblis dan grandlighter terkutuk itu.

        Bunyi sesuatu yang bertabrakan sangat keras mengganggu keseimbangan jalan Tal Becker menuruni tangga. Sebenarnya sebagai arwah ia tak perlu berjalan, cukup melayang. Ia hanya merasa janggal dengan itu. Sebagai manusia dulu, ia terbiasa berjalan.
       
Sebuah pengumuman dengan pengeras suara dapat Tal dengar. Datangnya dari Pokiel.
       
        ["Sekarang, para jemaat grandlighter dan para jemaat yang tak percaya. Nikmatlah kegilaan kalian. Iblis dan setan akan kehilangan kekuatan sejenak."]

Tal Becker percaya-tidak-percaya saat mendengarnya. Sejujurnya ia tak terlalu peduli dengan Pokiel dan konflik ini. Pikirnya, sebagai mantan manusia, sudah tak ada urusan lagi ia dengan hal dramatis macam ini. Yang Tal ingin temukan di sini sekarang adalah si revrier bersepatu mobil-mobilan. Ada pesan yang harus ia sampaikan padanya.

Sesampainya di halaman gereja, Tal Becker dikejutkan dengan para iblis yang lumpuh. Mereka terlihat lemas. Kontras dengan para grandlighter terkutuk, juga manusia di sekitarnya.

Seseorang menerjang Tal Becker dari samping kanan. Pria jangkung berambut hitam panjang itu menyobek baju Tal. Wanita itu ditindih dalam posisi terlentang oleh Axel Elbaniac. Sobekan demi sobekan membuat Tal Becker menjadi setengah telanjang.

"A-apa yang kau lakukan!" Siapa ka … aaah … aah!"

Payudara Tal Becker seolah menjadi hidangan istimewa bagi Axel. Tak henti ia menghisapnya. Entah apa yang merasukinya, nafsu birahi menguasainya sampai ujung kesadaran.

"Hahahahaha! Ini pesta gila! Lihatlah orang-orang, Bathory!" ujar William tak lama sebelum ia berlari riang ke arah garpu jerami terdekat. Untuk apa? Seringai sinting William merepresentasikan pola pikir candu seksual si Pemerkosa Berantai. Apapun akan ia lakukan demi merengkuh katarsis bagi libidonya yang memuncak. Termasuk mencakarkan garpu jerami ke punggung Axel Elbaniac sedalam-dalamnya.

"Minggir, Pengusir Hantu! Sungguh ironis— pengusir hantu bisa ku usir memakai garpu jerami dengan mudah!"

"Ggghhh …. Beraninya kau …" ujar Axel yang masih tersungkur. Kesadarannya kembali. Namun ia kehilangan banyak darah dari punggung. Menambah kondisi buruk Axel, luka pada punggungya membuat ia jadi sulit berdiri.

Kesempatan inilah yang tidak disia-siakan William. Ia menancapkan tajamnya garpu jerami ke antara tulang-tulang pergelangan kaki Axel. Membuatnya lumpuh. Menyalakan teriak dari tenggorokan Axel yang mulai terbatuk.

Kurang puas, William meludah congkak ke wajah Axel. Ia Lantas kembali meracau, "Nah. Gatalnya sudah kugaruk, saatnya makan memek!"

Mata William blingsatan penuh nafsu memandang Tal, tanda tak sabar.

"Ti … tidaak … ja—ahk."

Tidak bisa. Tal Becker tak bisa melakukan teleport kali ini. Apa yang dikatakan Pokiel lewat pengeras suara itu benar, bahwa iblis dan setan kehilangan kekuatan sejenak? Tapi, ia hanyalah arwah orang mati! Bagaimana bisa ia disamakan dengan setan? Celakalah ia. Sepertinya kehilangan kekuatan ini berlaku pada makhluk ghaib lain juga.

"Selamat makaaan!"

Padahal Tal Becker sudah berusaha bangkit dan melarikan diri walau letih. Namun ucapan selamat makan dari William membuat harapan selamat dari terkamannya sirna.

Lidah William dengan liar merogoh lubang kemaluan Tal Becker. Seakan tiada kendali lidahnya menyapu basah langit-langit kemaluan Tal, memutar spiral demi setiap sisinya.

"A … aa … aaaaaaaahhh!"

"A … ah … hahaha! Aku … sangat membencimu, Hantu Jalang!"

"Mmmhh … mmhh," erang Tal Becker. Ia berontak dari serangan bibir William yang kini bermaksud melumat bibirnya. Bagaimanapun Tal Becker menggerakan leher untuk menghindar, tetap saja bibir William dapat dengan mudah mencium bibirnya.

Tal Becker makin tak berdaya saat jemari William mencengkeram pipinya, membuat mulutnya lebih terbuka. Segeralah William mencium dengan penuh hasrat bibir Tal.

"Mmh …," dilepaskannya ciuman itu, "Kau seharusnya pergi ke London denganku. Ada love hotel dengan beranda yang pemandangannya sempurna untuk melakukan seks outdoor. Percaya padaku, kau akan menyukainya, Nona Tal Becker."

William menunjukkan kanvas lukisan Tal, "Terima kasih telah menjadi model lukisanku, Nona Tal Becker. Kau milikku sepenuhnya sekarang."

Tal Becker mencoba bangkit. Namun apa daya, kekuatannya untuk bangkit dan memukul pun tak ada. Apa kekuatan arwahnya sudah selemah itu?

        "Keparat! Apa yang kau lakukan padaku!?" tanya Tal Becker curiga.

"Sudah ku bilang, kau milikku sepenuhnya. Segala yang kau lakukan atas seizinku. Kau akan melayaniku. Biar kutunjukan … Belailah aku … cium aku!" perintah William.

Ajaibnya, itu benar-benar terjadi. Tal Becker membelai pipi William. Kemudian ia cium pria itu seolah ia yang sedang bernafsu.

"Sekarang … buka … celanaku," bisik William menciumi leher Tal Becker,  "Katakan halo untuk—"

Bau hangus tercium, William tak mampu melanjutkan perkataannya.

"Guakhh …. GHRRAAAAAAAHHH! API APAA INI!"

Nahas, tubuh William pelan-pelan terbakar hebat.

Ciuman dengan Tal Bukanlah hal yang tak menimbulkan apa-apa. Pasalnya, ciuman Tal akan membuat orang merasakan kesedihan setelahnya. Tentu akan lain cerita jika itu adalah orang yang dicintai oleh Tal. Namun William tidak termasuk dalam kategori itu. Jadi melankoli yang dirasakan William saat ini sudah tak diragukan lagi.

"Sayang sekali, William. Kau yang membuatku menciummu."

Api Byzantium adalah salah satu keahlian Tal Becker. Api ini istimewa, tak sembarang orang bisa memadamkannya. Anggap saja William sedang sial atau beruntung pagi ini; karena api ini tak akan membuatnya mati, hanya saja sensasi terbakarnya akan tinggal di sana—menggerogoti tubuh William sampai ia berharap mati rasa saat itu juga.

"A … apa … yang membuatmu berusaha sangat keras untuk melawanku, hah!?"

"Karena terkadang takdir jauh lebih congak, kalau kau hanya terus diam tanpa melakukan sesuatu," kata Tal Becker sambil memungut bajunya yang robek. Ia pergi seadanya dengan itu.

Entah apa yang terjadi pada William selanjutnya di taman itu pasca ditinggal Tal. Siapa yang tahu sampai kapan ia bisa menahan rasa sakit Api Byzantium, katakanlah; sampai api itu padam, atau sampai rasa sakit membuatnya cukup gila untuk sengaja mengakhiri hidupnya.


***


Detektif Ro tak kuasa menahan napas melihat kota tua ini porak poranda. Segalanya menghitam di matanya. Jika mengungkap misteri Grand Light bisa membuat Kota Brando sehancur ini, ia akan berpikir lebih banyak untuk mengubur dalam-dalam keinginannya.

Mungkin sudah saatnya ia menyerahkan kasus ini pada yang lebih muda seperti Axel Elbaniac. Setidaknya sudah banyak ia mengungkap petunjuk untuk Axel teruskan. Sedikit yang ia tahu, bahwa harapannya untuk menyerahkan segala petunjuk di kantung jasnya akan tertabrak ketidakmujuran.

Baru Ro sadari sakit luar biasa berasal dari bahu kirinya. Cipratan darah mulai mewarnai sebagian besar pipi Ro. Serigala iblis. Ukurannya sebesar manusia dewasa.

"Keparat!" umpat Ro menatap tajam sang serigala. Tidak cukup dengan itu, langsung saja Ro menyergap kepala sang serigala, kemudian membantingnya ke depan. Suara 'kaing' dapat ia dengar, tanda sang serigala kesakitan.

Sepertinya, untuk sejenak, orang-orang di sekitar sini mendadak hilang kendali. Macam-macam. Ada yang kehilangan kendali seksual, kesabaran, nafsu makan, dan sebagainya. Ia dan Axel tak terkecuali. Untunglah ia bisa sadarkan diri setelah sesuatu mengenai kepalanya.

Menatap nanar sekeliling, Detektif Ro tak menemukan tanda-tanda keberadaan Master Yafeth atau Zoel. Para polisi dan tentara ia temukan tergeletak tak bernyawa, kebanyakan karena bagian tubuhnya sudah digerogoti sesamanya. Lutut Detektif Ro menyentuh tanah saat melihat helikopter yang ditunggangi Zen hangus terbakar.

"Semua ini terjadi setelah cakar raksasa itu pecah menjadi tulang, aku ingat … atau … apakah memang kata-kata Pokiel sekuat itu? Membuat orang-orang menjadi gila dan melumpuhkan iblis!? Ini tak masuk di akal," gerutu Detektif Ro.

 "Tepat sekali dugaanmu, Detektif Ro. Ini ulah Sathanus. Sayangnya aku tak semahakuasa itu. Kalian para manusia harus mengambil pelajaran demonology lanjutan tentang kekuatan para iblis. Lalu aku? Aku akan pergi ke kota lainnya, memanggil Sathanus lagi, dan mengajak kalian belajar demonology lagi!"

Pokiel mendengar gerutu Detektif Ro. Ia rupanya sengaja menampakkan diri di hadapan Detektif Ro untuk mencemooh. Tak ada tampang berdosa di wajahnya.

"Berhenti bicara yang tidak-tidak, Pokiel. Berhenti bicara seolah-olah kau adalah salah satu dari mereka!"  

"Mereka? Aku memang salah satu dari mereka."

Wajah Pokiel kini menampilkan ekspresi tak waras. Ada antena keluar dari topi lancipnya. Matanya berubah merah besar. Mulutnya menjadi capit tajam.

Tinjuan jab dan uppercut sudah Detektif Ro lakukan sebagai perlawanan terakhir. Memang Pokiel terkena. Tapi tubuh yang menyerupai serangganya tidak bisa tumbang hanya dengan teknik boxing. Butuh lebih dari itu.

Mulut bercapit Pokiel meminta lebih banyak perlawanan dari Detektif Ro. Namun telinga pria tua itu sudah Pokiel cabut dari tempatnya untuk dapat

Terakhir, barulah dengan mulut bercapit itu, Pokiel memangsa Detektif Ro.


PARADOX 5
WATCH OVER US TONIGHT


"Oneiros! Itu Oneiros!" seru Ratu Huban.

"Perbesar gambar!" seru Mirabelle. Seorang staff berkepala tapir lantas menekan tombol guna memperbesar gambar di monitor. Terlihat sesosok berkepala bola mata ungu. Jubanya berwarna senada. Ia mengangkat sebuah tongkat gembala berujung lingkaran berjaring aneh, menggiring domba-domba hitam melewati sebuah sungai berjembatan pelangi.

Mata besarnya bergerak-gerak janggal. Lalu, seakan ia bisa melihat Ratu Huban dan Mirabelle di sana, ia mengatakan sesuatu.

"Aku … hanya menjalankan tugasku."

Ratu Huban dan Mirabelle terkesiap. Mereka tahu ada yang tidak beres dengan pekerjaan Oneiros.

Entah bagaimana Oneiros dapat merasakan dirinya diawasi oleh kunang-kunang elektrod milik Mirabelle. Wanita itu hanya bisa mengepalkan tangan melihat hilangnya gambar di layar penampil mimpi.

"Ratu Huban, Tuan Zainurma harus segera diberitahu."


***


Penolakan dari Tavern of the Black Alley membuat si pemuda pirang berjalan lunglai di Taman Hutan Raya kota Brando. Pokiel menjanjikannya 'pembalasan dendam' hari ini. Entah bagaimana Pokiel dapat menemukan Ghoul di sudut acak gang-gang hitam kota Brando. Berbekal undangan dari Pokiel, dan luka di tangan yang sudah ia perban sendiri, ia menuju Gereja Con Clavi.

Tidak mudah bagi Ghoul untuk menemukan gereja itu. Hampir setiap orang yang ia tanyai merasa takut akan penampilannya. Baju hitam dengan dada terbuka, lalu celana hitamnya yang lusuh tak membuat penampilannya terlihat bersahabat. Segalanya lebih buruk ketika mereka melihat luka bakar pada wajah Ghoul.

Tapi semua terbayar saat sampai di Gereja Con Clavi. Benar saja, Pokiel tidak bohong. Gereja ini tempat sempurna untuk balas dendam.

Ghoul tak tahu ini sudah kali keberapa ia mengambil napas. Nyala mata merahnya menatap nanar sekitar. Ia sempat melihat seorang nenek kejang-kejang, sementara yang lainnya tak kalah meregang nyawa. Ghoul seharusnya tahu perasaan bersalah akan kembali menghantuinya. Ghoul 29 Februari itu merasa terkonflik.

"Bakar! Bakar mahluk itu sekarang juga!"

Sebuah imaji terproyeksi dalam pikiran Ghoul. Seolah-olah aat ini ia memposisikan dirinya dalam balutan api di lapangan eksekusi, lengkap dengan caci maki warga berdengung di telinganya.

"Kau memakan mereka yang lahir pada tanggal 29 Februari itu hanya demi meningkatkan ilmu hitammu, dasar ghoul!"

"Cuih! Najis, tahu begini kau tak akan kami biarkan tinggal!"

Ghoul mengingat, dirinya yang lain di masa lalu pernah berjanji.

[Di tanggal kelahiran sekaligus tanggal kematianku ini, akan menjadi mimpi buruk bagi kalian semua…]

[Aku akan bangkit memakan keturunan kalian semua hingga tak tersisa!]

Dengan tarikan napasnya, Ghoul memadukan energi pernapasan dengan kekuatan otot kakinya, sehingga ia mampu melompat ke balkon sebuah ruangan dalam Gereja Con Clavi.

"Ah. Ghoul! Mari masuk. Bagaimana kau bisa menemukanku?"

"Pokiel. Aku ingin menggelar pesta syukuran di pestamu ini. Boleh?"

"Syukuran? Haha! Pesta di dalam pesta? Kau bahkan tak perlu bertanya, Ghoul. Sesukamu saja di sini. Jangan sungkan," jawab Pokiel.

"Hmmm, terima kasih, kawan. Ini hari ulangtahunku. Aku bisa rasakan kekuatan mengalir di tubuhku!" Itulah perkataan terakhir yang Ghoul katakan sebelum menyerang warga sekitar yang terdekat. Ini semua adalah tentang balas dendam.

Ia sobek dada para wanita.

Ia rampas wajah-wajah cantik mereka dengan api.

Ia tahan napas mereka hingga merindu udara, kemudian membiarkan rindu itu tak sampai.

Ia gantung para ayah di depan anak-anaknya.

Ia bakar anak-anak itu kemudian.

Sungguh sebuah kesenangan manakala Ghoul mencicipi sensasi berburu warga. Ia seakan mempunyai taman bermain pribadi. Semuanya perlahan menjadi adiksi, hingga ia takut pada akhirnya akan hilang kendali.

Ghoul sang buronan kini berbalik menjadi seorang pemburu.


***



Salju ringan yang turun kala itu tak memberikan keuntungan berarti bagi siapa pun di tempat itu. Malah, situasinya bisa jadi lebih buruk. Gereja Con Clavi sama sekali tak memberikan nuansa surgawi dalam dinginnya malam.

Umur gereja itu mungkin sudah ratusan tahun, tapi kasus manifestasi iblis-iblis di kawasan gereja semestinya adalah hal yang langka. Saat ini, suasana gelap di Kota Brando keseluruhan tak ubahnya seperti diorama sudut kecil sebuah necropolis.

Tiga sosok sudah kembali tersadar pasca kegilaan beberapa saat tadi. Pucung, Ulrich, dan Axel. Tak ada pertarungan di antara mereka, dengan alasan sederhana: terlalu lelah.

Pucung berdiri di samping tubuh Ulrich. Axel sudah membuat rantai segel sederhana dari bebatuan masonry gereja. Ia tak yakin bisa menahan Ulrich berapa lama. Asal bisa membuat Ulrich tetap mendengarkan, ia tidak keberatan dengan itu.

"Ars Goetia atau …,"

Pucung hanya bergeming saat Axel menjelaskan kemungkinan yang akan terjadi.

"A-Axel Elbaniac. Apa kau benar-benar yakin pria bernama Pokiel ini penyebabnya? Bukan iblis lainnya?"

"Tentu. Lihat saja Venomous Chalice yang ia gunakan. Itu merupakan wadah racun psikologis milik Bunda Sephiria yang Hilang. Disinyalir berasal dari kota kuno Metronord. Sempat dilelang dengan nilai 30 juta gromery. Aku tak menyangka si brengsek itu bisa mendapatkan barang sebagus itu."

"Pokiel punya barang-barang bagus. Makanya aku betah kalau bermain ke tempatnya, kau tahu," sahut Ulrich.

"Sial sekali. Seharusnya Lebih banyak aku membaca grimoir populer dari Sulayman itu. Ugh …."

        Memegangi luka menganga di perut, Axel berusaha menjelaskan lebih lanjut.

"Yang dilakukan Pokiel adalah mengoleksi kepercayaan terhadap kepercayaannya. Meski aku percaya yang ia lakukan benar-benar bisa memanggil iblis dengan melakukan goetia. Bukan berarti aku salah satu domba yang tersesat, bukan? Tidak ada yang dinamai sesat jika kau tak berpatok pada norma lazim masyarakat."

"Koleksi kekuatan sendiri bisa dianggap sesat, heh!? Hanya karena mempunyai cara berbeda, bentuk berbeda, lalu kalian anggap itu ancaman!? Tipikal." Sentakan Ulrich bernada berbeda. Ia nampak menyimpan unsur sentimental pada bicaranya. Hal ini akan lebih bisa dipahami jika orang-orang itu tahu bagaimana tanduk di kepalanya menjadi saksi bisu olok-olok para perundung.

"Masalahnya … dengarkan dulu, bajingan …," gigi Axel begertak, "yang ia panggil itu bisa jadi terlalu berbahaya, terlalu tak familiar … tak diketahui? Orang-orang takut pada yang tak diketahui. Bahkan aku sekalipun."

"K-kau ada benarnya," tanpa menoleh Pucung berujar. Ia menatap lekat mayat-mayat yang terbantai. "Aku bisa mengerti dan cenderung tidak peduli jika itu akan mereka jadikan tradisi atau kepercayaan. Tapi tugasku di sini adalah untuk membunuh iblis. Atau, pemimpin dari mereka. Jika yang memimpin adalah Pokiel, maka akan ku bunuh dia."

Pada titik ini, mereka berdua sudah tahu bahwa masing-masing mereka adalah reverier. Tapi Axel sepertinya ada keluhan tentang pernyataan Pucung. Wajah seorang gadis terbersit di benak pria itu.

"Kalau itu, aku tidak bisa biarkan. Aku memilih berpihak pada manusia seberapa bajinganpun mereka. Aku tak ingin memihak pada bajingan-bajingan yang disebut setan atau iblis," jelas Axel penuh kebencian.

"Cih. Padahal kupikir kau sebagai sesama setan bisa mengerti. Aku baru tahu kau setan setelah kita bertarung. Baumu berbeda. Kau berbeda dengan mereka! Apa untungnya kau memihak manusia!?"

"Sayang sekali. Kau berada di pihak yang salah, kawan," tambah Ghoul. Tahu-tahu makhluk ini sudah ada di pintu utama gereja.

"K-kau … kukira kau sudah lumpuh bersama para iblis lain," ujar Pucung setengah tak percaya.

"Justru kebalikannya. Aku baru saja merasakan terlahir kembali di 29 Februari ini. Aku adalah ghoul 29 Februari. Dan kalian akan jadi hidangan utama ulangtahunku malam ini."

Pernyataan Pucung malah membuat mereka semakin kesal. Pucung maklum walau tak menyukai keadaan ini. Yang buta memang memimpin yang buta pada bencana. Maka dari itu ia rasa perlu melakukan sesuatu menurut penilaiannya sendiri. Selama tak ada kontradiksi dengan aturan, ia anggap semuanya tidak masalah.
"Yang benar saja, Jerami! Jangan mau diperbudak manusia! Makhluk yang kau panggil Ghoul terlihat manusia, tapi baunya mirip dengan kita!" seru Ulrich.

"Te-terserah apa yang kalian pikirkan terhadapku. Aku bukan masalah utama di sini. Tanya diri kalian sendiri; sepeduli itukah kalian pada mana yang memanfaatkan mana: setan atau manusia?"

Bogem mentah mengarah ke pipi kiri Axel. Ghoul menegaskan pilihannya.

"Manusia adalah mangsa. Iblis, setan, tuhan, kawan atau apapun yang menggangguku memangsa adalah mangsaku juga!"

"Aku sudah tak peduli lagi, Balon merah!" seru Ulrich saat menyerang dengan peniup balonnya.

Sebelum balon merah itu sampai ke Axel yang masih lunglai, Pucung menghalau dengan tangan jeraminya. Balon itu meledak saat menyentuh atap gereja, menyebabkan guncangan.

"A-aku tidak punya waktu untuk ledakan-ledakan ini. Cepat katakan di mana Pokiel. Aku bertaruh kalian tahu."

"Mereka tidak mau mendengar. Menolongku berarti kau memihak manusia di mata mereka, kau tahu?" rspon Axel.

"Ja-jangan salah sangka. Nyawa manusia tidak seberarti itu bagiku. Tak ada 'menyelamatkan manusia' atau 'bersekutu dengan setan' dalam agendaku," jawab Pucung.

Memang, dalam surat Zainurma, tak ada ketentuan bahwa Pucung harus memihak dalam tugas ini. Manusia atau setan, menurut Pucung semua sama dalam hukum idealnya. Maka dari itulah ia lebih suka menjalankan agenda sendiri.

        "Kita harus bekerjasama, Jerami!" seru Axel menjauh. Akan sangat berbahaya jika Axel berada terlalu dekat dengan mereka. Saat ini ia memegang shotgun dan beberapa amunisi melingkar di ikat pinggangnya.

        " …. K-kalau sudah begini kita memang harus."

        "Kau … pikirkanlah sebuah ide."

        " …. T-tidak ada," kata Pucung sambil meluncur di bangku gereja.

        "Pikirkan lagi!" Tembakan Axel kali ini meladeni Ghoul yang akan menyerangnya.

        "Ba-bagaimana jika begini …"

        Pucung dan Axel kini berdekatan. Strategi mereka tak terdengar Ghoul maupun Ulrich. Tapi Ghoul tak peduli dengan yang namanya strategi. Ia bermaksud melakukan hantaman sikut ke bahu kiri Axel, tapi refleks Axel terlalu bagus, jadi Ghoul mengubah serangannya menjadi pukulan pada Pucung.

        Bunyi hantaman keras keluar dari tinjuan Ghoul pada wajah Pucung sampai menembus lapisan permukaan lantai gereja. Sepintas, perut jerami Pucung hitam gosong oleh api Ghoul. Namun api itu belum selesai menyambar.

        Api berbelok. Membakar perut Ghoul. Pemuda pirang itu berlutut kesakitan. Ulrich yang melihat itu hanya bisa mengutuk tentang bagaimana bodohnya pemandangan ini.
       
        Kersta Meista. Itulah mantra yang Pucung sebelum pukulan Ghoul. Inspirasinya tentang perubahan wujud telah kembali.

Pucung dan Axel saling pandang di kejauhan.

Itu ide konyol. Ghoul tak menyangka itu akan bekerja, begitu juga Pucung dan Axel sejujurnya.

"La-lain kali aku punya ide seperti itu, tolong hajar aku."

"Lebih buruk. Kau mungkin akan kuusir dari jerami itu."

"…."

"Apa?"

"K-Kau bisa lebih jahat dari setan."

" … aku anggap itu pujian."

Yang barusan terjadi adalah Pyrokinesis. Axel dapat mengendalikan sumber api terdekat demi keuntungannya. Ia tak dapat membuat, hanya dapat mengendalikan. Tapi itu semua cukup. Lihat saja ulahnya. Ia berhasil menambahkan luka bakar pada wajah Ghoul. Demikian pula ia sebarkan api itu dalam bentuk sambaran menyerupai sabit ke arah para iblis yang mengepung. Sungguh sebuah pencapaian.

Geram, Ghoul mengubah pola napas. Membuatnya berhenti menyalakan api di kedua tangannya. Rangsekan Ghoul yang belum siap diantisipasi Axel berakhir dengan jambakan keras pada rambut depan Axel. Sedapatnya, Ghoul hantamkan wajah Axel ke lutut. Aliran darah mimisan Axel menodai lutut Ghoul.

Sesuatu menghantam wajah Ghoul dengan telak. Itu adalah tendangan sepatu roda Pucung. Kali ini Ghoul yang mimisan. Kalau Axel masih sadar, mungkin ia akan mengacungkan jempol karena Pucung berhasil membalasnya. Sayangnya, Axel terlalu lelah untuk sadar. Ia ambruk.

Ghoul mengelap mimisannya dengan cepat. Ia lantas berujar, "Setelah kami, masih ada Pokiel. Menyerahlah, kawan."

"Ti-tidak. Aku akan membunuh Pokiel. Kalian tidak tahu apa yang bisa dia lakukan. Tidak juga aku."

"Huh! Melihatmu yang mengetahui semuanya itu membuatku muak, tahu!  Seperti Tuhan saja!" racau Ulrich.

"Me-mengetahui segalanya? Aku bukan Tuhan. Aku setan."

"Demi kutang Banshee! Yaaa laaah. Terseraaah!"

Lendir hijau tiba-tiba merekat pada tubuh Ulrich. Datangnya dari lubang besar di tenganh dari bawah panggung sermon. Bunyi gertak menyeruak. Ghoul yang menyaksikan itu pun sempat mundur beberapa langkah.

"Huh. Ulrich terlalu berisik. Lama-lama kubungkam kau," suara serak terdengar dari dalam lubang itu. Hal berikutnya yang muncul adalah seekor serangga besar . Dari bentuknya. Juga kekuatannya. Tidak salah lagi. Itu adalah Iblis.

"A … apa … kau bilang …," ucap Ulrich seadanya. Ia merasa energinya terhisap lendir lengket itu.

"Bentuk serangga itu. Mengenai dirimu telah banyak kubaca di The Magus," Axel berhasil mengingat. "Kau … Pokiel, atau seharusnya kukatakan saja nama aslimu, Beeralzebub."

"Benar. Akulah Beeralzebub. Sungguh menyenangkan menipu para manusia agar menyembah tuhan palsu. Kalau kalian ingin hidup, maka aku akan dengan sukarela mencarikan tuhan kalian yang baru."

Beeralzebub menoleh pada Ghoul, "Kau tidak berisik. Ayo. Bunuh dua cecunguk ini."
"GHSUISWWRAAAAAAAH!"

"A-apa yang …."

"KAAU … bukan kawanku. BERHENTI memanggilku 'kawan'. MENGERTI?"

"Baiklah."

"HRWAAAAAAH!"

Energi lendir hijau melelehkan jendela dan lilin-lilin. Pucung menghindar, menendang lukisan di dinding dan memanfaatkannya untuk berputar dan mendarat di piano gereja.

"GTRREAAAAAHRR!"

Lagi-lagi. Serangan lendir! Pucung beruntung. Rodanya memacu ke samping kanan. Kali ini Ghoul dan pintu masuk gereja pun terkena kerusakan serangan lendir hijau. Ini tentu menguntungkan Pucung, karena sekarang bagian tubuh kiri Ghoul sudah meleleh.

"A-akhirnya dengan ini kau berhenti mengejarku," ujar Pucung dengan cepat menghampiri Ghoul.

"Kalau … sudah waktunya, aku rela, kawan," balas Ghoul.

Pucung melempar Ghoul ke hadapan Beeralzebub. Benar saja. Ia menyalakan energi lendir hijau ke arah Ghoul tanpa menghiraukannya. Ghoul pun terbakar energi lendir. Tubuhnya meleleh di lantai gereja. Bahkan, lantai gereja pun meleleh karena lelehan tubuh Ghoul.

"I-ini bukan rahasia lagi, Axel. Aku ingin meminjam ingatanmu sebagai demonologist untuk berganti wujud menjadi sesuatu yang lebih dari serangga ini," usul Pucung.

"Huh, aku tidak yakin …," jawabnya masih terkapar, Axel memalingkan muka. "Aku sedang tidak berselera memikirkan bajingan."

"Pi-pikirkan, Axel Elbaniac. Pikirkan yang lebih mengerikan dari Beeralzebub."

"GGGGAAAARREHEHGWWAR!" Beeralzebub mengambil energi lagi dari Lubang Askensi.

"Ce-cepatlah. Sebelum aku berubah pikiran."

Sinar lendir hijau sudah melelehkan satu pilar gereja. Tak disadari oleh Pucung, tenaga Beeralzebub sudah kembali terisi untuk melancarkan serangan menyebalkan itu. Pucung lantas bergerak cepat memacu roda mobil-mobilannya. Merasa tersudut, ia memutuskan untuk menuju pintu, bermaksud keluar dari gereja. Sepertinya memang tak ada cara lain.

"Cih. Pengecut," ucap Axel masih tersungkur. Rambut gondrongnya menghalangi pandangan. Tapi ia tahu betul dari bunyinya, bahwa Pucung tak ada lagi di ruangan itu.

"Mengkhianati setan dan manusia … benar-benar. JERAMI PENGKHIANAT!" racau Ulrich tak berdaya dalam lendir.

Langit-langit Gereja Con Clavi bergetar hebat sebelum akhirnya runtuh. Yang keluar dari langit-langit tidak lain adalah cakar belulang raksasa. Itu adalah Pucung mengambil bentuk Sathanus! Axel mungkin tak bisa mengingat yang lebih hebat dari Beeralzebub. Tapi ia ingat bahwa Sathanus lebih besar.

Cengkeraman cakar raksasa menekan Beeralzebub. Awalnya itu tak cukup kuat untuk menghancurkan tubuh Beeralzebub. Kulit serangga biasanya tak sekeras itu. Tapi serangga iblis seperti Beeralzebub berbeda. Ia bahkan bisa berontak dengan energi

Sebuah pilar jatuh mengenai bagian tubuh bawah Ulrich. Sepertinya itu akan membuat kakinya lumpuh. Sementara Axel terbilang lebih beruntung. Demonologist itu hanya harus kehilangan tiga jari tangan kanannya yang hancur dilumat reruntuhan beton.

Guncangan hebat dialami Gereja Con Clavi. Jika tak ada api dan bau darah iblis di sana-sini, orang-orang mungkin akan mengira gereja ini hancur diterpa angin topan. Pada saat itu, orang-orang mungkin akan mulai membangun gedung lain di atas reruntuhan ini. Atau setidaknya, mereka akan mengganti nama Con Clavi untuk menolak bala.

Bentuk Pucung sekarang tak karuan. Sebagian tubuh bagian atasnya hilang. Yang ada hanya badan jerami bagian bawah dan kedua kaki bersepatu roda. Tak ada kepala dan tangan. Kainnya terbang entah kemana karena ledakan tadi. Meski begitu, ia tetap hidup karena arwahnya masih menetap.

"D-domba: Alenjandro!"

"Mbeeee!"

"M-mana Axel?"

"Mbeeeee!"

Pucung mengikuti arah suara Ale. Domba itu menunjukkan keberadaan Axel. Kalau Pucung masih punya kepala, pastilah ia sudah menunduk menatap tubuh menyedihkan Axel yang telungkup.

"Keputusan tepat, Axel Elbaniac. Keberadaanmu hanya ku butuhkan sampai di sini. Ternyata aku memang tidak ingin kau usir dari jerami ini."

Injakan sepatu roda menghantam renyah tengkorak belakang Axel. Berkali-kali Pucung injak, sampai ada beberapa helai rambut Axel yang rontok. Darah segar untuk kesekian kalinya mengalir dari Axel hari itu. Kali ini—dari kepala, mungkin untuk yang terakhir kalinya.


***


"Mbeee!"

Meski Pucung tak mengerti bahasa Alejandro. Ia sadar bahwa portal di hadapannya sekarang tercipta karena suara domba itu. Tempat apa yang dituju juga ia sudah tahu. Bingkai Mimpi. Surat dari Zainurma menyebutkan bahwa saat ia selesai dengan tugas pertama ini, maka ia akan dipulangkan ke sana.

Bagaimanapun, Bingkai Mimpi bukanlah Buana Panca Tengah atau Buana Nyungcung. Pucung tak perlu repot-repot merasa senang bisa pulang.

"Selamat! Kau berhasil, Jerami!" tangan Zainurma menyambut di ujung portal, "Ini sebuah pencapaian. Lihat dirimu. Benar-benar total! Kalau begini kau punya kesempatan besar menelurkan mahakarya—"

Tak bisa lebih bosan lagi Pucung menghadapi ocehan si Kacamata Hitam di sampingnya. Pasalnya, segala kata berunsur seni tak lagi menarik baginya jika keluar dari mulut orang itu. Tak sudi ia simak. Tak terlalu ia indahkan. Hanya beberapa yang ia cerna. Sisanya tak Pucung pikir ia butuhkan.

Mirabelle kembali mengaplikasikan Rapid Recovery EEG pada Pucung, mengembalikan tubuhnya seperti semula. Sikap tak acuh Pucung luluh memudar tatkala ia ditunjukkan sebuah booklet di atas jukebox. Ia tak menyangka Zainurma akan repot-repot membawa benda itu ke sini.

"Ini hadiah untukmu. Jukebox ini akan kutaruh di Bingkai Mimpi ini. Anggap saja hadiah hiburan. Mungkin yang berikutnya, Sang Kehendak akan mau bermurah hati untuk menghidupkan kembali para pupuh yang tertera di situ."

"Ma-maksudmu? Aku tak yakin Sang Kehendak punya kemampuan seperti itu. Lagipula, meminta bantuan pupuh lain untuk mengemban tugas seperti tadi hanya akan membanting harga diriku."

"Serius, aku yakin kau tahu siapa saja. Pupuh yang sudah tak ada, pupuh yang terlupakan …."

"Ta-tak bisa terlalu yakin siapa-siapanya …."

"Begitukah? Hehe, aku yakin yang berikutnya pasti lebih menantang untukmu. Bukan begitu, Huban?"

"Y-yaaa~ Kerja bagus, Alejandro! Nanti kita main, ya!"

"Mbeee!"

"A-apa lagi yang ada di balik lengan bajumu, Zainurma?"

"Pokoknya, jangan kaget nanti kalau kau menemukan seseorang yang kau kenal bangkit dari kematian."

Seringai Zainurma menutup pembicaraan dengan Pucung. Begitu pula dengan portal penghubung Bingkai Mimpi dan Museum Semesta. Meninggalkan Pucung kembali bersama puing dan landmark Buana Panca Tengah yang bercampur dengan buana lain.

Tidak mungkin, batin Pucung.

Jika ini memang mimpi, bukankah sesuatu seperti bangkit dari kematian bukan lagi hal yang mengherankan?

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Ini," Tal Becker memberikan sebuah surat yang ditulis dengan energi ghaib. Isinya adalah:

"Nilailah ASAM yang sekarang, Connoisseur."

Tertanda,
KasPeer.

Sensasi aneh menjalar tubuh jerami Pucung saat melihat kata Connoisseur. Kata itu seakan memicu sesuatu. Tapi tetap saja Pucung tak bisa ingat apa ia pernah berkenalan dengan setan bernama KasPeer.

        "KasPeer selalu ingin menunjukkan kepadaku bagaimana ASAM sejati. Kalau kau bisa memperlihatkannya,

        "E-enyahlah. Aku tidak ingin diikuti."
       
        "Aku memaksa. Aku tahu kau cepat dengan sepatumu itu. Tapi sebagai setan, sebenarnya kau cukup memalukan karena tidak bisa melakukan teleportasi. Kalau masalahnya adalah kecepatan, aku bisa lebih cepat darimu dengan teleportasiku, tahu."
       
"Te-terserah. Coba saja."

Kenapa Tal Becker bisa ada di Bingkai Mimpiku?

Siapa Tal Becker?

Apa itu ASAM?

Oh ya.

Aliansi Setan Alam Mimpi.

Aliansi?

Setan?

Alam mimpi?

Pikiran Pucung terlalu lelah.

Sang Kehendak mematikan pikirannya sejenak.

Agar ia dapat kembali bermimpi.

--


>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 53 - PUCUNG | REM
>Cerita selanjutnya : 

[ROUND 2] 23 - PUCUNG | REM 02: SATIRICAL

15 komentar:

  1. Anjir, si axel tergambar jauh lebih epik di sini. Lebih keliatan make otaknya. Spotlight tiap ocnya sendiri merata. Hanya saja, kok tal ama william kayak asyik “if you what i mean” daripada ikut terjun ke gereja. Plotnya juga ngalir. By the way, nuansa ala Tavern the black alleynya banyak yg kerasa, hehehe.

    8

    BalasHapus
  2. Halo Pucung
    saya sejujurnya harus baca dua kali untuk paham cerita secara keseluruhan. Untuk sesaat saya kira ini cuma Pucung dibawa dari satu kejadian ke kejadian lain. jadi meski benar plotnya ngalir, saya baru paham keseluruhan saat baca yang kedua.

    nilai 6
    William A. Anderson

    BalasHapus
  3. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : C
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : C

    Homage ke member tavernnya lengkap ya. Tapi saya miss, ada apa antara Tavernor sama Grandlight yang bikin mereka konflik? Apa karena diminta Ro? Tapi menjelang akhir mereka kayak hilang entah ke mana. Mati semua habis kena kegilaan iblis?

    Entah kenapa saya agak kehilangan fokus pas baca ini. Kayak ga ada sense of objective sejak tiba di settingannya, juga kadang agak sulit ngebayangin flow of eventsnya

    Oneiros disebut muncul...tapi terus apa? Kayak sekedar disebut aja

    Bagian terakhir baru lumayan jelas buat diikutin, pas 4 reverier udah berkumpul di satu tempat. Begitu Pucung dibilang bisa shapeshift, jadi keinget Anita yang juga jadi raksasa bentuk ga karuan di entrinya

    Dan di mana Tal selama kekacauan ini habis bunuh William?

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  4. dalam cerita 12k semua karakter pasti dapet spotlight ya.

    cuman perpindahan adegannya aja kurang mengalir imo.

    adegan demi adegan terasa lompat2. seakan karakter2 di sini bisa teleport semua xD /plak

    misalnya tal & william bisa langsung sampe gereja, tapi buat pucung & ghoul kerasa lebih jauh... atau axel yg lagi ada di lubang askensi, tiba2 muncul ngegrepe tal, abis itu udah sama ulrich dan pucung lagi.

    di samping itu secara keseluruhan udah ok.

    nilai: 8
    oc: castor flannel

    BalasHapus
  5. Ini alurnya campuran, ya? Di belakang tersaji apa yang sebelumnya kayak nggak jelas. Tapi yah, karena itu rasanya cerita ini jadi kurang fokus. Nanti di mana, lalu di mana. TwT

    Selain itu, cerita ini kebanyakan tokoh. Sayangnya mereka bukan OC, sub OC, maupun OC tamu. Dan saya kenal beberapa. Duh, kasian Kak Fudo ._.

    Kalau gak ada jalan-jalan ria di Museum Semesta dan sambutan akhir, ini entri niscaya berasa kayak bukan entri Pucung.

    Yang paling menarik perhatian saya sekaligus jadi hambatan ... itu narasinya. Well, diksinya saya suka. Canggih gitu. Cuman imo, kurang cocok buat narasiin Pucung--sekali lagi ini cuman pendapat saya ._. Selain itu, rangkaian kalimatnya agak susah dimengerti. Terutama bagian akhir pas reverier pd ngumpul minus dua sejoli. Uh, saya sering harus baca lebih dari sekali kalimatnya biar ngeh. Maaf saya lupa apa nama istilah ilmiahnya buat ngejelasin masalah ini ._. Dan kadang merasa ada bagian yang kurang lengkap. Apa mungkin itu semua hasil editing, kah?

    (Ah ... maaf, saya bukan tipe yang mau baca keseluruhan lebih dari satu kali)

    Dialog"nya ada juga yang menarik. Tapi seringnya komprehensi saya kurang nangkep apa yang mereka omongin. Contohnya pas Zainurma, atau pas Axel sama Ro ngobrol, kumpul" di akhir, dll.

    Aduh ada bagian yang ... errrm.

    Hmm ... jujur aja, entri ini jadi berasa kurang ngena gitu, apa yang mau disampein. Tavernor sm Grandlighter berantem, iblis" muncul, beberapa OC dengan urusannya sendiri ... bahkan pertentangan yang nggak berasa jelas tujuannya. ._.

    TBH, saya bingung nilainya. Teknisnya sih rapi, tapi saya kurang bisa menikmati.

    Yah, menimbang faktor di atas saya titip ... 8 deh.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  6. Aduh, Pucung. Karena di browser ane diaktifin night mode (tampilan negative) jadi rasanya pas banget bacanya xD #abaikan

    Walau alurnya serius, ada beberapa scene yg bikin ane terhibur. Tapi.. ane kaget juga adegan pemerkosaan masuk gitu aja di tengah-tengah.

    Tapi ane masih gagal paham yg Axel nongol gitu aja nge.. *ahem* Tal.

    Still~ Plot unsur sekte seperti ini ane cukup enjoy. Terlebih aksi dan komflik di sini enak diikuti.
    ---------------
    Rate: 7
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus

  7. Fudo, Lyca, Brigitta, yafeth, Zen, Zoel , ... Who is RO?

    kwwkkwkwkw Tavern masuk ke cerita. Btw, kak Lycanya kurang cerewet dan kurang nafas tuh xD biasanya kan panjang ddalam satu kalimat xD Dan sungguh Kodok Terbang itu sangat lucu muncul di tengah xD


    *lalu tetiba lupa ingatan*

    eum.. tavern itu apa? *lirik kanan kiri*

    =================
    Review Umi mulai, ceritanya sungguh berat sekali. Entah apanya. Kayaknya sih Narasinya. Umi sih yakin Narasinya. Berasa harus membuat Umi baca 2-3 kali baru paham ceritanya tentang apa.

    Buat Umi itu masalah. Gede.

    Apa yang umi suka dari sini?
    Karakterisasinya Oke. Setiap tokoh dapet porsi yang hampir sama. Hubungan antara tal sama William di sini cukup menggambarkan dengan jelas sesuatu yang berbeda. semoga mereka segera berdamai. Juga Umi suka kerapihan ceritanya.

    Apa yang perlu dikembangin?
    Narasi. Ini berat banget Dan ._. Serius. Umi butuh ngulang loh Dan. Dimana, Umi tidak pernah melakukan hal kayak gitu sebelumnya di entri Wildan yang lain. Like, what happened? Kamu lagi mau bawa suasana super serius kah di cerita ini?

    Ta-tapi Pucung?

    Well, naration is a matter of author's choice, right?

    --------------------

    Nilai : 7 +1 (because this is a well Art) :)

    BalasHapus
  8. "Demi Kahyangan! Aku masih 10 tahun tau! Kukira tak ada cerita 18+ disini!"
    -Sidya

    +PROS
    +Errr, meski saya kurang paham Tavern of Black Alley itu apa, kesan mau 'pay homage'-nya nggak bisa lebih kentara lagi, soalnya ada authornya Stalla disitu, dan itu patut dihargai, apalagi kalau berani matiin semua anggotanya wkwkwk
    +Para Tavernor disini keren, sampai ada yang bawa heli segala :D
    +Narasinya agak beda dari Pucung waktu ada Asep dulu, lebih rumit :D saya prefer yang seperti waktu prelim dulu sih, meskipun ini oke juga. Lagi eksperimen kali, ya.

    -CONS
    -Mengutip sub-OC saya diatas, tampaknya harus ada peringatan kala ada adegan 17-18+, sekedar jaga-jaga aja. We never knows who'll read our entry, right?
    -Perpindahan scene agak abrupt ya, bahkan saya melihat ada yang kepotong gitu. Deadline mengancam di setiap sudut, sih.

    Nilai dari saya 7. Semoga sukses, Jerami!

    TTD
    Dewa Arak Kolong Langit
    (Mampir ke lapak ane gan)

    BalasHapus
  9. Mas Puc, aku mencintaimu :*

    ah, saya pengin ngomong gitu aja sama kasih nilai. tapi, nanti saya digeplak sama Mas Zai, kan nggak lucu dong. wkwkwkwk...

    diksimu itu lhoo... berat, mas. tapi, untungnya saya baca pas otak lagi adem. jadi yaa lumayan langsung paham. wkwkwkwk... aiih, saya kecewa pertemuan Pucung sama Tal begitu doang. padahal saya berharap lebih gimana gitu.

    ini, dua kali saya ngomong. pertama ke Axel, sekarang ke kamu, mas. Saya merasa bersalah banget sama kamu. di entri saya nggak ada kamu. betapa bodohnya saya. *sungkem

    walau alurnya sedikit kurang rapi, karena ada beberapa bagian yang kurang runtut. but, it's okay lah yaa. Pucung emang ngegemesin (?) deh. wkwkwkwk

    8 yaah...
    MirorMirors/Tal

    BalasHapus
  10. Shout-out ke tavernnya luar biasa mantep www.

    Although, saya harus setuju narasinya malah bikin pembacanya mikir keras, banget.

    Spotlight karakternya udah oke lah menurut saya. Peran mereka, sayangnya kerasa overlap sama para penghuni tavern www. Tapi mungkin itu saya aja.

    dat ASAM garam www.

    Ga pake lama, kasih nilai 8 deh.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  11. Jadi di awal itu Tavern semacam kafe ya?

    Srsly banyak yang aku gagal paham di sini. Tapi ya ceritanya tetep nyangkut sih. Puitis namun apa adanya. Selipan humor cukup ngehit langsung ke kokoro /eh. Karakterisasi dan plotting aman, tapi siapa Oneiros? Ok, mungkin aku yang mikirnya terlalu sempit.

    7
    Jess Hutcherson

    BalasHapus
  12. Ah~ Saya sangat suka Fontnya di entri ini. Bukan yang "Serem", tapi yang dipakai buat tulisan biasa. Ukurannya pas di layar dan pas dengan temanya.

    Erm... Yang lain protes soal narasinya, tapi saya enjoy saja. Apalagi karena Humor sudah menjadi ciri khas Entri Pucung.

    Nilai 7+1(Karena Font) = 8
    OC : Nora

    BalasHapus
  13. Jujur aye keder banyak banget karakter nongol dimari,,terus kayaknye bukan nama- nama peserta, jadi mereka siape bang?? Dan aye emang lemah ama cerita panjang,,jadi lumayan banyak sekip juga.

    Tapi pas dibaca sih emang seru juga ternyata,,paling ngeri pas Pokiel berobah jadi setan serangga..kalo dibayangin serem juga,,terus sadis. Yang aye heran kerasa kalo si pucung munculnye kurang banyak ye? Atau lantaran ini grup bejibun ade 6 karakter sekaligus semua kebagian peran tapi jadinye ya dikit- dikit aje

    Ponten dari aye 9 aje ye Bang? Karakter aye si Harum Kartini

    BalasHapus
  14. Menggabungkan setting Pokiel dengan nama-nama setan itu kreatif, walo sy sendiri gak terlalu hafal lore-nya XD

    Ng, saya agak lama baca ini soalnya gak bisa langsung paham ceritanya, mungkin di narasi seperti yg disebut komentee di atas, ato penpindahan adegannya? Gak tau deh..

    NILAI: 8
    (Martha)

    BalasHapus
  15. Saya suka sama Pucung sejak preliminary. Dia ini karakter unik. Disalah mengerti karena tampilan luarnya, walopun dalamnya bahaya juga.


    Masalah sama entry ini adalah alur yg rada njelimet. Sama kayak entry saya, ada beberapa kejadian yg tahu tahu terjadi tanpa penjelasan(kayak yg terjadi sama Tal)

    Titip 7 ya.

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.