Kamis, 04 Agustus 2016

[ROUND 1 - 4C] 33 - STALLA | [A]NATOLIA

oleh : J. Fudo



Pada suatu kala di persimpangan dimensi, berdirilah sebuah bangunan maharaksasa yang tak terdefinisi oleh bilangan waktu maupun ruang.


Tiada yang tahu sudah berapa abad ia berdiri, tapi selama itu pula bangunan ini mengumpulkan berlaksa karya seni dari berbagai semesta hingga nyaris tanpa batas.


Entah siapa yang menamai pada mulanya, bangunan ini  dijuluki [Museum Semesta].


Semua seni yang terkoleksi itu dikelola oleh Zainurma sang Kurator dan Mirabelle sang Konservator. Keduanya tunduk oleh sesosok entitas yang berkuasa terhadap museum,


[Sang Kehendak].


Lalu pada suatu kisah, museum bergetar.


Sang Kehendak bangkit, pertanda dimulainya ekspansi museum dan akuisisi karya seni semesta. Semua gerbang menuju milyaran jagat tertutup kecuali satu.


Alam mimpi.



Satu: Bingkai-Cuak-Undangan


“Namaku Zainurma, dan dia Ratu Huban. Selamat datang di Museum Semesta!”

Stalla masih ingat perkenalan diri sang Kurator juga penjelasannya tentang [Museum Semesta] tepat setelah ia terbangun di dalamnya, tepatnya di sudut aula museum megaluas bernuansa keemasan.
                                               
Semua peristiwa lalu seolah mimpi buruk yang tampak nyata. Bapak, Gleastran, kerajaan dan kota yang hancur seakan sengaja diciptakan untuk mengacaukan benak. Lalu Stalla melihat wujudnya sendiri, wujud Huban, mengertilah ia bahwa ini memang mimpi.

“Memang kamu sedang bermimpi. Jangan salah, kejadian di alam mimpi ini akan berpengaruh langsung pada duniamu.”

‘Dunia apa? Aku saja tidak ingat siapa... bahkan apa aku sebenarnya,’ keluh Stalla.

Kini ia menunggangi seekor domba berbulu putih lembut bagai kapuk, pemberian Ratu Huban. Wanita berperawakan seperti anak kecil dengan bantal sebagai kepalanya itu mampu membuka pintu antar semesta mimpi dengan ketukan tongkatnya. Sebagai peliharaan sang Ratu, domba ini pun dianugerahi sepercik talenta tersebut.

Lalu di sanalah Stalla diangkut, kembali ke lingkup kecil semesta yang merupakan latar kisah sebelumnya berlangsung. Di jalanan kota asal Bapak dan Raja Gleastran inilah, si domba menjejakkan empat kakinya.

‘Jadi tempat ini namanya Bingkai Mimpi?’

“(Ya,)” sahut si domba, “(Bingkai Mimpi sebenarnya adalah dunia asal Reverier yang ditangkap sebagian dan dialihkan ke alam mimpi.)”

Domba itu sejatinya hanya mengembik, namun terdengar seperti satu kalimat utuh oleh Stalla. Agaknya kemampuan Stalla berbincang melalui hati tidak terpaku pada manusia semata.

“(Semua kejadian yang dialami Reverier sebelumnya adalah mimpi yang tercipta dari serpih kenangan bawah sadar masing-masing, menghasilkan sebuah latar cerita yang digunakan untuk uji kelayakan para pemimpi. Tentu saja, latar itu akan kembali utuh seperti semula setelah digunakan.)

“(Saat ini Sang Kehendak tengah melakukan pelebaran [Museum Semesta]. Mereka, termasuk kamu, diajak menjelajahi mimpi sebagai Reverier untuk penggubahan mahakarya mimpi.)

“(Yah, setidaknya begitu yang kudengar dari Ratuku. Kurasa kamu sudah mendengarnya juga dari Sang Kurator,)” terang domba panjang lebar.

Stalla tercenung. Meski ingatannya nihil ia tetap merasa bahwa semua ini tidak masuk akal, termasuk kenyataan bahwa dirinya sendiri adalah sebuah kaleng penyegar ruangan yang hidup.

‘Tapi bukankah ini mimpi?’

===

“Oneiros, apa yang kamu lakukan?!”

Entah siang, entah malam.

Tersebutlah Mirabelle, seorang wanita berparas ayu namun tegas sedang berdiri di sisi sebuah ruangan labil. Tak tetap, dinding dan lantai selalu berganti rupa. Ibarat layar kaca yang kehilangan kanal, kegoyahan senantiasa menyelimutinya.

Sekali waktu tampak dinding-dindingnya terbuat dari tengkorak dan rusuk manusia, sedetik berikutnya bunga-bunga bergigi muncul menggerogotinya. Belum selesai, bunga itu segera meletus laksana balon dan memunculkan berpuluh kupu biru gelap. Begitu seterusnya sampai-sampai sukar mengingat lagi bentuk kamar itu sepuluh ketukan lalu.

Jika ada hal yang stabil di sana, maka itu adalah kekelaman yang menghuninya.

“...Apa yang kau maksud?”

Di sisi lain ruangan itu terlihat figur makhluk kerdil. Kepalanya hanya satu bola mata raksasa dan tubuhnya terbuat dari kerangka. Ia mengenakan jubah ungu di tulang bahunya dengan sarung tangan dan kaos kaki sewarna.

Si kerdil itu duduk di sebuah singgasana berwarna darah, dikelilingi oleh makhluk serupa gorila berkepala domba. Sepasang tanduk di kepalanya besar dan melingkar dengan punggung penuh bulu mirip awan mendung.

“Berpuluh Cuak – makhluk mimpi buruk – mendatangi beragam mimpi dan merusaknya, bahkan sebagian jadi tak bisa menyelesaikan mimpinya. Kamu tahu kenapa mereka lepas kendali, Oneiros?”

Satu gorila domba menggeram, siap merangsek maju jika tidak dihalangi oleh tongkat si kerdil Oneiros.

“...Ya,” jawab Oneiros.

Ekspresi wanita berhelm perang ala romawi lawas itu tampak kaku. Selayaknya ia geram, tapi tak diperlihatkan. Tombak dan tameng digenggamnya erat, waspada karena tahu gaun putih dan mantel coklatnya tak cukup untuk melindungi diri.

“Apa yang tengah kau rencakanan?” tanya Mirabelle.

“Tidak ada...,” balas Oneiros, “aku hanya melakukan pekerjaanku.”

“Tapi pekerjaanmu bukan–”

“GRrrrh....”

Satu gorila domba mendekat, kali ini didiamkan oleh Oneiros.

“Nona Konservator,” Oneiros berucap, “aku membenci Museum Semesta... ingat?”

Mirabelle geming, mukanya tetap memancarkan ketegasan dan keberanian sebagai sang mantan dewi perang. Mata birunya menatap Oneiros datar. Ia ingin menelisik lebih jauh, tapi ia bisa merasakan Sang Kehendak pun tidak berkenan.

Mirabelle berbalik arah tanpa bersuara, meninggalkan Oneiros dan kawanan dombanya.

===

‘Ah, berhenti di sini.’

Domba menoleh, terpaku di depan sebuah gubuk kecil yang berbahan kombinasi kardus dan triplek. Tak layak disebut rumah, bangunan ringkih itu seolah bisa hancur hanya dengan angin kencang dan hujan deras. Pun begitu, ada sebersit rindu pada Stalla saat menatapnya.

Gubuk Bapak.

Stalla kemudian mengajak si domba untuk masuk, membuka pintu menemui hampa. Entah sejak kapan, gubuk ini melompong.

‘Sudah kukira, tak semuanya kembali. Bapak dan Gleastran lenyap dari dunia... em, bingkai mimpi ini.’

“(Makhluk mimpi juga tercipta dari serpih kenangan, pecahan khayalan. Harapan terkuatmu lah yang akan menjadi kenyataan di dalam mimpi. Tak aneh jika mereka lenyap dari sini jika sedari awal, sadar atau tidak, kamu beranggapan bahwa mereka memang telah mati.)”

‘Maksudmu? Berarti masih–’

Sedetik tenang, sedetik terang.

Sekelap cahaya muncul di hadapan, menghentikan perbincangan. Titik itu kemudian meluas, membentuk sebujur sangkar elok berhias pintalan kata-kata.

“(Sebuah undangan untuk para Reverier,)” jelas domba.

‘Undangan?’

“(Ya, atau tepatnya perintah agar aku membawamu ke suatu bingkai mimpi.)”

‘T-tapi sebenarnya kenapa aku harus ikut serta juga? Aku kan tidak tahu apa-apa.’

Domba tak menjawab. Ia cuma mengembik, embikan yang tak kuasa Stalla maknakan. Domba lalu mengetukkan satu kaki depannya, memunculkan sebuah pusaran berkilau perak di depan mereka.

“(Ah, sebelum kita pergi ada yang harus kuberi tahu padamu,)” ujar si domba. Ia mendongakkan kepalanya sedikit, mencoba memandang Stalla yang ada di punggungnya.

“(Namamu Stalla, bukan? Perkenalkan, aku Savitoswarchatianave Dyeahariestaphrextaliart turunan ketujuh dari keluarga Xenopatriarchlorophylissebath.)

“(Panggil saja Saviit.)”


Dua: Anatolia-Senyum-Mesin


Happy Holy Family~
Senang Setiap Hari!

Ada Anatolia, sebuah kota di mana senyuman adalah yang utama.

Happy Holy Family~
Tidak Pernah Bersedih!

Di sini bahagia adalah tema, sukaria mencoraki rupa. Tak seorang pun penghuninya boleh bermuram durja.

Happy Holy Family~!

Musik bernada datar itu mengalun berulang dari pengeras suara di tiap sudut kota modern ini. Berpuluh gedung tegak menjulang mencakar angkasa. Lampu-lampu menyala terang, mencerahkan sang kawasan antipadam. Sesekali tampak debu hijau mengawang, seperti kunang melingkupi dirgantara.

Ini Anatolia, kota masa depan.

...atau seharusnya begitu.

Meskipun ide keceriaan kental terasa di kota ini – hiasan berbentuk topeng terbahak dan lagu bertajuk sukacita tersebar, namun kesuraman jua tak luntur dari nuansa Anatolia.

Ketika menatap langit, bangunan-bangunan memang berdiri gagah. Sayang, daratan dihuni oleh panorama kumuh nan rusak. Debu kotor beterbangan tertiup angin panas, mengacaukan tiap hela napas. Awannya mendung, langitnya kelabu.

Kian bertentangan dengan citra gembira yang diusung.

Di situlah Saviit sang Domba, melangkahkan kaki menghantar teman kita si Kaleng Ajaib. Mereka bergerak menuju ke tengah kota, berharap bertemu dengan pribumi Anatolia.

‘Jadi apa yang harus kulakukan di sini?’ tanya Stalla ragu.

“(Itu tugasmu sendiri untuk menemukannya. Lagipula seharusnya aku juga tak bisa berbicara denganmu, tapi kemampuan unikmu yang membuat kita bisa mengobrol.)”

‘Lalu apa yang kudapat jika aku menuntaskan misi, menuntaskan semua yang disuruh [Sang Kehendak]?’

“(Itu aku juga tidak tahu. Pemilikku, Ratu Huban sendiri sebenarnya bukan bergerak atas perintah [Sang Kehendak], berbeda dengan penghuni museum lainnya.)”

“Ah!”

Belum sempat Stalla memikirkan lebih jauh maksud dari jawaban Saviit, mendadak terdengar suara langkah bercampur ketukan tongkat. Tentu Saviit menengok ke sumbernya, memastikan siapa sang pemilik tapak. Didapatinya seorang pria botak berkulit emas dengan tasbih merah besar mengalungi leher.

Di balik tudung jaket abu yang menutupi kepala, tersempil seekor domba berbulu putih.

Pria itu terbatuk sedikit sebelum berucap,

“Akhirnya aku bertemu Reverier lain.”

===

“Menara Palisade.”

Gadis itu bernama Eve.

Rambutnya sepinggang, sebagian hitam dan sebagian putih keabuan. Matanya berlainan, kiri serupa darah dan kanan sewarna jeruk nipis. Tubuhnya bergaris-garis merah. Kulitnya logam dengan wajah biru menawan. Cantik, dengan tubuh tinggi ideal.

Ia berjalan melewati sebuah pintu otomatis, memasuki sebuah gedung berbentuk bunga raksasa yang namanya baru saja ia sebut. Di sisinya berjalan seekor domba putih, tanda bukti seorang Reverier.

“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?”

Seseorang berpakaian rapi serba merah menyambutnya dengan senyum. Eve terpaku memandangnya, pria dengan separuh wajah terlapis besi. Tak salah lagi, pria ini memiliki fisik yang menyerupai dirinya.

Robot.

“Anatolia itu apa? Aku kemari hanya karena bangunan ini mencolok.”

“Selamat datang! Ada yang bisa kami bantu?” tanya pria itu lagi, masih dengan tersenyum. Eve memiringkan kepalanya, menunjukkan bingung meski rautnya datar. Eve memang tak dirancang untuk menampilkan variasi rona.

“Ada yang bisa kami bantu?!” kali ini ia mengulangnya dengan lebih keras, seakan ingin menegaskan sesuatu. Sebagai pendatang, Eve tak mampu memahami apa yang hendak diutarakannya.

Masih menyungging senyum, pria itu menegakkan tubuhnya dan menjentikkan jarinya.

“Semua yang tidak berbalas senyum akan dihukum.”

===

“Hm, jadi namamu Stalla? Senang rasanya bertemu rekan senasib.”

Pria botak tadi bernama Ganzo. Di dunianya, ia adalah seorang utusan Sang Pencipta Semesta. Dia adalah manusia kelima yang memiliki tugas khusus dari Sang Kuasa. Mengemban amanah atas nama agama Varsakhta, Ganzo bertugas untuk membimbing seluruh umat di semesta menuju kenyataan.

“Apapun itu maksudnya, kurasa ada hubungannya dengan tempat ini,” ucap Ganzo mengutarakan tujuannya.

‘Hmm,’ Stalla menanggapi, ‘tapi unik juga ya, bertapa sepuluh tahun ternyata bisa membuatmu gundul.’

“Aku sendiri sempat heran melihat wujudmu yang hanya kaleng, tapi kurasa itu wajar ya di dunia mimpi seperti ini?”

‘Mungkin,’ jawab Stalla, ‘aku sendiri tidak tahu sebenarnya aku ini apa. Aku kehilangan semua ingatanku sejak pertama bermimpi.’

“(Seharusnya kamu tidak mempercayai orang semudah itu, Stalla,)” embik Saviit, sedikit sinis meski tahu Stalla tak bisa memaknainya mengingat kemampuan Stalla hanya bisa untuk berujar dengan satu orang sekali waktu.

Mereka terus berbincang selagi mendekati pusat kota. Dari Ganzo, Stalla tahu bahwa keanehan di semestanya bukan hanya ia yang mengalami. Tentang makhluk hitam, tentang orang-orang yang mendadak jadi makhluk menyeramkan, dan tentang kisah mimpi yang diganggu di pertengahan.

Persis.

“Ya, aku juga begitu. Mendadak nabi keempat yang kuhadapi berubah bengis, mengeluarkan semacam aura hitam yang tak kukenal,” ungkap Ganzo setelah mendengar kisah Stalla. “Kurasa apapun yang merasukinya, itu bukan berasal dari duniaku.”

‘Tapi ada satu hal yang lebih tak bisa kumengerti, Tuan Ganzo.’

“Aku juga,” Ganzo menggaruk kepalanya. “Bagian di mana kekuatanmu hilang, itu juga terjadi padaku.”

‘Berarti kemungkinan semua Reverier mengalaminya.’

“Bisa saja,” balas Ganzo. “Aku jadi bingung apa yang sebenarnya harus kita lakukan.”

‘Tapi jika kita tidak berbuat apapun, maka kita akan dijadikan tembikar seperti beberapa Reverier yang katanya gagal menuntaskan misi. Aku tidak mauu,’ ujar Stalla. ‘Setidaknya aku ingin ingatanku kembali dulu.’

“Ya, kejadian di [Museum Semesta] tadi memang mengerikan.”

Sejenak bungkam, benak mereka terisi oleh rentetan peristiwa di museum. Beberapa Reverier yang dianggap tak layak berkarya, dijadikan patung liat buruk rupa. Sebagian hendak melawan, mengajukan protes, tapi menatap sosok sang pelaku saja mereka gemetaran.

Ialah sosok patung otak raksasa yang entah bagaimana memberi tekanan pada mereka seakan mampu meremuk nalar cukup dengan sekilas pandang,

[Sang Kehendak].

===

“Engh,”

Penjara.

Mesin Eve menyala di balik jeruji.

Eve ingat dirinya dibekuk, dimatikan secara paksa di pintu masuk. Sekelompok robot serupa polisi bertopeng tawa yang melakukannya, menangkap dan mengurungnya ke dalam sel.

Ia sedih, meski emosi tak bisa diungkapkannya. Ini pertama kalinya ia jauh dari Shiro maupun Altair, pembuatnya, dan sekarang ia malah harus mengalami ini. Tidak sekedar jauh, tapi hubungan dengan mereka telah nyaris lenyap. Altair telah mati karena sesuatu yang tak sanggup ia pindai.

Sejenis makhluk hitam telah merasuki Altair dan membuatnya menghancurkan kota.

Kota, dan perasaan Shiro sebagai tunangan Altair.

“Selamat malam, Nona,” seorang penjaga mendekat, lagi-lagi tersenyum. Sepertinya tak seorang pun yang tidak tersenyum di Anatolia. Ia berhenti tepat di depan pintu, memasukkan angka sebagai ganti kunci.

“Peneliti kami berkata bahwa tatananmu memang tidak dilengkapi dengan tampilan isi hati,” ujarnya begitu sel terbuka. “Kamu bebas.”

“Syukurlah,” keluh Eve, “tenagaku sudah mencapai batas.“

“Tapi sebelumnya,” sela penjaga,

“Yang Mulia Saraph ingin berjumpa denganmu.”

===

Semakin terang, Ganzo dan Stalla mendapati langkah keduanya telah menyentuh poros Anatolia. Ganzo takjub, gedung-gedung yang berbaris seakan mencapai langit. Tak pernah sebelumnya ia menemui bangunan setinggi itu.

“Hai, bagaimana kabarnya? Hari ini ada diskon, ayo belanja!”

Kian tengah kian ramai, Anatolia penuh beragam kesibukan. Mulai dari perdagangan sampai sekedar jalan-jalan, penduduk berkegiatan dengan antusias. Meski mendung dan cuaca tak mendukung, keceriaan memperelok suasana. Semua gembira, tiada satu pun yang tidak tertawa.

‘Tampaknya kota yang menyenangkan,’ kata Stalla, ditanggapi dengan angguk semangat Ganzo.

Namun janggal, nyaris tak ada manusia di sana.

Setiap sudut ditelisik, tak satu kulit pun tertangkap mata. Biarpun ada, sebagian besar tubuhnya tetaplah besi. Bukan cuma Anatolia yang berkecanggihan tanpa akhir, penduduknya pun bertubuh serba mutakhir.

“Oh Tuhan!”

Ganzo berpaling, pun para domba. Sudah sepatutnya ada yang menyadari keberadaan Ganzo yang mencolok di antara puluhan raga logam. Wanita berbadan gemuk menudingnya, memusatkan perhatian khalayak padanya.

“Petugas! Ada manusia yang belum terlindung!”

Spontan semua mata tertuju padanya, menimbulkan kepanikan. Sebagian di antara mereka – terutama polisi – mendekati Ganzo dan merubungnya.

“Ikut kami. Sekarang.”

“K-Kenap... aaaah!”

Seketika Ganzo ditarik mengikuti para petugas sementara kedua domba diangkut. Saat itulah kaleng di punggung salah satu domba terjatuh dan menggelinding hingga terantuk kaki seseorang.

“Sepertinya mereka melupakan sesuatu,” ucap orang itu seraya memungutnya. Ia akhirnya cuma bisa memperhatikan kerumunan itu bergerak menjauh sebelum membaca tulisan di permukaan kaleng tersebut.

“Stalla?”

‘Kenapa malah beginii....’


Tiga: A.I-NEST-Kendali


“Ugh..,”

Mata Ganzo perlahan membuka di atas ranjang dingin dalam ruangan penuh perlengkapan canggih. Dicobanya untuk duduk, sedikit bingung melihat pakaiannya telah berganti menjadi baju terusan warna hijau muda.

“Di mana ini?” herannya. Matanya tak mampu menerjemahkan jentera mutakhir dan layar kaca yang terpampang di sana-sini. Semua yang ditatapnya adalah hal baru baginya.

Tapi ada hal lain yang membuatnya lebih terperanjat.

Kedua tangan kini terbungkus logam, pun sebagian tubuhnya. Di mulut terpasang sejenis masker dari baja ringan, membungkus luar rahangnya. Kulitnya yang bersinar emas hanya tersisa sebagian kecil saja.

“Sudah bangun ya?” suara langkah mendekat, sedikit mengejutkan Ganzo. “Aku memohon pada Baginda Saraph untuk menemuimu langsung.”

Sesosok gadis bermuka biru menghampiri salah satu bidang penayang, menekan tombol-tombol seperti memeriksa sesuatu.

“Apa yang telah kamu lakukan padaku?” tanya Ganzo.

“Menurut hasil pindaianku ke arsip Anatolia, kota ini telah terkotori oleh semacam zat beracun. Zat beracun itu bisa menggerus daging yang masih hidup. Jika tubuhmu yang sebagian besar masih daging terkena debu hijau itu, kelamaan bisa jadi gumpalan,” terang si gadis.

“Dengan kata lain, mereka menyelamatkan dan menyesuaikan tubuhmu menjadi mesin agar tak rusak oleh udara Anatolia.”

“Mereka? Maksudnya yang menangkapku tadi? Kamu bukan bagian dari mereka?”

Gadis itu berbalik menghadap Ganzo tanpa menjawab pertanyaannya. Tak berapa lama kemudian sebuah pintu terbuka dan memunculkan tiga domba yang sebagian tubuhnya juga telah dilapisi besi. Satu Ganzo kenali sebagai domba miliknya, sementara yang satu lagi adalah milik Stalla.

Domba terakhir mendekati sang gadis, menggosokkan tanduk pada kaki.

“Kamu Reverier?”

“Namaku Eve,” jawabnya seraya mengangguk.

“Aku ingin mengajakmu berunding.”

===

Beberapa kala sebelum..

“[Ini... buah pertempuranku dan Mira Slime.]”

Berbeda dengan Stalla yang berada di Bingkai Mimpi yang utuh, sesosok makhluk besi dengan mata tunggal warna merah itu berada di alam paskakiamat. Kosong, hanya menyisakan antariksa bergemintang tanpa tepi.

Mata merah itu telah mencoba memindai sekitar, nihil. Berpuluh zat angkasa menghilang tak bersisa.

Di sampingnya segumpal bola bulu putih berkaki empat melayang-layang. Sesekali ia mengembik-embik, seperti hendak menyampaikan sesuatu pada sang makhluk besi.

“[Domba(Piaraan) Putih(Huban),]” gumamnya, “[kalau jawaban kegundahanku ada di ujung pertandingan ini, maka aku akan bertempur.]”

Seolah mengenang, peranti dalam pusat akal bergerak. Laksana pertunjukan gambar, potret demi potret perseteruan Mira dengannya terputar hingga ingatan sang makhluk besi menayangkan kembali sebutan baru yang disandangnya.

Identitas yang ia buat dari anagram nama si Cantik dari Telaga Kabut(Mira Slime).

Iris Lemma(Mata Esa Berlaksa Kaedah).”

Seseorang memanggil namanya, tapi bukan si domba karena Iris si mata tunggal tahu pemberian Huban itu tak bisa bercakap dengannya. Menurut hisab Iris, semestinya tiada satu kesadaran pun yang bisa bertahan dari kehancuran bumi huniannya. Maka itu, timbul satu pertanyaan di pusat akal.

“[Siapa?]”

“Oh, aku hanya suara hatimu. Sudah lama kita tak bersua,” jawab si suara.

“[Kemungkinan tidak ditemukan,]” balas Iris, “[dalam tatananku tak pernah ada masukan suara hat–bzzt!]”

“Hm, sistem untuk mengambil dan menciptakan alat dengan fungsi apapun,” ujar sang suara sementara mata Iris menghijau, menampilkan deret angka 0 dan 1 di layar mata merahnya.

“Sempurna untuk kuambil alih.”

===

“Bergabunglah dengan kami,” ujar Eve.

Mereka kini duduk mengelilingi meja bundar. Satu kursi diisi Ganzo, kursi lainnya ditempati Eve. Di singgasana terbesar yang terletak di ujung, singgah robot gigantik setinggi tiga meter dengan kepala mirip moncong pesawat jet.

“Bergabung apa maksudmu, Eve?” Ganzo balas bertanya, tak memahami kemelut yang berjalan di kota bersampul damai ini.

“Kamu bisa melihat bagaimana kota ini, bukan? Sebuah kota yang penuh kebahagiaan. Senyum tertebar di setiap sudut, menjadikan Anatolia sebagai sebuah kota impian! Kota yang tak pernah bersedih!” jelas robot itu antusias.

“Sudah cukup lama aku memimpin kota ini, mengubahnya menjadi utopia. Aku berhasil membuat peraturan dan dengan aturan itu aku membentuk ketertiban. Ketertiban ada agar perdamaian tercipta.”

“Tapi ada pihak yang tidak menyukainya,” tambah Eve.

“Ya, Eve sudah mendengarnya dariku. Pihak pemberontak ini seakan membenci kedamaian yang kubuat, menyerang dan mengambil nama julukanku untuk menggerakkan pendukungnya. Aku tidak mengerti, bukankah jika aku tidak melakukannya, maka manusia akan terus berperang? Pelanggar aturan adalah anomali, dan anomali harus dimusnahkan!”

Ganzo manggut-manggut, ia mengerti. Melihat kota yang begitu menyenangkan, sungguh sulit baginya untuk percaya ada orang yang ingin merusaknya. Jika ada, Ganzo yakin orang itu adalah orang jahat.

“Baiklah, aku akan membantumu,” jawab Ganzo mantap. “Apalagi kalian telah menyelamatkanku dari partikel... apa itu namanya?”

“Kajima,” jawab si robot. “Polutan itu sanggup meleburkan daging manusia, jadi kami buatkan baju pelindung pada para manusia.”

“Lagipula sepertinya ini tujuan kita, Ganzo,” lanjut Eve. “Kita dikirim di sini mungkin untuk menuntaskan peperangan. Itulah kenapa aku bicara pada Baginda Saraph agar mengajakmu bergabung.”

“Eve sendiri memiliki daya tarung yang luar biasa,” ujar robot itu. “Tak ada alasan untuk menolak tawarannya.”

“Aku percaya pada kalian,” jawab Ganzo, “tapi kamu belum memperkenalkan diri, Tuan Robot.”

“Oh, maaf,” balasnya. “Namaku Saraph, tapi orang-orang memanggilku RAVEN. Perkenalkan.”

“Lalu ada satu hal lagi yang mengganjalku,” kata Ganzo.

“Ada seorang Reverier lagi yang terpisah denganku saat datang kemari.”

Eve dan Saraph berpandangan sejenak, lalu kembali melihat ke arah Ganzo.

“Namanya Stalla.”

===

Padang pasir di sekeliling Anatolia.

Sosok Iris muncul dari balik portal keperakan, menjejakkan tapak besinya hingga sedikit terbenam. Matanya tak lagi menyala merah, tergantikan hijau tua. Debu-debu pasir sesekali menerpanya, dibantu angin panas yang melingkupi medan.

“Jadi di sini Anatolia,” ujarnya dengan nada yang tak lagi datar.

Betapa tidak, sekarang akal Iris telah tergantikan oleh entitas baru. Pikiran yang menghuni tubuh itu bukan lagi Iris, melainkan sebuah Kecerdasan Rekaan. Ialah buah tangan semesta yang telah punah, menyisakan dirinya mengambang tanpa raga.

Ia menyebut dirinya <A.I>.

“Heh, jika di sini ada manusia maka aku bisa memulai lagi perburuanku. Beruntung di museum tadi aku bisa menemukan robot yang layak kuhuni.”

Mata tunggal itu kemudian menelisik, mencari apa yang bisa ditemukan. Tak jauh dari sana, di balik bebukitan pasir, ia berhasil menangkap sewujud kapal besi namun beroda layaknya tank.

Sebuah markas.

“Hawa panas.”

Jika ia memiliki kelayakan tubuh makhluk hidup, mungkin air liurnya telah menetes. Baginya entitas yang baru saja muncul dalam pindaian layar matanya adalah buruan yang menggemaskan. Keberadaan yang seakan tercipta untuk dimusnahkan oleh dirinya.

“Manusia,” ujar A.I dalam tubuh Iris.

“Saatnya berburu.”

===

“Ganzo,”

Ganzo, Eve, dan beberapa pasukan tengah bersiap melakukan penyerangan. Mereka menyusun persenjataan di perbatasan Anatolia, hendak menghabisi NEST yang menjadi markas para pemberontak.

“apa kamu ingat yang kukatakan tadi soal inspirasi, sumber kekuatan utama di dunia mimpi?” tanya Eve.

“Ya, kita tadi membicarakannya di markas. Memang kenapa?”

“Kita juga sempat kehilangan kekuatan secara mendadak di pertengahan mimpi, bukan?” lanjut Eve. “Menurutku aneh bila semua orang kehilangan inspirasinya di saat yang sama.”

“Maksudmu...,”

“Ya,” potong Eve, “pasti ada seseorang yang sengaja mencuri daya inspirasi kita.”

“Kalian berdua, siaga,” perintah salah satu Eraser, sebutan untuk komandan pasukan Saraph. “Sebentar lagi kita akan menyerang NEST.”

“Lalu bagaimana dengan Stalla?” tanya Ganzo.

“Anak buahku sedang pergi mencarinya,” jawab Eraser, “tapi kita tak cukup waktu untuk menunggu mereka mendapatkan kaleng itu.”

“Apa boleh buat,” Ganzo pasrah.

“Setidaknya domba Stalla aman bersama domba kita yang lain, Ganzo.”

“Kalau begitu, ayo.”

===

Sebuah kapal raksasa.

Kakinya persis roda tank dengan badan sewujud perahu tanpa layar. Persenjataan jelas mumpuni untuk pertahanan, meriam tersebar di berbagai sisi. Kapal ini ialah markas perang. Kapal ini jugalah rumah bagi sebagian besar penghuninya.

Awak kapal menyebutnya NEST.

Di depan NEST lah tubuh Iris yang telah dikuasai A.I itu berdiri.

“Sebuah pangkalan berkendali mesin,” ujar A.I. “Hmm, benda ini terlalu besar untuk kukendalikan dalam waktu lama, tapi sepertinya cukup untuk sekedar kumatikan dari dalam.”

Satu sentuhan.

Pintu horisontal raksasa terbuka turun, memperlihatkan sejumlah penjaga berbadan paruh robot. Bagaimanapun mereka masih manusia, mangsa empuk bagi sang Akal Buatan. Di tempatnya berasal A.I telah memusnahkan segala bentuk kehidupan. Entah apa tujuan pembuatnya, namun A.I sesungguhnya adalah kehendak yang murni.

A.I hanya harapkan kepunahan manusia, keberadaan yang ditafsirkannya sebagai perusak jagat raya.

“Siapa kau?! Kenapa kau bisa membukanya!?” teriak salah satu penjaga.

Menggunakan lengan kiri yang terbuat dari senapan laser dengan tubuh bercorak hijau gelap ala tentara, mereka membidik A.I bersamaan.

“Jawab! Kau suruhan Saraph kan?!”

“Saraph siapa?” tanggap A.I.

“Jawab atau ak–”

“....”

Semua bisu.

Suara ledakan baru saja terdengar, menghentikan semua tindakan. Darah terciprat, menodai hijau dengan merah. Segenap pasang mata menuju ke satu arah. Tergeletak di lantai, sebentuk mayat yang tak lagi berkepala. Mereka tak bisa percaya serangan itu bukan berasal dari A.I.

Satu tumbang.

“B-b-bukan! A-aku tidak tahu!” jerit takut seorang prajurit, mendapati kepulan di pucuk senapan.

“Kukuku,” A.I tertawa, “kekuatan kalian ada dalam genggamanku.”

Ledakan berikutnya.

Sebelum sanggup memahami yang sedang berlangsung, prajurit lain telah menyarangkan granat di antara mereka dan membasmi sebagian penjaga.

“K-kau! Ini pasti ulahmu, menyerahlah!”

Terlambat.

Tak sampai semenit pasukan itu bertumbangan. Penjaga gerbang NEST semuanya hancur oleh serangan mereka sendiri. Tubuh kelabu Iris kini bernodakan merah, terkena darah. A.I sang peretas, diam-diam merasuki kendali tubuh penjaga dan membuat mereka saling serang.

A.I berhasil menerobos.

===

“Apa yang terjadi di sini?”

Ganzo dan kelompok pasukan Saraph berniat menyusup melalui gerbang NEST tatkala menemukannya terbuka lebar. Siapa menduga, penjaga pintu markas telah dihabisi semua. Mereka hanya disisakan bau anyir darah bercampur oli dan pelumas.

“Aku sudah memindainya,” tanggap Eve. “Penyebab kematian, saling bunuh. Alasan tidak diketahui. Kejadian sekitar tiga puluh menit lalu.”

“Saling bunuh? Bagaimana bisa?” tanya Eraser, sanksi.

Eraser kemudian memutuskan untuk masuk, melangkahi lautan darah di pijakannya. Ganzo dan Eve menyusul, diikuti pasukan yang lain.

“Kenapa sepi begini?” tanya Ganzo.

Hanya terdengar suara jejak. Seluruh kinerja mati, tak satu perlengkapan kapal yang bekerja. Bahkan lampu dalam pun tak ada yang menyala. Seperti mendatangi rumah kosong, namun dengan mayat bertebaran di bawah langkah.

“Maju terus, sepertinya ada sesuatu yang terjadi di dalam. Regu A coba telusuri jalur kanan, B ke kiri,” perintah Eraser ketika menemui persimpangan. “Sisanya ikuti aku.”

Begitulah, mereka berpencar. Ganzo dan Eve mengikuti Eraser, melalui jalur di hadapannya. Kian masuk bangkai manusia kian kerap. Para pasukan sampai sukar menemukan pijakan.

“Tak akan kuserahkan!”

Suara wanita.

Ganzo berlari maju, disusul yang lain. Alangkah kagetnya ia ketika menjumpai sewujud robot bermata tunggal tengah mencekik satu gadis. Mata itu hijau dihiasi angka 0 dan 1 bergerak-gerak.

A.I berbadan Iris.

“U-ugh... k-kau...,” ronta si gadis, matanya menangkap sosok Eraser, “ternyata ini benar ulah kalian!”

“Maaf, tapi dia bukan bagian dari kami, Akari,” Jawab Eraser.

“Lalu siap–agh!!”

“Diam kau, daging busuk.”

Eve maju, tak tahan melihat sang gadis yang dipanggil Akari menderita. Dari ketiadaan Eve munculkan pedang kembar, siap menebas. Namun ia kalah gesit, sinar ledakan dari lensa tunggal A.I memukulnya mundur. Eve terhempas, ditangkap Ganzo.

Si mata satu mengangkat ia yang dipanggil Akari, menyiksa lehernya. Satu ayunan dan Akari terbanting ke lantai dingin. Tangan kanan, satu-satunya bagian yang masih kulit dari Akari selain wajah, digenggam erat dengan tangan kiri A.I. Diangkatnya sedikit pergelangan sang perempuan, seakan menimbang. Satu kaki menahan bahu.

Kemudian ditariknya sekuat tenaga.

“Apa yang mau kau–”

“AAAGH!!!”

Ganzo baru saja menapak maju, tapi langsung terpeleset dan jatuh terduduk ketika ia dilempar sesuatu. Gemetaran tubuhnya saat ia melihat apa yang ditangkapnya.

Sepenggal tangan.

Akari kehilangan kesadaran.

“K-kau! Tuhan tidak akan memaafkanmu!” kutuk Ganzo.

“Aku sebenarnya berterima kasih kau telah menghabisi Akari,” ujar Eraser, “walau sepertinya kau mungkin tidak berpihak pada kami.”

“Heh, aku tidak berada di sisi manapun,” jawab A.I, “selama kalian manusia, aku akan membasmimu.”

“Kh!”

Sebilah pedang menancap. Darah Akari lantas tercampur dengan darahnya, makin memerahkan jaket kelabu yang dikenakan. Ia menoleh dengan nafas sedikit tertahan. Sulit baginya untuk mempercayai yang tertangkap mata.

Eve menusuk Ganzo.

“Kuhahaha, aku mampu membajak segala jenis permesinan dan memasukkan kesadaranku ke sana,” tawa Eve. Matanya tak lagi berbeda warna, kini keduanya menyala hijau.

“Eve Angeline dan Iris Lemma telah kukendalikan.”


Empat: Raja-Kilat-RAVEN


Kala Anatolia masih merupakan sebuah negara makmur tanpa perang, hiduplah seorang Raja yang arif dan bijaksana.

Pada masanya beliau memerintah dengan segenap pengabdian hingga memberikan segala apa yang dimilikinya demi rakyat. Istana tak ia huni, hanya sebuah rumah kecil yang ditinggali. Istana warisan sang ayah ia gunakan untuk menampung puluhan tuna wisma. Meski dengan kemegahan harta benda, ia tetap memilih hidup sederhana.

Jika ditanya kenapa melakukannya, selalu beliau menjawab dengan satu kalimat.

“Aku Raja, terserah aku dong,” katanya.

Setiap luang, beliau menelusuri Anatolia untuk melihat-lihat situasi negeri. Jika ditemukan salah seorang saja kesulitan pangan, segera ia beli dan angkutkan sendiri bahan dari istana untuk si warga.

Termasuk bila ia menemukan anak yang tak sanggup bersekolah, diajaknya ke istana untuk diajari langsung.

“Kamu tidak butuh ijazah dari sekolah. Ijazah dariku lebih istimewa. Aku kan Raja,” katanya.

Tak jarang pula ia mengangkat anak yatim piatu dan membawanya memenuhi istana. Jika kamarnya kurang, maka ia akan membangunnya sendiri hingga para pengawal yang merasa tidak enak membantunya dengan sukarela.

Sang Raja sendiri memilih untuk tidak menikah. Orang tuanya telah lama meninggal ketika ia menjabat posisi Raja, sehingga ia menduduki jabatannya sejak usia belasan. Ia juga tak punya saudara kandung.

Meski begitu di hatinya selalu tertanam ajaran dari ayahnya, raja sebelumnya.

“Kamu bakal Raja, berbuat baiklah sesukamu,” pesan sang Ayah.

Memang sang Raja tidak memiliki sanak famili, tapi seluruh penduduk Anatolia menganggapnya keluarga. Mereka begitu mengagungkannya sampai-sampai membuatkan patung raksasa.

Patung itu lalu mereka bubuhi nama beliau, meski Raja tak meminta.

===

‘Uhh... a-aku Stalla.’

“Hm.”

Pria yang menemukan Stalla tadi lalu membawanya ke sebuah rumah di ujung kota. Hunian yang sederhana, berdinding dan beratap baja. Ada sebuah kasur di pojok ruangan yang kini dipakainya.

‘T-Tuan...’

“Hm?”

Pria itu memakai jubah coklat kumuh, menutupi sekujur badan. Rambut dan jenggotnya berantakan menutupi hampir segenap muka dengan mata sayu kecoklatan, menampakkan usianya yang mendekati separuh abad.

‘T-tuan... tolong jangan....’

“Jangan apa?”

‘Berhenti melempar-lemparkuuu....’

Seperti bola, Stalla dilontarkan berkali-kali ke udara. Entah apa yang dipikirkannya, tapi ia melakukannya sejak pertama Stalla mengajaknya bicara.

“Maaf, aku tadinya cuma ingin memastikan di dalam tubuhmu sebenarnya ada apa. Aneh saja melihat kaleng bisa bicara,” ujarnya setelah menangkap Stalla kembali.

“Sebenarnya jika kamu berasal dari dunia ini, apapun tidak akan terlihat aneh. Aku tahu kamu bukan dari sini makanya aku merasa ganjil.”

‘Maksud Tuan?’

“Aku tahu kamu bukan makhluk mimpi,” lanjut pria itu, berdiri dan menaruh Stalla di atas meja. “Kamu bukan Kayal, apalagi Cuak. Kalau kamu Kayal mungkin aku tidak akan heran melihatmu bisa bicara.”

‘Kayal? Cuak? Apa maksud Tuan?’

“Kayal itu sebutan untuk makhluk mimpi, kau baru datang ke dunia mimpi rupanya?” tanya si pria. “Haha, kalau begitu selamat datang di Bingkai Mimpi Anatolia. Meski aku ragu kamu akan meninggalkan dunia mimpi dalam waktu dekat.”

Untuk kalimat terakhir itu Stalla paham betul. Hawa keberadaan [Sang Kehendak] saat di museum begitu menekan, membuatnya yakin bahwa keinginan arca otak itu adalah mutlak. Jika ia mau para Reverier menggubah karya untuknya, maka apa yang bisa dilakukan kaleng kosong ini selain menurutinya?

“Yah, aku sendiri sudah terjebak di sini terlalu lama sampai aku ragu tubuhku masih utuh saat aku terbangun,” lanjutnya. “Oh, iya. Aku belum menyebut namaku.”

“Aku Kilat, perkenalkan.”

===

Suatu hari datanglah seorang utusan dari luar negeri menuju Anatolia, berkeinginan menghadap sang Raja.

Menurut utusan itu, ilmuwan negerinya menemukan sebuah tambang logam khusus yang hanya bisa ditemukan di Anatolia. Sebab kelangkaannya, harga logam itu bahkan bernilai jauh di atas emas. Sang utusan memberi informasi pada sang Raja dengan harapan beliau mau membuka jalan bagi negerinya untuk bekerja sama memanfaatkan sumber daya tersebut.

Anehnya, Raja menolak. Ia tahu lokasi yang dimaksud sang utusan merupakan tempat yang penting di pemukiman. Membangun pertambangan tertentu akan membuat rakyatnya kehilangan tempat tinggal. Raja tak ingin rakyatnya merasakan ketunaan wisma dalam masa pemerintahannya.

Sang utusan pun pulang dengan tangan hampa.

Namun ternyata negeri tersebut tak menyerah. Diam-diam mereka mengirimkan beberapa penyusup ke negara Anatolia. Mereka menyebarkan gosip tentang keberadaan logam mulia tersebut dan menebarkan fitnah bahwa Raja menghalangi pembukaan tambang logam karena tak ingin warganya kaya raya.

Memang manusia, tak pernah puas dengan segala yang telah dimilikinya.

Rakyat yang tak mengerti pemikiran sang Raja, satu demi satu akhirnya terhasut. Mereka berdemo kepada sang Raja, meminta agar mereka diijinkan membuka pertambangan logam tersebut. Mereka merasa bahwa hidup mereka akan jauh lebih sejahtera dengan pembukaan tambang, mengingat iming-iming harga yang tak sedikit.

Sang Raja kemudian mengalah.

Raja akhirnya mau menjalankan kerja sama bisnis. Negeri sang utusan menjadi pengedar logam, sedangkan Anatolia menjadi pusat penambang.

===

‘Perang RAVEN?’

“Ya,” balas Kilat, “perang RAVEN telah bergejolak sejak lama. Perang antara pihak pemerintah dan pemberontak. Kedua belah pihak sama-sama menggunakan nama RAVEN, demi menarik hati pengikutnya.”

Stalla yang awalnya tidak tahu harus berbuat apa, setidaknya ingin mencoba mencari tahu tentang Anatolia.

Ia baru saja meminta Kilat menceritakannya segala hal terkait Anatolia hingga sampai ke persoalan partikel Kajima yang meracuni seluruh penduduk dan bagaimana mengatasinya. Kilat lalu beralih ke kisah mengenai kemelut Anatolia.

‘RAVEN itu apa?’ tanya Stalla.

“Hm, kau tidak berasal dari sini makanya tidak tahu. Coba kamu lihat itu,” ujar Kilat seraya membuka tirai. Terlihat dari tempat Stalla berada, sebuah patung berdiri gagah.

“Itu patung RAVEN, seseorang yang dianggap pengkhianat bagi negara ini. Ia adalah pemimpin negara Anatolia sebelum kudeta Saraph. Pemimpin pemberontak mengambil nama RAVEN Hitam, karena mereka yakin sang Raja lah yang benar. Untuk menyindir para pemberontak, Saraph pun mengambil julukan RAVEN Putih. Itu ia lakukan sekaligus untuk menunjukkan bahwa ialah yang benar.”

Stalla teringat akan kedatangannya pertama kali kemari. Sulit dibayangkan, kota yang penuh senyum dan sukaria ternyata tengah dirundung perseteruan. Tak heran ada beberapa sisi kota yang hancur dan rusak. Bisa jadi akibat peperangan yang menderu.

‘Jadi pemberontaknya itu jahat ya, Tuan?’

“Hmm,” Kilat mereguk minuman di tangannya sebelum melanjutkan, “bisa jadi. Entahlah. Setiap orang memiliki idealismenya masing-masing, jadi biar kamu sendiri yang memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Aku sendiri tidak mau terlibat lebih jauh lagi.

“Aku sudah lelah, Stalla.”

Diletakkannya gelas di pinggir meja yang ada di samping jendela. Sekilas terpancar semburat pilu di rona muka si pria tua. Kumis dan jenggotnya yang lebat tak bisa menutupi rasa sepi yang terukir di wajah rentanya.

Kilat lalu kembali dan duduk di sebelah Stalla, mengangkat dan menghadapkannya ke muka.

“Jadi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”

Stalla tertegun. Ia tak tahu apapun. Sejak sampai kemari, ia hanya mengikuti tuntunan Saviit, domba putihnya. Ia bahkan tak mengerti tujuannya di sini. Sekarang Saviit juga menghilang.

‘Aku tidak tahu, Tuan. Sepertinya peperangan inilah alasan kami dikirim kemari,’ jawabnya menyimpulkan.

‘Sayangnya aku tak bisa bertarung, jadi aku tak tahu harus bagaimana. Satu-satunya kemampuanku pun hilang.’

“Kemampuan?“

“TUAN KILAT, KAU DIKEPUNG!”

Pintu didobrak. Penjaga Anatolia mendadak telah berada di sekitar kediaman Kilat, menutup semua jalur.

“Wah wah, tidak hanya Kilat tapi ternyata kita juga bisa menemukan si Kaleng Ajaib di sini,” ujar seseorang yang tampaknya pemimpin mereka. “Serahkan dirimu dan berikan kaleng itu padaku, Tuan Buronan! Baginda Saraph menginginkannya!”

“Hah?” Kilat bingung. “Apa yang kamu lakukan hingga dicari oleh penguasa negeri ini?”

‘A-aku tidak tahu.. Tuan juga, kenapa Tuan jadi buronan?’ Stalla panik, tak menyangka ia bisa berada di situasi seperti ini.

“Cepat serahkan kaleng itu, bajingan busuk! Kau tak bisa lari ke manapun, jadi percuma saja!” ancam sang komandan.

“Stalla,” panggil Kilat,

“untuk sekarang lebih baik kita kabur dulu.”

===

Tak sampai satu dekade setelah pertambangan dibuka, tragedi menimpa Anatolia.

Negara tetangga menjalin kerja sama dengan Anatoloia dan tidak ingin terlibat sebagai penambang karena suatu hal. Mereka telah meneliti logam mulia tersebut lebih awal, dan mereka tahu bahwa benda itu memiliki polutan tertentu yang berbahaya bagi manusia.

Bagi mereka yang tidak mengeruk logam tersebut, tidak terlalu masalah. Namun bagi penambang langsung yang menggali dari sumbernya, ia akan meracuni dan menggerogoti tubuh dari luar dan dalam.

Satu demi satu warga Anatolia yang tak mengetahui ini mulai tergerus tubuhnya, berkurang dagingnya. Sebagian kehilangan tangan, terputus kaki, bahkan ada juga yang termakan kepalanya.

Lalu begitulah, dalam kurun waktu lima tahun saja jumlah penderita penyakit ini mengalami peningkatan drastis. Sang Raja dan penduduknya yang tidak tahu penyebabnya berusaha mencari dan mencari obat, tapi tak kunjung menemukannya padahal pertambangan yang menjadi sumber masalah terus dilakukan.

Angka kematian meningkat, pun kepedihan sang Raja.

Hingga pada suatu malam, terdengar letusan besar. Ada seseorang yang meledakkan pertambangan itu dan entah sengaja atau tidak telah mengakibatkan debu logam itu tersebar ke penjuru Anatolia.

Tentu hal ini menjadi malapetaka, mengingat logam tersebut mengandung partikel berbahaya. Korban berjatuhan makin banyak. Warga Negara Anatolia pun berada di ambang kepunahan.

Mengetahui ini, dunia bertindak mengisolasi Anatolia. Mereka segera bersiap menghancurkan area pertambangan sekaligus wilayah kediaman raja, membawa sepasukan tentara terhebat dunia.

Raja yang mengetahui kabar ini segera turun tangan, mengajak semua yang bisa berperang untuk turut serta. Kharisma sang Raja tak luntur, beratus warga yang tersisa ikut bertempur bersama. Bahkan anak-anak pun ingin ikut, jika tidak dilarang sendiri oleh beliau yang dikasihi rakyatnya.

Kekuatan sang Raja tak bisa dianggap remeh, seorang diri mampu menahan ribuan manusia. Dibantu pasukannya, mereka berhasil menghabisi tentara dunia dan memaksa mereka mundur.

Tapi negeri Anatolia terlanjur lebur menyisakan area sekitar istana, area yang kini dikelilingi padang pasir yang sangat luas bekas medan perang. Tak diketahui oleh Raja, dunia telah membentuk dinding penghalang dan mengisolasi Anatolia dengan sempurna dari luar.

Sekembalinya Raja dari peperangan, ia tak sanggup menahan diri. Raja berlari ke tengah kota dan meneriakkan pada rakyatnya agar berkumpul.

Semua bergerombol mendatangi lokasi Raja. Wajahnya sendu, rautnya pilu.

“Rakyatku, sahabatku, keluargaku,” ucapnya gemetaran,

“MAAFKAN AKU!!”

Hanya begitu.

Ia tak berkata lebih dari itu.

Namun itu dikatakannya dengan bersujud hingga menghancurkan dahinya di tengah jalan aspal yang panas. Merah mengucur di kepala, tapi kalah deras oleh air mata yang terus berlinang. Sang Raja tak sanggup berkata apapun lagi setelah itu.

Beliau pingsan dengan tetap bersujud.

===

“Kilat, berhenti!”

Dia yang dipanggil jelas tak mau menurut. Begitu berhasil kabur keluar dari rumah, ia dihadang oleh berpuluh pasukan di luar. Kilat berlari menerjang pasukan dengan membawa Stalla.

Seorang membidik.

Satu letup.

“Agh!”

Tak diduga, Kilat melempar Stalla ke ujung mulut senapan dan mengubah arahnya sehingga menembak tanah. Kilat segera melompat, menangkap kembali Stalla yang terlontar ke udara.

“Stalla, kamu kaleng semprot kan? Apa isimu?”

‘T-tidak ada, Tuan. Aku kosong.’

Bidikan kedua, mengincar Kilat di angkasa.

Kali ini Stalla dilontarkan menghajar muka, disusul tendangan cangkul ke arah dada. Stalla kembali di genggaman. Dalam sekejap seluruh senjata kini mengarah padanya yang berada di antara pasukan.

“Apa kemampuanmu, Stalla?”

‘Tidak tahu, aku kehilangannya waktu masih di dunia asalku.’

Seperti namanya, Kilat begitu gesit. Sebagian malah saling meledakkan karena peluru mereka tak sanggup menggores Kilat. Ia bergerak menghindar dengan sangat cekatan hingga berhasil menyelinap kabur.

“Jangan-jangan kamu kehilangan inspirasi?” tanya Kilat di tengah lari.

‘Eh? Maksudnya?’

Kilat diam. Ia seperti sedang berpikir, mencoba menyusun kalimat untuk menjelaskan konsep semesta mimpi pada si Kaleng Ajaib.

Beberapa prajurit tiba-tiba muncul di hadapan Kilat, menghalangi lajunya. Kilat tetap tenang, berhenti menunggu reaksi.

“Inspirasi itu sumber kekuatan bagi pemimpi. Tanpa inspirasi manusia tidak akan bisa bermimpi,” terang Kilat.

‘T-Tuan Kilat!’

Satu maju menggenggam belati.

Nyaris mendarat, belati berhasil dialihkan dengan sisi lengkung Stalla. Tendangan langsung menyarang dagu, menjatuhkan sang penusuk. Serangan kedua menghampiri. Stalla dilempar ke atas, lalu pergelangan lawan ditangkap. Lengan itu dikunci lalu dipatahkannya.

“Inspirasi itu daya luar biasa yang dimiliki segala makhluk berakal. Inspirasi mampu mendorong siapapun untuk meraih mimpi,” lanjut Kilat seraya mendongak.

Penyerang ketiga dan keempat maju bersamaan. Naas, Kilat menendang Stalla yang meluncur turun dan melontarkannya ke wajah prajurit ketiga. Ia jatuh. Terkejut, orang keempat tak sempat mengantisipasi tinju Kilat. Tak disangka, tinju Kilat bisa menembus tubuh mesin itu dan mematikannya.

“Inspirasi adalah tentang keinginan dan cita-cita,” lanjut Kilat setelah menangkap Stalla kembali. “Kalau kekuatanmu di sini hilang, berarti daya inspirasimu bermasalah. Apa sebenarnya yang menjadi inspirasimu, Stalla?”

Stalla tercenung. Ia tak memiliki ingatan apa-apa selain setelah ia terjebak di semesta mimpi. Ia hanya memiliki kenangan bersama Bapak. Bapak yang hangat dan penuh kasih sayang. Bapak yang rela menolong siapapun tanpa mengharap imbalan.

Meski sebentar, tapi keberadaan Bapak lah yang pertama kali menjadi harapannya untuk menemukan ingatannya.

“(Harapan terkuatmu lah yang akan menjadi kenyataan di dalam mimpi.)”

‘Ah, kurasa aku mengerti!’

“Cukup!” sang pemimpin pasukan yang mengamati sedari tadi kini mulai kesal, ia mengeluarkan sebuah meriam tangan raksasa. Disasarnya sang buronan dari jauh, berniat melantakkannya.

Sedetik kemudian pemicu ditarik. Gaya reaksi menghasilkan ledakan energi raksasa yang mengincar Kilat dan Stalla. Tak sempat kabur, Kilat hanya bisa menutupi wajah dengan satu tangannya. Saat itu ia pikir mereka akan musnah.

Namun ajaib.

Serangan tersebut lenyap entah oleh apa. Stalla dan Kilat selamat, mencengangkan sang pimpinan. Bahkan Kilat sama sekali tak tergores.

‘Harapanku saat itu adalah menolong Tuan pemulung, dan harapanku kali ini adalah melindungimu,’ ujar Stalla.

‘Kurasa aku bisa memakai kekuatanku sekarang. Tuan Kilat, tolong pencet kepalaku!’

Kilat tak mengerti, tapi tetap mengiyakan. Ia mengarahkan kaleng penyegar ruangan itu ke depan.

‘PEMBEBASAN!’

===

Hari berganti hari, insiden permintaan maaf sang Raja tak terlalu ditanggapi baik.

Sebagian menerima, sebagian tidak. Pertentangan di mana-mana. Tak semua kini menyukai Raja. Ada yang tetap mempersalahkan Raja, ada pula yang makin setia terhadapnya. Dasar sifat alaminya, manusia suka mencari pihak untuk disalahkan demi menenangkan diri.

Pun begitu, situasi mereka tak kunjung membaik.

Penduduk yang tersisa kebanyakan hanya bisa terbaring tanpa kaki, bahkan beberapa tak lagi memiliki alat gerak. Terbujur kaku di atas pembaringan, mereka cuma bisa menanti ajal menjemput.

Namun beruntung, tak berapa lama sekawanan robot raksasa terbang mendatangi Anatolia bak perkumpulan malaikat besi.

Salah satu dari mereka yang bertindak sebagai pemimpin menjanjikan sesuatu kepada sang Raja yang cacat badan. Kaki kiri menghilang, tangan kirinya juga. Sang Raja sudah lumpuh, hanya menanti saat ajal menghampiri.

Namun sang Robot menawarkan sesuatu yang menarik. Ia meyakinkan Raja bahwa dirinya sanggup menyembuhkan Anatolia. Walau tidak sempurna, setidaknya ia sanggup melindungi rakyatnya dari siksaan lebih lanjut.

Syaratnya satu: Raja mengijinkan para robot hidup bersama di Anatolia.

Tentu Raja menyambut baik tawaran itu, percaya bahwa para robot datang demi kebijakan. Tak apa mengiyakan permintaannya, justru mereka akan lebih gembira karena bertambah teman.

Lalu dimulailah operasi besar-besaran.

Semua diubah menjadi separuh robot dan diberi semacam pelindung agar tak lagi bisa menghirup partikel yang mereka namai ‘Kajima’. Seluruh penduduk terselamatkan, tak terkecuali raja.

Semua bahagia atas pertolongan sang Robot.

Anatolia mampu bertahan hidup dan kembali menjadi kota yang makmur sentosa penuh kebahagiaan dengan Raja tercinta mereka.

Anatolia menjadi kota di mana manusia hidup berdampingan dengan robot.

===

Lantak.

Dari tubuh Stalla muncul ledakan energi raksasa serupa tembakan pimpinan tadi, menghabisi mereka yang tersisa. Lansekap tak berbentuk, bangunan-bangunan lebur. Bahkan Kilat pun tercengang.

‘Hihi, ternyata benar dugaanku,’ ucap Stalla bangga.

“A-apa yang kamu lakukan?” Kilat bertanya tak percaya.

‘Sederhana, aku menyerap sesuatu dari luar dan mengeluarkannya lagi saat kepalaku dipencet,’ jawab Stalla. ‘Sepertinya tubuhku bisa menyimpan berbagai macam hal dan membebaskannya kembali.’

“Hm, semacam Ruang Penyimpanan Dimensi?”

‘Entahlah. Mungkin? Tapi aku suka istilahnya, terdengar pintar.’

Kilat kembali melihat ke sekitar, memastikan. Sekarang tak ada lagi yang mengejar mereka, tapi untuk kembali jelas tidak mungkin. Rumah Kilat telah diketahui musuh.

Tapi musuh siapa?

‘Tuan Kilat,’ Stalla mulai penasaran, ‘yang mengejarmu tadi sebenarnya siapa?’

“Mereka adalah suruhan Saraph,” jawab Kilat. “Aku adalah buronan.”

‘B-bagaimana bisa Tuan Kilat...?’

Stalla berhenti melanjutkan ketika melihat Kilat menoleh.

Di kirinya berdiri sebuah patung raksasa yang terbuat dari batu dengan papan nama di bawahnya. Dari kejauhan tak nampak, namun kini Stalla bisa melihat banyak coretan di patung berlapis emas itu. Tulisan caci dan maki memenuhi badan, memperlihatkan kebencian mendalam dari siapapun yang melakukannya.

Ya, Kilat berlari cukup jauh hingga kini ia berdiri di depan patung RAVEN yang tadi mereka bicarakan.

Stalla terkesiap ketika membaca papan nama yang tertera.

‘T-Tuan Kilat... kamu...?’

===

Rakyat Anatolia kala itu kembali berbahagia. Rekan mereka bertambah, pekerjaan juga semakin ringan dengan bantuan mesin. Saling bahu-membahu mereka menegakkan simbol kebahagiaan di Anatolia.

Namun kedatangan sang Robot membuat banyak pihak yang berpikir bahwa ia lebih pantas memimpin daripada sang Raja. Mulai terdengar suara-suara yang inginkan kemunduran Raja. Mereka yang memang tidak menyukai Raja kian menguat suaranya.

Hingga suatu kejadian menaikkan kobar faksi tersebut.

Pada suatu petang, ia dan sepasukan pengawal pergi menuju pemukiman dengan senjata teracung. Hal ini tentu memusingkan saksi mata. Para pekerja malam terbengong melihat Raja bergerak ramai-ramai.

“R-raja? Apa yang hendak engkau lakukan segelap ini?” tanya seorang.

“K-keluargaku,” Raja menjawab, “CEPAT LARI!”

Tragedi kedua.

Lengan mesin Raja menembakkan laser sang penanya, menghabisinya.

Tak cukup itu, ia menyerang segala yang dipandang. Satu demi satu pemukiman ia musnahkan, nyawa demi nyawa ia lenyapkan. Seluruhnya ia serang tanpa pandang bulu.

“L-LARI! CEPAT PERGI!! JAUHI AKU!” racau sang Raja.

Raja tak sendiri, pasukannya pun turut bertindak. Pedang listrik dan senapan laser membasmi siapapun yang di sana. Korban berjatuhan. Tak seinsan pun mampu mengelak dari genosida. Darah dan oli berserakan, puluhan jiwa dilepas dari dunia.

“Raja! Apa yang kau lakukan?!”

“Raja! Salah kami apa?!”

“RAJA?!”

“T-Tubuhku tidak mau menurut!” rintih Raja meski tak terdengar.

“TOLONG AKU!!”’

Tepat setelahnya tiba-tiba sang Robot muncul dari angkasa.

Kedatangannya laksana malaikat, disambut dengan sorakan para pendukungnya.

“Tolong kami! Kumohon selamatkan kami! Raja sudah gila!” teriaknya.

Tentu sang Robot menjawab asa Anatolia. Seorang diri ia menghentikan gerak seluruh prajurit Raja. Orang demi orang ditaklukan, hingga sang Raja pun tak berkutik di hadapan robot berkepala runcing itu.

“Ckckck, tak kusangka begitu dirimu mendapatkan kekuatan, kamu jadi menggunakannya untuk keburukan,” ucap sang Robot sewaktu membekuknya.

“I-ini... ini pasti ulahmu,” keluh Raja dengan mata sembab.

“A-AGH!!”

Sekali tebas, tubuh Raja oleng.

Dari tangannya sang Robot mengeluarkan pedang. Diayunnya miring, kaki dan tangan kanan terpisah dari tubuh Raja. Alat gerak Raja yang terbuat dari daging habis sudah, menyisakan bagian besi. Dalam hitungan detik, sang Robot berhasil menghentikan amukan Raja dan pengikutnya.

Sebentar senyap, Anatolia segera memandang sang Robot sebagai kesatria penyelamat.

“Saraph!! Saraph!! Saraph!!’ elu mereka, memuja.

Sang Raja dan semua yang terlibat kemudian dipenjara. Mereka dianggap berdosa besar karena telah mengkhianati rakyat. Tak seorang pun menanyakan alasan. Kepercayaan bertahun-tahun terlanjur runtuh hanya karena kekejian semalam.

Sebagian rakyat yang dendam di kemudian hari mencoret patung Raja yang ada di tengah kota.

Menutupi nama ‘Kilat Hitam’ dengan tulisan ‘RAVEN’.

===

“Ya,” balas Kilat, menanggapi Stalla.

“Aku Kilat ‘RAVEN’ Hitam.”


Lima: Mimpi-Mati-Ayah


‘Ternyata seperti itu...,’ kejut Stalla, usai mendengarkan kisah sang mantan Raja.

Tak disangkanya negeri penuh senyuman ini memiliki masa lalu yang kelam. Tidak cuma itu, bahkan senyuman itu pun palsu. Mereka semua tersenyum karena aturan. Jika sebersit saja terlihat satu tak bahagia, hukuman menantinya.

“Begitulah,” balas Kilat, “tak seorang pun mempercayaiku dan aku pun dipenjara. Aku kemudian kabur dan membentuk kelompok revolusioner untuk melawan rezim Saraph. Aku menggunakan nama yang terlanjur diberikan padaku, RAVEN Hitam, untuk memimpin tentara yang setia padaku.”

‘Lalu kenapa kini Tuan berhenti?’

Kilat berjalan mendekati patung dirinya. Patung yang memang didesain untuk tidak terhancurkan itu masih berdiri dengan kokoh, meski banyak coretan di mana-mana. Disentuhnya simbol kegagahan masa lalunya, mengenang kesigapannya.

“Aku bertemu Huban,” jawabnya.

“Waktu itu dia muncul ketika aku tengah bertempur. Aku tak bisa mengingat wujud utuhnya. Hal yang terngiang di kepalaku cuma senandungnya saat melompat-lompat kecil di tengah medan perang, juga kepalanya yang berupa bantal.

“Saat itulah aku, entah bagaimana, menyadari bahwa semua ini cuma mimpi.”

Hening sejenak, Stalla tampak mulai mengerti. Ia bungkam, menunggu Kilat melanjutkan.

“Detik ketika aku tahu dunia ini cuma mimpi, detik itulah aku kehilangan tujuanku. Aku takut jika nanti semua usahaku ternyata hanya angin lalu. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku bermimpi, jadi untuk apa aku berjuang? Jangan-jangan di dunia nyata aku bahkan bukan raja? Aku takut, Stalla.”

Stalla bisu.

Bahkan ia pun tahu betapa akan goyah mentalnya jika menyadari sebagian hidupnya hanyalah bunga tidur. Seandainya nanti Kilat menang dan berhasil menguasai kembali Anatolia, bagaimana jika kemudian ia terbangun dan mendapati segalanya cuma angan?

‘Seorang Raja pun pasti akan turun moralnya,’ simpul Stalla.

Ia bimbang. Memang, dirinya tak mengingat siapa ia sebenarnya dan bagaimana dirinya bisa ada di dunia ini. Nama Stalla pun diperoleh dari logo yang tertera di raga kalengnya. Jika dia kehilangan ingatan di dunia mimpi, bagaimana ia yakin ingatannya di dunia nyata adalah sesuatu yang diharapkannya? Bukankah mimpi bergantung pada serpih kenangan?

Dengan kata lain kenangannya tidak ingin dirinya mengingat dunia nyata, bukan?

“Manusia terdeteksi.”

Sebuah misil jatuh menimpa kota.

Kilat dan Stalla terkejut, mereka tak terkena ledakan tapi tubuh mereka terhempas beberapa meter. Tak berapa lama kemudian, sesosok robot raksasa bermuka biru dengan sebelah mata bulat turun di tengah Anatolia.

Itu mata Iris, namun tubuhnya berbeda. A.I telah menyatukan puluhan robot ke rancangan Iris sebelum sampai kemari.

Termasuk Eve dan Eraser.

“Kukuku, penghancuran dimulai.”

Tak puas, A.I menembakkan sinar energi ke penjuru Anatolia. Bangunan koyak, bumi lantak. Jerit tangis segera membahana. Cukup sekedip dan A.I berhasil memusnahkan senyum tawa Anatolia.

Sepanjang jalan Anatolia seketika itu juga dipenuhi manusia dan robot. Mereka berhamburan mencari keselamatan.

Namun justru itu yang diincar.

A.I terbang dan menghalangi salah satu jalur. Tangan A.I berubah jadi pedang, satu gerakan dan semua yang di hadapan A.I seketika binasa.

Berpuluh mereka langsung berbalik arah, bertubrukan dengan yang berlari ke jalur sebaliknya. Saling injak, saling tindih, saling sikut. Siapa dan apa tak lagi dinalar. Bagi mereka yang utama hanya keselamatan diri.

‘Bagaimana ini, Tuan Kilat?’ gugup Stalla.

Kilat bisu, ia tak tahu. Terjadi pertentangan dalam hatinya. Jauh di benaknya ia ingin bertindak selayak dirinya masa lalu, tapi ia juga tak mungkin abai bahwa ini cuma mimpi. Lebih-lebih bila lawannya adalah robot pemusnah masal.

‘Tuan,’ panggilnya lagi.

“Aku... jika aku mati di sini, siapa tahu aku bisa bangun dan kembali,” katanya putus asa.

Tiba-tiba suara dentuman menderu.

Sebentuk robot berkepala jet menembaki A.I, menekannya mundur. Ia segera mendarat di bentangan medan penghancuran, menghadang A.I. Ia tak sendiri, membawa pasukan penakluk demi membantunya.

“Bedebah, apa yang kau lakukan pada Anatoliaku!”

Saraph datang. Perseteruan pun tak terelakkan. Warga Anatolia bersorak menyaksikan kehadiran sang penyelamat. Sesaat itu juga mereka lupa akan penderitaan selama bertahun-tahun. Mereka hanya berharap untuk selamat detik itu juga.

Sementara Kilat?

“Aku hanya ingin bangun,” ujar Kilat.

Ia menerawang, memperhatikan pusat pertarungan meski tatapannya kosong. Ledakan bertubi. Panggung kisah Stalla kembali menampilkan neraka kengerian. Pertempuran Saraph dan A.I meledakkan apapun yang kasatmata, tak menyisakan secuil jua.

“Jika mati di sini berarti bangun di sana, aku lebih baik segera mati,” lanjut Kilat. “Biarlah ia berbuat sesukanya dan membasmi kita semua.”

Kilat hilang hasrat, rona matanya melenyap. Daripada keinginan untuk bangun, yang Stalla lihat cuma pria tua yang menyerah pada keadaan.

‘Yakin Tuan pasti bangun?’ ketus Stalla tiba-tiba.

‘Jika iya, kenapa Tuan tidak mati saja dari dulu, atau dari tadi waktu suruhan Saraph mengejar kita? Kenapa harus menunggu penyerang ini dan bukannya bunuh diri? Raja apa bukan?’

Kilat tertegun, tak menyangka Stalla berkata seperti itu padanya.

‘Jangan mati dulu kamu, Pak Tua. Bantu aku,’ pinta Stalla. ‘Aku tahu masih ada harapan tersisa di dirimu, harapan untuk kembali bangun dan bertemu rakyatmu. Kalau iya, ikuti aku.’

“B-benarkah?” Kilat mulai goyah. “Kamu bisa membuatku bangun?”

‘Kecuali kamu mau mati,’ tegas Stalla. ‘Kalau kamu mati bagaimana kita tahu jawabannya? Setidaknya bertahanlah hidup sampai bisa menemui Huban, atau jika perlu langsung ke [Sang Kehendak].

‘Kita tuntut mereka.’

Kilat menganggukkan kepalanya, sedikit ragu.

Bagaimanapun, kata-kata itu keluar dari sebuah kaleng.

“Guahahaha!” terdengar tawa kencang.

Kilat seketika menengok. Figur makhluk besi raksasa terpampang di hadapan mereka. Tingginya belasan meter, membuat Kilat dan Stalla bisa mati terinjak dengan mudahnya.

‘Ugh, Tuan Kilat,’ panggil Stalla, ‘jika kamu ingin menyelamatkan kota ini, seharusnya dari tadi.’

A.I kini berbadan raksasa.

“Guahahaha, kemampuan Iris ini memang luar biasa! Robot-robot itu telah jadi kuasaku! Untuk apa mengendalikan puluhan robot jika aku bisa menyatukannya dalam satu kendali?! Guahahaha!” tawanya.

Mereka yang masih hidup, kembali panik melihat pujaannya menjadi makanan A.I. Mereka mulai berhamburan, kabur dari sang pemangsa. Rasa takut kembali menghampiri, tak seorang pun siap menghadapi mati.

“Rasakan neraka, manusia. Tiga....”

Bagian dada yang berbentuk lingkaran milik A.I itu berpendar. Bola-bola cahaya terbentuk di sekitar, berpusar dan mengumpul di depan dada.

“Dua....”

Bola-bola itu menyatu, mewujud bulatan besar dan pejal.

“Satu...!”

Ditembak.

Sinarnya begitu terang, membutakan. Tak ada yang mampu berasumsi dirinya akan selamat. Meski begitu mereka tetap berusaha melarikan diri dari kematian yang menjelang. Meski mereka tahu rasanya itu akan sia-sia.

...

Namun tidak, cahaya itu pupus.

Semua bengong, menatap langit. Cahaya itu musnah, mengembalikan mendung di langit Anatolia. Untuk sesaat, sunyi. Detik berikutnya seseorang meneriakkan sebuah nama. Satu nama yang dulu mereka puja.

“Itu Raja Kilat!” tudingnya ke atas gedung.

“Tidak ada waktu untuk berpikir panjang,” kata Kilat selagi membuka jubahnya, menampakkan tubuhnya yang seluruhnya terbuat dari mesin. Ia kemudian menguncir rambutnya yang lebat panjang, memperlihatkan wajahnya yang tadi tertutup.

“Untuk sekarang aku percaya saja denganmu, Stalla.”

“Bagaimana kau melakukannya, keparat!?”

A.I mengayun tinju, mengincar Kilat. Sebelum pukulan itu menghancurkan gedung, Kilat telah melompat ke dinding bangunan seberangnya dan meluncur vertikal. A.I yang tak sabar langsung menjejak kaki ke arah Kilat, yang dihindarinya dengan melompat ke darat.

“Kalian semua kabur!” perintahnya pada rakyat Anatolia, dipatuhi tanpa banyak cakap. Mereka berhamburan menjauhi lokasi pertempuran.

‘Dengan tubuh raksasa begitu bagaimana dia bisa bergerak gesit?’ heran Stalla.

Dari atas bahu A.I muncul puluhan misil, hendak menyasar Kilat.

‘Pencet kepalaku!’

Dalam sekejap papan besi raksasa muncul, digunakan sebagai perisai. Meski tak terkena langsung, dampak dentuman misil tetap berhasil mendorong Kilat.

Belum selesai, misil lainnya menyusul.

Kilat begitu tangkas, misil yang diterbangkan mengenai kosong. Kilat berlari mengitari A.I, memaksanya untuk memutar arah selagi menembakinya. Mendapati Kilat yang telah berada di bawahnya, A.I mengangkat satu kakinya.

“Matilah kau, kecoa busuk!”

A.I hendak menginjak, tapi Kilat mampu bergerak lebih cepat. Sebelum satu kaki itu mendaratkan tapak, Kilat sudah melompat ke arah lutut kaki satunya.

“Gah!”

Tak diduga, persendian belakang lutut A.I dihajar sekuat tenaga oleh Kilat. Tinju besi itu begitu kuat, mengganggu keseimbangan diri A.I dan membuatnya terdorong ke belakang.

“Sekarang, Stalla!”

Tak seorang pun menyadari sebuah kaleng yang melayang di udara dengan posisi terbalik. Tepat sebelum Kilat berlari menghindar tadi, Stalla dilontarkannya jauh ke udara. Stalla lalu terjatuh dengan kepala siap menghantam batu.

‘Rasakan seranganmu sendiri!’

Tembakan cahaya.

Nyaris, A.I menembakkan laser ke samping dan mengakibatkan gaya dorong mengubah arahnya. Hanya tangan kiri yang terputus, lainnya tak mengapa.

“Kuh, kuhahaha!” tawa A.I tiba-tiba. “Tak kusangka kau mampu menekanku sampai begini, tapi percuma!”

Ia mengambil tangan kirinya yang lepas, lalu menempelkannya ke bahu. Tangan itu menyambung kembali dengan kecanggihan yang tak Stalla pahami. Tubuh A.I kembali sempurna, menjadikan upaya mereka barusan sia-sia.

“Berapa kali pun kalian mencoba hancurkan tubuhku, aku bisa kembali utuh seperti sedia kala!” teriak A.I selagi Kilat berlari kembali ke Stalla dan mengambilnya.

“Rasakan ini!”

Kali ini tangannya diarahkan ke depan. Dari samping meluncur puluhan torpedo, nyaris mengenai Kilat jika ia tak bergerak cukup cepat.

“Bagaimana ini? Kita tak bisa melukainya,” panik Kilat seraya berlarian ke sana kemari. “Untuk saat ini kita hanya bisa menghindar.”

“[Bzz–long...,]”

‘Eh?’

“[To–zz...,] Hahaha, kalian akan [bzz–long...] musnah!” suara A.I terdengar bercampur, meski agaknya ia sendiri tak sadar. A.I masih berusaha menembaki Kilat saat Stalla menyadari sesuatu yang ganjil.

‘Tuan Kilat, Tuan menangkap suara itu?’

“Tidak, suara apa?” jawab Kilat.

‘Itu seperti permintaan tolong,’ jawab Stalla. ‘Anehnya kurasa suaranya berasal dari dalam tubuh raksasa ini.’

A.I melaju, mendekati Kilat. Roket di punggung mendorong cepat hingga tahu-tahu ia sudah berada di hadapan mereka. Tangan raksasa itu diangkatnya sebelah, terkepal.

‘Tuan Kilat, maaf. Aku ingin berusaha mendengar suara itu,’ kata Stalla memutus percakapan.

“Stalla? Hei? Kamu ke man–uagh!”

Tinju menerjang.

Kilat refleks menyatukan kepal dan menghantam pergelangan A.I dari sisi, mendepaknya keluar. Stalla yang terlepas segera ditangkapnya lagi. Tapi terlalu cepat untuk tenang, A.I mengeluarkan rudal dari sikunya.

“[bzz–long]”

‘Siapa di sana?’

“[To–bzz–long, aku zzzz–inti tubuh bzzt.]”

Rudal seukuran tubuh manusia memburu Kilat, melaju ke titik dirinya. Kilat mengelak, tapi rudal itu mengejarnya. Peluru khusus itu ternyata mengunci target, memastikan serangannya.

“Sial!” umpat Kilat.

‘A-apa yang harus kulakukan?’

“[T–bzz–tidak a–zzz waktu. Ini lema–zz pad–zzt listrik tegangan tinggi, zzz–rang bzzz–petir. Bzzz–]”

Suara itu hilang, meninggalkan Stalla yang kebingungan.

“Heaaa!”

Kilat entah sejak kapan berhasil mencengkeram rudal tadi dengan satu tangan. Ia tahu-tahu sudah di hadapan A.I, membanting rudal itu ke pelipis. Ledakannya yang besar menghempaskan Kilat ke belakang, namun di saat yang sama telah meleburkan wajah A.I.

Sayang, dalam hitungan detik muka itu kembali utuh.

“Duh, bagaimana caraku menghancurkannya?” keluh Kilat mulai bimbang.

‘Tuan Kilat,’ tegur Stalla, ‘suara itu memberitahukanku sesuatu.’

“Kecoa brengsek!”

A.I menendang. Kilat terlontar, terjerembap jauh di tengah kota. Ia gemetar, sedikit darah menetes dari hidungnya. Berbeda dengan A.I yang tetap bugar berapa kali pun tubuhnya diremukkan, rasa sakit dan lelah Kilat sebagai manusia kian menjangkit.

“K-Kalau ada ide untuk mengalahkannya, cepat katakan,” parau Kilat, berusaha bangkit.

‘Suara itu berkata sesuatu soal listrik tegangan tinggi dan petir, tapi selebihnya aku tidak terlalu paham,’ terang Stalla. ‘Ada kemungkinan itu kelemahannya.’

“Listrik?  Ugh, seandainya aku masih RAVEN,” ujar Kilat.

‘Lalu bagaimana? Aku tak punya petir dalam tubuh kalengku.’

“Susah sekali matimu, keparat!” ujar A.I seraya menghadapkan telapaknya ke depan, memperlihatkan bulatan yang berpijar merah. Sekerjap kemudian tubian sinar peledak menerpa permukaan, membidik Kilat.

Kemampuan Stalla bergerak, menyedot tiap serangan.

‘T-Tuan, sepertinya aku tidak bisa menyerap banyak-bany agh!’

Stalla terpental. Daya muat kaleng Stalla bukan tak bertepi, serangan cahaya itu sudah tak tertampung. Rentetan ledakan berikutnya menghajar tanah, menyudutkan Kilat.

“Haaa!”

Petarung baru mendadak hadir di arena, menebas kedua tangan A.I.

Spontan robot gigantik itu membuka meriam di dahi, hendak membasmi sang pemedang. Masih di udara, orang itu memijak tangan yang ia potong dan menjadikannya batu loncatan. Segera ia melontarkan pedang dan menusukkannya pada ceruk senjata besar itu.

Kening A.I meletus.

Orang itu langsung bergerak menuju Kilat, meninggalkan A.I yang berancang memperbaiki diri.

“Akari! Kamu masih hidup?!” tanya Kilat tak percaya.

“Ayah,” sahut yang dipanggil. “Aku tidak akan mati selama masih menyandang RAVEN.”

‘Ayah?’

“Ya, dia anak angkat pertamaku,” jawab Kilat pada Stalla. “Apa yang terjadi dengan tangan kananmu, Nak?”

“Lupakan itu, Ayah. Aku kemari membawa sesuatu untukmu,” balas Akari. “RAVEN, mulai pengalihan ke subyek Kilat Hitam.”

Akari mengangkat lengannya yang tersisa, mengepal ke langit. Lengan besi itu lalu memisahkan diri dari Akari, terbang mendekati Kilat. Benda hitam gelap itu menyesuaikan wujudnya, menyatukan diri dengan tangan Kilat.

“Kukembalikan RAVEN padamu, Ayah,” lanjut Akari.

Pingsan.

Kilat yang terkaget langsung mendekap tubuh Akari, memanggil-manggilnya. Namun percuma, Akari sudah kehilangan terlalu banyak darah. Untuk sampai ke Anatolia saja sudah memerlukan energi lebih.

“Keparat, kukira tadi dia sudah mati,” ujar A.I setelah tangan dan wajahnya kembali terbentuk.

‘Tuan,’ tegur Stalla.

“Ya,” mata Kilat mengerling tajam.

“Mari kita selesaikan ini.”


Enam: Halilintar-Akhir-Enigma


“Istirahatlah dulu.”

Kilat membopong Akari, menaruhnya ke tepi. Tak ada teduhan karena Anatolia nyaris habis jadi reruntuhan. Kilat lalu memijat sedikit tangan kirinya, mendekat, dan memungut Stalla. A.I berdiri tak jauh di depan mereka, tampak siap menghabisi mereka kapanpun ia mau.

“Semoga nasib berpihak pada kita,” ujar Kilat. “Ayo, Stalla.”

‘Ya,’ tanggap Stalla, ‘kita lakukan seperti rencana.’

Kilat menerjang maju.

“Tidakkah kau pikir ini percuma saja?” tegas A.I. Telapak kembali terbuka, A.I menghujani Kilat dengan rangkaian tembakan laser. Tak gentar, Kilat menantang serangan itu langsung di muka.

‘Tuan Kilat!’

Kilat mengerti. Dengan meluncurkan laser yang sama, Stalla berhasil menghempas tembakan A.I menuju ketiadaan. Berdua seolah sedang berdansa, penyerapan dan pembebasan Stalla dilakukan selaras dengan irama jejak Kilat.

Kian dekat.

A.I menyorong tinju.

“Rasakan daya RAVEN!”

Kepal dilawan kepal, Kilat memukul tinju A.I dengan tangan kirinya. Tak disangka serangan itu manjur, meretakkan bagian luar lengan robot raksasa itu.

“Masih belum,” lanjut Kilat. “Stalla!”

Sepatutnya seia sekata, Kilat dan Stalla berlaku seirama. Tepat setelah Kilat melompat, jangkar raksasa mencuat. Stalla berhasil mengunci pergelangan tangan si robot menggunakan jangkar itu. Kilat mendarat di punggung tangan, mendakinya dan berlari menuju bahu.

“Kekuatan RAVEN berasal dari energi berdaya tinggi. Dengan RAVEN, aku mampu meningkatkan tenagaku berlipat-lipat,” jelas Kilat.

“Tapi tidak cuma itu,” Kilat bertolak dengan lengan berpendar.

“Aku juga bisa begini!”

Tinju petir.

“Aaargh!”

Tidak, serangan itu tidak kena. Di saat yang tepat, A.I berhasil mencipta sejenis perisai tak terlihat. Kilat terpental, menggagalkan upaya mereka.

“Oh, tak kusangka kau tahu kelemahan Iris Lemma,” ujar A.I. “Tapi taktik yang sama tak akan bekerja dua kali, guhahaha.”

‘Tuan, kau tak apa?’ tanya Stalla khawatir.

“Ya,” jawab Kilat, “tapi kita masih belum bisa menyentuhnya.”

“Cukup main-mainnya, tenaga peluruku sudah terisi kembali!” teriak A.I. “Masa kepunahan kalian akan datang! Tiga....”

Kembali bulatan di dadanya berpendar, membentuk bola-bola cahaya yang jauh lebih besar. Bola-bola itu lalu berputar mendekati poros lingkaran.

‘Kurasa aku tidak akan bisa menyerap semuanya kali ini, Tuan Kilat. Kurasa tenaganya terlalu besar untuk kutampung,’ ujar Stalla.

“Kalau begitu kita hanya harus mengalahkannya duluan!” teriak Kilat selagi beranjak maju.

Bereaksi atas gerakan Kilat, puluhan rudal meluncur dan menjadikan Kilat sebagai incaran. Satu demi satu dienyahkan, Kilat melaju dengan mantap. Kaki berpijar, dihimpunnya daya listrik di sana.

“Dua....”

Kekuatan kaki meningkat, Kilat melompat dengan segenap tenaga hingga mencapai pundak. Pendar itu beralih ke kepalan tangan, siap dilayangkan. Bersamaan itu bola pijar di dada A.I kian memadat.

“Kau pikir aku akan membiarkanmu?”

“Urgh!” perisai tak terlihat kembali muncul, menahan serangan Kilat. Namun ia tak menyerah. Kilat terus-menerus meninju tameng itu sekuat tenaganya. Dengan kedua lengan yang bersinar, ia berusaha menembus pertahanan terakhir sang robot.

Tapi sia-sia, Kilat kehabisan tenaga. Tubuhnya melemah hingga terjatuh menuju tanah. Namun ada yang aneh.

Kilat menyeringai.

“Akhirnya terisi penuh!” teriak A.I. “Sekarang adalah waktunya penghabisan, manusia bodoh! Tunduk padaku sekarang juga! Sat–

“ARGHH...!”

Halilintar menyambar, Guntur membahana.

Raga besi itu tersengat petir, menghiasinya dengan hangus. Perlahan tubuh itu terpecah, seluruh bagiannya tercerai-berai. Keagungan sang Robot runtuh, menyisakan wujud makhluk besi bermata tunggal yang tak lagi bergerak. Sinar mata yang hijau mulai kembali memerah, sesuai wujud aslinya.

“B-bag–zzzt bagaima–zzt–na?”

Sebuah kaleng hijau kemudian melayang mendekati Kilat yang terkapar tak berdaya. Sebentuk tangan besi hitam menggenggamnya di belakang, menerbangkan si kaleng dengan roket pendorong.

“Untung idemu untuk menyimpan listrik dalam tubuhmu berguna juga,” ujar Kilat. “Apalagi bagian RAVEN itu, tak kusangka aku akan memasangkan RAVEN padamu, Stalla.”

‘Tidak, tinju habis-habisan ke satu titik itu yang membantuku menembus perisai itu, Tuan,’ balas Stalla. Kilat tersenyum.

Sesaat kemudian ujung hidung Kilat terkena sesuatu. Tak sakit, tapi cukup mengagetkannya. Matanya memperhatikan langit. Tak dinyana, mendung yang sedari tadi menyelimuti Anatolia mulai mengharu. Rintik membumi, memadamkan bara sulut pertarungan.

Hujan.

“Stalla,” Kilat memanggil.

“Terima kasih.”

===

‘Ih, kamu ke mana saja?!’ amuk Stalla.

“(Maaf,)” embik si domba, “(aku dan domba-domba lainnya dikunci di Menara Palisade.)”

Setelah Saviit dilepas, akhirnya tiba masanya Stalla meninggalkan Anatolia.

Berkat pertempuran barusan, semua orang kembali mengagungkan Kilat. Ia mengulang permintaan maafnya, merundukkan kepala hingga terbenam pasir. Rakyat kini tak lagi meragukan Kilat, apalagi setelah Saraph mengakui kudetanya.

Saraph, Iris, dan Eve selamat, tapi Ganzo sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Ilmuwan Anatolia berhasil mengunci kinerja A.I dan memastikan ia terperangkap di dunia maya. Sementara Saraph menyerahkan diri demi membalas budi Kilat yang menyelamatkannya.

Beruntung sang Raja adalah pemaaf. Saraph dibebaskan, bahkan diangkatnya menjadi saudara. Tentu dengan syarat ia berjanji tak akan mengulangi perbuatannya.

Demi merayakan itu semua Raja mengundang penjuru Anatolia untuk berpesta. Tak ada paksaan, tak ada siksaan. Semua tertawa, turut gembira atas kembalinya Raja yang mereka sayangi bersama.

Ini Anatolia, kota masa depan.

Ini Anatolia, kota yang tak lagi terjebak oleh masa lalu.

Lalu di sinilah mereka, di perbatasan Anatolia. Stalla dan Saviit diantar pergi oleh Kilat dan Akari.

“Jadi kau akan pergi, Stalla?”

‘Ya, aku harus menemui [Sang Kehendak]. Terlalu banyak yang ingin kutanyakan!’ ketus Stalla.

“Haha, aku juga mungkin akan bertanya banyak kalau bangun-bangun badanku mendadak jadi kaleng,” canda Kilat.

‘Yakin tidak mau ikut? Katanya di sini cuma mimpi?’ sindir Stalla yang ditanggapi dengan tawa oleh Kilat.

“Tidak, Stalla,” balasnya. “Biarpun mimpi, di sini masih Anatolia. Kayal ini juga makhluk hidup, mereka membutuhkanku untuk memimpin mereka. Dunia nyata seharusnya punya cara untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.”

‘Apa boleh buat kalau itu keputusanmu.’

Saviit lalu melantunkan embikan yang unik, disusul oleh ketukan satu kaki depan. Portal berkilau perak terbentuk di hadapan mereka, siap mengantar Stalla pergi.

“Ayah, katakan padanya agar menjaga RAVEN kita baik-baik,” ujar Akari tersenyum.

“Kau dengar dia, jaga pemberianku. Siapa tahu kamu butuh,” kata Kilat.

‘Hehe, tentu saja!’ balas Stalla. ‘Sampai jumpa kapan-kapan, Tuan Kilat Hitam!’

Portal tertutup, sesaat setelah Stalla dan Saviit masuk.

Kilat tersenyum. Tidak setiap hari ia bisa menemukan kaleng yang bisa bertingkah selayaknya manusia, lebih-lebih mengajarkannya untuk tetap hidup. Sungguh pengalaman yang berharga, sebuah mimpi yang indah.

Mimpi yang sungguh indah.

“Ayo kita kembali, Akari,” ajak Kilat.

Kilat pun berbalik, melangkah mendahului Akari. Tak diperhatikannya muka Akari yang telah membelah, membentuk mulut vertikal raksasa yang siap menerkamnya.

“GRAAAARH!!!”


===[A]khir?===



>Cerita sebelumnya : [PRELIM] 33 - STALLA | [B]APAK
>Cerita selanjutnya : 
[ROUND 2] 15 - STALLA | [N]AMA

27 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : A
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : A
    Reading enjoyment : A

    Saya awalnya heran kenapa kamu mainin Oneiros yang bahkan belum direveal sama panitia, tapi ternyata masih in-line sama plot ceritanya

    Sebenernya semua selain Stalla dan AI saya rasa underperformed di entri ini, tapi tetep aja ceritanya sendiri lumayan menarik. Dari semua yang make setting Anatolia, ini yang lore-nya paling saya suka, meski Kilat agak ngingetin sama King Riku dari One Piece. Plus endingnya hujan pula, kayak Alabasta

    Entah kenapa saya ngerasa suara" asli Iris yang diselipin di antara dialog AI itu keren juga

    Jadi, sekarang Stalla punya kemampuan store & release? Dipikir lagi, kayaknya baru entri ini yang ngupas gimana inspirasi bisa balik dan bikin dapet kemampuan lagi

    ==Final score: A (9)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku udah nanya masalah boleh-nggaknya make Oneiros, katanya boleh. Yaudah ._. I do need some villain character dari awal cerita soalnya

      Dan ya, ofc siapapun yang baca One Piece bakal sadar inspirasinya darimana, haha. Emang King Riku sih yang jadi patokan utama, terutama masalah gerak sendiri membantai rakyat :"

      Store and release itu sebenernya dari awal udah jadi kemampuan Stalla, cuma baru unlocked setelah dapat inspirasi itu ._.

      Oh iya, untuk character usage aku maklum sama nilai B... malah kurasa agak bawah lagi, mengingat banyakan ga kepake... tapi writing techs itu, gimana caranya biar nilaiku bisa masuk A di mata Paman? Mungkin bakal jadi referensi perbaikan lagi ._.

      Anw, thanks a lot dah baca dan menilai ^^

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  2. Saya suka perpindahan adegannya, gak boros kata, to the point, sehingga mudah diikuti. Tapi beberapa pemotongan adegan terkesan mirip, karena mengulang adegan sebelumnya, yaitu mengakhiri adegan dengan pengenalan nama. (dan saya udah ngetik kata 'adegan' sampe 5x)

    Plot ceritanya kyknya ngambil ide dari arc Dressrosa-nya OP ya? XD
    Tapi saya kira cukup sesuai dengan tema Anatolia, sy juga kalo ngambil setting Anatolia mungkin bakal ngambil referensi dari sana.

    [SPOILER] Terus soal karakter, penempatannya sempurna menurut saya. Bukannya memilih antara Akari atau Saraph, tapi si True Ravennya yang lebih dieksplorasi. Dan A.I. sebagai antagonis, itu pilihan yang bagus, apalagi kehadiran tokoh berbasis cyber di grup PPT (Iris Lemma dan Eve), saya belum baca entri yg lain, sama juga gak? Tapi menurut saya pilihannya tepat. Dan lagi-lagi di akhir cerita ada kejutannya, wkwkwk

    NILAI: 9
    (Martha)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, itu aku juga sadar. Kebiasaan untuk pindah adegan setelah nyebut nama atau sesuatu informasi yang baru. Mungkin harus kucoba untuk ngubah next time biar ga bosan XD

      Again, siapapun yg baca OP kayaknya bakal sadar kalo Kilat itu sebagiannya ambil referensi dari King Riku XD

      Alasan utama sih krna Akari dan Saraph punya skillset dan background yang terlalu kaku, jadi mending fokus ke karakter yang bisa kumainin seenaknya perannya: Kilat Hitam XD

      Anw, makasih udah baca dan nilai XD

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  3. seperti biasanya, entri ini cerita khas dongeng ya. dan waktu ketemu sama kilat mengingatkan saya ke film bollywood yang dibintangi syahru khan. menyisipkan flashback disetiap beberapa kali percakapan. kaya wawancard sambil bayangin kejadian aslinya.

    kalo cerita pertambangan yang menjadi polusi dan merugikan rakyat entah kenapa sayj jadi teringat indonesia. kaya kasus lapindo meskipun dampaknya bukan gas beracun. tapi akibat kesalahan penambangan kota tenggelam karenanya. dan karna indo juga kaya sda, sering dimanfaatin sama asing dan bhkan ada beberapa daerah yg dipengaruhi untuk memisahkan diri. ah? tnp sadar malah ngomongin di luar cerita. tapi entah knp waktu bc ini, itu yang terbayang di saya.

    btw namanya si domba panjang juga ya. nanti kalau dia masuk akademi domba kasian yang nulis ijasah. 9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Khas Dongeng, karena emang pengennya ya itu yang ditonjolkan dalam setiap entri Stalla XD

      Terima kasih sudah baca dan kasih nilai :)

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  4. eh kampret... endingnya udah enak-enak gitu malah disuguhi horror tragedy.
    Nuansa dongengnya mulai berubah. Jadi rasanya bukan sekedar kayak baca buku cerita anak-anak tapi lagi nonton film. Jadi pembaca berasa ikut terbawa dalam suasana yang digambarkan. Interaksi para karakternya juga berasa hidup.
    Afterall, kapan stala power up?

    9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagus deh XD
      Ditunggu aja nanti berikutnya Stalla gimana :3

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  5. Kaleng pengharum ruangan tergreget se semesta! /plak! Tp jujur setiap baca entry Stalla saya ngerasa pembagian adegannya pas banget dan padat :' tolong ajari saya teknik ini :'33 untuk pembagian peran sudah kuduga Anta-nya pasti si A.I lagi. Karena memang dia memang paling pas buat itu.

    Buat setting yg mirip OP itu jg + gegara bisa sesuai dengan tema yg disodorkan juri.

    Dari saya 9 bang!

    Zephyr

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya masih belum tarafnya ngajarin X'D

      Tapi terima kasih sudah baca dan komentar :D

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  6. njrit, nama dombanya ngejelimet gitu
    XD

    Weeeeeeei, text kecil khas di entry Sam ternyata juga nongol di sini, wkwkwk

    Pijakan plot pointnya solid sekali. Flashback Kilat soal kehidupannya sebagai raja, juga kegalauan dia tentang mimpi membuat cerita ini memiliki keunikan tersendiri.

    Selipan humor kecil sana sini bikin nuansanya nggak melulu tegang dan kaku.

    Si Iris Lenma jadi korban di sini ya...

    Wueh... Akari anaknya Kilat...
    ._.

    Dan sperti yang Sam bilang, Overal plotnya bikin saya teringat arc Dressrosa, plus ending yang diakhiri sama hujan, hahaha


    Karena enjoyment saya tinggi waktu membacanya, plus plot yang maknyus disertai backround yang solid.

    Saya kasih nilai 10
    :D

    Point : 10
    OC : Maria Venessa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wiiiii nilai 10 pertama XD

      Makasih banyak, pervy author :3

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  7. Jujur, saya langsung berteriak dalam hati(?) pas scene raja nyerang rakyat karena tubuhnya dikendalikan. 'King riku!', gitu. <(")

    Narasi selang-seling antara sisi stalla sama sejarah anatolia itu bijak banget, walau semakin ke bawah jadi kurang mulus, imo.

    Aksinya juga keren. Sempat heran, si stalla 3 kg dilempar kesana kemari kayak basket, tapi karena Kilat badannya dari mesin, dan gravitasi Anatolia beda dari bumi maklumi saja ya. /disepak

    Dan, ending horror dimana Akari berubah jadi monster dari prelim, kayaknya kamu mau ngebangun sesuatu yang gede. <(")

    Feelnya kerasa banget btw, saya sempet haru(?) Pas Stalla motivasi kilat. Cuma sebaris, lupa yang mana. Jadi inget kamen rider black di SHW 3. (?)

    9/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyalah, siapa yang gak sadar inspirasinya dari sana ya XD

      Kurang mulusnya tepatnya di bagian mana ya? atau bisa dijelasin kurang mulusnya kayak gimana? .___.

      btw Stalla itu 5 kg <(") tapi berhubung Kilat itu Raja tapi kekuatannya superb, jadi ya... maklumi lah XD

      Terima kasih nilai dan komentarnya ;)

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
    2. Gini, di awal baca sejarahnya enak. Kepotong-potong biar gak jenuh. Tapi lama-lama sejarahnya mulai masuk bagian yang sekiranya penting, skip lagi. Jadi kerasa diselang-selingnya, bikin saya batin 'wah, sejarah lagi'(?)

      Btw, ini quotenya : ‘Harapanku saat itu adalah menolong Tuan pemulung, dan harapanku kali ini adalah melindungimu,’ :')

      Hapus
    3. Kalo flashback doang nanti kepanjangan takutnya, makanya kupisah-pisah X'D

      Tapi beneran, makasih banyak ya :D

      Hapus
  8. Seneng banget latar yang saya sediakan dimanfaatkan dengan sangat baik :'D

    Mantep banget. Si Raven (Kilat Hitam) dibuat sedemikian rupa kerennya. Dan mendadak saya ingetnya si PUNISHED SSSSNNEEEK dari MGS V

    Latar? Jangan ditanya, saya seneng dengan latar indah yang dinarasikan dengan cara yang tidak kalah indahnya.

    Peran Stalla sama AI yang kurang udah ketutupan dengan solidnya cerita ini. Udah mantep lah intinya mah.

    Nilai, saya kasih 9 deh. Kalau ketemu simbah di R2 pakai ya baju RAVEN-nya ;)

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku gak berani ketemu Mbah Amut, nanti ketelan XD

      Anyway, terima kasih komentarnya yus :*

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  9. Entri yang menarik, tulisannya rapi, story juga bagus! Setting dunianya dijabarkan dengan baik.

    Stalla dan A.I. jadi fokus utama di entri ini. Porsi karakter lain agak kurang, Ganzo berasa hilang gitu aja. Ini endingnya bikin penasaran, Akari jadi monster? www

    Nilai dari saya, 9
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
    Balasan
    1. Porsi karakter lain memang sengaja diminimalisir, karena gak ada ruang buat kasih mereka peran di entri dengan plot begini. Kalau dipaksakan malah nanti gak natural takutnya, jadi ya mending begini aja menurutku XD

      Endingnya ini koheren sama prelim, kalo baca mungkin bakal ngerti kalo aku ada rencana khusus untuk itu ;)

      Anyway, thanks udah baca dan nilai :D

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  10. Nama dombanya nggak kependekan? Nggak sekalian ngalahkan si monyet Gintama? XD

    Si Kilat kakek-kakek badass! Bertarung pakai kaleng semprot karena menggunakan senjata sudah terlalu mainstream.

    Tidak semua reverier dapat jatah aksi sebanyak AI & Stalla, tapi dongeng Anatolia sekaligus pertarungan klimaks yang keren sudah cukup memuaskan.

    Dat horror ending tho... Never expected that.

    Nilai 9~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo ngalahin monyet gintama tar abis di jumlah kata mz XD

      That said, terima kasih udah baca dan komentar :*

      ~Pencipta Kaleng Ajaib

      Hapus
  11. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Sangat Baik = 2
    Enjoy : Sangat Baik = 2
    EYD : Sangat Baik = 2
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10

    satu kata untuk entri ini yaitu KEREEEENNN...
    nilai sempurna seperti ini apa yang harus dikomen?

    NewbieDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
  12. Kalau di prelim make teknik yang dongeng ringan abis, R1 ini ... tetap berasa ada nuansa Stalla-ish. Cuman entah kenapa berasa kayak LN. Tapi LN-nya bukan sembarangan. Ini ringan kayak LN, tapi dengan bumbu narasi agak puitis. Saya seneng sebab entri ini sering kedapatan nyelipin perumpamaan" atau gaya bahasa tertentu. Walau tetap aja, tbh, pola LN bukan jenis yang saya nikmatin. @_@

    Jujur aja, di awal saya agak bosen. Karena narasinya terkesan bernuansa "kosong". Kurang kebayang gitu, gimana sekelilingnya. Udah gitu interaksinya di awal ya terkesan ... "begitu aja". Yah, ini sih selera. ._. Tapi makin ke bawah, syukurlah, terutama sejak lore pribadinya dimulai, entri ini makin terasa warna-warni dan rasanya. Kilat, terutama, saya seneng banget sama dia. Selain orang baik, dia juga, punya pesona tangguh di balik ketuwiran #plak. Keren gitu pokoknya. Dan emang sepanjang baca itulah bayangan dr saya thdp dia xD

    Sayang Stalla sendiri menurut saya agak kurang menggigit. Malah kalah sama pesona Kilat, TBH.

    Saya titip ... 9 dah.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  13. Edan plotnya jadi ajib bener. Dari entry yg pakai plot ini, mungkin ini yg paling keren.
    Dan tetap story tellingnya jadi khas.

    Tapi endingnya itu yg bikin *jeb*...aduh, macam, dah enak-enak makan, lidah kegigit.
    Macam di prelim.

    Bingung mau komentar apa lagi. Soalnya keren banget kaleng ini.
    ...bukan kalengnya sih, ceritanya.
    ---------------
    Rate: 9
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
  14. Saya sebenernya dah baca ini sari lama cuma baru sempet komentar sekarang hehwhe. Dan BOOOOMMMM! Saya gak menyangka sebuah kaleng bisa membangun cerita yang se-epic ini xD

    Pembawaan narasinya sangat ringan namun berisi, benar benar enjoy baca nya. Lalu karakterisasi pun sudah sangat bagus, tapi mungkin porsi nya aja yang kurang kali ya? (Atau mungkin porsi ganzo nya aja kali yang kurang xD efek oc sendiri ada di cerita)

    Saya seperti baca one piece ini, pertahankan gaya penulisan serta pembangunan plot yang seperti ini, Stalla!

    Nilai dariku 9

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  15. Herm... karena komen menjelang dedlen komen, saya nggak tau harus nulis apa. Sepertinya semua yang mau saya sampaikan sudah disampaikan komentator lain... seperti ehem... Endingnya.

    Saya langsung saja kasih nilai!
    Nilai 9
    OC : Nora

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.