Jumat, 05 Agustus 2016

[ROUND 1 - 6F] 42 - CASTOR FLANNEL | SPAGETI

oleh : Treize

--
 
1
Spageti
1.1
Portal
Ternyata para pengurus museum itu tidak lebih profesional dari petinggi-petinggi Capricorn.
Ketika ada order atau misi yang harus dikerjakan anggotanya, yang mereka berikan hanyalah sebuah pesan singkat tanpa penjelasan yang pasti.
Kali ini, e-mail yang datang dari pengirim bernama "Kehendak" itu berisikan:
Akhiri pertikaian di Negeri Tanpa Seni.
Dengan ibu jarinya Castor mengusap-usap layar ponselnya, mencari petunjuk atau apa pun yang lebih informatif daripada sebaris kalimat yang mustahil itu. Tapi nihil.
Satu hal yang pemuda berkepala oranye itu pahami, pesan ini mengonfirmasi apa yang mereka sampaikan di museum. Reverier, atau para pemimpi, ditakdirkan untuk bertarung dan menciptakan karya seni.
Dan sekarang sudah saatnya ia kembali terjun ke medan pertarungan.
Tapi ... Negeri Tanpa Seni?

Bahkan tidak ada nama negara atau peta penunjuk jalan. Bagaimana caranya—
Duk! Duk!
Terdengar suara ketukan—atau lebih tepatnya serudukan—dari arah pintu.
Castor membukanya.
Si domba. Dengan wajah dombanya yang terlihat geram penuh dendam.
"Uh ... bagaimana caranya kau kembali lagi?" Castor menghela napas heran.
Sekitar satu jam yang lalu, seusai peristiwa di Museum Semesta, semua Reverier dikembalikan ke Bingkai Mimpinya masing-masing. Castor kembali ke tempat pertarungannya sebelumnya, Flas Atgora, istana terapung yang berada 10.000 meter di atas permukaan tanah.
Di istana putih itu tak ada siapa pun kecuali dirinya dan domba yang diberikan si Kepala Bantal sebelumnya. Dengan iseng ia menggiring domba itu ke tepian dan menendangnya jatuh.
Jelas saja domba itu marah.
Hewan berkaki empat itu mulai mengembik dengan keras tanpa henti.
"Berisik!" Castor mengambil ancang-ancang dan menendang hewan tak berdosa itu lagi.
Namun kali ini tak terasa apa pun di kakinya. Si domba dengan ajaib berubah menjadi awan lembut seperti gumpalan wol.
Dalam sekejap gumpalan awan itu kembali utuh menjadi seekor domba.
"Oh ... kau bisa begitu juga rupanya," ujar Castor sedikit takjub. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dalam nada suaranya.
Domba itu sudah mencapai batasnya. Diiringi geraman yang tidak wajar, domba itu mengais-ngais lantai dengan kaki depannya seperti banteng yang siap menyeruduk.
"Kau mau menantangku?" Castor menyeringai kekanakan dan mengambil posisi seperti matador. "Majulah!"
Domba itu memekik dengan keras dan menerjang dengan beringas.
"Ole!" seru Castor sambil melompat ke samping.
Langkah yang salah.
Ia lupa ia sedang berada di ambang pintu dan tidak ada ruang untuk bergerak bebas. Bahunya menabrak dinding dan ia kehilangan keseimbangan.
"Ah."
Domba itu melompat, menyeruduk Castor tepat di dada.
Saat itu sesuatu terjadi.
Ketika berat si domba mendorong Castor jatuh, bukan langit-langit istana putih yang ia lihat. Perlahan pemandangan di sekitarnya mengabur dan berubah menjadi sesuatu yang lain.
Jajaran perumahan. Langit mendung. Aroma tanah.
Ketika tubuhnya mendarat, ia bisa merasakan rumput.
Ini bukan lagi di Flas Atgora. Serudukan itu telah mengirimnya ke tempat lain.
Dengan tatapan jengkel Castor meremas moncong si domba. "Sampai kapan kau mau di situ? Minggir!"
Ia bangkit berdiri dan membersihkan jaketnya dari rumput yang menempel. Bergumam kesal karena baru saja dikalahkan seekor domba bodoh.
"Kalau ternyata kau portalnya, seharusnya bilang sejak awal."
Domba itu mendesis.
Castor menarik napas perlahan. Setelah lebih tenang ia memperhatikan sekeliling.
"Jadi ... ini di mana?"

***
1.2.1
Reverier di Negeri Tanpa Seni
(Castor Flannel)
Awan-awan kelabu mengantung rendah di langit, menambah kesan suram jajaran bangunan-bangunan rendah dengan model dan warna yang monoton.
Castor mengangkat tangan kirinya ke langit, membiarkan jam tangan digitalnya memindai lokasi matahari dan suhu udara. Saat ini pukul 10 di pagi hari, dengan suhu 18 derajat Celsius. Pantas saja dingin. Dan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ia temui.
Baru saja pemuda berambut oranye itu ingin berbalik—kembali ke tempat ia mengikat dombanya, untuk minta pulang—terdengar suara letusan senjata api dari kejauhan.
Tidak hanya satu, tapi rentetan suara senjata api itu semakin ramai diikuti beberapa ledakan dan teriakan.
"Oke, ke sana."
Sambil berlari kecil Castor bergegas menuju pusat baku tembak itu.
Di ujung jalan aspal yang tertutup kabut mulai terlihat beberapa pergerakan. Dengan hati-hati Castor merapat ke bangunan terdekat dan mulai mengamati.
Terlihat beberapa sosok seperti pasukan tentara mengejar sekelompok orang yang melarikan diri. Kedua kubu saling bertukar peluru dengan sengit tanpa ada yang mau mengalah.
Salah satu orang itu melempar benda seperti bola ke arah kubu tentara. Bola itu meledak seperti kembang api berantai mengisi seluruh area dengan percikan api berwarna-warni.
Di sela-sela kekacauan, orang-orang itu mengendap-endap menjauh.
"Inikah pertikaian yang dimaksud?" ujar Castor dari jauh. "Lalu aku harus apa?"
Masih belum selesai ia memikirkan apa langkah selanjutnya, sebuah tangan menepuk pundaknya dari belakang.
Hanya dengan satu gerakan, dengan cepat Castor menarik keluar buzzcutter-nya dan melayangkan satu sabetan ke belakang.
Pedang laser itu menimbulkan percikan api ketika menghantam sesuatu yang keras.
"Ahhh! Stop! Stop! Itu berbahaya!" Dari balik percikan api terdengar suara asing.
Castor menonaktifkan buzzcutter-nya sambil melompat dua langkah mundur.
Benda keras yang berhasil menangkis pedang lasernya ternyata hanya sebuah koper.

"Siapa?" tanya Castor waspada.
"Perkenalkan, namaku Hael Steiner. Orang yang akan membawa perubahan pada negeri ini!" Orang itu menurunkan kopernya. Tampaklah seorang pemuda berumur awal 20-an.
Castor menatapnya heran.
"Sepertinya kau wajah baru disekitar sini. Darimana kau datang? Tidak ada orang bisa keluar masuk negeri ini dengan adanya sistem busuk Vanart. Tapi dari penampilanmu, aku yakin kau adalah seorang seniman, bukan begitu, saudaraku? Artinya kau adalah teman kami."
Pemuda misterius itu terus mengoceh meninggalkan Castor dalam tanda tanya.
"Hah?"

***
1.2.2
Reverier di Negeri Tanpa Seni
(Wamenodo Huang)
Vanartis.
Sebuah negara kecil yang terisolasi dari dunia luar. Negeri yang dipimpin seorang diktator zalim bernama Vanart.
Sejak masa pemerintahan Vanart dimulai enam bulan silam, Vanartis mengalami perubahan yang drastis. Pemimpin yang juga merupakan jenderal pasukan militer itu menetapkan kebijakan untuk memberantas segala bentuk seni yang berada dalam negeri. Terutama lukisan dan patung.
Semua karya seni yang ditemukan akan dihancurkan dan dibakar tanpa sisa. Semua orang yang tertangkap sedang melakukan segala bentuk kegiatan seni, terlebih lagi memang seorang seniman, akan langsung dieksekusi di tempat.
Itulah yang didapat Wamenodo "Men" Huang dari percakapan orang-orang berpakaian eksentrik di sekelilingnya.
Orang-orang aneh yang menyebut diri mereka sendiri seniman.
Yah, memang di tempat yang terlihat seperti gedung pameran tak terawat itu tersimpan berbagai karya seni yang tak terhitung jumlahnya. Mulai dari lukisan, patung, sampai karya seni modern yang tak jelas bentuknya.
Tapi apa maksudnya ia berada di sana, pria tinggi berpenampilan ala chinese chef itu pun tidak tahu.
"Kak Men! Kenapa melamun?" Seorang gadis berambut cokelat menghampirinya sambil tersenyum.
Gadis itu secara spontan 'merekrut' Men untuk menjadi bagian dari komunitas misterius itu.
"Tidak, tidak apa-apa," jawab Men sedikit tergugup. Ia memutuskan untuk mengikuti dulu keadaan ini untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Oh, k-kalau begitu ...," gadis berambut cokelat itu tiba-tiba tersipu malu, "b-bisakah membuatkanku mie? Sebelum terjun ke lapangan nanti, aku ingin makan mie buatan Kak Men!"
Permintaan itu tidak terduga oleh Men. Tapi tidak ada alasan untuk menolak.
"Tentu saja!" Men tersenyum di balik maskernya. Ia menjetikkan jari. "Pandragon!"
Robot naga hitam-putih miliknya seketika terpecah menjadi berbagai alat masak. Mulai dari meja, kompor, panci, wajan, pisau, dan lainnya.
Seiring Men memasak, makin banyak orang mengerumuninya, meminta bagian.
"Tenang saja, semua pasti dapat! Bawakan aku mangkuk ekstra!"
Tidak lama, semua seniman di gedung olahraga itu mendapat jatah mie dan memakannya bersama-sama.
Tercetak jelas kepuasan pada raut wajah Men. Walau ia tidak tahu siapa sebenarnya orang-orang ini, melihat mereka senang melahap mie buatannya adalah sesuatu yang berharga baginya.
Saat itu pintu gedung pameran terbuka dan seseorang masuk tergopoh-gopoh.
"Ketua sudah kembali!" serunya ke seluruh penjuru aula.
***
1.2.3
Reverier di Negeri Tanpa Seni
(Olive of La Ercilla)
Derap sepatu buts yang berkejaran terdengar bergemuruh dalam koridor-koridor Istana Vanart yang berdiri kokoh.
"Aku melihatnya! Dia melarikan diri ke arah taman belakang! Semua unit segera perketat penjagaan!"
Berbaris-baris tentara berhamburan menuju lokasi yang di maksud.
Di taman belakang istana, seekor domba putih berlari tunggang langgang dengan kecepatan yang tidak wajar. Di atas domba itu, berpegangan dengan erat seorang gadis belasan tahun yang berpenampilan seperti badut. Olive.
"Kenapa mereka mengejarku?!" seru badut kecil itu dengan terengah-engah, meskipun ia hanya menunggangi si domba.
"Itu dia! Si merah itu! Dia pasti mata-mata para seniman! Jangan sampai dia lolos!"

Sebuah peluru berdesing di dekat telinga Olive ketika timah panas itu melintasinya.
"Ah, gawat! Domba, banting kanan!" perintah Olive pada dombanya.
Domba itu mengepot mengubah arah. Di depan mereka terlihat petak-petak semak dan kebun bunga.
"Salto!"
Sang domba melompat. Melampaui pagar semak, di tengah berondongan peluru tentara-tentara yang menembaki mereka lalu mendarat dengan dramatis.
Namun apa yang berada di balik pagar semak itu membuat si gadis badut tercengang. Mereka telah mencapai lapisan terluar istana, yang mana adalah dinding beton setinggi 15 meter berdiri tanpa celah.
"Oh tidak," lirih Olive ketika melihat dinding yang menghalanginya pada kebebasan.
Ia bisa mendengar para tentara makin mendekat.
Ia turun dari domba dan mendekati dinding untuk mengira-ngira tingginya. "Sepertinya bisa. Tapi mustahil untukmu."
Gadis kecil itu menatap dombanya lekat-lekat.
"T-tapi ini darurat! Kalau begini terus, mereka bisa menangkapku! Aku pasti akan kembali untuk menyelamatkanmu, mi amigo!"
Dengan gerakan cepat Olive merogoh bagian dalam lengan bajunya dan menarik sehelai kain putih kecil. Kain itu ia lemparkan ke arah kepala si domba.
Sontak domba itu mengembik panik karena penglihatannya mendadak hilang. Hewan malang itu menggeleng-gelengkan kepala dengan keras seperti kesetanan.
Ketika kain yang menutup matanya tersingkap, puluhan tentara telah mengelilinginya dengan senapan terhunus.
Olive tak terlihat di mana pun.

***
1.2.4
Reverier di Negeri Tanpa Seni
(Song Sang Sing)
Mimpi buruk. Itulah satu-satu katanya yang bisa menggambarkan apa yang dialami Song Sang Sing saat ini.
Pemuda berdarah Korea itu baru saja menyaksikan pembunuhan.
"Cepat! Kita sudah tidak punya waktu!" desak seorang gadis yang tidak ia kenal. Gadis itu menarik lengan Song memaksanya berlari.
"Wae ...."
"Eh?" Gadis itu menoleh ke arah Song.
"Wa—ugh, KENAPA kita berlari?! Orang-orang yang tertembak itu ... mereka teman kita 'kan?! Kita harus menolong mereka!"
Gadis itu menyeret Song ke sisi satu bangunan untuk berlindung. Dari segala arah terdengar rentetan senapan yang tak kunjung berhenti.
"Aku tahu!" teriak gadis itu tiba-tiba, "Tapi kita tidak bisa melawan pasukan Vanart! Kita harus bergabung dengan yang lainnya!"
Gadis berambut pendek itu mengepalkan tangannya erat. Wajahnya memerah, mati-matian menahan air mata yang sudah di ambang batas. Tapi dia bertahan.
"Hari ini segalanya akan berubah. Hanya tinggal sedikit lagi. Kita tidak akan membiarkan pengorbanan mereka sia-sia!"
Song tidak tahu apa yang gadis itu katakan, tapi ia bisa merasakan suatu kekuatan dalam suaranya. Kekuatan yang jujur, berani, dan tulus. Ia merasa bisa memercayainya, walau disayangkan gadis itu tidak berkerudung, malah terkesan tomboy. Bukan tipenya.
"Apa yang harus kulakukan?" kata Song pada akhirnya.
Gadis itu tertawa kecil. "Pertama-tama kita kembali dulu ke markas."
Rentetan suara senjata api terdengar mereda.
"Oke, kau tunggu di sini. Kulihat dulu apa sudah aman."
"Tunggu, bukannya tugas laki-laki untuk melakukan itu?"
"Apa rentetan senjata api membuatmu bingung? Jangan mempermasalahkan hal sepele! Tenanglah, semua akan baik-baik saja."
Baru beberapa langkah gadis itu keluar dari tempat persembunyian sebuah peluru melesat melubangi betis kirinya.
"Argh!"
"Hei!" Song tercengang melihat gadis itu jatuh terkapar. Ia ingin memanggil gadis itu, tapi bahkan ia tidak mengetahui namanya.
"Jangan mendekat! Lari!" gadis itu mengisyaratkan agar Song menjauh dari sana.
Berbalik dengan apa yang gadis itu katakan, Song justru melompat maju dan bersimpuh di sisinya. Pemuda itu merobek lengan kemejanya sendiri untuk menutup luka di kaki gadis itu. "Tidak! Kita harus pergi bersama-sama!"
Namun bukannya kata terima kasih yang didapatkan, gadis itu mendorong Song dengan keras sampai membuatnya terpelanting.
Sebuah peluru mendarat melubangi jalan aspal tempatnya berpijak barusan.
"Aku ... percayakan padamu ...," bisik gadis itu, sebelum puluhan peluru menghujani tubuhnya.
Gadis itu pun ambruk. Tak bergerak di atas genangan darahnya sendiri.
"Macam mana pula!" Song meninju permukaan aspal keras-keras.
Ini tidak benar. Orang-orang di Museum Semesta itu bilang ia harus menciptakan karya seni. Tapi yang ia lihat sekarang hanyalah pembantaian. Apa yang bisa disebut seni dari semua ini?
"Di sini! Masih ada seniman yang tersisa!" Suara-suara prajurit terdengar mendekat.
Satu hal yang penting untuk sekarang, ia harus bertahan hidup.
Ia menoleh ke arah jasad gadis penyelamatnya beberapa saat, lalu dengan berat hati berbalik dan berlari menjauh.
Barusan gadis itu mengatakan sesuatu tentang markas. Tapi markas yang mana?
Dari kanan dan kirinya makin banyak prajurit bermunculan.
"W-wah! Wah! Jangan berhenti di situ, Senor!"
Sesuatu yang besar berwarna merah menimpa punggungnya dari belakang.
Serangan?!
Song dan sosok merah itu ambruk bersamaan.
"Apa lagi sekarang?" Song beringsut bangun.
Di hadapannya terlihat seorang anak berpenampilan seperti badut zaman pertengahan. Kenapa ada badut jatuh dari langit?!
Anak berkostum badut itu—Olive—melompat dengan cekatan ke belakang untuk mengambil jarak dari Song.
"Katakan, kau itu lawan atau kawan?" katanya waspada.
"Kalau yang kau maksud lawan adalah prajurit bersenjata itu, bukan. Aku juga sedang dikejar mereka," jawab Song.
Olive memicingkan mata, berusaha memutuskan apa yang dikatakan pria ini benar atau bohong. Namun belum satu detik ia berpikir, matanya berubah membelalak.
"Mierda," umpatnya lirih.
Song menangkap perubahan air muka Olive yang aneh dan melihat ke belakang.
Ia terkejar.
Sekitar selusin prajurit berperlengkapan lengkap berbaris dengan formasi melingkar dengan senapan terhunus pada mereka berdua.
Mereka terkepung.

***

1.2.5
Reverier di Negeri Tanpa Seni
(Marietta Sullivan)
Dalam ruang kantornya, sang pemimpin negara tengah disibukkan oleh laporan-laporan yang terus mengalir masuk tanpa henti.
"BERENGSEK!" Vanart menggebrak meja kerjanya. Kertas-kertas laporan berhamburan. "Kali ini apa lagi yang mereka rencanakan?!"
"Kami mendapati sejumlah seniman menyebar ke beberapa titik di kota secara berkelompok," jelas sekretaris pribadi Vanart sambil merapikan kertas-kertas yang berhamburan setenang mungkin.
"Apa yang mereka lakukan?"
"Menurut saksi mata, para seniman itu menggelar pameran seni ilegal, Sir."
"Pameran?"
Si sekretaris mengeluarkan sebuah amplop cokelat dan menyerahkannya pada Vanart.
Dalam amplop itu terdapat sejumlah foto kerumunan orang-orang yang sedang memperlihatkan karya seni mereka pada warga sekitar.
Dengan amarah yang kian memuncak, Vanart meremas foto-foto itu dan melemparnya ke lantai.
"Terang-terangan memamerkan karya seni di bawah hidungku. Ini adalah penghinaan!" geram Vanart. "Perintahkan penduduk yang tersisa untuk mengungsi. Akan kupastikan, dalam waktu dua jam dari sekarang, negeri ini akan menjadi medan perang."
"Saya mengerti," ujar si sekretaris. Ia memberi hormat lalu bergegas meninggalkan ruangan.
Di dalam ruangan sekarang hanya tinggal Vanart dan seorang gadis berseragam yang sejak tadi hanya berdiri mendengarkan.
"Bagaimana menurutmu, Mary?"
Gadis itu terlihat sedikit mengejang ketika namanya disebut.
"Aku yakin para seniman itu tidak memiliki daya tempur apa pun yang bisa menandingi pasukan kita. Kenapa mereka memutuskan untuk melakukan gerakan sekarang?"
Mary menarik napas singkat lalu menjawab, "Kemungkinan ... ada pihak luar yang membantu mereka, Sir. Dengan kekuatan baru yang diperoleh, kepercayaan diri para seniman itu bangkit ke permukaan."
Vanart terlihat tertarik dengan jawaban Mary. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Karena ...."
Kata-kata Mary tertahan di ujung lidahnya. Ia ingin mengatakan, sama seperti dirinya yang muncul secara tiba-tiba ditengah konflik ini, ada kemungkinan Reverier lain tiba di kubu berseberangan.
Tapi ia tidak mengucapkannya karena itu sama saja mengaku bahwa dirinya juga adalah pihak luar itu, yang mana bisa menimbulkan kecurigaan.
"Karena, tidak mungkin mereka melawan dengan kekuatan mereka sendiri, Sir. Seperti yang Anda bilang, itu sama saja bunuh diri," kata Mary pada akhirnya.
Vanart berdengus. Kurang puas dengan tanggapan itu.
"Baiklah, siapa pun yang membantu para seniman itu akan segera sadar bahwa apa mereka lakukan sia-sia! Akan kuperlihatkan neraka bagi mereka yang berani menentangku," kata Vanart mengepalkan tangannya erat.
Mary kembali memilih diam.
Ia bisa mengerti sebagian besar situasi saat ini. Tapi untuk alasan tertentu ia tidak bisa sepenuhnya menerima hukum dan aturan negeri ini.
Melenyapkan segala bentuk seni dan mengeksekusi semua seniman?
Tidak. Itu salah. Menciptakan karya seni bukanlah tindak kejahatan.
Saat itu terdengar ketukan dari arah pintu.
"Masuk," izin Vanart.
Seorang prajurit muda masuk ke dalam ruangan lalu memberi hormat.
"Sir! Kami berhasil menangkap dua orang penyusup yang diduga adalah seniman!"
Mendengar kata 'seniman' membuat darah Vanart mendidih.
"Bawa aku pada mereka."

***


1.3
Spiral
Di bagian selatan Vanartis. Markas para seniman.
Dengan teratur para seniman berkumpul di tengah gedung pameran, di mana terdapat sebuah mimbar yang menghadap mereka semua.
Di atas mimbar sang ketua tengah berdiri memberikan pengarahan untuk 'rencana besar' mereka yang akan dilaksanakan tidak lama lagi.
Hanya saja ada dua orang yang memilih untuk menyisihkan diri dari kerumunan.
Castor dan Men.
Sejak mereka bertemu pertama kali, keduanya bisa merasakan bahwa masing-masing dari mereka adalah Reverier.
"Jadi, apa rencanamu?" Men membuka suara.
Castor nyaris tidak memerdulikannya karena tertarik dengan lengan-lengan mekanik yang mencuat dari punggung Men. Kelihatan keren. Ia ingin tahu apa ia boleh menyentuhnya? Apakah Men bisa menggerakkannya sesuka hati? Apakah akan sakit jika ia memotongnya?
Terbentuk senyum mencurigakan pada bibir Castor.
Senyum yang terlihat unik karena selain kedua sisi kanan dan kiri, bagian tengah bibirnya juga ikut terangkat sehingga membentuk seringai seperti kucing.
Beberapa orang yang melihatnya berkata kalau itu lucu, sisanya menganggap kalau itu menyebalkan.
"Kau mendengarkanku?" Men merasa tidak nyaman melihat Castor memerhatikannya dengan ekspresi aneh.
"Oh, ya. Aku dengar kok." Castor kembali ke dunia nyata. "Hm ... rencana, ya? Entahlah. Orang bernama Steiner itu yang memaksaku ke sini."
"Ketua para seniman, Hael Steiner. Kuakui ia memiliki karisma seorang pemimpin. Tidak heran mereka semua mengikutinya," kata Men.
Castor malah terkekeh. "Benar-benar gila. Mereka itu seniman, 'kan? Apa kau sudah lihat bagaimana cara mereka bertarung? Mereka melawan menggunakan kembang api!"
Men tak tahu harus merespon apa. Ia pikir dengan bertemu Reverier lain, tugasnya akan sedikit lebih mudah. Tapi kenyataannya, pemuda berambut oranye di hadapannya ini sangat sulit untuk diajak bicara.
"Sebenarnya kau memihak siapa dalam pertempuran ini?"
Castor melayangkan pandangannya ke atas. "Hm ... sejujurnya, pihak seniman ini tidak terlalu buruk. Aku bisa membantu mereka membuat ledakan yang lebih hebat," Castor kembali menunjukkan seringai kucingnya.
"Ah, tapi," tambahnya, "sebaiknya mereka memberikan imbalan setelah semua ini selesai. Aku ini profesional, kau tahu."
Tanpa bisa ditahan lagi, Men memutar bola matanya.
"Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan apakah karya seni yang kau ciptakan kali ini cukup layak di mata Sang Kehendak, kecuali kau ingin diubah menjadi patung tanah liat!"
Castor kembali mendadak tertawa. "Paman, kau itu pandai bercanda. Sang Kehendak, patung otak mengerikan itu 'kan? Memangnya dia punya mata?"
Pemuda berjaket ungu itu memegangi perutnya sendiri menahan tawa.
Dan itu adalah batas terakhir toleransi Men.
"Terserah kau saja," desah pria tinggi itu. "Aku hanya berharap kita tidak perlu bertarung di sini."
Men berlalu meninggalkan Castor.
"Kalau begitu ... bukannya malah tidak seru?"

***
Di bagian selatan Vanartis. Istana Vanart.
Kedua penyusup digiring pasukan penjaga ke tengah aula istana. Tangan keduanya diborgol rapat.
"Padahal sudah payah aku keluar dari tempat ini ...," lirih Olive sambil menyeret langkahnya. "Esto es tu culpa!"
"Mianhae ...," ujar Song menyesal.
"Basta pensar en una manera de escapar."
"Dangsin-eun aidieoga?"
"Si."
"Eotteohge?"
"Yo te monstrare mas adelante."
"Hei! Apa yang kalian bicarakan di sana!"
Penjaga  yang menggiring Song dan Olive menyentak mereka berdua meminta penjelasan.
"T-tidak ada! Mungkin kau hanya salah dengar, Senor yang baik!" Olive mengangkat tangannya yang terborgol.
"Ya, kami berdua tidak berencana kabur atau apapun!" tambah Song.
Olive menyikut tulang rusuk pemuda tampan itu.
"Ow!" Song tertunduk memegangi sisi tubuhnya.
"Awas saja kalau kalian macam-macam," ancam si penjaga.
Mereka tiba di ujung koridor.
Si penjaga membuka pintu menuju aula, di mana sudah ada dua orang yang sudah tidak asing itu menunggu. Vanart dan Mary.
Hanya dengan melihat sekilas, Mary bisa merasakan bahwa dua orang yang diborgol itu adalah Reverier. Dengan tenang ia mengatur komposisinya sendiri, berusaha tidak terlihat mencurigakan.
Untungnya, kelihatannya dua orang itu tidak menyadari Mary adalah Reverier. Untuk sementara indentitasnya masih aman.
"Segera katakan apa yang kalian rencanakan kali ini, seniman berengsek!" sembur Vanart tanpa basa-basi lagi.
"Apa? Kami tidak tahu soal seniman! Ini tuduhan palsu!" bantah Olive.
"Jangan mengelak! Kalian tertangkap basah mengendap-endap di kota dan merusak fasilitas umum!"
Kedua Reverier itu tidak mengerti.
"Kalau kalian tidak mau buka mulut ...," mendadak Vanart berubah tenang, "kalian akan kuhukum mati di sini sekarang juga."
Hawa kehidupan seakan lepas dari wajah terkejut Song dan Olive.
"Sir Vanart! Saya mohon Anda tunggu sebentar." Kali ini Mary tidak bisa diam saja. "Mereka berdua mungkin masih terlalu terkejut untuk berbicara. Saya pikir akan lebih baik mengurung mereka untuk interogasi lebih lanjut.
"Bagaimana pun, kita tidak memiliki informasi lebih jauh tentang para seniman. Mereka adalah aset yang berharga untuk mendukung kemenangan kita."
Vanart memberinya tatapan tidak setuju.
Olive dan Song berkeringat dingin menunggu keputusan nasib mereka.
Pada akhirnya Vanart mengambil keputusan. "Baiklah, dua badut ini kuserahkan padamu, Mary. Pastikan ada informasi yang berguna yang kau dapat dari mereka. Jika tidak, segera tembak mati mereka."
"Saya mengerti," ucap Mary.
Napas lega keluar dari mulut Olive dan Song. Seluruh energi mereka seakan terkuras.
"Jangan santai-santai! Berdiri!" perintah si penjaga yang lalu menggiring kedua terdakwa ke sel bawah tanah.

***
Di markas seniman.
Hael Steiner telah selesai memberikan pengarahan pada semua anggota sektenya.
Jadi sederhananya, semua seniman yang tersisa akan melakukan pameran serentak di halaman istana, sementara Steiner dan beberapa orang terpilih akan menyusup masuk untuk membunuh Vanart.
"Castor, dan ... kalau tidak salah, Pak Huang?" kata Hael Steiner menyapa kedua Reverier.
"Panggil saja Men," kata Men.
"Baiklah. Castor dan Men. Kelihatannya kalian ini kuat. Apa kalian membantuku menyelinap ke dalam istana Vanart? Atau kalian berbakat untuk membuat keributan?"
Pilihan nomor dua terasa lebih cocok bagi Castor. Tapi saat ini ia tidak bisa menggunakan kemampuannya untuk alasan tertentu. Hanya dengan buzzcutter dan buzzshooter, sepertinya misi pembunuhan akan lebih mudah.
"Aku ikut denganmu saja," repons Castor.
"Aku juga. Aku ingin melihat sendiri bagaimana sebenarnya pemimpin negeri bernama Vanart ini," kata Men.
"Oke. Setelah semuanya siap kita akan segera berangkat."

***
Di istana Vanart.
"Dombaaa!" seru Olive ketika ia menemukan dombanya berada dalam satu sel tempat ia dan Song dipenjara.
Namun sepertinya domba itu tidak bersemangat. Hatinya masih terluka karena Olive meninggalkannya barusan.
"Maafkan aku! Kali ini kita akan keluar bersama-sama!" Olive memeluk dombanya erat-erat.
"Tunggu. Jadi kau itu Reverier?" kata Song terkejut.
"Eh? Kau juga?!" kata Olive ikut terkejut. "Di mana dombamu?"
"Aku tiba di tempat terjadinya baku tembak. Dombaku melarikan diri sejak saat itu," jelas Song.
"Sudah kuduga. Kalian juga Reverier."
Satu suara asing menimpal dari luar sel penjara. Mary.
"Oh! Senorita yang baik! Anda sudah menyelamatkan nyawa kami!" ujar Olive senang.
"Tunggu Olive. Bagaimana bisa kau yakin gadis itu berada di pihak kita?" Song mengeluarkan nada mengancam. "Dia tiba di pihak Vanart sejak awal. Bagaimana kalau dia adalah musuh?"
Olive menoleh ke arah Mary, lalu Song, lalu Mary lagi. Sekarang ia ragu untuk memercayai siapa.
"Untuk permulaan, namaku Marietta Sullivan. Kalian bisa memanggilku Mary. Lalu, terserah pada kalian ingin percaya atau tidak, tapi aku tidak setuju dengan kebijakan yang dibuat Vanart. Aku ingin membantu para seniman menumbangkan kejayaan Vanart dari negeri ini!"
Kemudian Mary memberitahu bahwa ia sudah mengetahui seluruhnya bagan istana, struktur militer, dan segala hal yang berhubungan dengan negeri ini. Dengan informasi ini ia menjanjikan kemenangan bagi seluruh penentang Vanart.
Song dan Olive terkesan dengan apa yang baru saja Mary jabarkan. Harapan mereka kian merekah.
"Baiklah. Aku percaya padamu. Cepat atau lambat kita harus menyelesaikan semua ini," kata Song pada akhirnya.
"Kalau begitu kalian mundur sedikit, akan kutembak hancur gembok penjara ini," kata Mary mengambil jarak tembak.
"Tunggu!" Olive beringsut maju. "Sudah kubilang 'kan, untuk masalah melarikan diri serahkan saja padaku!"
Badut kecil itu menarik sebuah jarum besi dari lipatan bajunya. Tanpa usaha yang berarti, ia memasukkan jarum pada lubang kunci dan memutarnya sekali. Bunyi klik terdengar ketika gembok itu terbuka.
"Vamonos!"

***
1.4
Demo
Secara serentak semua pihak melakukan pergerakan.
Para seniman menggotong karya seni mereka ke lapangan. Saku mereka penuh dengan bom tinta yang siap dilemparkan kapan saja.
Sama halnya dengan prajurit Vanart, yang sudah bersiap siaga menahan laju para seniman.
Di batas wilayah istana kedua kubu bertemu. Perang antar keduanya pun pecah.

***
Di sisi lain kota, kelompok penyusup—Hael Steiner, Castor, dan Men—melaju tanpa hambatan.
Sebagian besar prajurit ikut terjun ke medan pertarungan di halaman depan. Menyisakan halaman belakang istana yang kosong melompong.
"Tidak kusangka mereka begitu lengah. Keberuntungan untuk pihak kita!" ujar Steiner.
"Terlalu cepat untuk merasa senang, ketua," kata Castor sambil menarik pistol lasernya dan membidiknya ke depan.
Tepat di gerbang belakang istana, sepasukan prajurit berdiri dalam kondisi siap tempur.
"Pandragon, Yin Yang!" seru Men kepada robot naganya.
Sang naga hitam putih melingkari ketiga penyusup, melindungi mereka dari berondongan peluru para penjaga gerbang.
Ketika melihat celah kosong, Castor melompat keluar dan menembakkan buzzshooter-nya. Hanya satu tembakan saja, tercipta gelombang kejut dengan radius 2 meter di pusat tumbukan, melumpuhkan tiga orang penjaga sekaligus.
Ketika penjaga lainnya masih kebingungan, Castor membabat mereka semua dengan pedang lasernya.
Kepala, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya berhamburan di depan gerbang belakang istana itu.
Hael Steiner dan Men sedikit terkejut dengan tindakan Castor. Mereka tidak menyangka pemuda yang terlihat santai dan tak berbahaya itu bisa dengan mudahnya mencabut nyawa seluruh pasukan penjaga dalam sekejap.
"Lebih cepat kita selesaikan ini akan lebih baik," kata Castor lebih dulu masuk ke dalam.
Ia memang ada benarnya. Men dan Steiner bergegas menyusulnya.
"Di mana Vanart berada?"
"Kalau informasi yang kudapat tidak salah, ia seharusnya berada di lantai dua," jawab Steiner.
Tepat ketika mereka bertiga sampai di dasar tangga, terdengar suara teriakan yang memekakkan telinga.
"A-apa itu?!"
Teriakan itu makin menguat, sampai memecahkan kaca jendela di sepanjang koridor yang baru saja mereka lewati.
Lima detik. Barulah teriakan itu berhenti.
Telinga Castor, Steiner, dan Men berdengung keras selama beberapa saat, membuat gerakan mereka limbung dan harus berhenti sejenak. Jika mereka tidak menutup telinga dengan tangan, mungkin telinga mereka sudah rusak.
"Apa itu kekuatan Reverier lainnya?" Men menebak-nebak.
"Ternyata pestanya sudah dimulai sebelum kita datang, ya," Steiner tersenyum kecut.
Setelah pendengaran mereka membaik, mereka segera menaiki anak tangga.
Mereka tiba di anak tangga terakhir.
Di sana terlihat empat sosok mayat bergelimpangan.
Seorang gadis bertopi beret, seorang pemuda berkemeja putih, seorang anak berwajah pucat, dan ... Vanart.
"Kita ... terlambat?" Castor celingukan mengamati pemandangan yang menakjubkan itu.
Hael Steiner jatuh berlutut di tempat. "Tidak. Kita tidak terlambat," ucapnya lirih.
"Kita menang."

***
"Eh? Begitu saja?" kata Castor setengah tidak menerima hasil akhir petualangannya di Negeri Tanpa Seni tersebut.
Ia merasa belum melakukan apa pun yang patut dicatat sebagai karya seni yang berkualitas.
Sementara Reverier lain—termasuk mereka yang 'mati'—telah pergi dijemput domba masing-masing, Castor memilih untuk tetap tinggal sejenak.
Negeri itu, atau dunia itu, menjadi teramat kosong. Bahkan Hael Steiner yang belum lama masih ada di sana sekarang menghilang entah ke mana.
"Hm ...," Castor berjalan santai di depan istana Vanart, tempat peperangan sebelumnya terjadi.
Di sana bergelimpangan mayat-mayat para seniman dan prajurit yang tidak berhasil selamat. Ironisnya, lautan darah itu terlihat menarik dan mungkin cukup layak untuk disebut karya seni.
"Oh, yang ini bagus," ujar Castor ketika melihat patung seorang malaikat bersayap di tengah lapangan berdarah. Patung itu mungkin salah satu yang dibawa para seniman untuk dipamerkan.
Castor menempelkan telapak tangannya pada patung. Sebuah penghitung waktu mundur kecil muncul di permukaannya.
... 002:00:00 ....
... 001:59:59 ....
... 001:59:58 ....
Dan ketika waktunya sudah tiba, Castor memanggil dombanya.
"Ngomong-ngomong, aku akan menamakanmu Dynamite," katanya sambil terkekeh, "habisnya kau suka marah-marah saja."
Domba itu terlihat tak mengacuhkannya.
"Ya sudah. Ayo pulang."
Castor menepuk kepala Dynamite.
Perlahan pemandangan sekitarnya melebur dan berganti wujud.
Dan patung malaikat itu pun meledak.

***

>Cerita selanjutnya : -

14 komentar:

  1. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : C
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : D
    Reading enjoyment : B

    Hmm...ini singkat. Karena gaya tulisannya, rasanya ini kerasa paling singkat dibanding yang udah". Ga tau deh kalo jumlah kata berkata lain

    Saya kira ngebagi fokus ke sepak terjang 5 reverier di awal bakal berarti sesuatu di akhir, tapi ternyata 4 tokoh kunci setting ini mati begitu aja, ngasih kesan antiklimatik. Yah, udah banyak juga entri lain yang endingnya berasa cop-out kayak gini, jadi mestinya saya ga perlu heran lagi ya

    Btw, saya baru keinget pengen nanya ini : kenapa kemaren Donat dan sekarang Spageti?

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  2. Di awal" udah bagus ngasih pembagian fokus. Tapi ke bawah terkesan buru-buru. Perang yang mestinya klimaks malah digambarin begitu aja. Dan battlenya off-screen. Terus yah, Castor berasa nggak ngapa-ngapain. OC lain gak kerasa "isi"-nya atau motivasi mereka yg sebenernya.

    Saya titip 8. Sebab entri ini bisa dibaca sekali duduk. Dan jarang bikin pijat" kening.

    -Sheraga Asher

    BalasHapus
  3. "Eh, begitu saja?"

    Sebuah reaksi antiklimatik yg nggak cuma pembacanya yg bereaksi kayak gitu, tapi bahkan reveriernya sendiri.

    Padahal awalnya udah asik, gaya bahasa simple dan nggak susah utk dipahami. Pembagian plot dan spotlight udah lumayan, sayang endingnya terburu2.

    Dariku 7/10 deh
    ~FaNa

    BalasHapus
  4. Ngebaca entri ini Umi merasa senasib sepenanggungan. Diawal cerita ini jelas banget dikerjakan secara serius sama penulis. mulai ke tengah kesan terburu-burunya makin kerasa. Dan tepat di ending ... Umi ketawa-tawa. wkwkkwkw berasa di-troll sungguh.

    Terlepas dari nilai, Umi suka bagian Song menolong gadis yang pertama kali ditemuinya. Gentlenya Song dapet banget. He is my sweet and gentle friends. xD I love him here, more than mine.

    -----------------------
    Review mulai dari sini xD
    -----------------------

    Jadi, cerita Castor ini menarik.
    > Castor sampe
    > Castor team up sama Huang
    > Olive team up sama Song
    > Mary team up sama VanArt dan membelot.

    Dua hal yang disayangkan adalah Huang yang ga kelasa lawful evilnya dan one hit kill yang ga disorot pula.

    sungguh, kalau dikembangin lagi, kamu bakal bikin cerita yang bagus banget. Kerasa kok kemampuan kamu dalam bangun suasana diawal. Ringan, ga bertele-tele dan untuk imaginer (kayak angka aja imajiner) kayak Umi cerita ini berhasil mancing imajinasi Umi menggambarkan dengan detil bentuk ceritanya di otak. In short, narasi kamu di awal itu bagus.


    ----------------------------


    Nilai dari Umi : 8

    BalasHapus
  5. "Mampir ke Nagart, bocah, dan lihat apa yang akan Kaisar lakukan andai kau meledakkan satu saja monumen disana!"
    -Marikh

    +PROS
    +Rapi banget nih entrinya, sama kayak di prelim. Tak ada typo terbentang sejauh mata memandang, kalau orang bilang.
    +Kombinasi Castor-Men yang cover terus Castor pakai bedil laser keren juga. Bener-bener mengamati charsheet ya?
    +Memorable banget mulai dari Olive nutup mata dombanya sampai Song yang ngumpat "macam mana pula!"
    +Membuat saya hanyut dalam kisah Castor sih, yang berarti lebih baik daripada di prelim. Setidaknya sampai 3/4 dari cerita.

    -CONS
    -Ibaratnya main petasan gede, ditungguin sampe tutup kuping segala, bunyinya cuma 'pluk' gitu. Bikin gregetan aja endingnya, hadeh.
    -Habis gedubrakan di lantai 2 Castor ngeliat mayat para Reveriers sama Vanart. Kenapa gak dijelasin ini ada yang luka kena sabet, ini ada yang kepalanya bolong kena peluru gitu, biar pembaca bisa nebak-nebak apa yang terjadi sebelumnya.

    Lumayan kecewa. Untung keren penyajiannya, jadi 8 dulu buat Teroris Masa Depan :D

    BalasHapus
  6. Dari judulnya saya sempet ngira ini entri Wamenodo Huang.

    Yang paling saya suka dari entri yang ditulis Karlis ini adalah kerapian dan penuturan ceritanya yang ringan.

    Nomor-nomor babnya agak ngingetin ke penomoran skripsi.

    Memang, banyak adegan yang terjadi di 'balik layar' di sini, jadi cukup ngurangin excitement yang udah kebangun bagus di awalnya. Mulai dari interaksi Castor sama domba, Olive yang dikejar2 naik domba, sampai interaksi Olive dan Song dengan penjaga sangat saya nikmati, sayangnya dari situ mulai banyak adegan offscreen. Castor agak kurang menonjol tapi setidaknya di ending dia diberikan kesempatan untuk sedikit menunjukkan kemampuannya.

    Anyway, thanks udah baca entri Pucung! Akan saya perbaiki lagi perpindahan adegannya ;))

    7

    PUCUNG

    BalasHapus
  7. Kaget? Iya. Dari awal udah enak-enaknya terus sampe ke tengah semakin mantap walau ada beberapa adegan off-screen dan sampai di ending aku cuma mikir "oh ok gitu aja"

    Gaya penulisanmu rapi, ga ribet dan ga ngeselin. Enak deh dibaca. Castor sebagai bintang utama aku perhatikan ga terlalu menonjol, sebelum akhirnya terselamatkan untuk bersinar di ending.

    7
    Jess Hutcherson

    BalasHapus
  8. Judul entrinya bikin laper uwu

    Seperti beberapa entri, entrinya Castor singkat, padat, dan tepat. Semuanya cukup jelas dan narasinya mengalir lepas sampai saya kira ini entri emang beneran pendek :s

    Paling ya, cuma mau ngingetin lagi aja, bikin entri ringkas pastinya menyisakan banyak room of development yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan baik.

    Itu aja sih. Sisanya, entri ini cukup enjoyable, dan saya senang juga lihat peran Mbak Mary di sini ;v;

    Titip 8 deh buat Castor.

    Terus mau nanya dong, kalau Castor disuapin minyak Castor dia muntah ato nggak? uvu

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
  9. what the, ini Entri kelompok 6F pada pendek semua ya wkwkwkwk

    Dimulai dengan dialog asik, interaksi 3 orang, castor-steiner-men yang udah mantap.

    tapi battlenya pelan..dan, tiba2 selesai.

    INI MENGESALKAN.

    Endingnya kok begituuuuu

    Nilai 7 untuk kekesalan ini.

    BalasHapus
  10. Ceritanya dimulai dengan cepat, nice. Pace cerita lumayan tersaji dengan baik. Cepat, tapi tidak lupa menyorot karakter lain. Konflik dibangun dengan baik, rasanya akan menuju ke konklusi epik. Lalu...

    ...uh... wtf. Very very abrupt :)) tampaknya kena deadline ya? Sayang, padahal kalau endingnya lebih proper saya ga akan keberatan ngasih 8 atau 9. Ceritanya membawa saya sebagai pembaca dengan asyik.

    Jadi saya kasih ceritanya nilai 7

    Fahrul Razi
    Anita Mardiani

    BalasHapus
  11. Kayaknya tahun ini banyak yg kepepet pas deadline ya. Ketahuan dari progresi cerita yang endingnya abrupt.
    Well, seenggaknya walaupun endingnya rada buat kesal, Awal dan pertengahannya lancar jaya, terlepas dari pace yang menurut saya agak terlalu cepat. Tak apalah, yang compact lagi ngetrend sekarang.

    7 dari kreator Daytona.

    BalasHapus
  12. Yang aye paling pengen protess ntuh kenapa dimari kagak ade gambarnye,,Bang?? Yang gerak-gerak lucu kayak pas perelim kemaren..padahal itu jadi insiprasi aye buat naroh gambar abuget di cerita aye sendiri,,hehehe...tapi bukan buatan aye sih,,cuman asal nyomot aje yang ntuh.

    Kalo secara cerita iye komen ane udah diwakilin sama komentetor nyang lain,, kerasa banget kecepetan kayak kebirit dikejar anjing tetangga,,tapi keseluruhan masih mantep penggarapannye. Aye bisa banyak belajar tuh cara ngerjain karaktwr penulis laen bagi porsinye gimane,,,terus nama dombanye keren deh ngepas banget ama karakter si Castor yang ngebom

    Ponten dari aye 10,,karakter aye Harum Kartini

    BalasHapus
  13. smua yang pengen saya komen udah di sebut di atas2. (saya idem sama komentator-komentator sebelumnya). alurnya ok dengan bahasa penarasian yang nggak perlu mikir dua kali buat memahaminya. tapi pas menjelang kok ya steiner dan beberapa reverier nggak ngapa-ngapain. konfliknya selesai gitu aja. numpang eksis doang.

    yang memang betul kalo dibilang reaksi castor sama kaya reaksi pembaca. 8

    BalasHapus
  14. Haduh itu domba ga ada angin ga ada hujan main di tendang aja kasia mas :')

    Di awal awal pemerataan karakter serta alurnya sudah sangat memuaskan, pembawaanya juga dapat diterima lah.

    Hanya saja mendekati ending serasa turun. Dan benar saja, endingnya tidak klimaks, padahal kalau diasah bisa lebih bagus lagi.

    Masih bisa dapat 8 kok

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.