Senin, 01 Agustus 2016

[ROUND 1 - 8H] 28 - TAKASE KOJOU | GESU NO KIWAMI OTOME


oleh : Nakano

--

Museum semesta.

Sebuah tempat berupa penyimpanan karya seni dengan dinding dan pilar bernuansa putih, bercahaya emas, dan beralaskan karpet merah darah. Dari ujung ke ujung nampak lukisan-lukisan surealis berjejer, dipajang tinggi-tinggi. Luasnya gila-gilaan, bahkan rasanya mustahil melihat pintu keluar, selalu ada pintu disana dan disini yang berisi ruang pameran karya seni.

Itulah tempat Takase dipanggil setelah menyelesaikan tantangan dari bingkai mimpinya. Dan, ia tidak sendiri. Minus Zainurma dan Huban, ada 67 orang asing disana. Satu di antaranya adalah seorang wanita berambut merah dengan perisai dan tombak, persis karakter Athena dari game monopoli online.

Lainnya, masih didominasi manusia, namun terdapat beragam mahluk hidup lain sejenis hiu berkaki dua, iblis, juga robot. Kaleng pengharum ruangan di ujung sana termasuk? Di mimpi semuanya bisa terjadi ‘kan?

“Ini … aku yang sedang bertarung? Di lukisan ini? S-siapa yang membuatnya?” ujar salah satu reverier yang wajah mabuknya segera sirna. Zainurma menyeringai, “Judulnya adalah ‘Naga Terkapar, Langit Gempar’. Sedikit berlebihan kurasa judulnya, untuk ukuran karya yang biasa-biasa saja. Tapi yah … bukan aku yang membuat judul itu. Bisa dikatakan sebagian besar karya kalian cukup memuaskan. Biarpun masih jauh dari kualitas mahakarya, tentu saja.”

Setelah itu, para pemimpi lain mulai mencari-cari lukisan milik mereka.

“Be-benar! Ini aku!”
“Lukisan ini boleh aku ledakkan?”
“Jangan, bangsat!”
“Toilet dimana? Dimana toiletnya!?”

Komentar-komentar dilayangkan, Takase akhirnya menoleh kearah lukisan di depannya, tampak jelas. Pria bermantel hijau dengan palu, itu dirinya.

“He-hello…..Sleepwalkers?” Takase agak terbata. Judul lukisannya menjiplak nama band jepang. Ada benarnya juga sih, karena ia bertarung dalam mimpi, mungkin ini dimaksudkan sebagai ‘ucapan selamat datang bagi pemimpi’, siapa tahu?

Kehebohan belum surut, para Reverier melayangkan pertanyaan-pertanyaan bertubi kearah Zainurma, Huban, dan dewi perang. Seperti biasa, Takase cuek bebek dan makan cemilan sembunyi-sembunyi.

Namun, hal pelik lagi-lagi terjadi. Museum semesta berguncang dahsyat. Takase syok, keripik kentangnya berceceran di karpet. Alasan lain, lima orang reverier mengerang keras. Bagai ditarik jiwanya, mereka berteriak kesakitan. Air muka penuh rasa siksa dan sengsara. Cahaya memancar dari tubuh mereka.

“—!“

Takase masih tergemap, tak mampu berkata-kata. Kenapa mereka?

Jawabannya ada pada lima buah lukisan beraura suram. Karya gagal. Bernilai rendah.

Zainurma menjentikkan jarinya, kelima reverier terbang di udara bagai kapuk diterpa angin. Sedetik kemudian, mereka berubah menjadi patung haniwa, tembikar.

Apa yang menjadi faktor penilaian karya museum semesta? Kenapa yang karyanya rendah akan menerima hukuman semacam ini?

“Huban si Kepala Bantal yang sedari tadi hanya berdiri diam di pojok aula ini akan membawa kalian kembali ke Bingkai Mimpi. Kalian akan menetap di sana sampai mendapatkan instruksi untuk proses penciptaan karya berikutnya.”

Mafia necis itu kembali berlisan. Para reverier hanya dapat menggeram sebagai balasan.

“Mungkin kalian tak percaya tapi … pada dasarnya aku dan Mirabelle sama saja seperti kalian. Tak punya kebebasan lagi. Dan satu saja saran dariku. Gunakan kesempatan ini untuk membuat diri kalian menjadi kuat.”

Setelah mengucapkan itu, Zainurma meninggalkan aula pameran, disusul dewi perang di belakangnya. Huban? Ia berjingkrak gembira, sangat tak pantas mengingat apa yang baru saja terjadi.

“Ayo~ saatnya kalian kembali~ Domba-domba kalian bisa kesepian kalau terlalu lama ditinggal di sana~~”

Ratu Huban pun melempar ke-66 Reverier ke portal ajaib, satu demi satu. Yang dilempar hanya bisa pasrah. Tiba giliran Takase.

“C-cih….”

Sebelum terserap penuh ke portal itu, Takase melihat sebuah patung gigantik dari tumpukan badan manusia, membentuk sesuatu yang kita sebut dengan – otak.

Itulah entitas yang disebut dengan ‘Sang Kehendak’.


[ 3 ]

“Bahaya kalau sampai karya kita bernilai rendah…..”

Sieg menghela nafas. Badannya ambruk di rerumputan, nampak lelah. Entah apa yang ia lakukan ketika Takase tinggal ke museum semesta, peduli setan. Atau mungkin, sebenarnya ia begitu setelah mendengar penjelasan dari Takase tentang apa yang terjadi. Mengenai tantangan, mimpi, mahakarya, semua itu bukan omong kosong.

Takase dan Sieg kini berada di padang rumput tempat mereka membantai raksasa Ogre.

“Ayo, makan.”

“Ya ampun, bisa gak kamu mikir selain makan seb-“

Sieg tidak menyelesaikan omongannya, melihat ternyata yang Takase ajak bicara adalah domba pemberian Huban. Domba itu dengan lahap mengunyah rumput-rumput segar yang Takase suapkan langsung dengan tangannya.

“Domba sama penggembalanya sama saja, ya?”

Domba itu Takase namai ‘Izzy’. Alasannya sederhana. Salah satu band favoritnya, Unison Square Garden baru saja merilis album keenam mereka, ‘Dr.Izzy’. Sampulnya saja gambar kerbau. Domba juga hewan ternak, jadi tak masalah. Yah, memang sangat dipaksakan.

“Sieg,” Panggil Takase.

“Apa?” Tanya yang dipanggill.

“Mana mayat orang-orang Tutelage?”

Sieg terperanjat, seakan baru sadar akan sesuatu yang penting. Menoleh ke kanan dan ke kiri, jelas tak ada.

“Digiring ke hutan oleh hewan liar? Kalau begitu kenapa bekas darahnya tak ada? Diambil orang? Kalau begitu seharusnya ada garis polisi disini! Ja-“

“Kau terlalu banyak berpikir. Ini kan cuma mimpi.”

“Boleh juga pemikiranmu. Tunggu, meski begitu…..”

“Sudah percuma. Otak kita belum sampai kalau mau menafsirkan hal semacam ini.”

“Be-benar-“

“Apalagi kamu.”

“….Hei.”

Jadi, mereka berdua mencapai sebuah konklusi bahwa dunia mereka, bingkai mimpi mereka dikembalikan ke keadaan awal. Vending Machine di depan supermarket, contohnya. Normal seperti baru tanpa retakan sedikitpun. Bekas pertarungan dengan Carda Ruler sama saja. Cukup itu, cukup itu bukti yang mereka perlu. Bingkai mimpi akan menjadi tempat kembali bagi reverier setelah menyelesaikan sebuah tantangan.

Tiba-tiba, saku celana Sieg bergetar pelan. Ia lalu mengeluarkan benda di dalamnya – telepon genggam. Diusapnya layar sentuh ponsel tersebut selama beberapa waktu, dan berhenti. Matanya mendelik.

“Ada email.”

Dibukanya e-mail tadi. Dalam kolom penerima, jelas tertulis alamat e-mail Sieg. Namun, ada yang aneh. Kolom pengirimnya kosong.

Isinya :

[Aku Zainurma. Maaf karena saat di aula tantangan selanjutnya tidak kujelaskan. Berikut bingkai mimpi yang akan kalian datangi : Kota Liam. Dua faksi sedang berseteru, selesaikan konflik!]

[Peserta lain : Yang punya jalanan, Flame Magus, Dewa arak kolong langit. Buat persiapan matang, tak ada toleransi untuk karya murahan. Semoga berhasil.]

Dan selesai.

“Kau memikirkan hal yang sama, Takase?”

“Ya, dia pasti mengosongkan kolom pengirimnya karena alamatnya konyol, ‘ZainurmaGanteng@gmail.com’ atau-“

“Bukan!”

“Aku akan langsung berangkat.”

“Tunggu! Tidak bersiap-siap dulu?”

Mendengar usulan Sieg, Takase berkacak pinggang, berpikir. Ekspresi datarnya berubah sedikit bahagia, seolah mendapat ide cemerlang di dalam benak.

“…..Tidak. Ayo berangkat, Izzy!” Seru Takase yang langsung menaiki dombanya. Sieg dengan kesal menyusul dan menarik ujung mantel rekannya.

“Tidak mandi? Menyetok cemilan di balik jubah? Ayolah!” Usul Sieg bertubi, memaksa agar Takase mau berada disitu sebentar lagi.Mungkin saja tantangan selanjutnya sangat mengerikan dan makan waktu lama. Kalau Takase bijak, seharusnya-

“Aku mau bertarung, bukan persami.”

-jelas tidak.

“Berhenti! Aku harus ikut! Kita ini rekan!” Seru Sieg, susah payah menyamakan kecepatannya dengan domba abnormal tersebut.

“Setelah kupikir-pikir, lebih baik kau disini saja, bingkai mimpi kita. Pelajari lebih lanjut, selidiki kondisi kota ini. Cari keganjilan-keganjilan baru atau coba kontak markas. Sudah, selamat ti-“

“Kau tak butuh bantuanku!?”

“Oke, alasan sebenarnya kau merepotkan. Dah.”

“……..”

Domba itu pun melesat lebih cepat bagai pesawat akan lepas landas. Kemudian, sebuah lingkaran mistis tercipta dari ketiadaan. Keretakan, bukan. Tepatnya portal dimensi. Takase dan dombanya masuk ke portal tersebut, terdistorsi sempurna ke Kota Liam, bingkai mimpi selanjutnya.

Barang sedetik, portal itu tertutup. Meninggalkan tempat munculnya tadi hanyut dalam kesunyian sampai hembusan angin memecahkannya. Sieg berdiri mematung disana, mengepalkan tangannya kuat-kuat dan mendongakkan kepala menantang langit.

“Takase!!!” Seru Sieg sebal, sebelum wajahnya terkena kotoran burung.

[2]

Harum Kartini melayangkan tendangan keras ke buah zakar pria di depannya. Sontak, korban tergeletak dengan mata melotot, bibir monyong, dan kedua tangan diapit selangkangan.

“Gak disono gak dimari, pemerkaos ade-ade aje ye!” Seru Harum, melangkahi tiga orang yang hampir mencabulinya. Ia sekarang berada di sebuah gang kecil. Dombanya membuka portal dimensi disini. Membaca info bingkai mimpi selanjutnya dari Zainurma via amplop berisi surat, Harum Kartini berharap yang pertama kali dilihatnya adalah kuil suci seperti di film-film Jacky Chan. Tapi ia malah dipertemukan dengan tiga berandalan kurang belaian. Langsung saja ia hajar sampai mampus.

“Embek! Tungguin aye, mbek!” Panggil gadis itu pada dombanya. Harum merasa sedikit kerepotan karena sejak di bingkai mimpi hewan ternak tersebut sama sekali tidak patuh. Cuma saat pembukaan portal ia jinak, sampai disini liar lagi. ‘Harus akrab!’ - suara ceria Huban terngiang di telinga gadis itu, membuat semangatnya dalam menjinakkan sang domba terbakar lagi.

Harum berlari keluar gang, mendapati dirinya berada di sebuah pasar malam. Ibarat Bazaar, namun dengan penerangan berupa obor dan lentera, dan penjaja makanan maupun pakaian berteriak mempromosikan dagangannya seperti Oshin. Walau kurang lengkap tanpa mandi bola atau booth penjualan dvd dangdut, tunggu, ngomong apa aku ini?

“Buset, rame bener neh, si Embek nyusup kemane jadi kagak keliatan!” Kata Harum mengeluh.

“Permisi, nona. Apa anda tidak kedinginan?”

Seorang wanita paruh baya yang berjualan baju menanyainya. Harum lupa ia hanya menyandang kaos singlet dan celana pendek sekarang. Tidak kaget para begundal tadi terangsang melihat tubuh seksinya yang tanpa pertahanan.

“I-iye sih…..” Balasnya malu-malu. Harum menyesal di bingkai mimpi tak mempersiapkan diri matang-matang. Ia lebih memilih untuk menundukkan si domba, dan mencoba mengingat-ingat cara mengendarai motor harlida pitson miliknya. Andai semua itu semudah mendapat Doduo di pokemon GO.

Harum Kartini bahkan tidak berpamitan dengan orang tuanya. Ia terlambat, ibu dan bapaknya sudah berangkat bulan madu ke Pulau Dewata. Hanya ada sepupunya yang didapuk menjaga kediaman itu. Tidur di kamar Harum, dikunci dari dalam, tidak bangun walau pintu diketuk tiga menit penuh. A Hardcore Sleephead.

“Boleh aye beli gak bajunya? Tapi aye gak punya duit…..ngebon yak?” Ucap Harum, mencoba bernegoisasi. Sang pedagang kelihatan tak paham dengan beberapa kata yang Harum ucapkan, hanya bisa menatap sang gadis dengan alis kanan terangkat. “Haiya…..owe mau ngebon laa…..Haiya….” Ujarnya, mencoba berkomunikasi dengan gaya orang Cina. Sang pedagang menatapnya kebingungan.

Harum menghela nafas panjang. Merepotkan sekali, batinnya.

“Duit,” ia menyapu ujung dua jari terpanjangnya dengan jempol. “tidak ada.” Sambungnya, menyilangkan kedua tangan. “Haiya.” Tambahnya lagi, supaya afdol.

“Mana boleh!?” Tukas si pedagang. Harum memasang wajah kecewa, dan bersiap pergi. Namun, sang pedagang melihat sesuatu.

“Tunggu!” Ucapnya, menahan langkah harum dengan mencengkram bahunya. “Anting-anting itu….emas kan?” Ucapnya meminta kepastian. Harum mengangguk.

“Kalau begitu, bayar pakai itu saja!” Kata sang pedagang. Mendengar hal itu, Harum ragu menyetujuinya. Tapi, ia tak punya pilihan. Sandang itu kebutuhan primer, perhiasan itu tersier.

“Oke deh, aye setuju!” Katanya, mengulurkan tangan. Sang pedagang menyambutnya dengan gembira, mereka pun bersalaman layaknya dua aktor di iklan BukaLapak.

“Kalau gitu, aye ambil yang I-“

“Baju-baju ini murah. Sangat tak sepadan dengan anting emasmu,” potong si pedagang. “Biar kuambilkan baju termahalku. Mahakaryaku.”

Wanita paruh baya itu berbalik badan, membuka kardus bertuliskan ‘lelaki’ dalam bahasa cina yang ditaruh di belakangnya. Ia ambil baju itu, dan ditunjukkan kepada Harum. Mata Harum sontak terbelalak. Tepatnya, berbinar-binar.

”Alamakjan.” Ucapnya, mengucapkan catchphrase karakter lain.

[1]

Di sebuah ruangan temaram, seorang pria duduk bertopang dagu. Tatapannya melekat pada dinding kayu di depannya, namun pikirannya menerawang jauh, memikirkan sesuatu. Sedetik kemudian, suara reot pintu terdengar. Pria itu menoleh ke belakang, Tian Lo kawan seperguruannya berdiri di sana.

“Chen, ada tamu.”

Seketika, pria itu – Chen – berubah serius air mukanya. Ia berdiri, lalu menguncir rambutnya yang panjangnya sudah melewati bahu. Chen lantas berjalan keluar ruangan diikuti Tian Lo di belakangnya, menuruni tangga ke lantai bawah. Disana, murid-murid lain sudah menunggu kedatangan Chen. Pria bermata sipit itu dibiarkan berjalan paling depan oleh mereka, karena Chen sudah diposisikan sebagai pemimpin disini. Tak ayal, kemampuan silatnya paling mumpuni di perguruan ekor naga hitam, hampir menyetarai sang guru besar Shen Long.

Kumpulan pendekar itu berduyun-duyun berjalan ke pintu utama, layaknya sepasukan tentara siap perang. Dibukalah pintu tersebut, seorang lelaki tinggi besar berdiri disana.

“Permisi, saya mau menawarkan obat herbal peninggi badan-“

Pintu langsung ditutup.

”Hehe.” Chen tertawa kering. Aura kemarahannya seakan mengeluarkan api, sampai sampai membuat orang seantero ruangan menetes keringatnya. Tian Lo berjalan mundur teratur. Namun, Chen sudah di depannya, mencengkram kerahnya kuat-kuat.

“Kupikir apa!!!” Seru Chen, menarik kerah Tian Lo. Air liurnya terciprat dengan

“Ku-kupikir, kau membutuhkannya Chen….” Ucap Tian Lo pelan.

“Setidaknya kalau tamunya seperti itu uruslah sendiri! Menganggu waktu berpikirku saja, tahu tidak!?” Ketus Chen bertubi-tubi. Tian Lo hanya bisa diam dan mengusap wajahnya yang terkena cipratan saliva Chen.

Barang sedetik, suara ketukan kembali terdengar. Chen yang masih naik darah bergegas membuka pintu. Kalau saja itu penjaja barang tak penting lain, akan ia hajar habis-habisan agar tak datang lagi. Hanya saja sekarnag yang datang adalah seorang kurir surat. “Ini dari perguruan Merak Merah. Tolong tanda tangan disini,” Ucap sang kurir, menyodorkan sebuah amplop putih susu. Chen menyeringai, diraihnya pena milik sang kurir dan ia tanda tangani besar-besar lembar tanda terima tadi. “Kalau begitu, saya permisi.” Tutur sang kurir sebelum beranjak pergi.

“Apa isinya Chen?” Tanya seorang murid.

“Ya, apa isinya?” Sahut Tian Lo.

Dibukanya amplop itu, membacanya sekilas. Raut wajahnya yang penuh antusias berubah datar, kemudian dengan penuh energi disobek-sobeknya amplop tadi beserta isinya.

”Kenapa, Chen?” Tanya Tian Lo.

“Ini bukan surat tantangan. Cuma surat peringatan biasa,” Kata Chen, menyuarakan kekecewaannya. “dari kemarin-kemarin mereka masih saja pengecut, hanya berani mengancam tanpa melakukan apapun. Menyedihkan!” Seru Chen. Kelihatannya ia benar-benar tak sabar ingin menghajar orang-orang Merak Merah setelah semua yang terjadi. Ia kepalkan tangannya kuat-kuat, posisi berdirinya pun ia kokohkan. Seketika suasana menjadi sedikit keruh, para murid mulai ngeri.

“B-bagaimana kalau kita saja yang membuat surat tantangannya?” Usul Tian Lo spontan.

Seketika ruangan menjadi hening. Setelah enam detik kesunyian, mereka semua serempak mengangguk. “Benar juga ya.”

“Kalian ini bodoh atau apa!?”

“Sudah! Sedikit bicara banyak bekerja! Tian Lo, ambilkan aku amplop, kertas, dan pena!” Titah Chen.

“S-siap!!” Jawab Tian Lo, segera pergi ke ruang belakang.

“Heheh, dengan begini perselisihan akan segera berakhir. Dengan hasil yang jelas – kemenanganku!” Batin Chen, melipat kedua tangan di depan dada. Arkian tersenyum lebar, menampakkan jajaran gigi putihnya yang disiwak tiap hari. Baru saja ia berniat kembali ke ruang remang tadi, pintu kembali diketuk. Entah siapa lagi, Chen tak peduli. Toh, suasana hatinya sedang senang kali ini. Akan dicobanya bersikap ramah.

“Selamat siang, ap-“

Sapaannya terhenti begitu melihat tamu ketiga. Ia berpakaian pendekar, namun lebih mirip gembel. Bagaimana tidak? Bajunya penuh tambalan disana-sini. Celananya kumal. Rambutnya awut-awutan, wajah kusut, dibawah mata terdapat lingkaran hitam tanda jarang tidur, jenggotnya serampangan, kumisnya tipis. Ia membawa sebuah buntalan yang diikatkan melintangi tubuh. Bisa ditebak bahwa isinya adalah minuman keras, tak lain karena Chen mencium bau alkohol yang sangat kentara dari badannya. ‘Pasti pengemis’, pikir Chen yang akan mengusirnya.

“Toilet dimana!? Dimana toiletnya!?”

[Ignition]

Takase tiba di bingkai mimpi selanjutnya.

“Woooh.” Gumamnya kagum. Ia muncul di sebuah bukit. Pemandangan Kota Liam bisa ia lihat seluruhnya disana. Kombinasi antara wuxia dan Nusantara, dimana arsitektur cina lawas dan pondok-pondok pesantren menjadi motif bangunan terbanyak sejauh mata memandang. Bahkan dapat dilihat dari atas sana beberapa perguruan masih berlatih murid-muridnya, melatih kuda-kuda dan gerakan-gerakan sapuan secara beramai-ramai di lapangan perguruan masing-masing. Penerangan di sini masih berupa lentera dan obor, api kecil dimana-mana. Edison belum lahir di bingkai mimpi ini. Tapi, tetap saja semua itu indah.

Takase kemudian melihat hamparan bintang, rupanya di bingkai mimpi ini sudah malam. Berhubung dari dunianya masih siang, Takase belum mengantuk sedikitpun.

“Jadi, harus apa?” Batinnya, merasa tak memiliki petunjuk apapun. Ditolehnya Izzy yang sedang merumput empat meter di belakangnya.

“Makan saja bisamu…..” Kata Takase sambil mengelap remah-remah biskuit di bibirnya.

Kalau dipikir-pikir, di bingkai mimpi sebelumnya Takase bangun di tengah padang rumput dimana ia harus melawan sesosok Ogre. Dengan kata lain, kalau dia dimunculkan di sana pasti berarti sesuatu. Takase melihat sekeliling. Rumput, pepohonan, dan jalan setapak, itu saja. Tak ada petunjuk yang bisa ditemukan. Ia harus turun ke peradaban di bawah sana untuk mencari informasi.

“Hei, Iz-“

Lari dikejar serigala.

“HEI!!!”

Bisa-bisanya karnivor itu muncul di sini. Takase harus mengusirnya, atau bahkan membuatnya pingsan dengan palunya sebelum Izzy dijadikan makan malam. Tapi bagaimana kalau malah Takase sendiri yang kena makan? Jadi apa yang harus dilakukan? Oh, ada paku spesial yang bisa digunakan. Sekali lempar, meleset. Dua kali lempar, meleset. Tiga kali lempar, jatuh di pijakannya. Kemampuannya benar-benar hilang!?

Sialnya, di waktu yang ia pakai untuk berpikir Izzy sudah berada di bawah serigala itu. Pasrah akan disantap.

”Izzy!”

[KA-TA-NA].

Pedang Jepang panjang bergagang merah melesat ke leher serigala itu. Darah mengucur dari nadinya yang putus parah, kemudian tumbang begitu saja.

Keluarlah sang pelaku, seorang lelaki tegap dengan pakaian kungfu hitam yang bagian bawahnya melebar seperti jubah penyihir. Garis kerahnya merah, dengan lilitan-lilitan tali di tangan, ala-ala petarung jaman wuxia. Ekspresinya nampak sangat serius, terlihat takkan berubah meskipun disiram air sekalipun. Takase terkesiap memperkirakan apa yang pria itu akan perbuat selanjutnya…..

“Ta-tadi itu hampir saja. Huh, menakutkan sekali. Apa kau baik-baik sa-“

Ucapannya dipotong pukulan Takase.

“Kenapa dibunuh!?”

“M-maksudmu apa!?”

“Dia itu Cuma binatang yang mengikuti nalurinya! Jangan dibunuh!”

“A-aku kaget tadi….”

“Berhenti bicara seperti pecundang saat wajahmu serius seperti itu! Kontras, tahu!?”

“Mbeeek.”

“Berani-beraninya mengembik-“

“Itu dombaku!”

Seketika, seekor domba muncul dari belakang punggung pria itu. Domba pemberian Huban.

”Jadi, kau Reverier?”

”Ya, namaku Mahapatih Seno. Salam kenal.”

Takase diam sejenak, lalu berkata. “Bulu hidungmu panjang-panjang, ya.”

[Fire]
[1 - Gesu no Kiwami Otome]

Takase dan Seno menuruni bukit dengan kecepatan tinggi. Bukan hanya karena gaya gravitasi, tapi domba super yang mereka tunggangi berlari secepat kuda. Atau malah lebih.

“Maaf, aku benar-benar panik tadi. Baru keluar dari portal sudah ketemu yang begituan. Padahal di bingkai mimpiku sendiri aku sudah melawan gorilla. Apa kaum Zyuman membenciku?”

“Yah, terserah kau lah….”

Seno sekarang tak lagi berpenampilan seperti pendekar setengah penyihir, namun sekarang ia nampak seperti seorang kutu buku. Memakai kacamata, jaket hitam yang digulung bagian lengannya, dan sepatu kets coklat. Manusia biasa. Rupanya, dia memiliki kemampuan transformasi seperti unit pahlawan warna-warni yang sering ditayangkan di stasiun televisi swasta. Bahkan katana tadi juga sebuah ponsel fliptop yang bisa dialterasikan menjadi senjata. Dan, ini wujud aslinya. Kutu buku yang hobi nonton Tokusatsu.

Flame Magus yang dimaksud Zainurma, Seno lah sosoknya.

”Kau tahu? Aku sedikit kesal karena masuk ke alam mimpi di waktu seperti ini. Kamen Rider Ex-Aid rilis hari ini!”

”......Download dimana?”

”RyuzakiLogia.”

Lalu, mereka berdua tos.

”Takase suka juga?”

”Tidak.”

”Lah. Terus kok tahu Ryuz-”

”Sieg download Hentai Kamen disana.”

”Siapa Sieg?”

”Lupakan, orang gak penting.”

Takase dan Seno sama-sama tidak memiliki informasi detil mengenai apa yang harus dilakukan. Dengan kata lain, mereka harus mencari tau sendiri konflik macam apa yang tengah berlangsung di kota ini, dan segera menyelesaikannya.

Laju domba mereka terhenti setelah mendekati pemukiman warga. Ingin tampak normal, jelasnya. Bisa repot kalau mereka lihat domba yang larinya setara kuda.

“Ayo berpura-pura jadi penggembala, Takase.” Usul Seno, mulai membuat simpul tali kendor di leher dombanya.

“Baik, pak.” Ucap Takase setuju.

“Jangan panggil aku pak, aku hanya lebih tua dua tahun darimu,” Ujar Seno, yang kemudian melihat Takase dari ujung kaki hingga kepala. “walaupun kau lebih tinggi.” Tambahnya, diikuti dengusan kecil.

Takase lalu mengeluarkan susu kotak rasa jeruk dari balik mantelnya. Dahi Seno mengernyit.

“Apa ini semacam penghinaan?”

Tiba-tiba, seorang pendekar wanita masuk ke jarak pandang mereka. Jika ditaksir, umurnya sekitar 22 tahun. Dan yang menjadi fokus mereka adalah dada. Yang ada lambang Merak Merah.

”Kau memikirkan apa yang kupikirkan?” Tanya Seno.

”Dasar mesum.” Jawab Takase.

”Bukan.” Sanggah Seno.

Mereke berdua pun mendekati wanita itu. Sementara kedua domba mereka saling melihat satu sama lain, dan pergi ke arah yang berlawanan. Entah pergi kemana.

***

Perguruan Merak Merah.

Bangunan serupa pondok, besar dan luas dimana di masa depan disebut dengan kampus miniatur. Tersusun dari bebatuan yang sudah digerus hingga halus, tempat itu nampak kuat. Tapi tetap elegan. Dua obor besar terpasang di gerbang masuknya, sementara diatasnya tergantung bendera merah berbentuk segitiga terbalik dengan siluet merak – simbol perguruan. Jika kalian masuk ke dalamnya, kalian akan disambut oleh sebuah lapangan luas. Di lapangan luas itu, puluhan pesilat berdiri berjajar. Melakukan gerakan-gerakan silat khas dengan gerakan tangan luar biasa cepat. Mereka semua berlatih serempak, membuat formasi serupa persegi panjang yang terdiri dari manusia. Jika dilihat dari atas akan terlihat seperti hamparan kain merah.

Di belakang barisan tersebut, Lim - seorang pesilat wanita berbaju merah mawar berjalan. Pipinya yang agak tembam merona merah karena hawa udara di malam itu jauh dari kata hangat. Ia bahkan menyembunyikan kedua tangan di balik lengan pakaiannya yang cukup longgar untuk menyembunyikan sebuah buku tulis. Didampingi dua pesilat wanita di sampingnya, kedua pendamping tersebut nampak mewartakan banyak hal, membuat Lim terbelalak matanya. Kelihatannya berita buruk.

“Mereka sudah keterlaluan, bukan?” Tanya Lim, menggertakkan giginya. Sekejap kemudian, patung merak yang berada tak jauh dari mereka hancur, terbelah dua sedemikian rupa. Pelakunya adalah Lim yang tangannya mengeluarkan asap tipis dan pipinya digembungkan. Kedua pendampingnya menimbulkan reaksi berbeda. Satunya ketakutan, satunya menahan tawa. Sungguh pelampiasan amarah yang mengerikan dan imut dalam waktu yang bersamaan.

“Fuuuh……tenang, tenang….” Gumam Lim, mengatur pernafasannya. Dalam masalah besar yang menimpanya sekarang, ia mencoba bijak dengan memilih untuk berkepala dingin.

Mereka pun melanjutkan langkah mereka menuju ruang diskusi. Berada di bangunan utama perguruan, bilik musyawarah mendapat jatah daerah yang cukup untuk menampung enam puluh jiwa sekaligus.

Ketika pintu dibuka, bukan sambutan hangat yang Lim dapat. Melainkan tatapan cemas teman-temannya.

”Lim. Huang Yin sudah.....”

***

Seorang pendekar Ekor Naga Hitam tumbang terkena tendangan pemabuk itu. Terlempar lima meter ke belakang, pingsan dalam keadaan babak belur. Disusul, badan sang pendekar digendong, lalu dilemparkan ke sebuah gundukan - yang terbuat dari 16 pria.

Chen menatap orang yang disangkanya gelandangan itu dengan sedikit ketakutan. Para petinggi di perguruannya, yang sudah berlatih sejak masih belum bisa menulis dengan baik dihabisi begitu saja tanpa perlawanan berarti. Sekuat apa orang ini?

”S-siapa kau sebenarnya?” Tanya Chen, waswas.

”Aku hanya ingin buang air, dan kalian memperlakukanku seperti tadi....”

Tian Lo sudah ngompol duluan.

”T-tenanglah guru, dinginkan kepalamu....” Ucap murid si pemabuk, seorang gadis cilik.

”Benar, lebih baik kau memperkenalkan dirimu.” Timpal murid kedua si pemabuk, seorang remaja puber.

Didesak kedua muridnya, guru mabuk memilih untuk menghentikan amukannya.

”Namaku Marikh, dan aku disini untuk menolong kalian menyudahi perseteruan yang ada.”

”Berasal dari perguruan mana kau, hah?” Tanya Chen, belum menurunkan kuda-kudanya.

”Beri tahu aku dimana kamar mandinya, nanti kuberi tahu!”

Chen hilang semangat. Tamunya sedang berada dalam ‘retensi’ yang parah sekarang. Chen pun menunjuk sebuah pintu yang terbuat dari kayu jati di dekat tangga. Marikh langsung melesat ke tempat itu bagai roket. Orang satu lantai melongo.

”Haaa.....lega....”

Marikh mendapati kamar mandi sederhana berisi bak penuh air. Lubang berdiameter 10 inci menganga di pojok kiri bilik itu, menguarkan bau pesing yang menusuk hidung. Sisa pembuangan mengalir langsung dari lubang tersebut ke arah sungai kecil di belakang gedung.

”Permisi, boleh aku kencing disana juga?”

Chen mendadak masuk. Marikh mengiyakan permintaan izin pria sipit itu, menggeser badannya agar Chen mendapat posisi berdiri.

”Kau pernah kehilangan seseorang yang berharga, Tuan Marikh?” Chen mengerling. Marikh tiba-tiba menajam sorot matanya. Tanpa kumis semerawut, akan terlihat bahwa Marikh menggigit bibir atasnya. “teman-temanku dibunuh oleh perguruan Merak Merah.”

Marikh sontak menoleh kearah Chen. Ekspresi pria itu menjadi muram. Sangat tak cocok karena ia sedang pipis. Seharusnya ia gembira. Tapi, nampak bahwa mentalnya sangat terpukul.

”Ke-kenapa? Apa yang mendasari kejadian itu!?” Tanya Marikh, penasaran dan terkejut.

Chen pun menjelaskan semuanya. Persaingan. Pertikaian. Adu popularitas. Dan semuanya menyebabkan kematian salah satu murid perguruannya. Sahabatnya, Ba Chot Lu. Mati dengan puluhan luka lebam di sekujur tubuh, tergeletak di jalan ibarat bangkai tikus.

”Be-benar begitu!? Merak Merah yang melakukannya!?”

Chen diam sebentar, lalu menolehkan wajahnya ke dinding. “Ya,” Balasnya pelan. “Ba Chot Lu adalah sahabat kami semua. Walau dia cerewet dan labil, dia tetap teman kami.” Tambahnya. Suaranya semakin pelan, serta serak. Tak usah dilihatpun, Marikh paham. Tangisan seorang pria yang kehilangan orang berharga. Marikh pernah mengalaminya.

”.....membantu.”

Kepala Chen terangkat mendengarnya.

”Aku, Marikh, bersumpah atas nama Dewa Arak akan membantumu. Murid-muridku, Sidya dan Roan juga. Balas dendam atau apapun, mari lakukan bersama.”

Chen berbalik, lalu memeluk Marikh erat.

”Te-terimakasih saudaraku....”

Air mata Chen membasahi pundak Marikh. Sang pemabuk membalas pelukan itu dengan tatapan kearah dinding. Berapi-api. Inilah konflik yang Zainurma perintahkan untuk diselesaikan.

Tangis Chen mereda, digantikan senyuman ceria.

”Ngomong ngomong, celanamu belum kau tarik keatas.” Bisik Marikh.

Atmosfir canggung memenuhi kamar mandi.

***

Sudah, percuma diskusi. Pada akhirnya, sebuah keributan harus diselesaikan dengan keributan lain, yang jauh lebih besar. Lim dengan mata berair berjalan tergesa sembari menyingsing lengan bajunya.

”Tenangkan dirimu, Lim!!” Seru Mi Jien, berusaha menahan langkah sahabatnya. Perempuan itu tahu, Lim menahan amarah dan kesedihannya sejak berhari-hari lalu. Lagipula mereka berdua wanita, tak mungkin tak paham perasaan masing-masing. Tapi, batas kesabaran sudah terlampaui.

”Lepaskan! Aku takkan menghajar mereka hingga tewas! Kalau sudah jatuh akan kubiarkan, senjatanya jatuh kuberi kesempatan mengambil....”

Lim memaparkan sikapnya di medan tempur, mencoba meyakinkan teman-temannya takkan jadi pembunuh seperti orang-orang Ekor Naga H   itam. Hanya saja, dalam keadaannya sekarang itu semua hanya racauan. Teman-temannya hanya bisa menenangkannya, dan memang seharusnya begitu.

”Kalau begitu, setidaknya susun strategi terlebih dulu.”

Saran Mi Jien membungkam mulut Lim.Pilihan bijak. Tapi, perasaannya sudah sangat sedih. Menghembuskan nafas saja terasa berat sekali.

”Begini, jernihkan otakmu dan lakukan persiapan matang,” Ucap Mi Jien, menepuk pundak Lim pelan. “juga, kami semua akan membantu mengurus segala sesuatunya. Kamu tak perlu membebankan semua hal di pundakmu sendiri. Itu bukan kamu yang biasanya, tahu?” Sambungnya. Entah kenapa, kata-kata yang lolos dari lisan Mi Jien begitu manis. Perlahan senyum Lim merekah dengan pipi merona. Air matanya berhenti mengalir, tanda hati telah ditegarkan oleh sang pemilik.

“Kak Lim, aku lapar!”
”Iya kak Lim!”

Oh, anak-anak kecil itu datang menghibur dengan cara minta dimasakkan hidangan malam. Ya, kalau diingat-ingat mereka juga belum makan. Hal tersebut sangat penting bukan? Untuk mengisi energi sebelum beraktifitas, apalagi.....bertanding?

”Baiklah! Kak Lim akan memasakkan kalian makanan yang sangat enak!” Seru Mi Jien, berdiri dan mengankat kedua tangannya. Lim sontak mengangguk cepat, membuat bocah-bocah tadi bersorak ‘yey!’ sambil melakukan jurus-jurus silat. Nampaknya mereka kebanyakan gula.

Setelah keadaan mulai mencair, semua orang sudah menentukan jadwal mereka untuk persiapan tiga jam ke depan. Namun, tak ada yang mengira kalau....

”Aku akan diperkosa!!”

...kejadian seperti ini akan terjadi.

”Xiao Mi!?”

Pendekar wanita itu berair matanya, hanya saja dia nampak tidak terluka sama sekali. Pakaiannya juga utuh. Malah yang dituduh pemerkosalah....

”Kami cuma ingin bertanya!!!” Mahapatih Seno, berdiri disana dengan wajah hampir tak berbentuk, dijadikan samsak.

”Ya...benar....Hoek!!” Takase Kojou. Dijotos perutnya hingga muntah-muntah.

”K-kalian menatapku seperti serigala buas!”

”Bukan salahku kalau wajahku terlalu serius....”

”S-sial....semua makanan termuntahkan begitu saja....Hoek!!”

Para laki-laki disana langsung panik tanpa sebab jelas. Sedangkan para perempuan menatap Takase dan Seno dengan jijik. Melihat hal ini, si ganteng An yang dari tadi mencari-cari cara agar mendapat sorotan di mata Lim mendapat ide.

”Hei, kalian berdua!” An berseru, menunjuk Takase dan Seno. “kalau masih ingin hidup, pergilah dari sini sekarang juga. Akan kuampuni nyawa kalian!” Titahnya penuh energi.
”Hehe, para perempuan itu akan terpesona padaku.” Batin An, memonyongkan bibirnya. Sedang berdelusi.

”T-tolong turunkan tanganmu....bau ketiakmu bikin aku mau muntah lagi.”

Suara tawa tertahan puluhan orang terdengar dari belakang. Beberapa orang yang tak paham situasi seperti Cao Cao tertawa terbahak-bahak seperti tengah digelitiki.Ledekan itu menohok keras harga diri An. Ia mencoba mencari sumber semangat - tatapan Lim. Namun, ternyata sang pujaan hati menutupi kikikannya dengan lengan baju.

Rasa-rasanya, jiwa An kini disedot paksa ke dalam tanah. Lututnya bergetar, seakan mau jatuh. Selemah itulah mentalnya. Namun, perasaan malu bukan kepalang tergantikan dengan amarah ketika ia melihat sang peledek. Pria tinggi bermantel hijau yang sedang muntah-muntah.

”Kenapa lihat-lihat? Aku tidak punya utang padam-”

Ucapan Takase terpotong ketika sebuah pukulan mendarat di pipi kanannya. Bogem mentah itu mendorongnya beberapa inci ke belakan. Tak puas, An kembali melayangkan pukulannya sacara beruntun ke badan Takase.

”Hentikan,” Ujar Seno, sukses menarik perhatian An. “jangan pukuli dia.”

An langsung merubah targetnya. Berjalan mendekati Seno dan menghajarnya.

”Bukan itu maksudku!!!”

”Cukup, An!”

Yang dipanggil menoleh tanpa menyudahi ekspresi beringasnya. Rupanya Lim yang memanggil. “B-baik!” An langsung patuh dan berlari kembali ke dalam perguruan.

”Kalian berdua! Aku tak pernah melihat pakaian semacam itu sebelumnya.” Celetuk Mi Jien. Orang-orang menatapnya seakan berkata, ‘apa sih?’.

’Benar juga’, pikir Takase. Mantel modis semacam ini belum ditemukan pada jaman ini, apalagi celana jeans dan pantofel keren miliknya. Terutama Seno. Jaketnya memiliki resleting. Kakeknya Gideon Sunback saja pasti belum lahir, apalagi cucunya.

”Kami, datang dari masa depan!”

Pengakuan konyol Seno mengagetkan para murid Merak Merah. Sebelum mereka mengejek dan menanyakan bukti, Seno sudah mengeluarkan handphone fliptop-nya. Alat elektronik merah itu menimbulkan tanda tanya besar di atas kepala An dan kawan-kawan.

”Perhatikan baik-baik. Benda semacam ini, mana ada di jaman kalian?”

[BA-ZOO-KA].

Ponsel itu kemudian beralterasi wujudnya menjadi peluncur roket anti-tank sepanjang 55 inci. Saat proses terjadinya, banyak yang mundur selangkah, menunduk, dan tiarap.

”Tidak perlu takut.”

”Kalau begitu jangan keluarkan senjata begituan!”

Setelahnya, mereka berdua mendapat ratusan pertanyaan dari pedekar-pendekar Merak Merah, mengenai apa yang terjadi ribuan tahun dari jaman mereka.

***

”Jadi....kalian datang kesini untuk membantu kami?”

Lim bertanya dengan tatapan curiga.

”Tepat.” Jawab Seno.

Setelah beberapa kebohongan manis dan alasan yang dibuat-buat, Takase dan Seno berhasil mendapat izin untuk masuk ke dalam gedung perguruan Merak Merah. Kini, mereka berdua sedang menyantap hidangan Cina di ruang makan, bersama puluhan pendekar lain dari berbagai umur dan jenis kelamin.

”Memangnya di masa depan, apa hasilnya kami kalah?” Tanya Lim lagi, penasaran.

”Sejujurnya, kami tidak tahu. Yang jelas kami dikirim kesini karena sebuah keharusan.” Ucap Seno, mengepalkan tangan dan menatap lampu gantung diatas dengan wajah serius.

Lim mengerlingkan matanya kearah lelaki di sebelah Seno, Takase - yang sedang makan dengan rakusnya.

”Kau suka dengan Jiaozi buatanku, tuan?” Tanya Lim pada Takase sopan.

”Kalau lebih banyak, akan semakin enak.”

”K-kau ini....” Sela Seno.

”Maaf kalau Chowmien-nya sudah dihabiskan oleh gadis-gadis kecil itu.” Kata Lim, merujuk pada pendekar-pendekar perempuan cilik yang tengah mencuci piring.

”Tapi, jujur saja ini salah satu makanan terenak yang kumakan sejak datang ke dunia ini.” Ucap Takase.

”B-benarkah? Baguslah kalau seperti itu, tuan.” Kata Lim, sedikit salah tingkah karena dipuji semanis itu. Padahal semenjak datang ke bingkai mimpi Kota Liam Takase memang cuma makan biskuit kemasan. Sangat jauh kalau dibandingkan dengan buatan tangan andal Lim.

”Gerakan tangan Lim sangat cepat lho, saat membuat Jiaozi!” Celetuk Mi Jien. Menempelkan bahunya dan bahu Lim, lalu mengambil sebuah Jiaozi dan melahapnya. “kalian berdua harus lihat.”

”Itu juga karena gaya bertarung kami mengandalkan kecepatan tangan.” Tambah An yang tiba-tiba muncul di belakang Mi Jien.

”Aduh, bau busuk macam apa ini? Kau masih belum mandi juga!?”

”Maaf, Mi Jien!” Seru An sebelum lari, sakit pantat kena sindiran keras.

Lim sendiri, entah kenapa matanya tak bisa lepas dari Takase. Ada yang aneh dari lelaki itu. Tapi, menarik.

”Itu palu untuk apa?”

”Ini senjataku. Namanya Tengoku.” Jawab Takase.

Lim mengernyitkan dahi. Senjata yang memiliki nama? Apa ini senjata legenda, atau dibuat penempa mahsyur?

Lim bahkan tak yakin Takase yang badannya bagai anjing beranak enam itu bisa mengangkat sekarung beras lebih dari lima detik. Tapi, pendapatnya terpatahkan ketika Takase mengangkat palu itu dengan satu tangan.

”Gagangnya sama panjang dengan kedua lenganku direntangkan.”

Mata Lim terbelalak melihatnya. Tenaga yang gila. Tak salah mereka dikirim ke jaman ini untuk membantu mengalahkan perguruan naga hitam. Sang hawa bertepuk tangan. Merasa ada wanita yang dari tadi berisik, Takase menoleh ke arah Lim. Perempuan yang di mata Takase penampilannya 100% mirip Ikoka Hona itu merasa dilihat.

”Kenapa?” Tanya Lim.

”Sangat manis.”

Wajah Lim langsung merah padam.

”Bukan, maksudku Jiaozi yang ini,” Jelas Takase, memperlihatkan makanan sejenis Siomay di tangannya. “ngomong-ngomong, kenapa kalian bisa bermusuhan dengan.....siapa tadi?”

”Ekor Naga Hitam.” Sela Seno yang tengah membaca SMS Huban di hp-nya.

”........kalian tak tahu?” Ucap Mi Jien heran.

”Ternyata dua lelaki itu didatangkan ke Kota Liam tanpa mengetahui apapun....” Gumam Lim, menghela nafas panjang. Gadis itu pun menceritakan bahwa konflik berawal saat salah seorang murid dari Perguruan Ekor Naga Hitam ditemukan tewas mengenaskan di jalanan kota. Murid lain serta merta menuduh Perguruan Merak Merah yang selalu jadi pesaing sebagai pelaku. Dan situasi makin memanas saat Mei Ling, saudari seperguruan Lim ditemukan tewas mengambang di sungai keesokan hari. Merak Merah dengan berat hati memutuskan untuk menyelesaikan ini dengan jalur damai. Namun, Ekor Naga Hitam menjawabnya dengan mayat lantam Huang Yin, digantung di dekat pohon perguruan Merak Merah.

”Kenapa mereka sangat yakin kalian pelakunya?” Tanya Seno.

”Ekor Naga Hitam mengira kami takut kalau mereka akan menggeser posisi Merak Merah sebagai perguruan termahsyur tergeser, jadi tidak mustahil kalau ada orang bodoh yang diam-diam membuat keributan di perguruan ini.” Ujar Mi Jien.

”Hei, jelek berburuk sangka pada teman.” Ucap Takase mengingatkan.

”Kalaupun itu temanku sendiri, pelanggar hukum harus ditumpas.” Kata Lim tegas.

”Waktu kecil mau jadi polisi, ya?”

”Dengar,” Sela Lim, mengacuhkan ledekan Takase. “dari pihak Merak Merah maupun Ekor Naga Hitam sama-sama terkenal di kota ini. Walaupun banyak perguruan lain, mayoritas orang tua lebih memilih kami dan mereka. Hari ini sekalipun masih banyak murid baru yang belum akrab dengan kami, yang gak kenal juga ada.”

”Hmm....perguruan-perguruan lain, ya?” Gumam Takase.

Pintu belakang dibuka. Yang masuk adalah seorang pengantar susu sapi. Orang-orang menyapanya ketika masuk, ‘malam, pak.’ - menandakan bahwa hal ini sudah rutin dilakukan.

”Hoo, susunya sudah datang.” Ucap Lim datar. Si pengantar pria berjalan cepat-cepat ke meja Lim, dengan keranjang aluminium yang menampung empat botol kaca berisikan susu sapi di tangan.

”Banyak sekali keringatnya, dikejar deadline, pak?” Tanya Takase.

”Eh, iya iya.” Jawab si pengantar susu walau tak paham apa yang Takase bilang. Ia pun meletakkan keempat botol susu itu satu persatu di meja sambil menyeka peluhnya. Takase, Seno, dan Mi Jien sudah mendapat botol mereka masing-masing, meminumnya dengan sukacita. Dan punya Lim, si pengantar berdiam diri dengan botol di tangan selama beberapa detik sebelum menaruhnya. Dengan tangan gemetar, botol itu diletakkan dengan tidak mulus. Menimbulkan suara keras, tumpah sedikit-sedikit membentuk genangan seukuran daun jeruk.

”M-maaf, saya agak sakit hari ini. Uhuk-uhuk.” Bela si pengantar susu, diikuti batuk yang dibuat-buat. Takase dan Seno menatapnya curiga.

”Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Si pengantar susu langsung berjalan pergi cepat-cepat, Lim bahkan belum sempat memberi tips untuk pria tua tersebut. Kemudian, Lim membuka tutup botolnya dan bersiap meneguk susu segar itu. Tapi, Mi Jien menggeleng. Tatapannya seolah mengatakan, ‘jangan minum.’

”Apa sih?” Ketusnya. Namun, Takase dan Seno melakukan hal serupa. “aku berlangganan jasanya. Aku tahu dia orang yang jujur.” Sambungnya kalem. Akhirnya ketiga orang tadi mengurungkan firasat buruknya. Lim yang melihat teman-temannya sudah diam langsung menempelkan ujung bibirnya dengan mulut botol. Sampai, mata Takase menangkap seorang perempuan berkulit sawo matang berkacamata datang, berpakaian ala pendekar wuxia, meriah dengan motif naga air dan bunga beragam warna. Sungguh busana yang mengundang kekaguman. Hanya saja, sang empunya meneriakkan...

”Jangan minum susu itu!!!”

Takase dengan panik menoleh kearah Lim, yang tidak mendengar seruan perempuan itu. Tanpa pikir panjang diambilnya satu paku dari saku, ditusukkan ke sisi botol seperti memecahkan balon dengan jarum. Suara gelas pecah mengagetkan Lim, tangannya reflek menjatuhkan botol tersebut. Perhatian seruangan terpusat pada botol susu pecah yang amber isinya.

”Susu itu udeh diracuni ama om ‘ntuh! Aye liat sendiri dia nuang puyer putih ke susunye!”

Lim menunduk, menilik cairan yang hampir meluncur di kerongkongannya tersebut. Susu sapi seperti biasa, tak ada tanda kalau kekentalannya bertambah atau apa. Hanya saja, saat seekor lalat hinggap diatasnya, dua detik kemudian sayapnya berhenti mengepak dan tubuhnya terguling dengan dramatis.

”T-tangkap dia!” Perintah An yang hanya memakai handuk untuk menutupi asetnya. Para pendekar langsung mengejar pria tua itu tanpa banyak usaha. Tubuh lansia itu bukan tandingan para pesilat disana. Kini ia telah dikepung, plus Seno memelintir tangannya ke belakang.

”Maumu, jelaskan!” Suruh Mei Jien geram.

”Saya disuruh seseorang!” Bantahnya. Dengan mata berair, ia menjerit. “seseorang dari naga hitam, bernama Chen!”

”Keparat!!” An menghantam tembok, membuat handuknya merosot hingga lutut.

”Sudah, tak perlu persiapan atau strategi. Kita habiskan saja mereka dengan seluruh tenaga, setuju!?” Tanya Mei Jing, terbakar semangatnya.

”Ya!!” Respon puluhan pendekar disana. Kali ini, Lim yang mencoba menghentikan teman-temannya, namun yang peduli tidak ada. Curang, sungguh curang. Tapi, masih ada dua orang dari masa depan di belakangnya, Seno dan Takase.

”Kau susul saja mereka,” Usul Takase. “aku ada ide yang harus dibicarakan dengan Seno.” Sambungnya dengan wajah serius, berbeda dari yang tadi-tadi.

”Percayalah kepada kami. Selama harapan masih bersemayam di jiwamu, kebaikan akan selalu datang. Kamilah harapan terakhirmu.” Tambah Seno, yang tiba-tiba menggigit donat gula, entah sejak kapan dia menyimpannya. Lim yang mengangguk lantas berjalan menyusul kawan-kawannya.

”Eh, serius kamu ada rencana?” Tanya Seno ragu. Bukannya mengejek, orang di depannya cuma bisa makan dari tadi tanpa terlihat sedang berpikir.

”Ng.....aku pikir ini adalah campur tangan pihak ketiga.” Tebak Takase.

”B-bagaimana bisa kau memutuskan seperti itu? Huban bilang hanya ada dua faksi sa-”

”Entahlah,” Potong Takase.”tapi Lim bilang Ekor Naga Hitam dan Merak Merah adalah dua perguruan terunggul di Kota ini. Mereka sudah berjaya, tapi perguruan-perguruan lain?”

Seno diam sejenak, lalu matanya terbelalak seakan sesuatu meletup di otaknya.

”Bisa juga! Pemikiran seperti itulah yang dibutuhkan dalam sebuah Sentai(Tim).” Ujar Seno.

”Jadi, begini....”

Sesaat sebelum mereka akan berdiskusi, perempuan yang tadi berteriak memperingatkan tentang racun di susu datang menghampiri. Yang punya jalanan, Harum Kartini.

”Reperier, neh? Aye ikut rundingan boleh?”

Takase dan Seno menatap Harum beberapa saat dengan mulut sedikit terbuka.

”Haiya,”

”Tidak, kami paham ucapanmu.”

Lim dan Harum Kartini. Takase bersyukur tidak mengajak Sieg kesini.

***

Jalur menuju kedai minum yang dijanjikan penuh oleh pendekar Ekor Naga Hitam dan Merak Merah yang saling bertanding. Rakyat sekitar sadar usaha mereka melerai percuma, memutuskan untuk berlindung di dalam rumah.

Lim yang dilindungi oleh semua temannya, berhasil menempuh celah yang dibuat dengan susah payah sampai akhir, pintu kedai minum yang menganga lebar.

”Akhirnya kau datang juga, keparat.”

Chen, yang telah berada di dalam kedai melipat kedua tangannya di depan dada. Lim menatap Chen dingin, akan dicobanya berdialog dengan pria itu walau dilatarbelakangi suara baku hantam plus benda hancur di luar.

”Dimana pemilik kedai ini?”

”Aku sudah menyewa tempat ini, wanita tua itu sangat mudah dibodohi. Hanya dengan sekantung koin perunggu ia membiarkan tempatnya mencari nafkah kita jadikan arena untuk berkelahi, dan tak perlu dikatakan jika aku bohong padanya, kubilang ini rapat khusus Ekor Naga Hitam dimana orang luar tak boleh tau,” Jelas Chen, menyeringai licik. “lagipula, tak sepenuhnya bohong.”

Seketika puluhan pendekar bersabuk hitam menuruni tangga perlahan, menampakkan badan-badan kekar serta wajah bengis, seaakan mencerminkan sifat mereka yang tak kenal ampun. Bulir peluh Lim mulai menetes.

”Gini lho, kalau kamu mau menyerah, kami hanya akan menghajarmu saja, dan memaafkan teman-teman pembunuhmu itu.”

”Tutup mulut kotormu, Chen! Dasar tukang fitnah!”

”Diam dulu dan pikirkan-”

”Kau tahu jawabanku.” Potong Lim. Ia lalu membungkuk 45 derajat dengan kedua tangan kiri menangkap kepalan tangan kanannya, posisi memberi hormat. Setelah itu, ia memasang kuda-kuda.

”Pilihan bagus.” Ucap Chen, melemaskan kedua tangannya.

”Aku tak pernah menyesali pilihanku.”

Pertandingan pun dimulai. Pendekar-pendekar Ekor Naga Hitam merangsek maju kearah Lim. Lim menyambut mereka semua dengan mengibaskan tangannya cepat-cepat ke wajah dan leher mereka, membuat kroco-kroco tersebut mengerang kesakitan.

Gelombang kedua maju, satu per satu Lim tepis tendangan mereka, lalu membalasnya dengan pukulan, gerak tusuk, sampai tamparan keras. Saking banyaknya orang, ia terpaksa menarik sebuah meja kayu dan menjadikannya perisai. Hanya saja, Lim yang berada di balik meja tersebut sudah melompat maju, mengguncang rahang ketiga orang itu dengan satu sabetan. Jatuh pingsan.

”Jadi itu teknik membelah air Merak Merah?”

”Ya, teman-temanmu yang tergeletak di lantai sudah mencicipinya.”

Memperkokoh kuda-kuda, Chen dan Lim melesat maju. Berhadapan, tangan dan kaki bertemu. ‘Tendangan pemecah karang’, teknik andalan Ekor Naga Hitam ditampilkan dengan baik oleh Chen. Perkenaan tumit dan punggung kakinya sukses menorehkan luka lebam di badan Lim.

Informasi saja, kekuatan kaki Chen benar-benar gila. Cukup menghentakkan kakinya lebih keras sedikit, rumah sekomplek akan bergetar. Menahannya berarti menghancurkan tulangnya sendiri dengan sengaja. Lim cuma mengubah arah serangnya dari tadi. Namun, mustahil menahan semuanya.

Chen merubah-rubah target tendangannya, mencoba membingunkan Lim. Si target memilih untuk lompat tinggi ke belakang, melayang di udara beberapa detik. Tidak salah kalau tekniknya dijuluki ‘Merak Terbang’.

”Terpojoklah, pembunuh!!” Seru Chen, kembali melaju ke tempat Lim mendarat. Yang dituju diam, memfokuskan pandangan. Dengan celah yang besar dan momentum yang tepat.....

”HEEEEEAAAAH!!!!!”

Tendangan pemecah karang bertenaga maksimum dilepaskan. Tekanan angin yang dihasilkan saja menerbangkan debu di lantai.

”Sekarang!” Gumam Lim. Dengan sedikit gerakan cepat, Lim berhasil menghindari ajal, kemudian berhenti di titik buta Chen. Diangkat lengannya tinggi-tinggi, tersenyum.

Kepakan Sayap Pembelah Lautan.”

Serangan pamungkas dari sisi Merak Merah menuju ke arah tengkuk Chen. Sapuan tangan yang tebasannya mampu membelah air dalam periuk menjadi dua pasti akan memberi dampak fatal pada titik lemah target. Mata Chen terbelalak, melihat kekalahan di ujung matanya.

Beruntungnya, Humpty Dumpty yang jatuh dari tembok batal terhantup tanah. Karena, Dewa Arak menangkapnya.

Marikh datang, menjauhkan Chen dengan dorongan seluruh tubuh. Serangan Lim akhirnya hanya menebas udara kosong, meninggalkan sang empunya teknik dalam keterkejutan besar.

”Begini, aku sudah janji akan membantu pria malang ini,” Marikh berbalik, melemparkan botol minuman keras ke sisi. “dan jangan harap aku akan melunak pada perempuan berdosa besar seperti anda.” Sabda Marikh, mabuk. Dipungutnya botol putih di lantai, lalu cairan merah beralkohol kadar tinggi ditenggak hingga habis.

Gerak Hadang 8 penju-”

Tapak Harum.”

Ledakan beraura bunga yang tengah mekar menghantam ruangan, dengan daya hancur besar, bonus bau wangi. Orang satu lantai roboh, perabotan jatuh, botol-botol pecah, semuanya rusak.

”Kachou balaou.” Celetuk Takase yang baru masuk.

”Sorry bang Taka, aye kirain musuh semue yang ade dimari.”

”Bukan masalah, manusia tidak pernah luput dari kesalahan.”

”WOY!” Seru Chen geram. “Siapa kalian!? Datang-datang cari masalah, dari perguruan mana!?” Ujarnya bertubi, bagai sedang mengintrogasi dua mahluk hidup di ambang pintu.

”Begini, tidak penting kami siapa. Tapi, namaku Takase, dan dia Harum Kartini.”

”Lah.”

Chen kembali dibuat bingung. Sebenarnya, darimana semua orang-orang ini berasal?
Dan lagi, perempuan berkulit sawo matang itu pakaiannya bagus sekali. Chen mulai berpikir bahwa dia adalah bangsawan dari ibu kota bersama pengawalnya yang membawa palu.

”Gini nih ye, aye ama bang Taka punye pengunguman yang bakalan bikin lu pade kaget.” Papar Harum.

”Apa itu?” Tanya Lim, menaikkan alisnya.

”Kami tahu siapa pelaku dari semua pembunuhan ini.”

Tak berhenti-berhentinya para Reverier memberikan pernyataan yang diluar nalar, membuat para pendekar dari kedua faksi memberi respon kaget, marah, takut, juga heran. Tapi, sebelum siapapun meneriakkan ketidak-percayaan, Takase menampakkan pada mereka sebuah bukti kunci pertama. Tepatnya, seorang.

Tukang antar susu.

”Yang mane bang, penjahatnye?” Tanya Harum. Si pengantar susu dengan jemari bergetar menunjuk seseorang. Dan orang itu adalah....

Tian Lo.

”Kh....jangan bercanda pak tua!! Tian Lo tak mungkin melakukan hal semacam itu!!! Benar kan, Tian Lo!?” Sergah Chen, mengguncang-guncang bahu sang kawan. Namun, Tian Lo hanya menunduk. Chen lantas berjalan ke arah si pengantar susu dengan niat menghajar. Namun, langkahnya terhenti setelah sebuah paku tiba-tiba menancap di depan jempol kakinya.

”Tuduhan kami bukannya tanpa dasar. Singkatnya, Ekor Naga Hitam dan Merak Merah sudah berada di puncak kejayaan, bukannya mengalahkan satu sama lain terlalu membuang waktu kalian yang punya banyak urusan?” Jelas Takase. Walau maksud aslinya sedikit kabur, orang-orang paham yang pria bermantel hijau itu ingin katakan.

”Malah, perguruan-perguruan lain yang tidak sehebat kalian bisa saja sirik. Memasukkan anggota mereka ke dalam perguruanmu, lalu mengadu domba dengan membunuh masing-masing anggota kalian satu demi satu secara bergantian?”

Seketika itu, pikiran mereka terbuka. Dengan perselisihan keruh ini, mereka tidak hanya saling menghancurkan, tapi citra di mata masyarakat juga akan memburuk.

”Setelah tak dipercaya lagi, kira-kira mereka akan memilih untuk bergabung dengan perguruan terbesar ketiga. Apa itu benar, anak dari ketua Harimau Putih - Tian Lo?”

”He....hehehe.”

Tawa keji dari serigala yang rontok bulu dombanya lepas dari mulut Tian Lo.

”Aku tidak berniat mendebatnya, karena semua itu benar.” Ujarnya sambil mengacak-acak rambut.

”Mu-mustahil.....” Gumam Chen lirih.

”Kesalahan fatal! Seharusnya tidak kupekerjakan tua bangka tolol sepertimu! Seka-”

Kalimatnya terpotong, atau, kalimat terakhirnya tidak selesai. Kepala Tian Lo pecah terkena tendangan pemecah karang Chen. Hampir tiap mata yang menyaksikan bergidik ngeri badannya, kecuali Takase. Matanya sontak mendelik, menatap Chen penuh kebencian.

”Hahaha, bukankah ini bagus? Kita sudah tau siapa dalang di balik pembunuhan berantai ini, tunggu apa lagi?”

”Ntuh Harimau Putih udeh dilaporin ama Seno ke pihak yang berwajib. Disuruh bayar diat gede, padepokannye ditutup, orang-orangnye dijeblosin ke prodeo. Udah-”

”ITU BELUM CUKUP!”

Sela Chen, melompat ke arah Harum, mengayunkan kakinya ke arah pelipis sang gadis betawi. Tak tinggal diam, Takase menahan tendangan tersebut dengan palunya. Benar tendangannya tertahan, hanya saja, Tengoku terlepas dari genggaman Takase. Si empunya mundur selangkah.

”Aku bersumpah akan menghabisi semua orang di Harimau Putih. Jika kalian menghalangi, akan kubantai sekalian.”

”Begitu? Kalau iya, aku yang akan menghentikan-”

”Kau Reverier, bocah?”

Tiba-tiba, Marikh berdiri di depan Takase. Ia mengingat Takase yang diam-diam makan kudapan saat para pemimpi dikumpulkan di Museum Semesta.

”Maaf, aku takkan berpihak pada kalian. Aku sudah berjanji pada pria malang itu untuk membantunya. Apapun yang terjadi,” Marikh kembali menenggak minuman keras dari botol saketih-nya, lalu memasang kuda-kuda. “kalau tak bisa mengalahkanku, argumenmu tadi semuanya percuma!”

Marikh merangsek maju. Dengan tergesa, Takase mengambil Tengoku yang tergeletak di lantai.

Detik itu pun, Takase baru ingat.

Ia lupa bagaimana caranya bertarung menggunakan palu.

***

Mengira semuanya akan selesai begitu Tian Lo tewas rupanya sangatlah naif. Chen yang sudah mengalami kepedihan karena melihat teman-temannya yang mati satu per satu, juga dikhianati, akalnya menumpul.

Kini kedai minuman itu kian ramai. Jumlah peserta dalam pesta bertambah. Andaikata pertandingan di jalan tadi adalah babak penyisihan, mereka yang lolos dapat maju untuk bertnding di sini.

”Cih!”

Takase Kojou, berlari di lantai empat kedai minum. Dapat dilihat dari lebam biru di pipi dan bercak darah di tepi bibir, ia terpojok. Kabur menjadi satu-satunya pilihan. Sementara Marikh, meskipun mabuk ia mampu berjalan cepat untuk menyusul.

Untuk deskrpsi kilat, kedai minum ini bernama Tiāntáng,yang dalam bahasa Cina berarti ‘surga’. Sejujurnya, karena sudah berada di ‘surga’ sekarang, Takase enggan pergi ke ‘surga’ yang sebenarnya sekarang.

Menyandang gelar sebagai kedai minum terakbar di Kota Liam, Tiāntáng memiliki lima lantai, dengan tiap lantainya memiliki luas yang cukup untuk menampung tiga keluarga besar sekaligus. Lantai pertama paling mewah, dengan tempat bartender meracik minuman memanjang di tepi ruang, puluhan meja dan ratusan kursi kayu yang dipelitur secara telaten, dan patung Liong (Naga) setinggi 10 meter di tengah ruangan, berbahan dasar batu. Sedikit memaksa memasukkannya ke dalam kedai, kepalanya saja bergesekan dengan plafon. Di bawahnya ada penyangga khusus berbentuk kubus kokoh, sehingga nantinya patung raksasa tadi mudah dipindahkan.

Lantai dua dan tiga sama saja, namun tanpa tempat bartender. Lantai ke empat adalah lorong-lorong serupa labirin sederhana yang penuh oleh kamar. Entah untuk pegawai, atau pengembara, juga pelanggan yang tak sadarkan diri karena kebanyakan minum semuanya ditampung di situ.

Hal tersebut Takase manfaatkan untuk bersembunyi sebentar dari kejaran Marikh. Niatnya menyusun rencana, tapi baru berpikir lima detik, ia selalu ditemukan oleh si Dewa Arak kolong langit.

Tekniknya disebut ‘pencak mabuk’, dimana seperti yang kalian lihat di film-film kung-fu, memiliki arah serangan yang sukar diprediksi. Saat menenggak dua botol alkohol, Marikh menjadi senang, fase ini bernama ‘Gerak Hadang 8 Penjuru’. Teknik-teknik Merak Merah yang Lim berikan tak ada yang mampu menggoresnya. Ia meliuk-liuk bagai angin musim gugur, dan memberikan serangan balasan secepat tupai berlari di musim kemarau.

Sekarang botol keempat sudah habis ditenggak. ‘16 Jurus Pelunas Dendam’ ditampilkan.

Disiplin geraknya terlupakan, reflek mengambil alih gerakannya. Pukulan serta tendangannya terlihat sangat ringan, tak menimbulkan suara. Hanya saja, tadi sebuah vas pecah dengan brutal saat kena pukul. Takutnya, kepala Takase akan berputar 180 derajat kalau kena pukul.

”Bagaimana ini!? Bagaimana!?” Batin Takase, berlari sambil menjilati lolipop rasa anggur.

Oh, tiba-tiba ide bodoh terlintas di benaknya.

”Reflekmu bagus.” Ucap Takase.

”Heh?”

”Tangkap!”

Dilemparnya Tengoku yang diseretnya dari tadi sekuat tenaga, melayang rendah di udara. Marikh reflek menangkapnya, dan keberatan. Jatuh.

”Hahahaha-Agh!!” Takase terpingkal, membuat lolipop di sela giginya jatuh.

Marikh melepas palu itu, memutar tubuhnya cepat untuk merobohkan Takase ke lantai. Dengan konyol sang target berhasil mencegah jatuhnya dengan posisi kayang. Tetapi, Marikh melakukan gerakan berputar lain, lalu menendang perut Takase dari atas. Membaringkan sang target.

”Uuurgh!!” Erang Takase, kesakitan. Perutnya menjadi mual, jangan sampai masakan Lim ia muntahkan. Ia tidak mau kehilangan energi. Buru-buru di ambil empat buah paku dari balik mantelnya, lalu dilepaskan begitu saja.

”Aaaaa?”

Marikh yang ingin bangkit merasa tangannya menjadi lebih berat. Ternyata empat buah paku menancap di lengan bajunya, memakunya di lantai. Gaya magnet kuat membuat paku-paku itu tepat sasaran.

”Second Target.” Ucap Takase.

Namun, tak butuh waktu lama untuk Marikh memecahkan masalah ini. Dengan badan lenturnya, ia menggeliat sedikit sembari berjalan ke belakang. Bajunya pun tanggal, mempertontonkan tubuh berototnya yang bau alkohol.

”B-begini. Sebelum menghabisiku mandilah dulu. Kalau dibunuh orang seapek dirimu, kematianku sama sekali tidak bermartabat.”

Ledekan itu tak Marikh gubris. Dilayangkannya pukulan ke arah wajah Takase, berniat membuatnya pingsan. Pukulan pertama, Takase muntah darah. Pukulan kedua, darah yang keluar lebih banyak, matanya berkunang-kunang. Akhirnya, diputuskan semua akan berakhir dengan injakan yang pedih. Sampai, insting pendekarnya merasa ada sesuatu yang mendekat.

Tapak Harum.”

Ledakan aura bunga mekar itu lagi. Diberikan dari jarak hampir nol, Marikh terlontar jauh ke belakang, terguling-guling dan terkapar.

”Bang Taka! Jangan mati, bang!”

Dengan susah payah, Takase membuka mata. Dilihatnya mata Harum yang berair di balik bingkai kacamata-nya, dan wajahnya yang penuh bercak darah. Takase pun mengucap kata terakhir.

”Resletingmu belum kau tutup.”

”Aye kan pakai baju Cina, bang.”

”Aduh, ngelantur.”

Harum langsung menampar wajah Takase berulang-ulang. Dan dampaknya sangat efektif. Tidak hanya matanya terbuka lebar, semangatnya pun terbakar, dengan amarah sebagai sumbunya.

”Sudah?” Tanya Takase, dengan wajah sakrastik.

”Hehe, sorry bang. Keterusan.” Balas Harum.

”Aku ingat sekarang.”

Takase dan Harum menoleh cepat. Secara ajaib, Marikh masih sanggup berdiri. Sambil meraba-raba dadanya, ia berjalan maju. Pendarahan dalam yang parah dialaminya, tapi untuknya mungkin ini bukan pertama kali.

”Kau.....sudah tak mabuk lagi?” Tanya Takase.

”Menurutmu saja gimana,” Ketus Marikh. Kemudian, ia memejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya. Tak salah lagi, mengatur tenaga dalam. “walau beberapa tulangku rasanya retak, kuberikan performa terbaik sebisaku!!!”

Harum langsung memberi isyarat agar Takase maju duluan, dimana dituruti begitu saja. Secepat mungkin Takase berlari, lalu mengambil Tengoku yang terletak di sebelah kaki Marikh. Gagang besi itu sudah di tangan, bersamaan dengan rasa ngeri....

Hawa Murni.”

.... dari sorot tajam Dewa Arak.

***

Lantai satu.

Lim dan Chen bertukar serangan berkali-kali, sengit. Lim dengan gerakan tangan yang cepat, dan Chen dengan kekuatan kaki yang kuatnya bukan kepalang.

Keduanya memiliki luka sama banyak, mungkin imbang. Biru, ungu, dan merah menghiasi kulit kuning langsat mereka.

Kehabisan ide, Chen mencoba bermain kotor. Dicomotnya benda-benda sekitar. Beling, kayu patah, garpu dan sendok besi, dilemparnya serta merta ke arah Lim. Sementara, bangku dan meja ia tendang dengan tenaga yang diatur sedemikian rupa agar dapat melesat seperti bola sepak.

Teknik Merak Terbang jelas menjadi penangkal untuk serangan asal-asalan begini. Namun, ruang untuk menghindar terus menipis karena di sekitar penuh akan pendekar-pendekar yang juga berkelahi. Bayangkan seekor ayam tiba-tiba terbang saat sabung akbar tengah dilakukan, pastinya pertandingan lain terganggu.

”Sadarlah!! Apa kau tidak sedih sama sekali.....setelah kematian teman-temanmu!!?” Seru Chen, yang masih belum berhenti memporak-porandakan sekitarnya.

Lim menunduk sebentar, lalu mendongak. “Tentu saja aku sedih!!” Lim berteriak, dengan bulir-bulir air mata mulai mengalir di pipinya. “Kau pikir hatiku ini terbuat dari apa!? Memang aku sangat marah.....Tapi, membunuh hanya akan membuat masalah baru!!”

”Terlambat!! Mereka yang mulai, akan kuakhiri!!”

Keduanya pun mempersiapkan serangan pamungkas mereka, sampai suara reot kayu berlebihan terdengar diatas mereka. Menoleh ke atas, kerusakan berbentuk retak-retak menyebar, menunggu waktu untuk hancur.

Mereka bergegas lompat ke belakang, sebelum dua insan jatuh dari sana. Takase dan Marikh. Barang sedetik mereka menggeliat kesakitan, sebelum bangkit dan kembali saling serang.

”Guru!!” Seru Sidya dan Roan, masih sibuk melawan beberapa pendekar Merak Merah.

”Murid-murid bandel! Biarkan keroco-keroco itu, bantu gurumu!”

”Siap!!”

Sidya dan Roan meninggalkan lawan awal mereka, mendekati sang guru.

”Tapak Harum!”

Lagi-lagi, ledakan beraura bunga semerbak diberikan, hanya saja berskala kecil. Sidya dan Roan terpaksa mundur menghindar.

”Pilih tangan kiri: rumah sakit, ape tangan kanan: kuburan?” Tawarnya sombong.

”Kau sama sekali tak terlihat mengancam bagiku!” Sabda Sidya.

”Wah, cantiknya-”

”LAWAN DIA, ROAN!!”

”Siap, tuan putri!!”

Awal dari akhir bermula.

Chen dan Lim yang dari tadi sibuk sendiri dicampuri urusannya oleh Marikh. Muncul di belakang Lim, Hawa Murni ia lancarkan.

”Semburan Kobra Putih.”

Sontak, kuda-kuda Lim goyah. Sistem koordinasinya terasa melemah. Mencoba menyerang pun gemetaran. Chen menyeringai, melihat kesempatan besar ini.

”Gaw-”

”Go Down.”

Tiba-tiba, badan Chen tertarik ke bawah dengan kuat. Tepatnya, bajunya sendiri yang menariknya.

”Diam sebentar disana.” Sindir Takase, berjalan melewati Chen sambil memutar-mutar palunya.

Marikh geram melihat hal ini, ia coba salurkan dengan melayangkan tendangan keras ke arah Lim. Tapi, lajunya terhenti setelah Harum menyilangkan kedua tangannya untuk melindungi Lim.

”Oi! Bantuin Lim!” Seru Harum. Marikh mengulang tendangannya, melemparkan si gadis betawi ke meja.

”Bagus, gur-”

”Anak kecil diem aja.”

Sidya merasa bajunya tertarik ke lantai. Rupanya, Takase menggunakan Go Down juga untuk anak ini. Persis gurunya.

Semburan Kobra Putih.” Sidya menyemburkan aura putih dari mulutnya.

”Aduh!”

Takase hilang keseimbangan, hampir terpleset karena salah pijak. Benar-benar persis gurunya. Cuma lalu lalang dari tadi, Roan pikir Takase sebenarnya berbahaya. Roan akhirnya melompat ke arah Takase, memberi pukulan dan tendangan membabi buta, dimana Takase menghindarinya cuma dengan lompat pendek-pendek ke belakang.

”Walah, dipakai lompat masih bisa rupanya.” Celetuk Takase.

Roan sebal, kembali maju. Tapi ia merasa ditarik ke depan, oleh lengan bajunya yang berubah jadi magnet. “Come Here,” Bisik Takase, sebelum bergeser ke kanan, membuat Roan menabrak dinding di belakangnya dengan keras. Pingsan seketika.

”Sidya! Roan!”

”Roan kalah, Guru!!” Seru Sidya, masih tak bisa melepaskan bajunya dari lantai.

Marikh ingin langsung menghajar Takase, hanya saja ia yang tidak mabuk jernih pikirannya. Tujuan utamanya adalah Lim. Ia langsung menoleh ke arah pendekar berdada rata tersebut, tengah digotong menjauh oleh Harum.

”Oh...S-sial!!”

Takase gagal menyusul Marikh. ‘Semburan Kobra Putih’ Sidya memberinya dampak signifikan. Kakinya gemetaran saat mencoba lari. Ia akhirnya memutuskan duduk di kursi. Dikeluarkannya sebuah paku dari balik mantel.

’Kumohon, tepat sasaranlah!’, batin Takase sebelum melesatkan paku itu. Paku tersebut tertancap di betis Marikh, membuat si empunya mengaduh kesakitan. Penutupan Gerbang Merah, jurus Hawa Murni lain digunakan. Paku itu keluar sendiri, dan Dewa Arak kembali mengejar Merak terluka dalam tumpangan yang punya jalanan.

”Bi-bisa gitu ya.”

”Cukup main-mainnya, keparat!!!”

Chen bangkit, merobek paksa pakaiannya murni dengan tenaga. Disapunya dada bidang dan perutnya yang serupa roti sobek, bertujuan mengintimidasi Takase.

”Maaf, no homo.”

Ledekan lain dari Takase, berbeda orang sama balasan : tak digubris. Chen berjalan cepat, memusatkan tenaganya di kaki kiri untuk memberikan tendangan pemecah karang berkekuatan badar.

Reflek, Takase mengeksekusi ide bodoh lain, dimana nyawa menjadi taruhannya. Bahkan, nyawa Lim dan Harum Kartini. Tapi, tak ada pilihan lain.

Patung Liong yang berada di tengah ruangan. Tepatnya, sekitar empat meter darinya. Kalau diperkirakan, maka.....

”Pergilah ke neraka!!!”

Tendangan pemecah karang ditujukan ke daerah dada Takase. Dengan selisih yang tipis, Takase sengaja menjatuhkan badannya sendiri ke samping. Diayunkannya pelan Tengoku ke celana Chen, merubahnya menjadi magnet.

”Yang akan ke sana adalah kau. Naik Naga!!!”

Tengoku di lemparkan ke arah penyangga patung naga itu. Lumayan keras, berhasil membuat patung naga itu bergeser sedikit dengan suara mengerikan. Tapi, tujuan utamanya ialah membuat penyangga itu menjadi magnet.

Dengan dorongan kecil dari Tengoku, jarak Chen dan Patung Liong menjadi kurang dari tiga meter. Kaki baja Chen melesat ke arah penyangga itu, membuatnya bengkok, dan patung Liong itu pun tumbang.

Suara peringatan tadi cukup untuk membuat para pendekar yang sedang bertanding kabur menghindar, terkecuali Chen yang berada tepat di bawahnya. Melekat bagai magnet. Patung dari batu itu semakin dekat, Harum membopong Lim dan melompat. Sedangkan Chen?

”Persetan dengan semua ini! Persetan-”

Sumpah serapah Chen berakhir, bersamaan dengan hidupnya. Keheningan pun memenuhi kedai, melihat peristiwa barusan.

Domba-domba cilik kemudian masuk, melewati badan-badan para pendekar yang diam mematung. Salah satunya ditunggangi oleh Mahapatih Seno.

”Harimau Putih....semuanya sudah kuringkus!!” Serunya girang. Seluruh pendekar menatapnya heran.

”A-apa?” Lanjutnya, polos.

”Oh, Izzy! Aku sampai lupa ada kamu.”

Sapaan Takase Izzy jawab dengan embikan. Kemudian, Izzy pergi ke depan kepala patung naga, lalu membuka portal di sana. Parodi ‘Enter The Dragon’, sepertinya?

Domba milik Marikh juga membuka portal. Rupanya, walau kalah ia masih diizinkan untuk kembali ke bingkai mimpinya, walau mungkin nilai karyanya akan jelek, dan jadi patung haniwa. Bersama Sidya dan Roan yang pingsan, Dewa Arak kembali ke kayangan. Doma Harum juga membuka portal.

”Aye duluan, ye bang Taka! Bang Kerispatih!”

”Mahapatih!”

”Iya, itu.”

Setelah keempat manusia itu ditelan oleh portal diikuti dengan sang domba, celah dimensi itu lenyap.

”Jadi gak enak soalnya gak ngapa-ngapain.”

”Gak papa Seno, itulah gunanya figuran.”

”Bangsat.” Seno pun pulang.

Padahal portalnya dibuka pertama, malah Takase yang pulang belakangan. Ia melangkah maju, lalu memakai sabuk perguruan Merak Merah di pinggang yang ia temukan.

“Kemenangan Merak Merah!!”

Sorak sorai gembira memecah keheningan, para pendekar Merak Merah melompat-lompat bagai mahasiswa setelah diwisuda.

”Apa kamu mau membawanya sebagai suvenir?”

Lim menghampiri Takase, walau jalannya tertatih, ia paksakan. Rasa terimakasihnya tidak sedangkal itu.

”Iya. Dadah!” Balas Takase singkat, mengeluarkan wafer coklat dari balik mantelnya. Bersiap pulang.

”Tunggu.” Lim menarik lengan baju Takase.

”Walau caramu mengakhiri ini semua tidak terlalu ‘damai’, aku sangat berterima kasih. Entahlah kalau kau- maksudku kalian tidak datang, bagaimana jadinya.”

”Yah, yang kami lakukan cuma bikin kacau sih.”

Lim tertawa kecil. Ditatapnya punggung sang pahlawan yang gagah. Dimana kalau dilihat dari depan cuma tukang makan. Tiba-tiba, ide bodoh ketiga hari ini terbesit di benak Takase.

”Lim, aku butuh kau ajari seni bela diri Merak Merah.”

”Eh?”

Kemudian, sang gadis diseretnya ke arah portal, meninggalkan pendekar-pendekar dalam ruangan itu dengan tanda tanya besar di atas kepala.

[1 - Gesu no Kiwami Otome (Lady On a Height of Rudeness) - End]

25 komentar:

  1. "Wuh, curang ya, aku disini harus bertarung dengan 3 reveriers lainnya. Satu lawan tiga dong."
    -Marikh

    +PROS
    +Humornya sungguh sangat menghibur, yang paling lucu kebetulan malah waktu Marikh nunjukin badannya yang berotot. Padahal dia cungkring loh, bobotnya cuma 50-60an kg :D juga waktu Sieg gak diajak dan kejatuhan tai burung, oh, dan juga waktu Harum nambahin 'haiya', biar afdol wkwkwk
    +Chen disini kejem bangettt, asli keren penyampaiannya, apalagi waktu nyepak kepala Tian Lo.
    +Penyampaian atmosfir setempat yang mendetil, di entri saya nih kurang yang begituan *pondok pesantren* *ngakaks*
    +Penghayatan karakter Sidya dan Roan udah tokcer. Salut!

    -CONS
    -Ada typo, tapi tidak begitu mengganggu.
    -Rada-rada miss gitu setelah awal. Kayaknya ada bagian yang kepotong, deh. Entahlah ya.
    -Pacenya haduh cepet banget. Dikejar deadline ya? Sama. Pingin skimming apalagi waktu pak tua pengantar susu. Tapi saya berhasil menahan keinginan itu *hore*

    Skor 8 buat Takase~
    btw, itu Lim diculik mau dijadiin sub-OC sekalian kah?

    TTD
    Dewa Arak Kolong Langit
    (Mampir dilapak ane gan)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo~ Halo~ (?)

      Walah, jujur saya lupa gak baca deskripsi badan Marikh, jadi nulis apa yang jadi bayangan aja. Btw, prelim saya cuma 2k+, dan r1 sudah 9k+, tapi masih fast paced aja ya, saya bener-bener gak bisa ditolong(?)

      Dan yah, memang saya sendiri kerasa banyak yang janggal Karena nulisnya cepet-cepetan, jadi cuma edit sekenanya aja.

      Makasih sudah mampir, nanti ku datang ke lapak anda. <(")

      Hapus
  2. Senangnya tim brawler masuk ke dalam entry wajib ane x'D
    Aduh, sial.. finggang ane ngorbit lagi! Akakaka!!
    #ditabokin#

    Ada beberapa narasi yang ga selesai dan beberapa typo. Lalu untuk pengetikan tip(bayaran bonus) ga pake huruf s btw.
    Tapi ane suka material yg dipake buat komedinya. Dari Poke-Go, download serial. bahkan soal deadline pun dibawa-bawa

    Haduh. Ane suka ini pasangan Seno Takase (bukan pasangan Yaoi yah. Ane bukan fujo)
    Klop dah komedinya. Ane ngakak terus tiap Kartini bilang 'Haiya' x'D

    Good luck
    ---------------
    Rate: 9
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks. Dan ya, komedi ngehit bagimu banyak yang beda dari punya marikh, baguslah saya masukin 2 Jenis komedi disini. /slap

      Takase sama Sieg juga kurang lebih gitu, tapi lebih kacau. (?)

      Good luck for u too, I'll read yours later.

      Hapus
  3. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : B
    Overall character usage : B
    Writing techs : B
    Engaging battle : A
    Reading enjoyment : S

    Tergemap ini maksudnya termegap"?

    >”......Download dimana?”
    >”RyuzakiLogia.”
    >Lalu, mereka berdua tos.

    >Tiba-tiba, seorang pendekar wanita masuk ke jarak pandang mereka. Jika ditaksir, umurnya sekitar 22 tahun. Dan yang menjadi fokus mereka adalah dada. Yang ada lambang Merak Merah.
    >”Kau memikirkan apa yang kupikirkan?” Tanya Seno.
    >”Dasar mesum.” Jawab Takase.

    ^momen" singkat kayak gini, alamat email Zainurma, Ba Chot Lu, Marikh yang dari awal cari" toilet, An yang berusaha narik perhatian Lim, 'dikejar deadline'... kalo di-list entri ini beneran kayak tambang comedy gold. Jarang" saya bisa ketawa lepas sepanjang baca entri r1. Fresh rasanya nemu entri yang emang sengaja dibuat ringan dan santai kayak gini. Bener" kayak ga usah mikir bacanya, ngalir aja terus dari awal sampe akhir

    Dan terakhir, ini dialog yang seal the deal kalo saya ga perlu komen lebih banyak lagi

    >”Jadi gak enak soalnya gak ngapa-ngapain.”
    >”Gak papa Seno, itulah gunanya figuran.”
    >”Bangsat.” Seno pun pulang.

    ==Final score: A (9)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
    Balasan
    1. P.S.: Kalo aja empunya Jane Cho masih berlaga di turnamen, dia pasti bakal seneng sama entri macem gini

      Hapus
  4. Tergemap = tercengang; tertegun; kaget dan bingung. Found it in KBBI.(?)

    Yah, sudah kebiasaan nyelipin joke sama dialog tolol untuk komedi. Jadi ya, kalau sesuai selera syukur, deh. Dan ya, awalnya mau dibikin agak muter otak di akhir, tapi karena deadline, masuknya jadi gini.

    Jadi, terima kasih!'^')7

    BalasHapus
  5. Buset, baru disuguhin entri sengklek, muncul lagi entri sengklek lainnya. Wkwkwkwkwk.

    Santai, ngalir, dialog-dialognya sengklek. Dan ini yang paling bikin saya ketawa.
    ”Resletingmu belum kau tutup.”

    ”Aye kan pakai baju Cina, bang.”

    ”Aduh, ngelantur.”

    Sulit dilukiskan sama kata-kata. Saya cuma bisa bilang, saya baca Wiro Sableng Modern ditambah bumbu dunia persilatan ala film-film Sammo Hung. Gitu aja sih.

    Entri Sengklek kayak gini layak dapat nilai 9 (y)

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mbah, itu joke callback dari prelim. Mbah gak lupa kan? Gak lupa juga kan traktiran tahu bulatnya? xD

      Hapus
  6. Narasinya asyik dan lumayan variatif, ga make kata2 yang berulang kayak beberapa entri yang udah kubaca. Sejak awal baca aku menikmati banget gaya narasi begini.

    Anjer wkwkwkwk. Humornya asli asik banget, di tengah gaya narasi serius gini semuanya bikin ngakak. Aku ga bisa point out bagian mana aja yang kusuka karena kebanyakan, asli kebanyakan joke aku beneran suka sampe ngakak beneran XD

    Zyuman lol. ZyuohGer reference :v EX-AID KAPAN RILISNYA!? BELUM WOI! Wkwkwkwk anjer lah toku-reference nya bikin aku seneng, apalagi bahas2 RyuzakiLogia segala. Ini yg ngerti cuma segelintir wkwk XD

    Saigou no Kibou da! Ada referensi Wizard juga wkwkwkwkwk. Sumpah ya ini kayaknya yg ngerti cuma yg beneran nonton toku apa ya XD

    Tadinya kukira setelah dalangnya mati, udah. Ternyata malah lanjut XD antiklimatik soalnya kalo dalang pertempurannya mati gitu aja di situ. Syukur deh ternyata dilanjut, meski alasan bertarungnya agak aneh buatku tapi ketutup sama serunya battle di sini.

    Agak ke belakang mulai garing tapi, mungkin karena agak kontras di tengah battle yang lumayan seru jadi jokeny ketutupun dan jadi agak gak lucu lagi. Tapi masuk akhir jokenya berasa lagi. Sumpah pas bagian Seno itu juga kocak banget XD

    tl;dr

    Tokusatsu Reference nya kuat, tapi meski begitu bisa menghibur gak cuma yg nonton doang. Keren. Joke-nya di luar Toku juga luar biasa. Di luar itu, battle-nya pun asyik diikutin. Jarang banget nemu entri yang bisa bikin ketawa renyah tapi dengan cerita yang tetep bisa dinikmatin. Biasanya kalo kocak, ceritanya gak gitu enak diikutin atau sebaliknya.

    Sukses besar. Tadinya mau 9/10, tapi karena ada sekelumit referensi tokusatsu jadinya kutambahin satu deh untuk menghargainya XD

    Perfect score for you, 10/10

    ~Pencipta Kaleng Ajaib

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenanya saya masukin yang lagi fresh disini, mulai album USG yang baru sampai Ex-Aid itu. Anggap saja sudah rilis. So, kamu nangkep semua joke tokusatsunya, hahaha xDb

      Soal joke garing, emang itu resikonya(?)

      Dan menurutku, alasan ngelanjutin bertarungnya itu manusiawi(?) kok, mengingat temen Chen banyak yang mati dan dia tau sumber masalah dengan pasti, ya ngamok lah(?)

      Dan, makasih nilai 10-nya *~*)7

      Hapus
    2. Asli, kalo tau kamu bakal masukin referensi tokusatsu aku bakal baca ini duluan XD

      Sama2 btw

      Hapus
  7. Untung aja saya juga ngikutin Toku
    Style Parodi gini selalu bikin saya H2C, harap harap cemas. Apakah nanti sukses apa fail. Dan sepanjang saya baca saya bisa bilang ini sukses. Selamat ya~!

    Nilai dari William A. Anderson : 9

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat-selamat(?)

      Jokes toku-nya tak lain tak bukan karena ada Seno disini.

      Hapus
  8. Mantap! Parodi dan refrensinya melayang mulus. Pace cepat tapi tidak menggangu pembangunan konflik dua peruguruan silat yang akhirnya pecah menjadi pertarungan klimaks yang epik.

    Sedikit kasihan sama Seno yang cuma jadi figuran.

    Nilai 9~

    OC : Begalodon

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak yang bilang pace cepat ya, saya beneran harus belajar ngatasin itu. :')

      Biarlah, itu gunanya figuran(?) Lagian Seno sudah berhasil meyakinkan pihak Merak Merah, dan menyelamatkan Izzy si domba lucu nan menggemaskan-(ngelantur)

      Hapus
  9. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Sangat Baik = 2
    Enjoy : Sangat Baik = 2
    EYD : Baik = 1,5
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 2 + 2 + 1,5 + 2 = 9,5
    Karena tidak boleh koma jadi dibulatkan jadi 10

    Ngakak juga bacanya.
    Baca entri ini mengingatkanku pada film-film pendekar mandarin
    Terus itu si Lim mau jadi Sub OC gitu?
    Poin EYD turun karena ada beberapa typo.

    NewbieDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks for the ten. xDb

      Iya, lim bakal jadi sub OC. Bukannya asal ambil kok, karakter perempuan saya butuhkan untuk cerita, dan beralasan banget kok. Kalau lolos r2 nanti, saya jelasin di entri. Xd

      Hapus
  10. Karakter Takase rada stereotip, tapi berhasil dibawakan dengan bagus. Jadinya tetep keren. Narasinya juga lancar, satu dari yg bikin saya paling nyaman di antara entri lain yg udah saya baca. Ini kayak poin paling penting buat saya personal sih.

    ada dialog yang begini “—!” sama “….” yang kalo menurut saya wagu banget. mending dideskripsiin aja kalau si tokoh lagi terdiam membisu

    Nilai 8

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kata saya sih bukan stereotip lagi. Karakter tukang makan gausah diomong banyak banget, apalagi yang mulutnya blak-blakan. Di bor sering banget ya, tapi Takase ini sudah ada dari lama dan gak berniat saya ganti sifatnya :)) /curhat(?)

      Hapus
  11. BHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHHA

    Sejauh ini, inilah entri terngakak yang saya baca di ronde 1! Gila parodi nya bener bener mulus.

    Hal yang selalu saya bahas adalah pembawaan/narasi dan disini hal tersebut sangatlah enak dibaca, benar benar memuaskan!

    Nilai 9!

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang kurang sih hanya klimaksnya saja, kalau diimprove lagi pasti sempurna... tapi semuanya ketutupan sih xD (sampe saya lupa untuk mencantumkan minusnya di komen atas kan)

      Hapus
  12. Entri yang mudah dibaca dengan banyak jokes ringan bertebaran, asyik banget buat dibaca! Pembawaan parodinya nggak berasa canggung, adegan fighting juga seru, pokoknya asyik!

    Nilai dari saya 8
    OC : Catherine Bloodsworth

    BalasHapus
  13. Waduh ini si Harum kocak banget tingkah lakunye dimari,,eheheh,,,pas bagian nawar pakai haiya..lalu adegan lainnya juga,,udah pas banget deh karakternye.

    Cerita persilatan dimari nih oke punya kalo aye boleh kata,,diselipin dikit misteri detektif gitu ngungkap pelaku...tapi bagian itunya diakhirin pakek nendang kepala sampe pecah,,WADUH! Terus mereka ribut lagi

    Secara keseluruhan nih Bang,,aye ngerasa kehibur banget. Dan keliatan kalo ini ngerjainnye lebih niatan daripade cerita aye sendiri,,hehhwhehe

    Joss deh. Ponten 10 dari aye,,karakter si Harum wangi berbaju china

    BalasHapus
  14. cerita ini lucu dan ringan. sampe toiletnya dijelasin detail gitu saya lebih suka daripada prelim. tapi alurnya jadi berasa lambat. karakterisasinya beneran kerasa di sini. sepertinya grup ini isinya orang-orang konyol.

    jadi sumber pertikaiannya pihak ketiga ya. jd di sini nggak apa adanya dua faksi aja. tp meskipun udah ketahuan masih saja konflik tak bisa selesai begitu aja. 9

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.