Kamis, 02 Juni 2016

[PRELIM] 31 - GHOUL | NAMAE NO NAI KAIBUTSU

"NAMAE NO NAI KAIBUTSU"
(Monster "29 Februari" Tanpa Nama: si Dua Puluh Lima Juta)

(by: Arieska Arief)


*Lanjutan FBC: 29 February (kalo gak salah sih entri ke-15!)
**NB: mengandung fanservice ringan khusus wanita dewasa (B.OT)





29 Februari…


"Bakar! Bakar mahluk itu sekarang juga!" gemuruh pekikan massa desa turut membakar suasana malam itu di sebuah lapangan eksekusi.

Suara derikan api membungkus mahluk berwujud manusia itu. Ia meraung-raung dan menggeliat berusaha membebaskan dirinya dari api yang berkobar penuh memenjarakannya. "Arrrrrrrrrrrrrrrrgggggggggggghhh!!!" 

Tubuhnya yang terikat di pohon membuatnya tak berdaya menekan laju api di sekujur tubuhnya. Mahluk itu hanya bisa menjerit-jerit kepanasan.

"Kau memakan mereka yang lahir pada tanggal 29 Februari itu hanya demi meningkatkan ilmu hitammu, dasar ghoul!"

Mahluk yang memiliki goresan merah di sekitar mata kirinya itu menatap tajam massa di sekelilingnya dengan api dendam. "A-aku… aku terpaksa memakan mereka yang memiliki tanggal lahir yang sama denganku itu agar penyakit asma yang kuderita sejak kecil sembuh! Goresan merah di mataku ini adalah buktinya. Ingat, ya! Aku akan balas kalian semua… aku… aku akan lahir kembali dalam tubuh anak-cucu kalian yang lahir setiap tanggal 29 Februari ini! Di tanggal kelahiran sekaligus tanggal kematianku ini, akan menjadi mimpi buruk bagi kalian semua… jiwaku akan terpecah… aku akan membagi jiwaku pada mereka yang terlahir di tanggal ini dan aku akan bangkit memakan keturunan kalian semua hingga tak tersisa! Aku akan mengutuk! Aku kutuk distrik tercinta kalian ini! Wahahahahahahahahahahaha!!!"

Kutukan itu membuat wajah para penduduk desa memucat. Meskipun pada akhirnya ghoul itu mati hangus terpanggang api, mereka belum bisa tenang.

"I-ini artinya… kita tak boleh membiarkan ada anak yang lahir pada tanggal terkutuk seperti ini. Bagaimana ini?!"


"Ini adalah mimpi ke-61 yang kudatangi!" Sang kurator dengan antusias menyelusuri alam mimpi yang didatanginya itu. "Kita lihat saja. Apakah orang ini layak untuk ditandai sebagai peserta atau tidak."

Pria berambut rapi seperti mafia itu kemudian memandangi sekelilingnya. "Wah! Permulaan yang menarik. Kira-kira siapa pemilik mimpi ini?" Ia merapikan letak kacamata hitamnya kemudian mengecek sebuah catatan. "Mari kita pelajari dulu datanya!"

"DISTRIK KABUT ASAP adalah tempat kelahirannya & Underground City of Genocide adalah nama wilayah penjara tempatnya ditahan—masih berada di Distrik Kabut Asap juga (kayak Nusa Kambangan begitu, loh). Dulunya distrik ini bernama Underground City of Genocide, mengingat dulu di tempat ini banyak orang mati dimakan oleh si pemakan mayat (ghoul), namun setelah ghoul itu dibakar habis maka distrik itu dijuluki Distrik Kabut Asap karena asap bekas pembakaran ghoul itu masih tersisa."

Pria berjanggut itu memandang sekitarnya kemudian membenarkannya. "Benar juga, ya! Kabut asapnya lumayan tebal juga. Sepertinya aku harus membuka kacamataku dulu." Ia pun membuka kacamata gayanya dan kembali menekuni datanya.

"Distrik Kabut Asap adalah wilayah yang dikutuk oleh ghoul yang pernah dibakar hidup-hidup oleh massa di sana ratusan tahun yang lalu, pada tanggal 29 Februari (dulu nama daerah ini Underground City of Genocide karena dikenal sebagai tempat pembantaian oleh ghoul itu). Wilayah ini terus berkabut asap meski sudah tipis karena sudah lama dan hal ini terjadi karena proses pembakaran ghoul itu masih terus berlangsung hingga saat ini (saking susahnya habis dibakar, kayak plastik aja). Makanya sinar mentari tampak redup sinarnya dari wilayah ini. Tanahnya berupa pasir selembut bedak bayi dan itu sebenarnya merupakan abu pembakaran ghoul itu, kecuali di bagian kotanya yang sudah beraspal. Karena ghoul 29 Februari dibakar di tepi hutan, maka pohon-pohon di sana masih ada yang terbakar namun tak habis-habis. Tanah pasir di sekitarnya pun terdapat api-api kecil di celah-celahnya."

Kali ini ia memandangi pepohonan di sekitarnya yang masih terbakar-bakar kemudian mengangguk-angguk sendiri. Kembali lagi matanya menekuni data dan matanya menyipit kebingungan. "Namanya kok gak ada?"

Ia mencari-cari nama si pemilik mimpi itu di tiap lembaran data yang dipegangnya. Namun tiba-tiba saja pegangannya terlepas begitu membaca sebuah kalimat: Warning! Tiap ulang tahun, maka kekuatan ruh ghoul dalam tubuh anak kelahiran 29 Februari ini akan meningkat dan bertambah kuat. Mereka bahkan bisa mengunci dan mengurung siapa pun yang memasuki alam mimpinya diam-diam.

Pria itu terperangah syok, kemudian mencari-cari rekannya. "Huban? Huban! Oi, di mana kau, Huban?!" pekiknya sambil melayangkan pandangan ke sekitarnya. Namun yang dicari-carinya itu tak nampak juga. "Sial! Di mana si kepala bantal itu?! Aku tak mau sampai terkurung di sini! Hubaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnn!!!"

***

Seorang pemuda belia—berambut kuning (pirang) kusam, kucel, lepek, acak-acakan, tak terawat, bau matahari, dan agak gondrong tak beraturan di bagian poninya untuk menutupi bekas luka bakar di sebelah kanan wajahnya itu—tertegun menatap refleksi eksekusi mati mahluk yang disebut ghoul itu. Akhirnya ia bisa menyaksikan juga latar belakang mengapa ia bisa mewarisi kekuatan ghoul itu.

"Ya Tuhan, mengapa Engkau juga menghukumku atas dosa-dosa mahluk itu?" Sorot mata tajamnya lalu terlihat sendu. Terlihat jelas tanda lahir 29 Februari berupa goresan di mata kirinya. Tanda lahir itulah yang membuatnya jadi buruan banyak orang, termasuk—

"Ghoooouuuulll!!!" raung berang seseorang yang kemudian berlari menyerangnya dari belakang. Trep trep trep trep trep…

Pemuda itu melebarkan matanya. "Suara itu kan…" Ia yang merasa mengenali suara itu kemudian membalikkan badan, namun terlambat begitu—

Bugh! Sebuah bogem mentah tak tanggung-tanggung mendarat ke pipinya. Ghoul terjerembab. Belum sempat ia mengangkat wajah untuk mengecek si penyerangnya itu, tendangan susulan kembali diterimanya di perut dan di dada berkali-kali. Duagh! Duagh!!

"Ukh!" Ghoul yang belum bisa memberi perlawanan berarti hanya bisa muntah darah di tendangan ke-9.

"Hosh-hosh!" Si penyerangnya terdengar ngos-ngosan karena capek mengayunkan tendangan. Deru napasnya terdengar berapi-api. "Mampus kamu!" pekiknya tanpa ampun.

Capek menawarkan tendangan, orang itu ganti mencengkram kerah baju Ghoul dan menyeretnya berdiri dengan kasarnya. Ghoul malah berterima kasih karena diberi kesempatan untuk melihat jelas siapa orang itu. Akhirnya ia bisa menatap mata mendidih itu lagi.

"Mahesa?" lirih Ghoul syok.

Mahesa tersenyum bengis. "Kenapa? Kaget?" sinisnya. "Kamu kaget kan melihat aku masih hidup, bajingan?!" pekiknya lagi sambil menekuk lututnya dan menghantamkan dada Ghoul ke lututnya.

Bruk. Ghoul tersungkur dan terkulai tak berdaya di tanah. Matanya tampak redup. "Mahesa?" bisiknya. Namun di sela-sela ringisan kesakitannya, ia tersenyum tipis. "Terima kasih, Tuhan…"

Tak lama, Mahesa menjambak rambut Ghoul. "Kenapa kau tak melawan, bangsat?!" teriaknya lagi.

"Sabar, Kawan," ucap Ghoul tenang sambil berusaha melepaskan jambakan Mahesa. Tapi jambakan Mahesa semakin menyakitkan seolah dia juga ingin menguliti kulit kepala Ghoul.

"Kau benar! Kenapa juga ya waktu itu aku tak mendengarkan saranmu untuk segera membunuhmu?!" Mahesa lalu ganti membalikkan tubuh Ghoul kemudian menindih dan mencekiknya dengan satu tangan.

Ghoul malah menatap Mahesa yang menduduki perutnya dengan tenang. "Boleh aku bicara, Kawan?"

Mahesa tak mengencangkan cekikannya sedikit pun meski wajah garangnya tak memudar.

"Mahesa, benarkah ini kau? Kau masih hidup?" Ghoul tak bisa menahan senyum kegembiraan di bibirnya yang berlumuran darah hingga membuat Mahesa mengernyit. Ghoul tertawa kecil bahagia. Matanya tampak berkaca-kaca—terharu.

Mahesa tertegun kemudian mengangkat tangannya dari leher Ghoul. Ia beranjak dari tubuh Ghoul dan menjauh beberapa langkah. Senyum tulus yang tak dibuat-buat terulas di bibir Ghoul.

Namun tak lama, Mahesa tampak termegap-megap sambil memegangi dadanya. Bruk. Mahesa yang mengalami sesak napas kemudian jatuh bersimpuh. Ia masih berusaha untuk bernapas dengan baik. Suara napasnya malah semakin berat. Tangan sebelahnya tegak lurus ke tanah agar ia tak sampai tumbang.

"Kau baik-baik saja, Kawan?" tanya Ghoul dengan nada cemas. Ia berusaha untuk bangkit dengan susah payahnya dan tertatih-tatih menghampiri Mahesa sambil memegangi sisi perutnya yang sakit habis.

Bruk. Ghoul menjatuhkan tubuhnya dalam posisi bersimpuh pula. Kemudian ia menepuk bahu Mahesa. "Aku tahu kau marah sekali dan sangat membenciku karena ini."

Mahesa mendelikinya sambil berusaha mengatur napasnya.

"Tapi sekarang kau sudah sama sepertiku."

Mahesa langsung menepis tangan Ghoul dari bahunya. "Najis ya disamakan dengan monster sepertimu! Singkirkan tangan najismu dariku. Cuih!"

Ghoul tak terpengaruh dan tetap menatapnya teduh. "Ambil napasku."

Mahesa mengernyit dalam-dalam. "Apa? Kau serius?"

"Ambil sebanyak yang kau mau…"

***

Mahesa membuka matanya dengan napas lega. Ia terbangun di kamar perawatannya yang serba berbau obat-obatan dan terduduk dengan mata teduh. Ia tampak merenung sejenak sambil memegangi dadanya yang terasa plong. "Anak itu bersungguh-sungguh…"

Mahesa melirik sisi perutnya yang sudah diperban. "Panah itu beneran obat?" Kemudian ia menjulurkan kakinya ke lantai dan meninggalkan ranjangnya. "Di mana dokter itu?"

Tak lama Mahesa pun memberanikan diri membuka pintu kamarnya dan keluar ke koridor mencari-cari dokter itu. Matanya celingukan ke sana-kemari. Yang terdengar di koridor itu hanyalah gema langkah kakinya seorang. "Sepi sekali. Ke mana yang lainnya?"

Matanya kemudian terpaku begitu melihat sebuah kamar di paling pojok sana. Ia terhenti sejenak memandangi kamar itu. Asap tipis tampak menyelinap keluar dari cela pintu kamar. Mahesa mengernyitkan keningnya. "Banyak sekali asapnya," komentarnya sambil melangkah perlahan. Semakin dekat, ia malah mencium bau asap. "Ng? Asap rokoknya sampai sebanyak ini? Apa orang di kamar ini baik-baik saja?"

Karena cemas, ia lalu berniat untuk mengetuk pintunya hendak menegur si pemilik kamar, namun—

"Jangan dekati kamar itu!" cegat sebuah suara yang dingin. Mahesa menoleh ke belakang dan melihat dokter cantik bermimik sedingin es itu.

"Dokter Anis?" Mahesa menyebut namanya. "Tapi ini kamar siapa? Pasien juga?"

"Menjauhlah dari sana kalau kau tak mau kenapa-napa. Demi kebaikanmu sendiri." Dokter misterius itu kemudian melangkah pergi.

Mahesa menurut dan mengikutinya. Namun sebelum menjauh, ia kembali melirik kamar misterius yang masih berasap-asap itu penuh kecurigaan. Kamar itu tampak digembok rapat. Kenapa?

***

 "Oek-oek!"

Tak ada yang menyambut gembira kelahiran bayi laki-laki itu. Semuanya menatap bayi tak berdosa itu dengan wajah muram.

"Ini pertanda buruk!" pekik seorang pria dengan nada frustasi. "Kenapa ada anak yang lahir di tanggal sial seperti ini di keluarga kita?"

Yang lainnya hanya bisa menghela napas putus asa.

"Tapi kalau kita buang anak ini, bagaimana dengan Suri?" pria yang tampaknya kepala keluarga itu menatap istrinya yang masih tak sadarkan diri setelah melahirkan.

"Kita bilang saja anaknya mati saat dilahirkan. Daripada kita dihantui kesialan terus jika memelihara anak ini."

"Ya! Kalian benar. Semoga saja di kehamilan berikutnya, Tuhan mau memberikan kita anak yang lebih baik lagi daripada bayi ini dan… tentu saja tanggal lahirnya bukan di tanggal 29 Februari…"


"Ukh?" Ghoul terbangun sambil mengerang di area gang sempit yang kotor. Tubuhnya tampak babak belur. Ia kemudian terduduk sambil memegangi kepalanya yang masih terasa berat. "Sepertinya untuk beberapa hari ini aku tak boleh tidur. Anak itu sangat menginginkanku dengan melacakku melalui alam mimpi kami yang berhubungan. Itu karena darahnya memiliki cairan suntikan yang berasal dari igaku."

Tak lama, ia lalu tersadar. "Eh? Mahesa? Masih hidup?"

"Baru sadar?" respon sebuah suara di sisinya.

Ghoul menoleh dan mendapati si kepala bantal di sana. "Kawan? Kau…" Dengan antusiasnya ia kemudian mencengkram kedua bahu Ratu Huban. "Kawan, apakah Mahesa di alam mimpiku itu hanya bunga tidur atau—"

Ratu Huban menganggukkan kepala bantalnya. "Ya! Ia masih hidup beneren."

Ghoul mengembangkan senyum bahagianya lebar-lebar. "Benarkah?! Syukurlah!"

"Ck! Kenapa kau kelihatan begitu senang? Sepertinya ia sudah memukulmu terlalu keras, ya?"

Ghoul melepaskan Ratu Huban. "Bagaimana aku tak senang? Aku lega karena aku tidak membunuh temanku. Dan rasa sakit ini membuatku bersyukur karena aku bisa merasakan pukulannya secara nyata. Rasanya… rasanya aku ingin buat pesta syukuran di sini!"

"'Teman'? Kau masih menyebutnya sebagai 'teman'?" sinis Ratu Huban. "Sadarlah! Dia itu berniat membunuhmu, tahu? Makanya ia kembali ke alam mimpi."

Senyuman Ghoul memudar begitu menyadarinya. Sorot matanya berubah sendu seketika.

"Dan itu juga berarti penyakit menyesakkanmu akan kembali menyengsarakanmu sewaktu-waktu."

Tapi Ghoul berusaha untuk tersenyum meresponnya. "Sudahlah. Tak apa. Yang penting ia baik-baik saja. Lagipula aku sudah terbiasa mengalami penyakit itu. Aku sudah siap untuk itu. Penyakit itu memang sudah ditakdirkan untukku. Bagaimana pun ia akan kembali lagi, walau diobati semaksimal apa pun. Mau bagaimana lagi?"

Ratu Huban tampak tertegun kemudian teringat sesuatu, "Oh iya! Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu. Persiapkan mentalmu baik-baik!"

***

"Seorang buronan telah melarikan diri dari penjara. Diharapkan untuk berwaspada karena hari ini adalah hari kelahirannya dan itu berarti…"

Klik!

Tanpa berkomentar apa-apa, wanita berwajah es itu mematikan TV-nya. Kaki langsingnya kemudian membawanya melintasi koridor rumahnya yang lengang dan… kriet. Ia lalu memasuki sebuah kamar remang-remang yang dipenuhi asap.

Sesosok pemuda tengah mengisap rokoknya dengan santai di dekat jendela sambil memandangi sinar rembulan yang tengah hangat-hangatnya. Wajahnya tampak samar karena ditelan kegelapan kamarnya. Hanya sebagian tubuhnya saja yang disinari seberkas cahaya rembulan itu.

"Dua puluh sembilan Februari," terdengar suara kelamnya yang mengalun perlahan. "Kau mau mengucapkan sesuatu padaku, Kak?"

Masih tanpa ekspresi, wanita itu kemudian melangkah mendekatinya sambil membawa sesuatu di kedua belah tangannya. "Wanita si pembuat kue favoritmu itu yang membuatkan sesuatu untukmu karena kau mengingatkannya pada putranya yang hilang."

Pemuda belia itu kemudian menolehi kakaknya dan menatap dingin 16 lilin di atas kue itu.

"Selamat ulang tahun, Shui."

***

Blup blup blup…

Keempat orang itu berdiri di tepi jurang—di mana di dasarnya terdapat kolam air mendidih. Salah seorang dari mereka yang tampak seperti kepala keluarganya menggendong seorang bayi mungil yang baru saja dilahirkan. Ia melirik bayi itu kemudian ganti menatap jauh di bawah sana.

"Lakukan!" pinta orang di sebelahnya.

"Jangan buang-buang waktu lagi. Bayi ini tak boleh hidup."

Ia melirik orang yang satunya lagi di sisinya yang hanya bisa terdiam.

"Maaf. Maafkan Ayah, Nak! Tapi Ayah harus melakukan ini," katanya tanpa pikir panjang. Ia lalu menjatuhkan bayi tak berdosa itu ke dasar jurang yang berisi air mendidih…


"Aturan Pemerintah telah disahkan! Bagi para pelaku kriminal pembunuhan dan penganiayaan kelahiran 29 Februari akan langsung menerima hukuman mati, tanpa melihat besar-kecilnya kejahatannya. Sementara anak-anak yang lahir pada tanggal terkutuk tersebut akan segera diasingkan sesegera mungkin demi melindungi warga di Distrik Kabut Asap."

Ghoul tampak syok melihat pamflet pengumuman yang dipasang di tembok gang itu. "Ini tak adil! Kenapa kami semua yang harus dihukum karena kejahatan ghoul 29 Februari itu?!"

"Oh ya, ada lagi!" Ratu Huban kemudian menyodorkan kertas koran padanya. "Daftar nama para napi yang akan menjalani eksekusi mati jilid tiga tahun ini."

Koran itu langsung terjatuh dari tangan Ghoul setelah pemuda itu melihat namanya di urutan ketiga. "Tidak. Ini tak boleh terjadi…"

"Tapi namamu sudah masuk nomor antrean untuk pertunjukan berdarah bulan depan, loh!"

Ghoul menggelengkan kepalanya. "Bukan. Bukan itu maksudku." Ia memungut kembali korannya dan memperlihatkan namanya pada si kepala bantal itu. "'Ghoul' itu bukan nama asliku. Kalau pemerintah ingin mengeksekusi mati aku, seharusnya namakulah yang tertera di sini."

Ratu Huban tampak bengong. "Jadi kau tak apa-apa akan dihukum mati? Kau ini mau dipancung, bukannya dapat beasiswa. Kau tak stres?"

"Pokoknya aku tak ingin mati dengan nama itu! Aku harus cari tahu siapa nama asliku yang sebenarnya. Dan… dan hanya ibuku lah yang tahu itu. Aku akan mati setelah mengetahui nama asliku sendiri dan memakai nama itu di makamku. Tanpa itu semua, aku mana bisa mati dengan tenang? Setelah mengetahuinya, aku janji akan serahkan diriku baik-baik pada mereka dan siap untuk…" Kepala Ghoul tertunduk layu.

"Kenapa kau tak bikin nama sendiri saja? Nama yang kausukai misalnya?" Ratu Huban terkekeh-kekeh. "Tuh alasanmu saja kan untuk menunda-nunda eksekusi matimu sendiri? Bilang saja!" cemohnya.

"Pokoknya aku tak boleh mati dulu!" seru Ghoul sambil tetap tertunduk. "Aku tak punya alasan untuk hidup lebih lama lagi dan cukuplah mencari nama asliku sendiri itu sebagai alasan terakhirku untuk hidup di dunia ini. Kalau mereka merasa aku tak pantas untuk hidup lebih lama lagi, tak apa. Tapi mereka tak akan bisa mendapatkanku begitu saja sebelum aku tahu nama asliku. Aku harus mati dengan nama itu!"

"Tapi bagaimana caranya kau cari tahu?"

"Aku harus mencari ibuku segera." Ghoul mengangkat wajahnya. "Dunia ini kejam! Tak apa jika mereka ingin melenyapkanku. Aku sendiri tak pernah minta untuk lahir ke dunia, apalagi pada tanggal terkutuk yang membuat usiaku bertambah tiap 4 tahun sekali itu. Aku tak perlu lama-lama membela diri. Aku benar-benar sudah capek. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu siapa nama asliku dari mulut ibu kandungku sendiri. Mungkin itu kedengarannya seperti alasan konyol untuk menunda-nunda eksekusi matiku. Tapi apa aku salah jika berharap nama yang tertera di akte kematian dan papan nisanku nanti adalah nama asliku sendiri?" Ghoul mengeluarkan uneg-unegnya kemudian kembali menenggelamkan wajahnya dalam-dalam dan mengepalkan tangan.

"Yang kuat, ya! Senang bisa mengenal orang setegar dirimu." Ratu Huban menepuk bahunya. "Oh, ya. Aku tak boleh lama-lama berada di sini. Aku harus segera kembali ke alam mimpi sebelum aku kehabisan tenaga. Bye!" Dengan portal dari gagang payungnya, ia pun menghilang.

Sepeninggalan Ratu Huban, Ghoul langsung jatuh bersimpuh dan menangis tersedu-sedu sambil memeluk koran. Daritadi ia berusaha menyembunyikan kepedihannya sekuat mungkin dari Ratu Huban. Kini ia memutuskan untuk menangis seharian.

"Apakah akan ada orang yang menangisi kematianku kelak? Ataukah hanya aku sendiri yang menangis?"

***

"Eksekusi mati jilid 3?" Mahesa kemudian melemparkan korannya ke meja. Ia menghela napas sambil membaringkan tubuhnya ke ranjang. Matanya yang nyalang ke langit-langit bersinar redup. "Apakah ia sudah mengetahui namanya ada di daftar itu? Aku yakin ia pasti tak akan suka mendengarnya. Di alam mimpi pun, aku sudah tak bisa menemuinya lagi. Kan aku bisa memberitahu kabar buruk ini padanya. Apa yang terjadi padanya? Apa ia sudah mati hingga ia tak bisa bermimpi lagi?"

Tak lama, ia kembali terduduk di tepi ranjang sambil mengacak-acak rambutnya. "Kenapa juga aku jadi selalu memikirkan bocah itu? Sebaiknya aku jalan-jalan saja."

Mahesa pun melangkah keluar kamar untuk berjalan-jalan sejenak hingga langkah kakinya terhenti begitu tiba di dekat kamar misterius itu lagi. Bukannya ia tak mematuhi larangan dokter Anis untuk menjauhi kamar itu, tapi dalam kamar itu terdengar suara orang yang sedang sesak napas parah. Suara merintih di dalamnya terdengar sangat tersiksa.

"Gawat! Sepertinya pasien di kamar itu dalam bahaya! Rupanya ada pasien asma di sana." Tanpa pikir panjang lagi, ia segera menghancurkan gembok di pintu kamar itu dengan pistolnya untuk menolong si pasien. "Bertahanlah! Aku akan segera menolongmu!"

Mahesa segera membuka pintunya, namun seorang pemuda belia berambut pirang kehijauan dari dalam sana langsung saja menyergapnya hingga ia terjengkang. Mahesa syok begitu melihat wajah pemuda yang penuh retakan itu menduduki perutnya. "Kamu siapa?! Aku mau menolongmu, tapi kenapa kau malah menyerangku?"

Pemuda itu malah menyalakan pematiknya seperti orang kesurupan yang hendak membakarnya. Menyadari bahaya itu, Mahesa langsung mendorong pemuda bermata hijau itu kuat-kuat hingga menabrak dinding. Brak.

Dengan napas terengah-engah, Mahesa bangkit dan tertegun begitu memperhatikan tanda lahir berupa goresan di sekitar mata kirinya. "Kamu…"

Pemuda acak-acakan itu menggeram kemudian bergegas melarikan diri.

Mahesa spontan saja mengarahkan pistolnya ke pemuda itu. "Matilah kau, Monster 29 Februari!"

"Jangan!" Dokter Anis langsung mencegatnya, kemudian berlari menghampirinya. "Itu adikku!" Ia langsung memukul tangan Mahesa yang memegang pistol hingga senjata itu terlepas darinya. "Kau tak boleh melukainya!"

Mahesa terperangah mendengar pengakuan itu. "A-adikmu?!"

"Kenapa kau membuka gemboknya?!" raung dokter cantik itu berang. Mahesa mematung saking tak percayanya. Tak mau berlama-lama menatap marah Mahesa, dokter Anis segera mengejar adiknya. "Shui! Shuiiiiiii!!!"

***

"Wanted! Monster 29 Februari: Harga kepala 25 juta…"

Mata Ghoul yang sudah tampak cekung terpaku nanar membaca pamflet yang terjatuh di tanah sebuah gang. Ia memungut lembaran itu kemudian berdiri di depan puluhan pamflet yang berisi sama di sisi temboknya. Wajahnya tampak jelas dipajang di lembaran-lembaran kuning itu.

Ia sudah tampak seperti gelandangan sekarang dengan ujung lengan baju dan ujung celana yang compang-camping dengan bekas sobek di mana-mana, belum lagi di pakaian napinya yang dekil itu terdapat noda darah yang bersebaran pada luka-lukanya karena digigit anjing-anjing kemarin.

Ghoul berusaha untuk tersenyum meski tampak getir. "Rupanya kawan-kawan pemburu hadiah itu sedang membutuhkanku (memburuku)," gumamnya lesu setelah melihat gambar buronannya dipasang di mana-mana. "Semoga berhasil ya, Kawan! Aku juga akan berusaha menggapai impianku, sama seperti kalian. Aku jadi penasaran kepada siapa nantinya kepalaku ini akan jatuh," katanya sambil memasang kembali pamflet yang jatuh di tanah tadi ke tembok. Gelang borgol dan sisa-sisa pendek rantainya masih menghiasi pergelangan tangannya.

Setelah itu, ia mengayunkan langkah kaki-kaki telanjangnya untuk mencari makan. Di kakinya juga masih melekat gelang borgol dan sisa-sisa rantainya yang akan berbunyi bagaikan gelang kaki tiap ia melangkah.

"Aku sudah tak tidur selama 2 hari ini dengan menggunakan jurus bernapasku. Aku tak ingin dikejar-kejar Mahesa lagi di sana. Tapi kalau begini terus, kuota udara di tubuhku semakin menipis. Aku harus bagaimana? Rasanya jadi lelah sekali. Aku tak ingin asmaku kambuh di saat-saat seperti ini."

***

Suara desah napas yang saling berkejar-kejaran terdengar dari balik pintu kamar. Suara-suara basah itu diselingi dengan erangan kepuasan. Sementara itu, tampak seorang pemuda bertopi bisbol terduduk lesu pas di depan pintunya. Bola mata besarnya terpaku ke lantai. Wajah manisnya tampak prihatin.

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dan seorang wanita berpakaian serba terbuka keluar dari kamar itu. "Sori sudah membuatmu lama menunggu, Sunny!"

Pemuda berambut ungu itu kemudian berdiri dan memandangnya kebratan. "Bagaimana? Apa kau sudah puas, Eve?"

Wajah mesum Eve tampak merona. "Buruan kita hari ini lumayan 'gede' juga. Sepertinya ia cukup berpengalaman di ranjang. Sekarang tugasmu untuk menyerahkannya ke pihak yang berwajib dan mengambil hadiahnya. Ia pasti kaget begitu terbangun di penjara nanti. Hihi!"

Sunny menghela napas sambil menyerahkan sebuah pamflet padanya. "Yang ini kepalanya 25 juta."

Eve langsung menyambar lembaran itu kemudian memelototinya. "Wih! Ganteng banget! Yang ini pasti rasanya 'enak'!" gairahnya. "Sepertinya ia masih 'polos' dan belum pernah 'dipakai'."

"Aku juga belum pernah 'dipake'," batin Sunny sambil menelan ludah. "Bukannya terpikat sama uangnya, kau malah… ah sudahlah! Dia itu buronan loh, bukan boyband."

Eve mengedipkan sebelah matanya. "Sunny, aku mohon pertemukan aku dengan cowok ini! Kau pasti tahu cara melacak keberadaannya. Itulah sebabnya aku mengajakmu ke negeri ini." Wanita gatal itu kemudian berlalu. "Aku mau belanja dulu, ya!"

Sunny hanya bisa menatapnya sedih dari belakang. "Eve, kapan kau mau berubah dari masa lalumu? Kau sekarang adalah partnerku sebagai pemburu hadiah. Karena kau adalah teman kecilku, aku mengajakmu mencari pekerjaan yang lebih halal daripada menjadi seorang PSK."

***

"Bayiku… bayiku," lirih seorang wanita muda sambil berlari-larian ke tepi jurang. "Di mana mereka membuang bayiku?" Air matanya kemudian menetes-netes karena tak melihat sosok bayi yang baru dilahirkannya kemarin itu di sana. Ia celingukan mengitari sekitarnya. Tak ada!

"Suri! Suriiiiii!"

Wanita itu menoleh dan melihat beberapa warga menghampirinya. Disekanya air matanya.

"Rumahmu… rumahmu kebakaran!"

Mata Suri melebar.

"Semua anggota keluargamu… suami, mertua, iparmu… semuanya… semuanya mati terpanggang api…"

Air mata Suri kembali meleleh—kali ini lebih mengalir deras. "Jangan-jangan…" Firasatnya kemudian membuatnya memandang ke dasar jurang. "(AA)?" ia mendesiskan sebuah nama dengan nada sedih. 

"(AA)? Siapa itu?" tanya warga yang ada di sana.

"Itu adalah nama yang kuberikan pada bayiku yang lahir kemarin…"

Wajah para warga yang ada di sana kemudian memucat.


Pyur… Ghoul mengusap wajahnya berkali-kali menggunakan air danau, berharap air yang sejuk itu bisa mengurangi sedikit rasa kantuknya. Gelap malam di tepi hutan itu membuatnya semakin tak kuasa menahan kantuk.

"Mungkin lima belas menit saja cukup. Kalau tidak, bisa-bisa asmaku kambuh. Kurasa dengan waktu sesingkat itu, tak akan membuatku terbawa ke alam mimpi, kan?" Ghoul menyandarkan kepalanya sejenak di batang pohon dekat danau itu sambil memejamkan mata kelelahan.

Cring-cring… Belum semenit memejamkan mata, telinganya kemudian menangkap sebuah suara di sekitar sana. Ghoul langsung membuka matanya. Namun belum sempat ia menganalisis ancaman, sebuah rantai kemudian melayang membelit lehernya. Syut!

"Siapa?!" pekiknya sambil mencari-cari pangkal rantai yang rupanya terhubung dengan sebuah cambuk yang dikendalikan oleh seseorang dalam bentuk siluetnya. Ghoul menyipitkan mata. "Sial. Gara-gara lengah karena kurang tidur, jadi tak menyadari bahaya sekecil ini. Ck!"

Ghoul berdiri meski sadar tak akan bisa mengeluarkan kekuatannya secara maksimal. Namun ia berusaha agar belitan rantainya tak sampai membuat lehernya tercekik sementara orang itu semakin menarik gagang cambuknya agar Ghoul kehilangan kesadaran. Dua kekuatan saling beradu. Ghoul tentu saja tak mau menyerah meski napasnya mulai terasa berat.

"Hiaaaaaah!!!" Memanfaatkan kesempatan itu, si penyerangnya berlari menyerang kemudian mengayunkan tendangan, namun Ghoul masih dapat menghindarinya. Akhirnya si penyerang itu menarik cambuk rantainya hingga Ghoul tersungkur. "Menyerahlah, Dua Puluh Lima Juta!"

"Du-dua puluh lima juta?" Kedua mata Ghoul melebar begitu menyadari siapa orang itu. "Jadi kau…"

Dor! Sesuatu yang mengejutkan kembali hadir, kali ini sebuah tembakan yang memutuskan rantai si penyerang. Meski masih kebingungan, tapi Ghoul masih bisa bepikir cepat untuk menjauh dari orang tadi.

"Kau! Larilah ke arah sini!" Seseorang kemudian mengarahkan Ghoul, sementara itu beberapa orang menghadang si penyerang.

Ghoul bergegas berlari ke arah sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana sambil melepaskan rantai yang membelit lehernya. "Terima kasih, Tuhan…"

Begitu duduk di jok bagian tengah, mobil itu pun segera melaju meninggalkan tempat itu. Ghoul menghela napas lega sambil menatap orang-orang di sekelilingnya. "Terima kasih karena sudah menolongku, Kawan-kawan," ucapnya.

Orang-orang di mobil itu membisu penuh misteri. Ghoul tersenyum hangat. "Ngomong-ngomong, kita mau ke mana? Eh, kita belum berkenalan, kan?"

Orang yang di jok depan—di samping jok kemudi—kemudian menolehinya sambil menyeringai. "Apa kau masih ingat dengan Nine Lashes?"

Senyum Ghoul meredup sambil berusaha mengingat-ingatnya. Seorang lagi dari jok belakang kemudian mendekatkan wajahnya ke bahu Ghoul. "Apakah perlu kami ingatkan padamu tentang dua orang dari kami yang harus…"

Ceklek. Sebuah pistol kemudian terarah ke keningnya.

"… mati di tanganmu, Dua Puluh Lima Juta?"

***

"Jadi itu namamu?" gumam sosok misterius dari balik rimbunnya pepohonan—yang tengah mengintipi mereka. Wajahnya masih samar karena gelap. Ia lalu melirik ke bayi yang tengah terlelap di pelukannya. "Kau dengar itu? Ibumu memberimu nama yang indah."

Bayi itu masih terlelap dengan tenang. Sosok itu tersenyum lembut melihatnya.

"Kasihan sekali kau harus menjadi korban legenda kotor itu, (AA). Mereka hendak membunuhmu, tapi kau malah tersangkut di akar pepohonan tanpa mereka sadari. Sebenarnya aku ingin sekali bisa menyerahkanmu pada ibumu sekarang. Hanya saja… warga yang sangat disiplin pada legenda kutukan itu sudah mengetahui siapa kau sebenarnya."

Sosok itu terdiam dan merenung sejenak.

"Kau baru saja lahir kemarin dan tak tahu apa-apa. Bagaimana kalau kau ikut denganku saja? Aku takkan terpengaruh legenda biadab itu. Jadi kau akan aman bersamaku," katanya lagi. "Hm, oh iya! Maaf, ng… sepertinya aku juga harus mengganti namamu karena mereka sudah telanjur mengetahuinya. Kau bisa kenapa-napa jika menyandang nama pemberian ibumu itu. Tapi kau tenang saja! Kau hanya mengenakan nama ini untuk sementara. Aku akan terus mengingat siapa kau dan siapa nama aslimu yang sebenarnya, tapi tidak sekarang kau harus mengenakannya, demi keamanan dirimu sendiri? Oke?"

Bayi mungil di dekapannya mengerucutkan mulutnya, entah dia sedang bermimpi apa.

"Aku akan buktikan kalau pemikiran mereka itu salah. Aku akan mendidikmu menjadi orang baik dan aku yakin kau pasti akan tumbuh besar menjadi orang baik. Aku yakin kau manusia seperti pada umumnya yang bisa dididik menjadi baik, kau bukan iblis seperti yang ada di benak mereka. Aku akan melindungimu! Sekarang anggaplah aku sebagai ayahmu karena ayah kandungmu tak mau menerima dan mencintaimu. Hm… kira-kira kau sukanya aku panggil dengan nama apa? …apa? Kau suka nama itu? Baiklah. Baiklah!"

Sosok itu kemudian mengecup kening si bayi.

"Oh ya, namaku Sam. Salam kenal ya, Ken…"


Ctar!

"Bagaimana?! Apa kau sudah ingat?"

Ctar! Ctar!

"Sudah ingat belum bagaimana kau membunuh kedua rekan kami itu saat kami bersaing dengan si pemanah terkenal untuk meringkusmu?"

Ghoul terus memejamkan matanya sementara tubuhnya dilecuti. Ghoul ingat betul malam itu Mahesa dan Nine Lashes tengah bertarung memperebutkan dirinya. Ghoul sadar apa yang dilakukannya dan ia merasa itulah yang terbaik.

"Jangan tidur, bajingan!" salah seorang dari mereka kemudian menjambaknya kasar. "Kau itu sedang tidak dininabobokan, tapi lagi disiksa, tahu!"

Ghoul membuka matanya dengan tenang. Kini ia tengah disekap dan dihakimi habis-habisan oleh salah satu geng pemburu hadiah berbahaya di markas mereka. Kedua lengannya dirantai terlentang. Kedua kakinya pun terantai pemberat bola besi.

Ghoul melirik luka-luka di tubuhnya yang sudah bertelanjang dada, kemudian tersenyum melecehkan. "Jangan setengah-setengah, Kawan!" Matanya menatap musuh-musuhnya satu per satu. "Aku yakin kalian mampu melakukan lebih daripada ini."

Wajah para pemburu hadiah itu tampak geram.

"Sekarang giliranku!" geram salah seorang dari mereka sambil maju dan mengayunkan balok kayu ke tubuhnya. Duagh!

Ghoul kembali memejamkan mata dengan sedikit meringis. Ia berusaha menenangkan napasnya yang mulai berantakan lagi kemudian berkata, "Kurang keras." Matanya kemudian mendelik.

Si pemukulnya melotot berang. "Kurang ajar!" Tanpa segan ia kembali mengayunkan baloknya berkali-kali ke tubuh Ghoul. Duagh! Duagh!

"Kurang keras, Berengsek!" Ghoul malah turut memekik. "Lebih keras lagi!" Semakin kuat pukulan yang diterimanya, ia malah berusaha berteriak lebih kencang pula. Kedua tangannya yang terantai terkepal kuat-kuat.

Dagh! Duagh! Wajah dan perutnya tak luput dari serangan brutal itu. Pelipis, hidung, dan bibirnya sudah berlumuran darah.

"Lemah! Lakukan dengan lebih baik lagi!" Ghoul berusaha memekik sekuat tenaga pula. "Di penjara aku mendapatkan ganjaran yang lebih parah daripada ini! Seharusnya kau banyak belajar dari para sipir di sana!"

Si pemukulnya malah ngos-ngosan setelah berkali-kali mengayunkan pukulan, bersaing dengan napas Ghoul yang juga semakin berat—setengah mati menahan rasa sakitnya. Si pemukulnya kembali mengangkat balok kayunya dan Ghoul mengeraskan otot-ototnya pula. Namun salah seorang rekannya dengan tenangnya menahan serangan itu.

"Hack? Kenapa kau…"

"Tak begitu caranya, Neil. Biar aku saja yang akan mematahkan semangat anak ini," kata rekannya santai sambil menjilat bibirnya. "Kau tak dengar apa yang dikatakannya tadi? Kurang keras, katanya. Tapi kita lihat saja nanti." Balok kayu itu kemudian berpindah tangan di tangannya. "Aku akan melakukannya sesuai permintaannya!"

Dengan cepat Hack menyodok balok kayu itu ke perutnya. Ghoul yang belum siap menerima serangan sodokan tak terduga itu muntah darah. Tapi ia sadar ia harus siap menerima serangan berikutnya, hanya saja terlambat…

Bragh! Sebuah pukulan yang menghantam dadanya kemudian membuatnya tak sanggup lagi untuk membuka matanya. Kepalanya terkulai lemas seketika. Darah menetes-netes dari hidung dan mulutnya.

"Wah! Balok kayunya sampai patah," komentar Hack ceria sambil membuang balok kayu yang terpotong dua itu. "Padahal aku sudah melakukannya dengan lembut dan sepenuh hati pula."

"Kau hebat, Hack!" puji teman-temannya.

Ghoul berusaha membuka matanya dan melihat kawanan itu meski tampak samar-samar.

"Tapi kau sudah membunuhnya. Dua puluh lima jutanya kan melayang."

"…reveriers…"

"Tenang, ia masih bernapas meski pelan." Hack menempelkan telinganya ke dada Ghoul dan masih merasakan ada denyut kehidupan di tubuh menggenaskan itu. "Makanya kalau ngomong tuh dipikir-pikir dululah. Gini kan jadinya. Salah siapa coba?"

Anehnya, Ghoul melihat jumlah mereka ada 9 orang!

"Kita jangan buru-buru menyerahkannya dulu. Aku juga ingin mencobanya."

"…mahakarya…"

"Aku juga belum. Besok giliranku, ya!"

"A-apa? Siapa?" batin Ghoul begitu mendengar suara berdengung yang bercampur dengan dialog-dialog kotor Nine Lashes.

"Ya, kita sekalian balaskan dendam teman-teman kita yang mati di tangannya."

"Alam Mimpi!"

"Betul. Ia juga sudah memukulku waktu itu. Akan kubalas! Tapi sayang orangnya lagi pingsan."

"Mimpi?!" batin Ghoul di tengah-tengah kesadarannya yang semakin tercabik-cabik.

"Tenang! Tenang! Semuanya dapat giliran mukul. Tapi ingat, jangan sampai mati ya!"

"Nah, sekarang ayo minum-minum!"

"Selamat! Kau adalah salah seorang pemimpi dari 91 pemimpi lain yang diundang ke Alam Mimpi. Selamat datang!"

***

Di ujung gang sepi, Shui tengah mengisap rokoknya dengan nikmat sambil duduk dan menyandarkan kepala di tembok gang. Tampak kelegaan terpancar di wajahnya. Ia sangat menikmati waktu santainya itu.

Ia memejamkan matanya sejenak. "Siapa pemuda sok pahlawan di rumah tadi, ya? Kenapa kakakku menampung orang seperti itu? Padahal sedikit lagi aku bisa 'menikmatinya'. Sepertinya napas orang itu segar dan aku bisa merasakan nikmatnya di embusan napasnya tadi."

Sebuah lembaran kemudian terjatuh melayang-layang di kepalanya. Shui membuka mata dan mengambil kertas itu. "Harga kepala dua puluh lima juta?"

Warna bola matanya yang berlainan warna itu menatap foto seorang pemuda di pamfletnya tanpa ekspresi. Ia lalu mendekatkan api rokoknya ke kertas itu hingga pamflet itu pun terbakar sedikit demi sedikit. "Kasihan," komentarnya singkat.

Matanya yang tenang kemudian bergeser pada sosok yang tak jauh di depannya. Api masih menyelimuti sosok yang mulai hangus terbakar itu. "Hei kamu, maaf ya!" katanya sambil mengisap rokoknya. "Api rokok dari pembakaran mayatmu ternyata boleh juga…"

***

Tahap-1…

"Kau ada di sini rupanya," suara seksi itu disusul oleh kaki-kaki jenjang yang kemudian melangkah mendekati Ghoul yang tengah terantai tak sadarkan diri.

Sosok itu mengulurkan tangannya yang gemulai dan menjamah pipi Ghoul. "Kasihan." Jari-jari yang lentik itu juga menari-nari di tiap luka di tubuh Ghoul yang penuh lebam dan berlumuran darah. "Biar kubersihkan kau sedikit," lirihnya iba sambil ******* hingga ke wajahnya. Tak lama, terdengar suaranya yang seolah tengah menikmati es krim. "Hmmmmmm…"

Setelah puas, ia kembali memandangi wajah terkulai itu kemudian mengangkat rahangnya dan melumat bibir Ghoul penuh gairah. Lidahnya pun tak mau ketinggalan ambil kesempatan…


"Do you desire dreams? Or do you fear nightmares?
What if your sweetest dreams are also your very worst nightmares?
And what if you were told to face them? And you can't look away from them …
You are the Dreamers, the Reveriers, and we all want to see your Masterpieces
in these little frame of your dreamland…"


Ghoul membuka matanya secara perlahan tepat pada saat si Suara Seksi menjauhkan wajahnya setelah mengecup bibirnya habis-habisan di tempat yang lumayan gelap itu. Mata Ghoul tampak redup dan masih lemah, tapi ia masih kuat untuk mengangkat wajahnya dan melihat…

"Kamu siapa?" tanyanya lemah begitu melihat seorang wanita berpenampilan seksi di hadapannya.

Wanita itu memilin-milin tepi rambutnya dan menatapnya penuh hasrat. "Aku Eve," katanya sambil membersihkan noda darah yang lumer di sekitar bibirnya dengan gerakan nakal. Noda darah itu bagaikan noda es krim di mana lelehan darahnya berasal dari mulut Ghoul yang dikecupnya buas tadi. "Darahmu manis juga. Setidaknya, aku bisa menikmati luka-lukamu juga."

Ghoul melirik tubuhnya sedikit dan melihat luka-lukanya sudah sedikit bersih dari darah. Ia juga merasakan sedikit basah di berbagai titik. Tak lama, Ghoul kembali mengangkat wajahnya, menatap Eve tidak senang.

"Seharusnya kau berterima kasih bukan, ada orang yang mau menjilati luka-lukamu itu?"

"Kau terlalu berlebihan, Nona," protes Ghoul menyembunyikan kegeramannya. "Kau mau ambil kesempatan saat aku menderita berat seperti ini. Kau pasti bagian dari mereka, kan? Katakan, apa yang kauinginkan dariku."

Jari lentik Eve kembali bermain, kali ini mengelus leher Ghoul. "Aku hanya ingin menyelamatkanmu," sahutnya sambil tersenyum. "Tapi aku punya syarat untuk itu."

"Oh, bisa kutebak itu." Ghoul sudah sadar apa isi pikiran Eve.

"Bagaimana? Apa kau mau mengikuti aturan mainku atau…" Jari Eve sudah sampai mengelus ke dada bidang Ghoul. "kau mau membusuk di sini?" Mata Eve kemudian jatuh ke perut Ghoul dan jarinya menikmati lekuk-lekuk atletis di sana.

Ghoul menelan ludah sambil memandangi wanita itu dingin.

"Tunggu apa lagi?" Eve kembali menatap Ghoul. "Masih banyak yang menunggu giliran untuk menghajarmu, loh! Tiga orang saja sudah membuatmu babak belur separah ini, bagaimana dengan sisanya?"

Ghoul tertegun sambil memejamkan mata dengan tenang, mengenang rasa sakit luar biasa yang dialaminya tadi. Jujur saja, ia tak sanggup menerima gemblengan lagi dalam waktu singkat. Tubuhnya masih ingin istirahat total lebih lama lagi!

Eve melangkah ke belakang tubuhnya dan mengelus punggung Ghoul yang basah karena keringat. Eve menikmati menyapu keringat itu kemudian mengendusnya seperti mencium aroma parfum. "Aku anggap itu sebagai 'iya'," katanya sambil memeluk mesra Ghoul dari belakang. Tangan-tangan lentik itu meremas perut Ghoul.

Ghoul masih terdiam sambil membuka matanya.

"Oh ya, kita mulai darimana baiknya?" Eve melongokkan wajah mesumnya dari balik bahu Ghoul. Ia kembali melangkah ke hadapan Ghoul lewat bawah lengan Ghoul yang terantai. Matanya sudah menatap tubuh Ghoul penuh gairah. "Apa kau mau kita melakukannya sambil berdiri saja?"

Saking tak tahannya, Eve kemudian merapatkan tubuhnya ke tubuh Ghoul. Ghoul tak mengalihkan pandangannya sedikit pun ke wanita itu. Eve kembali memeluk mesra dan memejamkan matanya sejenak di dada Ghoul. "Pasti rasanya nyaman terpulas di sini. Aku jadi bisa mendengar degup jantungmu yang indah. Maaf ya di waktu-waktu seperti ini kau baru bisa merasakannya."

Tangan kanan nakal Eve kembali mengelus bagian depan tubuh atletis itu hingga ke pinggang. "Apa kau butuh bantuanku untuk melonggarkan celanamu?"

Mata Ghoul melebar dan panas. "Eve? Eve!" cegatnya. "Tatap aku. Tatap aku sekarang," pintanya buru-buru.

Wajah Eve yang memerah kemudian terangkat naik, menatap Ghoul penuh birahi. Ghoul berusaha memasang senyum romantisnya meski gelagapan.

"Cantik, napasku sesak… maukah kau memberiku kecupan nakalmu sedikit saja?" Ghoul merayu meski datar.

Senyum Eve mengembang indah. "Tentu! Tentu saja, Sayang." Maka dengan senang hati, Eve pun kembali mendekatkan wajahnya untuk merekatkan kembali bibir mereka…

***

Sunny yang berada di depan pintu menatap lesu lantai. "Huft. Aku tak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahnya berbuat dosa lagi. Aku harus selalu rela ia bersenggama dengan para buronan itu… meski itu harus dilakukannya di alam seperti ini."

Mau tak mau, ia harus mendengar suara desahan dari dalam sana. Untuk mengusir rasa risihnya, ia kemudian menatap jamnya. "Obat tidurnya pasti sudah bekerja. Mereka pasti tak sadar jika Eve diam-diam memasukkan obat tidur ke botol anggur mereka saat mereka keluar dari mobil tadi. Mereka pikir aku hanya datang seorang diri. Memangnya aku bodoh apa dengan membiarkan mereka mengeroyokiku? Eve itu tahu betul kebiasaan Nine Lashes yang selalu mabuk-mabukan tiap malam."

Sunny memegangi pipinya yang memar sambil sedikit melirik ke dalam gudang sana. "Rasanya aku juga ingin dijilat olehnya." Kemudian wajahnya bersemu merah dan kembali meluruskan pandangannya dengan gugupnya.

Ia kemudian melangkah maju beberapa langkah. "Aku takkan pernah mau ke alam ini kalau saja ia tak memintanya. Hebat sekali rasanya bisa memiliki akses di alam mimpi ini. Mungkin gelombang otak manusia kelahiran 29 Februari bisa memiliki jalan penghubung antar sesamanya di alam mimpi hingga bisa menyeretku ke alam mimpi si Dua Puluh Lima Juta itu. Dengan begini, aku bisa menyelidiki keberadaannya dan Eve tinggal numpang saja. Luar biasa juga kemampuan kami ini!"

Sunny mondar-mandir tak karuan. "Hm. Mungkin sebaiknya aku cepat-cepat bangun saja agar bisa menelusuri tempat ini di alam nyata. Semoga saja Nine Lashes masih terlelap. Tapi Eve kan masih—"

"Kyaaaaaaaaa!!!"

Sunny langsung berlari ke dalam sana dan melihat Eve tengah bersimpuh sambil memegangi dadanya. Rambut wanita itu agak memutih.

"Napasku…" rintih wanita seksi itu. "Sesak sekali…"

Sunny segera bersimpuh pula di hadapan Eve. "Kamu kenapa?!"

"Hehehe," terdengar suara terkekeh-kekeh puas.

Sunny mendongakkan kepalanya dan melihat orang yang sempat dilupakannya tadi menyeringai padanya. "Du-Dua Puluh Lima Juta?"

"Terima kasih sumbangan napasnya, Eve!" seru Ghoul sambil mengatur napasnya ke mode pernapasan Gorila.

Trang! Trang! Dengan sekali sentakan, Ghoul berhasil membebaskan belenggu rantai di kedua tangannya. Sunny terperangah melihatnya.

"Aku hargai tawaran 'enak-enak'mu tadi, Eve," kata Ghoul santai sambil melepaskan rantai di kedua kakinya pula. "Tapi yang tadi itu pemerkosaan namanya. Kita lakukan lain kali saja, ya!"  

Ghoul menegakkan kembali tubuhnya yang sudah bebas sambil mencoba mode pernapasan yang lain. Dan dengan sekali sentakan, dengan lincahnya ia kemudian berlari sekencang kelinci. Sunny hanya terpaku melihatnya.

"Kenapa kau hanya diam saja, Sunny! Cepat kejar dia! Jangan biarkan kita kehilangan dua puluh lima jutaaaaaa!!" raung Eve di tengah sesak napasnya.

"Baiklah. Eve, bertahanlah! Segera bangun dari alam ini dan carilah pertolongan. Aku akan segera mengejarnya untukmu." Sunny pun segera melesat mengejar si Dua Puluh Lima Juta yang dimaksudnya.

***

Tahap-2…

Ghoul yang tengah berlari terhenti sejenak begitu merasa ada yang tak beres. Ia lalu celingukan kebingungan. "Aneh. Perasaan tadi koridornya tak sehancur ini dindingnya. Apa aku masih berada di tempat yang sama?"

Ghoul kemudian berlari-larian tak tentu arah di koridor itu selama belasan menit. "Di mana jalan keluarnya? Kenapa koridornya jadi bercabang seperti ini?" Ghoul memutar-mutar tubuhnya saking bingungnya hingga melihat ada 2 orang anggota Nine Lashes tengah melangkah mendekatinya.

Ghoul menggeram kemudian berlari menyerang mereka tanpa tanggung-tanggung lagi. Anehnya, mereka berdua tak melakukan perlawanan.

"Ada apa ini? Sepertinya ada yang menyerang kita!" gerutu salah seorang dari mereka sambil memegangi kepalanya yang pusing.

"Tapi siapa? Kok tak kelihatan apa-apa?" rekannya kebingungan sambil mencari-cari Ghoul yang terpaku di sisi mereka.

"Ini terlalu mudah, tapi kenapa mereka tak melihat aku?" Ghoul terperangah.

"Itu Ghoul!" teriak sebuah suara lagi. Ghoul mengalihkan pandangannya ke sumber suara dan melihat Neil. Ia masih terpaku di tempat saking bingungnya.

"Tapi darimana kau tahu dan mengapa kami tak bisa melihatnya?"

"Itu karena kalian masih berada di tahap pertama tidur kalian. Kalian masih dapat dibangunkan oleh keributan kecil sekali pun," kata Neil sambil melangkah mendekat.

Karena matanya tak tertuju pada Ghoul, jadi Ghoul mengira tak perlu lagi melarikan diri karena mengira keadaan Neil pun sama seperti mereka. Ia sibuk memikirkan diskusi mereka tadi hingga Neil terhenti tepat di hadapannya.

"Tapi berbeda denganku karena aku sudah masuk ke tahap kedua dalam tidurku!"

"Maksudnya apakah kau bisa melihatnya?!"

Mata Ghoul terbelalak, namun ia terlambat bereaksi begitu… Bruagh!

Neil langsung menyodokkan balok kayunya dengan diameter yang lebih besar daripada sebelumnya ke dada Ghoul hingga punggungnya menabrak tembok. Ghoul menggeram sambil menyikut-nyikut balok kayu yang menahan tubuhnya itu sebelum Neil menaikkan tekanannya yang bisa membuat napasnya susah nanti. Namun sia-sia saja! Balok kayu itu seolah terbuat dari besi.

Sementara itu, Neil tersenyum sadis. "Percuma saja! Kau sedang sial saja karena sudah memasuki area mimpiku. Kau sedang berada di bawah gelombang otakku."

Ghoul meringis, ia juga tampak kebingungan. "Sebenarnya apa yang kaubicarakan, keparat?" tanyanya sambil berusaha mendorong balok kayu di dadanya ke arah berlawanan, meski benda itu tak bergeser sedikit pun.

"Aku punya kekuatan untuk menjaga buruan kami meski dalam keadaan tertidur sekali pun. Dengan begitu, tak akan ada buruan yang bisa lolos dari markas kami. Keren, kan?"

Ghoul berusaha untuk tenang meski di bawah himpitan balok kayu Neil. "Oh, ya? Bagaimana caranya?" Napasnya mulai berantakan lagi, namun ia berusaha untuk memasang senyum melecehkannya.

"Ya, melalui alam mimpi!"

Ghoul terbelalak. "Jadi aku sedang bermi—"

Neil semakin melipatgandakan tekanannya. "Kaupikir sedang berada di mana kau sekarang ini?!" pekiknya. "Selain itu, aku juga bisa memanggil teman-temanku ke area mimpiku ini. Aku sendiri heran kenapa mereka semua tak bisa terbangun. Aku jadi curiga kalau semua ini ulahmu agar bisa kabur dari kami!"

Darah kembali merekah dari bibir Ghoul. Ghoul tertunduk terkulai, berusaha bernapas dengan baik. "Untung saja kau bisa melihatku. Jadi kau bisa mengakhiriku di sini. Maukah kau memberikan kuliah terakhir untukku?"

"Kau pernah dengar letupan tidur? Aku bisa melihatmu karena kita sama-sama berada di tahap kedua tidur kita. Kita akan semakin sulit untuk dibangunkan di tahap ini."

Napas Ghoul semakin ugal-ugalan. "Oh, begitu ya?" Kedua tangannya yang sudah gemetaran menggenggam ujung balok kayu di dadanya kemudian… cssssssss!

Dengan cepatnya api besar menjalar ke pangkal balok kayu itu. Neil yang terkejut segera melepaskan senjatanya sebelum tangannya terbakar saking buasnya jilatan api itu. Ghoul yang jatuh bersimpuh saking lelahnya, berusaha menciptakan api pula di sekelilingnya dan…

"Aku harus segera berpindah ke tahap tiga tidurku agar mereka tak bisa melihatku," ucapnya pada diri sendiri sambil mengatur napas agar tidurnya semakin nyenyak atau tidur tahap ketiga. "Semoga saja mereka tak menyadari trikku ini."

Neil dan yang lainnya kemudian celingukan mencari-cari Ghoul. "Sial! Lari ke mana bajingan itu?! Cepat sekali ia. Jangan sampai kita kehilangan dua puluh lima juta!"

Ghoul tersenyum kecut melihat mereka kebingungan. "Terima kasih atas penjelasannya, Neil!" Ghoul kemudian melanjutkan pelariannya.

***

Tahap-3…

"Hosh-hosh…" Ghoul terhenti sejenak sambil menumpukan kedua lengannya ke tekukan lututnya. "Kupikir aku sudah cukup jauh dari mereka meski aku tak bisa keluar dari markas ini. Sudah waktunya aku terbangun dan melarikan diri sungguhan di alam nyata."

Baru saja ia hendak menggunakan napas mode terbangunnya, tiba-tiba saja beberapa serangan membabi buta melabrak tubuhnya dari belakang. Ghoul jatuh terjerembab dan berusaha untuk bangkit sambil bertumpu di kedua lengannya, namun sebuah tendangan di perutnya membuatnya terseret hingga punggungnya menabrak tembok. Bruk.

Napas Ghoul semakin berantakan. Matanya menari-nari liar mencari-cari penyerangnya. "Ke-kenapa aku tak melihat siapa-siapa?" Dalam keadaan kebingungan, ia berusaha menegakkan tubuhnya sambil memegangi perutnya. "Kau! Perlihatkan siapa dirimu, pengecut biadab!" pekiknya geram sambil melayangkan pandangan ke berbagai sudut.

Hening. Yang ada kemudian hanya serangan-serangan yang tentu saja tak bisa dihindarinya. Lecet-lecet yang dihasilkan oleh serangan itu membuat Ghoul tersadar. "Kau… bocah si pemegang cambuk rantai itu! Tapi bagaimana bisa?!"

Sebelum tubuhnya habis dicambuki, Ghoul menyiapkan kuota udaranya untuk membuat api. Namun entah mengapa ia lupa cara bernapas untuk memanaskan tubuhnya. "Sial!" Ghoul akhirnya jatuh bertekuk lutut, tak sanggup lagi menahan rasa sakitnya.

Mata Ghoul yang meredup mulai berkunang-kunang. Akan tetapi, ia tak akan bisa pingsan di alam mimpi selain…

Mata Ghoul melebar begitu melihat sosok seseorang melangkah tenang mendekatinya. Orang itu sudah berbaik hati menghentikan siksaannya. "Mungkin kau tak akan pernah mengerti, Dua Puluh Lima Juta. Orang yang paling berkuasa di alam mimpi adalah mereka yang bisa menguasai semua mimpi. Orang tersebut adalah orang yang tidur dalam tahap REM—yang merupakan tahap tertinggi pengendalian alam mimpi. Kau tak akan bisa menggunakan kekuatanmu lagi di bawah alam mimpi yang berada di bawah kekuasaanku ini."

Diam-diam Ghoul tersenyum begitu menyadari keadaannya kini.

"Oke, cukup basa-basinya. Ini adalah penutupnya!" Sunny kembali melayangkan lecutannya, namun… gregh. Sunny terbelalak begitu Ghoul menangkap cambuk rantainya.

Ghoul terkekeh dengan wajah terkulai. "Kau ini bodoh juga, ya," komentarnya sambil menegakkan tubuh. "Kau tak berpikir kalau siksaanmu itu justru menguntungkanku?"

Kening Sunny mengernyit.

"Kau sudah membuatku lebih berada di bawah alam sadarku. Jadi aku sudah berada di tidur REM karena kesadaranku yang semakin menipis ini, kan?"

Sunny yang semakin syok terengah-engah. Ia kemudian berusaha menarik cambuknya, namun dipegang erat oleh Ghoul.

"Karena kita sudah sama-sama di tahap tidur REM, akan kuperlihatkan bagaimana caraku membalas siksaanmu tadi!" Ghoul menyentakkan ujung rantai yang dipegangnya hingga Sunny terseret maju mendekat. Dengan cepat Ghoul lalu melingkarkan rantai ke leher Sunny dan menjeratnya dari belakang. "Kau akan berakhir di tidur REM-mu ini dan takkan pernah berburu di dunia nyata lagi!" Ghoul yang berada di belakangnya mulai menambah dan semakin menambah kekuatan jeratannya. "Kira-kira seperti inilah rasanya penyakit menyesakkan yang kuderita itu…"

"Ngrrrrhhh!!" Sunny yang semakin tercekik sampai meneteskan air mata saking tersiksanya. Ia tak berdaya melawan kekuatan Ghoul yang memang bukan tandingannya meski kedua tangannya terus berusaha melepaskan jeratan di lehernya.

Ghoul semakin gelap mata. Matanya semakin berapi-api ingin segera menghabisi orang yang sudah mencambuknya habis-habisan itu. Sepertinya nyawa Sunny akan berada di titik akhirnya hingga…

"Guk guk guk guk guk!!!"

Mata Ghoul melebar ketakutan. Spontan saja jeratannya mengendor hingga Sunny pun jatuh tersungkur. Ia membalikkan badan dan melihat beberapa ekor anjing menggeram berjejer di hadapannya. Napasnya berembus ketakutan. Rasa trauma berat kembali mengancam.

Ghoul menelan ludah. Kakinya gemetaran. Sementara itu, Sunny merayap lemah menjauh dengan sisa-sisa tenaganya. Ghoul sudah tak memperhatikannya lagi karena ancaman baru mengantre.

Anjing-anjing itu kemudian menyisihkan badan untuk membiarkan seseorang lewat. Orang itu melangkah dengan tenang ke hadapan Ghoul.

"Mahesa?" lirih Ghoul. Matanya bergantian menatap anjing-anjing itu dan Mahesa saking takutnya. Keringat dingin di pelipisnya mengalir. Tangannya mengepal. "Kalau kau ada urusan denganku, kita bicarakan di 'luar' saja."

Mahesa menatapnya tenang. "Kau adalah milikku. Aku takkan pernah melepaskanmu ke tangan pemburu lain."

"Ho. Jadi kau juga tergiur dua puluh lima juta itu?" Ghoul mencibir. Mahesa tak menjawab apa-apa. "Jangan khawatir, Mahesa! Aku janjikan dua puluh lima juta itu jatuh ke tanganmu karena kau adalah temanku. Itu semua bisa diatur. Gampang!"

Mahesa mengernyitkan kening.

"Tapi jangan sekarang," lanjut Ghoul dengan nada yang lebih rendah. "Boleh aku pamit sekarang?"

"Kalau begitu, kembalilah hidup-hidup padaku setelah urusanmu selesai." Mahesa menatap Ghoul tajam, membiarkan pemuda itu lewat begitu saja dengan lincahnya hingga ia bisa merasakan embusan angin dari gerakan larinya.

"Permisi, Kawan!"

Tak lama, Ghoul sudah menghilang entah ke mana. Mahesa tertunduk dengan wajah menegang dan tangan mengepal. "Seandainya saja dua puluh lima juta itu bisa mengembalikan nyawa kakakku yang kaurengut…"

***

"Eve?" rintih Sunny sambil memanggil-manggil rekannya di ruangan yang tadi. Sambil tertatih-tatih, ia melangkah lebih memasuki tempat itu dan terperangah begitu melihat wanita seksi itu terkapar dengan leher tersayat. Mata wanita yang terbelalak itu tentu saja sudah tak dapat melihatnya lagi. "Eve?!"

Sunny jatuh bersimpuh sambil mendekap jenazah yang masih baru itu. "Eve?" rintihnya dengan air mata yang mengalir deras. Sambil menangis, ia menenggelamkan wajahnya ke tubuh mantan PSK itu. Namun tak lama, matanya mendelik penuh bara.

"Ini semua gara-gara si Dua Puluh Lima Juta itu!" geramnya. "Kau menginginkannya, kan? Akan kubawakan buruan favoritmu itu dan membakarnya di hari pemakamanmu nanti."

***

Tahap REM…

"Hosh-hosh…" Ghoul melangkah terseok-seok sambil mengedarkan pandangan ke gang sempit itu. "Di mana ini, Ya Tuhan? Sepertinya aku terperangkap ke alam mimpi orang lain. Tapi siapa? Dan mengapa aku tak bisa bangun-bangun juga?"

Bruk. Ghoul jatuh bersimpuh dengan tangan tegak lurus ke tanah untuk menopang tubuhnya. "Aku tak tahu harus ke mana lagi. Kuota napasku menipis. Ini baru permulaan, tapi benar-benar sudah tak ada ampun untukku," keluhnya stres.

Trek. Ghoul memejamkan matanya yang semakin melemah dalam posisi terkurap. Napasnya masih naik turun dengan cepat. Ia tak menyadari seseorang tengah melangkah gontai mendekatinya.

"Akhirnya tertangkap juga," komentar orang bertudung itu. "Tak sia-sia aku membuat perangkap di alam mimpi untuk mencari mangsa. Aku tak mau tahu kenapa mimpi kami bisa terhubung. Sepertinya lebih efektif mencari mangsa dengan cara begini daripada di alam nyata. Mencari korban di sana susah sekali. Ya, mana ada sih orang yang mau dibakar hanya demi mengisi sumbu rokokku?" Orang itu kemudian membuka tudungnya dan menatap Ghoul dengan senyum sadis. "Aku beruntung bisa memiliki kekuatan baru seunik ini di pertambahan umurku. Dengan begini, aku bisa mengunci siapa saja yang kumau. Sepertinya napasmu bagus dan aku bisa merasakan itu. Tak akan ada orang yang sedih jika kau mati. Kau itu hanyalah orang buangan! Kau juga sudah sekarat dan sepertinya kau hanyalah seorang gelandangan yang tak punya siapa-siapa. Menyedihkan! Jadi… boleh kan kalau aku sedikit bersenang-senang?" Ia lalu menyalakan pematik apinya. Cssssss.

Ia semakin mendekatkan pematik apinya, namun Ghoul langsung membuka matanya sebelum api itu membakar kulitnya. Dengan gerakan mendadak, Ghoul langsung membalikkan tubuhnya dan mengayunkan tendangan sekuat mungkin ke dada orang itu. Duagh!

"Ini lagi! Anjing!" pekik Ghoul stres. Napasnya semakin ngos-ngosan setelah menyerang. Ia yang sudah daritadi bertarung dengan banyak orang kejam, menjadi sangat tertekan hingga mudah mengeluarkan kata-kata kotor yang tak tersaring lagi.

Brak! Orang yang tak menduga serangan itu, terpental hingga menabrak kotak-kotak kayu yang terletak di dinding gang hingga berhancuran. Asap debu mengepul di sana.

"Siapa yang kaumaksud orang buangan, sialan?!" Ghoul mendeliki keadaan orang itu. Namun sorot mata sadisnya berubah begitu mendengar suara napas yang berat di sana.

"Uhuk! Uhuk!" Orang tersebut terbatuk-batuk dan terdengar tengah berjuang keras menghirup udara. Ghoul melihat orang itu memegangi dadanya yang sesak. Wajahnya tampak retak-retak seperti boneka porselen.

"Kawan?" lirih Ghoul tampak iba. Ia yang mulai kehabisan tenaga kemudian merangkak mendekati orang itu. "Kau?" Ghoul tersadar begitu melihat tanda lahir yang sama seperti miliknya. "Dua puluh sembilan februari juga?"

Tentu saja orang itu tak bisa menjawab apa-apa karena tengah berjuang habis-habisan hanya untuk sekadar bernapas!

Ghoul menatapnya iba. Tanpa pikir panjang lagi, ia kemudian…

***

"Kenapa dia ada di sini?" celoteh Ratu Huban tak habis pikir. "Keinginannya untuk terbangun benar-benar kuat, sampai nyasar ke mimpi orang."

Sementara itu, Zainurma sempat tertegun kagum melihat apa yang dilakukan oleh Ghoul. "Anak itu mau membagi kuota udaranya dengan orang yang ingin mengambil napasnya, padahal kuota udaranya sendiri menipis setelah pertarungan habis-habisan tadi. Apakah ia sanggup meneruskan mimpinya dalam keadaan 'hancur' seperti itu?"

"Jangan khawatir! Aku mengenalnya dan ia bukanlah orang selemah itu. Bukankah kita juga harus belajar darinya agar mau berbagi meskipun dalam keadaan 'sedikit' sekali pun?" Ratu Huban kemudian melepaskan seekor domba putih yang kemudian berlari lincah mendekati Ghoul yang tengah terlentang ngos-ngosan karena kehabisan tenaga.

***

"Ng?" Shui membuka matanya perlahan dan langsung melebar begitu melihat siapa yang berbaring di sampingnya. "Kau?" lirihnya lemah.

Ghoul menatapnya dingin. "Bagaimana rasanya bernapas seperti orang buangan ini?"

Bola mata Shui tampak gelagapan menghindari tatapan beku itu. "Apa alasanmu?"

Ghoul menghela napas sambil memiringkan tubuhnya menghadap Shui. "Hidup ini beban. Aku hanya ingin menumpahkan sebagian bebanku padamu lewat napas."

Shui kembali menatap mata itu. "Te-terima kasih sudah berbagi 'beban' denganku. Sebagai gantinya, sekarang keluarkan semua bebanmu yang sebenarnya padaku."

Ghoul tersenyum tipis. "Kali ini aku berterima kasih pada ulang tahunku. Setiap ulang tahun, aku pasti mendapatkan kekuatan baru. Aku bersyukur kekuatan baruku itu bisa menyelamatkan nyawa orang."

Shui menggigit bibir—merasa bersalah. "Tapi aku tak pantas…"

"Tapi kau juga harus bisa bertahan sepertiku. Kau akan diasingkan, sementara aku akan dihukum mati. Kau sudah tahu berita itu? Kita semua harus menerima hukuman atas kejahatan mahluk 29 Februari itu. Ah tidak, lebih tepatnya kelahiran kita adalah sebuah hukuman. Akan lebih baik rasanya kalau 29 Februari itu tak usah ada di kalender," Ghoul mencurahkan semuanya dengan mata memerah.

Shui menatap mata miris itu. "Kenapa kita dipilih untuk lahir di tanggal bermasalah seperti itu, ya?"

"Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh Takdir. Uang dua puluh lima juta membuat mereka gelap mata sampai mereka lupa aku juga manusia biasa sama seperti mereka yang masih bisa merasakan sakit. Tapi mereka tak peduli itu. Demi uang itu, mereka tanpa ampun menyerangku seperti binatang buas. Ini adalah permainan takdir. Takdir ingin melihat siapa yang bisa memenangkan uang itu. Aku bingung, siapa yang korban dan siapa yang zolim di sini?" Mata Ghoul mulai berkaca-kaca.

"Sepertinya kau butuh bantuanku ya, Dua Puluh Lima Juta?" Suara yang masuk ke telinganya itu spontan membuat Ghoul terduduk.

"Mahluk Mimpi?" lirih Ghoul begitu melihat Ratu Huban datang bersama seekor domba.

Shui ikut terduduk dan mengernyit dalam-dalam begitu melihat mahluk mimpi kenalan Ghoul itu. Ia lalu mengucek-ngucek matanya.

"Masih niat untuk hidup, kan? Kau pasti penasaran impian siapa yang akan hancur duluan. Mereka atau kamu. Aku bisa membawamu ke suatu tempat."

"Jelas! Aku masih niat untuk hidup lebih lama lagi agar bisa mengalahkan impian orang-orang yang ingin menghancurkan impianku!" lantang Ghoul sambil beranjak berdiri. Ia kemudian melangkah mendekati Ratu Huban sambil mengepalkan kedua tangannya saking kuatnya tekadnya itu.

"Kak! Kakak! Tunggu!" Shui berlari menyusul Ghoul dan terhenti begitu Ghoul membalikkan badan di hadapannya. "Aku punya sesuatu buat Kakak." Shui melepas rompi hitam bertudungnya kemudian menyampirkannya ke punggung Ghoul. Ia kemudian tersenyum melihatnya. "Aku hanya bisa memberikan ini untukmu sebagai salam kenal kita. Namaku Shui, kalau Kakak?"

Ghoul mengenakan rompi itu kemudian tampak berpikir sejenak. "Dua Puluh Lima Juta?"

Shui menautkan kedua alisnya, sementara Ghoul hanya tersenyum manis sambil membalikkan badannya. Ia pun melanjutkan perjalanannya bersama Ratu Huban.

"Dua Puluh Lima Juta? Tak bisa kurang?" komentar Ratu Huban cekikikan.

"Kalau kurang, para pemburu hadiah itu pasti takkan sekejam ini padaku," timpal Ghoul yang sudah lumayan santai. "Tapi aku lebih senang dengan sebutan itu daripada 'Ghoul'!"

Dari belakang, Shui memiringkan kepalanya. "Kakak Dua Puluh Lima Juta…"

\(^0^)/

Kuroi tetsugoushi no naka de, watashi wa umarete kita nda
Akui no daishou wo negae, nozomu ga mama ni omae ni
Saa ataeyou seigi wo, kowashite kowasareru mae ni
Inga no daishou wo harai mukui yo
Namae no nai kaibutsu…

*(Reff lagu yang dibawakan oleh EGOIST ini menceritakan tentang mahluk yang terlahir di balik jeruji besi hitam yang mengharapkan pembalasan atas dosa-dosanya demi keadilan. Mahluk yang tak diharapkan itu tak bernama sesuai dengan judul lagunya).


**NB: tahap-tahap tidur di kisah ini diambil dari Elektroensefalogram (EEG) hasil penelitian 28 dokter spesialis terkemuka di halaman 63 sedangkan tidur REM (Rapid Eye Movement) adalah tidur gerak mata cepat di mana ia sudah sangat sulit dibangunkan dan bermimpi—di halaman 64.


>Cerita selanjutnya :  [ROUND 1 - 2B] 23 - GHOUL | NAMAE NO NAI KAIBUTSU 2

21 komentar:

  1. -Ada beberapa dialognya yang terasa kurang natural karena ... kepanjangan. Like, seriously, contohnya coba lihat omongannya si makhluk di i awal-awal itu. Panjang bener sampai delapan baris :))

    -Karakter Ghoul sebagai makhluk baik hati meski jadi buronan itu cukup menarik. Seperti penggambaran Nightcrawler-nya X-Men. Jarang ngeliat yang begitu.

    -Hmmmm defy the tyranny-nya kenapa ngga begitu terasa ya. ya, dia diuber-uber tapi tetep aja... ngga kerasa Ghoul melakukan aksi nyata untuk melawan tirani. dia cuma nyoba untuk bertahan hidup.

    -Tapi saya rasa konfliknya cukup lumayan kok. Menarik. Ghoul juga punya latar belakang tersendiri, yang kayanya akan semakin terkuak semakin dalam dia menjelajahi Dreamlands.

    -Skor: 7/10

    Fahrul Razi
    OC: Anita Mardiani

    BalasHapus
    Balasan
    1. hm, keburu2 soalnya dedlennya mendekat :=(D

      ghoul baik hati kayak mantanku...

      defy the tyranny-nya dibikin beda dikit, jadi melawan secara ga langsung sistem pemerintah yang ada, yang dilawan yah alat2 pemerintahan kayak para pemburu hadiahnya. (hm, padahal kurang ngerti soal tirani itu...)

      Hapus
  2. zweite: hai. zweite di sini mewakili kuro menemani author bc entry. terpaksa menemani karna tiap hari dapat curhat dari kuro, 'kalo author suka nglantur kalo nggak ditemeni'.

    chou: mendengar nama shui jd pengen nyanyi 'shui〜sai〜candy〜♪♪♪'♪(*^^)o∀*∀o(^^*)♪

    zweite: tuh kan. belum apa2 aja udah nglantur. ok langsung aja. hmm...abis bc ini sebenarnya muncul banyak banget tanda tanya. pertama, aku pribadi sih, kurang bisa memahami gimana alur ceritanya. ke dua, kenapa sejak awal ghoul bisa berkomunikasi dengan ratu huban?. ke tiga, mungkin karna alurnya maju mundur maju mundur jd bingung ini tadi sampe mana? terus pergantian karakter yang di sorot...

    chou: jangan dengerin zweite! dia mah emang gitu orangnya. tp bahasanya enak kok. mungkin perlu dibaca hati-hati kali ya biar bisa paham.

    zweite: aku serius thor!

    chou: ck. ini oc knp suka ngeyel dan susah dikendaliin sih? padahal aku lebih suka kalo ditemenin kuro. (; ̄ェ ̄). ah btw pas 'menjulurkan kaki' byangku langsung ke ular atau makhluk2 bertentakel. |( ̄3 ̄)|

    zweite: menjulurkan lidah kali. hahaha. thor komennya bs seriusan nggak?

    chou: aku serius kok. ah sebelum zweite ngasih yang pedes2 dan nilai. buru aku kasih deh 8. sekian dan terimakasih (^_−)−☆

    BalasHapus
    Balasan
    1. ghoul: walaikum salam, zweite. sori baru balas bbm-nya cus sinyalku nyut2an... :=(D

      shui: (pengen ngebakar chou buat sumbu rokoknya)

      ghoul: alur ceritanya sih awalnya bermula dari fbc :=(D tuh ada lampirannya paling atas entri ke-15 di fbc ada tuh linknya dikasi ama zainurma. iya maju mundur soalnya nih storyboard komikku sih tapi dibuat jadi bor yah jadi gituh deh. kalo mundur tulisannya miring2. padahal di storyboard asliku sih yah alur maju hehe.

      sunny: ada bahasa yang diambil dari buku kuliah, hm aku sendiri kurang ngerti sebenarnya maksudnya jadi kukutip yang mudah dimengerti aja...

      shui: ah, kalian ini ribut sekali! cepat pulang sana!!

      ghoul: sssssttt! jangan begitu, shui! nih uang beli rokok. hush-hush...

      arieska arief: makasih atas nilenya, maafin sinyal kami kurang gizi, :=(D

      Hapus

  3. well, ada beberapa kalimat yg kerasa kurang masuk akal kalo didengar.. pendek kata, narasinya kurang "catchy" di mata sewaktu dibaca. Check these out!

    -Mahesa tak mengencangkan cekikannya sedikit pun meski wajah garangnya tak memudar.

    harusnya "Mahesa tak mengencangkan cekikannya sedikit pun meski wajah garangnya memudar."


    _"Kau baik-baik saja, Kawan?" tanya Ghoul dengan nada cemas. Ia berusaha untuk bangkit dengan susah payahnya dan tertatih-tatih menghampiri Mahesa sambil memegangi sisi perutnya yang sakit habis.

    Mending narasinya diganti jadi :
    "Kau baik-baik saja, Kawan?" tanya Ghoul dengan nada cemas. Dengan susah payah, ia berusaha untuk bangkit lalu berjalan tertatih-tatih menghampiri Mahesa sambil meringis kesakitan saat memegangi sisi perutnya.

    Bisa dibliang, dalam penarasian perlu juga kepekaan saat membayangkan perasaan pembaca saat tengah menikmati cerita yang kita sajikan. narasi yg baik mampu membuat pembaca turut terseret dalam dunia yang kita ciptakan yakni tulisan kita sendiri


    titip 7

    Axel Elbaniac

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh, mahesa-nya dibuat berkebalikan dengan tindakannya, wajahnya aja garang tapi sebenarnya ga mencekik :=(D

      hoho, iya juga ya mending diganti kayak gtu ya narasinya, cus buru2 nih jadi narasinya lumayan berantakan. thanks :=(D

      kurang dalam narasi adegannya ya? hm maklum deadleners nih :=(D

      Hapus
  4. >makan orang buat nyembuhin asma
    ...uh, what?

    Saya gagal paham di bagian Ghoul ketemu Mahesa, terus scene selanjutnya Mahesa ada di rumah sakit(?) sementara Ghoul bangun di gang. Itu maksudnya gimana?

    Saya juga heran ini Ghoul kenapa tiba" aja udah kenal sama Ratu Huban?

    Menurut saya hampir semua penggunaan sfx di entri ini kerasa ga perlu, malah mendingan diilangin sekalian

    >menolehi
    Lebih tepat 'menoleh ke arah'

    Sambil ****** ini maksudnya apa?

    Sunny ini karakter naas amat sih, udah kayak di-friendzone, jadi kayak babu suruhan Eve pula. Terus Eve mati

    Saya ga mudeng maksud pembagian tahap" mimpi ini apa. Penjelasan di akhir juga ga gitu ngebantu

    Nilai 7

    BalasHapus
    Balasan
    1. tuh ritual hitam si arwah ghoul ratusan tahun lalu :=(D

      nih lanjutan fbc, tuh ada linknya entri ke -15 fbc, ada paling atas tulisannya n bisa dibuka linknya :=(D

      iya, tuh mua lanjutan fbc :=(0

      sambil anu... itu... "menjilati" dalam arti denotasinya...

      sunny itu polos n lugu plus baik hati makanya mudah disuruh2 apalagi dy sebenarnya cinta ama tu cewek...

      penjelasan tahap mimpi ada di fp cus dah kuposting di koment sana, sori lupa masukin diagramnya ke entri :=(D

      Hapus
  5. Ghoul: "ini lanjutan FBC entri ke-15 n dah ada linknya paling atas." :=(D

    sunny: "penjelasan tahap tidur ada di fp ya. dah kuposting soalnya teks di buku kuliah ribet, aku aja ga begitu ngerti." :=(O

    shui: "ada adegan dewasanya dikit, agak jorok, jadi teks ***** ga diterjemahkan." :=(0

    BalasHapus
  6. Ada Eve... ( '-')/ Oh salah, bukan oc ku ya *plakk

    Hm... perpindahan alurnya kurang halus, selain itu gak ada jeda jadi kesannya kecepatan... konsepnya sih udah bagus, tinggal Narasinya aja mungkin..

    Aku ngasi nilai 7...

    Sign,
    Lyre Reinn,

    OC : Eve Angeline

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih dah mampir. bukan Eve yang OC peserta sih, Eve-nya hanya pemain figuran, ntar aja mainnya terus mati deh :=(D

      Hapus
  7. A: Amut
    E: Enryuumaru

    A: Yang ngasih pendapat siapa, nih?
    E: Mangga, mbah aja. Saya rasa pendapat saya sama dengan mbah.
    A: Ya sudah, kalau begitu biar mbah yang ngomong.

    A: Jadi, lakon nak Ghoul ini bisa mbah mengerti. Tapi kurang bisa dinikmati. Menurut mbah narasi lakonnya Nak Ghoul serasa kurang alami, jadi kurang mengalir dan kurang nyaman aja kalau menurut mbah. Dan eksekusinya keburu-buru kalau menurut mbah. Cep Author ada mau nambah?
    E: Hmm, nggak sih. Mungkin penggambaran suara onomatopoeia (baca: efek suara) tidak memberi kesan bagus dalam cerita Ghoul. Mungkin cara menyisipkan efek suaranya perlu dijelajahi lagi agar dapat cara yang menarik untuk mendengar suara duar dan duesh.
    A: Ah iya, mbah setuju sama kata Cep Author.
    E: Tapi selebihnya, cerita Ghoul ini sudah oke kok. Masih banyak ruang untuk berkembang dalam cerita Ghoul.
    A: Nilai dikasih berapa?
    E: 7 gimana, mbah?
    A: Kata mbah sih 6. Tapi ngikut Cep Author aja deh.
    E: Oke, jadi fix 7 yaa.
    A: Iya.
    E: Salam sejahtera untuk Ghoul dkk, semoga bisa bertemu suatu saat nanti.
    A: Makasih udah mampir di lakon mbah. Nanti mbah kasih tahu bulat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. GHOUL (cium tangan mbah dulu): "Iya, Mbah. masih minim bela dirinya, masih kurang jago, eh dah jadi buronan. Ghoul sih sebenarnya ga jago2 amat bertarungnya, kalo gak ada napas, gak bisa ngapa-ngapain."

      SUNNY: "Kebiasaan pake onomatopoeia kayak di komik2."

      GHOUL: "Makasih, mbah dan authornya dah mampir. biasanya yang ke rumah pada nyasar sih. moga bisa lolos ke tahap selanjutnya biar bisa ketemuan. makasih tahu bulatnya. lumayan tuk buka puasa." :=(D "Bye-bye. mpe jumpa!"

      Hapus
  8. ceritanya menarik. cuma sayang perpindahan scenenya masih kasar. narasinya masih bisa dipangkas lagi jadi lebih ramping.

    well, nilai dari saya 7. semoga sukses..

    Dwi Hendra
    OC : Nano Reinfield

    BalasHapus
  9. Holla, mas/Mba author-nya Ghoul xD

    Ini adalah entry pertama yang saat Umi selesai baca, Umi ga inget Umi baca apa. Serius ._.

    Abis baca, kayak mikir, hmm tadi aku baca apa ya?

    Singkatnya, Umi ngebaca sesuatu yang plong banget, bagus tapi kurang mencolok.

    Umi suka sama karakter Ghoul yang baik dan terdidik untuk jadi contra example dari Ghoul 29 Februari itu.

    Sesungguhnya, Mahesa-nya sungguh membingungkan. Ini tidak seperti Mahesa yang Umi kenal T~T tapi ini tidak mempengaruhi nilai tenang saja xD

    Terakhir Umi titip nilai 7/10 yah untuk Ghoul

    OC: Song Sang Sing

    BalasHapus
  10. Entri ini terasa membosankan ketika saya berusaha membaca dengan Font Times New Roman. Ketika melihat Font ini saya langsung kepikir tugas sekolah, bukan medium untuk hiburan. Saya sarankan pakai Font lain untuk Entri Ghoul berikutnya, mungkin Font Cambria yang sering saya pakai.

    Ada banyak bagian yang mendapat font Italic yang berlebihan, ini kebanyakan event masa lalu dan sangat mengganggu. Beberapa dialog juga terlalu panjang dan alangkah lebih baik jika bisa dipendekan, dipotong jadi beberapa bagian atau dijadikan narasi saja.

    Entri ini menarik, tapi penyajiannya kurang tepat. Writings aside, sekarang kita bahas cerita yang dibawa.

    Penulis bisa menggambarkan harapan dan keputusasaan Ghoul dengan baik, bagaimana dia putus asa tapi tidak mau mati dengan nama "Ghoul".

    Saya juga penasaran kenapa kemampuan Ghoul dan sesama anak tanggal 29 lain untuk "Susah dibunuh/dibakar" tidak dicantumkan dalam kemampuan/kelemahan charsheet.

    Nilai : 7, tapi minus 1 karena kurang enak dibaca, jadi 6.
    OC : Nora

    Sekian dan terimakasih.

    BalasHapus
  11. Karena beberapa sudah disebut di atas, saya cuma ngulangin sedikit. Banyak pengulangan adegan yang bikin saya bosen, si A ke sini, udah, lalu ketemu B, udah, dan itu mirip-mirip. Akhirnya saya jadi skip-skip aja bacanya.

    Tapi, cara ngejelasin dengan memanfaatkan narasi Nurma bagus kok.

    7

    Gold Marlboro

    BalasHapus
  12. Entri ini panjangnya berapa, ya? ini entri yang banyak makan waktu lama buat ngerti isi ceritanya. dan berakhir biasa aja.

    karena ini adalah entri prelim, maka yang aku utamain adalah karakterisasinya. dan karakter Ghoul bisa saya pahami. gimana sih dia, apa ssih kemampuan dia. bagus.

    oh iya, fontnya kecil ya. mesti saya zoom buat bisa baca dengan nyaman.

    8/10 simple. karena aku dapet karakternya.
    Bian Olson.

    BalasHapus
  13. Bagian ngomong delapan baris non-stop itu mantep juga ya. Kayak nge-rap jadinya.
    > "Hosh, hosh", pyur, cring-cring, ctar! Oek-oek! "guk, guk, guk, guk". Semua efek suara itu menakjubkan bgt.
    Err ... Apa lagi yah? Ada beberapa kekurangan minor tapi semua itu ketutup sama penggunaan sfx yang ... beyond comprehension. Agak susah nemuin padanan bahasa Indonesia-nya buat sesuatu yang revolusioner begini. All hail sfx!
    Amazing story! 10/10 Olive

    BalasHapus
  14. “Blup blup blup” itu sfx semacem gelembung panas kan? Padahal menurut saya enggak usah dipake juga deskripsi di bawahnya cukup menjelaskan lokasi saat itu. Berlaku juga buat penggunaan sfx lain. Narasi di cerita Ghoul ini udah bagus, jadi next time mungkin bisa lebih pas lagi nyimpen suara-suaranya. Ceritanya sendiri apik, Eve-nya hot dan Ghoul-nya lucu pas gugup, tapi keren pas disiksa. Semoga lebih banyak lagi yang bisa diketahui nanti. Semangat terus~ 8/10

    Oc: Namol Nihilo

    BalasHapus
  15. Konsepnya keren, manusia 29 Februari. Diawali dengan adegan yang langsung menjelaskan apa sebenernya tema dari karakter ini, nice opening.

    Sfx-nya ganggu. Ada beberapa bagian yang menurutku useless, kayak naruh sfx benturan ketika narasi sudah menjelaskan kalau mereka memang sedang berkelahi. Atau nulis “Hosh hosh” tapi berikutnya dijelaskan lagi kalo yang bersangkutan sedang ngos-ngosan. Atau naruh ‘brak’ setelah penjelasan bahwa yang bersangkutan lagi nabrak dinding. Salah satu aja menurut saya. Kalo kayak gini jadinya boros kata juga dan ga efektif.

    Di luar itu premisnya menarik, plot dan alurnya bisa dinikmati meski narasinya bukan tipe yang kusuka sama sekali. Caramu memasukkan flashback sepenggal sepenggal begini juga menarik, soalnya biasanya orang cenderung bosan kalo flashback kelamaan. Jadi ini hal baru yang bisa kucatat untukku sendiri suatu hari XD

    Wait, seorang pasien di rumah sakit bawa2 pistol? XD

    "Selamat! Kau adalah salah seorang pemimpi dari 91 pemimpi lain yang diundang ke Alam Mimpi. Selamat datang!" > aku baca ulang di peraturan, bilangnya: Yang bisa terdengar jelas adalah bagian “reveriers”, “mahakarya”, “Alam Mimpi”. Sisanya terdengar samar-samar, jadi gimana ceritanya ada satu kalimat penuh ini bisa kedengaran?

    “...lirihnya iba sambil ******* hingga ke wajahnya.” > wtf? Dude, sensornya unnecessary, malah ngeganggu. Ini maksud isi sensornya apa? Vagina? Penis? Eek? Are u that scared to use a fucking f-word? Ini kamu yg sengaja nyensor atau gimana? Kalau emang setakut itu kan ada opsi buat mengalihkan istilah, misal penis jadi batang atau eek jadi buang air besar. Kalau disensor gini aku beneran ga paham loh maksudnya apa, kata apa yang pengen kamu sebutkan di sana.

    Aku jg agak bingung.. ini transisinya dari ogah2an ke nafsu sama Eve rasanya aneh.. Aku bisa paham sih kalo si Ghoul ini begitu biar bisa lepas, tapi kurang dinarasikan dengan baik menurutku jadi aku cuma bisa nebak2 di awal.. Pas adegan itu transisinya berasa maksa soalnya, kecuali dijelaskan apa yang dipikirkan oleh Ghoul pas itu.

    Kondisi cerita ini... nggak terjebak di alam mimpi ya selain Ghoul? Kok enak banget bisa bolak-balik mimpi-alam nyata. Berarti di sini Ghoul sudah sangat familiar dengan alam mimpi ya. Tapi konsep tahapan tidur ini menarik. Dan di dunia Ghoul, area mimpi satu sama lainnya bisa saling terhubung, plus Ghoul satu semesta dengan Mahesa? Widih

    Part paling kusuka ketika dia menamai dirinya sendiri “Dua Puluh Lima Juta”. Ga maksa sama sekali dan build up nya ke sini sumpah enak banget. Di sini aku nyaris lupa semua minus yang kamu buat sebelumnya. Hanya... peran Shui agak aneh, cuma muncul sebentar2 dan kukira bakal jadi peran penting banget tahunya cuma buat diselametin sama Ghoul.

    Ending song-nya unnecessary kalo dijelaskan dengan kata2, mending langsung diartikan saja di bawahnya. Imo bakal lebih kena drpd dijelaskan apa yang diceritakan dari lagu itu. Tapi ga akan pengaruh ke nilai sih, soalny bukan bagian dari cerita XD

    Ada beberapa poin yang ga perlu di entri ini yang udah kusebut di atas, terutama sensor dan sfx itu yang paling... ugh. tapi plotnya menarik sungguh. Mungkin ada beberapa yang butuh diperjelas, apalagi kamu kayaknya menganggap orang sudah baca part FBC ketika membaca ini..

    7/10, soalnya banyak hal yang bikin aku agak gak kuat lanjut sampe kudu maksa diri buat baca (apalagi entri wajib). Mungkin narasinya aja dulu menurutku yang perlu dibenahi duluan.. Memang ada yang suka sama gaya narasi begini, but kebanyakan yg di sini ga suka sfx apalagi yg sebenernya ga perlu kayak yg kusebut di atas. Kebanyakan sfx-nya ini dihapus juga ga ngaruh kok.

    Semoga lanjut.

    -J.Fudo Sang Pencipta Kaleng Ajaib-

    BalasHapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.