Senin, 01 Agustus 2016

[ROUND 1 - 2B] 23 - GHOUL | NAMAE NO NAI KAIBUTSU 2


GHOUL

oleh : Arieska Arief
--
Trailer: round 1 - 2B GHOUL - Namae No Nai Kaibutsu 2


Reveriers…
"Selamat! Di tempat itu, kau bisa sembuh dari penyakit asmamu untuk selamanya hanya dengan bermalam selama 13 hari saja…"


Mahakarya:
Parasit-parasit itu merayap di lehernya dan nekat membuat lubang di sana. Ghoul segera menyambarnya dan menggigit kepala mereka hingga putus. Kemudian ia hempaskan tubuh menjijikkan itu dan meludahkan kepalanya ke lantai.


Alam Mimpi!
"Ghoul, terimalah! Kukembalikan napasmu…"



NAMAE NO NAI KAIBUTSU - 2
(Monster "29 Februari" Tanpa Nama - arc 2: 13 Hari)

(by: Arieska Arief)


*Lanjutan FBC : 29 FEBRUARY (entri ke-15 sebagai prolog : Ghoul vs Mahesa) dan…
lanjutan prelim : NAMAE NO NAI KAIBUTSU (entri ke-31 sebagai arc-1 : si Dua Puluh Lima Juta vs Nine Lashes+Sunny)

**WARNING: Jangan baca dark fantasy for adult ini sendirian! Cus yang ketiga adalah setan. Eh? \(^0^)/


Cerita sebelumnya (tahap-tahap tidur berdasar EEG):





"Tolong! Tolong!!" Wanita berpakaian kurang bahan itu tak melambatkan pelariannya sedikit pun meskipun ia tengah berada di tengah hutan belantara—meniti gelapnya malam hari. Kedua lengan mulusnya sibuk menyibak ranting-ranting pepohonan yang menghalangi langkahnya. Tak apalah tangannya jadi lecet-lecet, yang penting bisa segera lolos dari mahluk mengerikan yang berada tak jauh di belakangnya.

Sementara itu, mahluk mengerikan yang mengejarnya berlari gontai ala joging pagi di belakangnya seolah mempermainkan mangsanya. Ia tahu bagaimana stamina targetnya kini hingga ia bisa berlari sesantai itu. Ia merasa tak perlu mengerahkan banyak tenaga untuk mempercepat larinya.

"Cantik! Bibirmulah yang mengundangku. Tolong izinkanlah aku meresapinya. Dadaku terasa sesak sekali, Sayang. Tolong berhentilah!" seru mahluk itu santai seperti orang mabuk.

Tentu saja si Cantik yang dimaksudnya itu tak memperlambat kecepatannya. Ia berusaha mencari pertolongan, tanpa sadar sudah jauh memasuki hutan itu. Napasnya sudah berantakan, tapi ia terus berusaha berlari sejauh mungkin.

Tak lama, ia terhenti sejenak untuk mengatur napas. "Hosh-hosh…" Ia menumpukan tangannya ke pohon. Setelah lama berkutat di kegelapan hutan, ia kemudian menyadari tak terdengar suara apa pun selain suara napasnya sendiri. Apakah itu artinya…

Dengan takut-takut, ia melirik ke belakang sana. Matanya melebar ketakutan hingga terlihatlah riasan wajahnya yang belepotan karena air mata. Rambut panjangnya tampak lepek karena keringat setelah pelarian yang panjang. Mata sembabnya tak menemukan siapa-siapa lagi di belakang sana. Telinganya pun tak menangkap suara lagi.

"Ke mana monster keparat itu?" Degupan jantungnya sudah mulai tenang, merasa diri sudah jauh dari pria jahat itu. "Sepertinya ia sudah menyerah mengejarku. Baguslah kalau begitu. Tapi aku harus segera mencari Kristy. Ke arah mana ia berlari?"

Akhirnya wanita itu melangkah celingukan mencari-cari temannya yang terpisah dengannya itu sambil memanggil-manggil, "Kristy!"

Ia terus melangkah hingga sesuatu yang panjang dan berlendir kemudian jatuh di atas kepalanya. Pluk. Tak hanya sekali, tapi beberapa benda berlendir juga mendarat ke kepalanya. Ragu, wanita itu memegangi benda ganjil itu. Sesuatu yang kenyal menari-nari di atas kepalanya. Segera dijamahnya benda itu dan terbelalak begitu melihatnya.

"Hiiii!" Segera dilemparkannya benda yang seperti cacing besar itu ke tanah. Matanya menatap ngeri benda yang menggeliat itu.

Wanita itu berinisiatif untuk menyingkirkan sisanya di atas kepalanya. Ia takut itu adalah benda yang sama mengerikannya. Benda yang pertama diraihnya adalah sesuatu yang ramping yang mengingatkannya pada kulit sapi impor ilegal di TV. Benda tersebut seperti serpihan kulit berukuran panjang tak karuan, hanya saja warnanya kuning pucat seperti… kulit manusia!

Ia kembali menyapu kepalanya dan merasakan ada sesuatu yang basah. Diliriknya telapak tangannya yang sudah seperti karpet merah sekarang. Matanya melebar. Terlebih lagi begitu melihat mahluk yang seperti cacing tadi tampak berlumuran darah dan tengah mengunyah serpihan daging segar.

Seperti di film-film horor klasik, sudah bisa diduga, wanita itu perlahan mendongakkan kepalanya ke pohon itu dan… sepotong tangan kemudian jatuh menyambutnya.

"Kyaaaaaaaa!!!" Ia memekik-mekik tak karuan begitu melihat cacing-cacing besar yang sama seperti tadi mengerumuni tangan di tanah itu. Mereka keluar masuk di daging tangan itu. Wanita itu kemudian tertegun begitu melihat jam tangan di potongan tangan itu. Ia langsung membekap mulutnya.

Seseorang kemudian muncul dan dengan santainya mengambil potongan tangan itu. "Kau benar-benar sahabat yang baik! Hanya untuk ulang tahun saja, kau memberinya hadiah semahal ini," komentar orang itu sambil melepas arloji di potongan tangan itu. "Kau tahu sekarang tanggal berapa?"

Air mata wanita itu kembali membanjiri wajahnya. Ia menggeleng-gelengkan kepala tak percaya, belum lagi ia harus berhadapan lagi dengan orang yang mengejar-ngejarnya daritadi. "Tidak…"

"Hari ini aku ulang tahun," kata orang itu dengan sok polosnya. "Kau tahu hadiah ulang tahun favoritku?" bisiknya misterius. Pria itu mendekat secara perlahan.

Wanita itu seolah kakinya dipaku sehingga tak bisa lari ke mana-mana lagi. Dengan cepat, pria mengerikan itu langsung menerjangnya hingga terjengkang. Orang itu memaksa untuk menidurinya sementara wanita itu meronta-ronta. Wanita itu menangis-nangis tak karuan dan mencoba untuk berteriak, namun si pria langsung membekap mulut wanita itu dengan bibirnya.

Ia mengecup bibir wanita itu dengan beringasnya hingga tak lama kemudian, tubuh wanita itu kejang-kejang dan tak bergerak lagi. Setelah korbannya tak berdaya, ia menjauhkan bibirnya dari wanita itu dan terlihat sisa-sisa ekor mahluk berwujud cacing besar dari mulutnya masuk ke mulut wanita itu.

"Ini yang terakhir," komentarnya begitu mulutnya terbebas dari mahluk itu.

Ia mengelus bibir lembut si wanita. "Kira-kira ada berapa banyak parasit yang kutuangkan padamu, ya? Maaf ya, aku tak pernah bermaksud menuang sperma padamu. Tapi kurasa itu masih lebih baik karena parasit itu akan membuatmu cantik seperti…" Ia memalingkan wajahnya pada mayat tak utuh di atas pohon sana.

Mayat tanpa busana itu sudah tak lengkap lagi. Tubuhnya tergantung di pohon dengan leher terjerat. Kedua lengannya sudah hilang entah ke mana, begitu pun dengan kaki kanannya. Hampir tak ada kulit menghiasi tubuh itu karena sudah dikuliti. Kulit pada paha kanannya yang tinggal separuh, bergelantungan tak karuan. Yang tersisa hanya kulit di wajahnya hingga masih bisa dikenali.

"Ya, seperti Kristy. Kawan-kawanku sudah makan banyak hari ini. Dan sekarang giliranku," bisiknya. Ia kembali mendekatkan wajahnya ke korbannya. "Yang kuinginkan bukan tubuh indahmu, tapi napasmu!"

Bibirnya kembali rekat ke bibir korban. Ia seolah mengisap sedotan dengan isapan kuat. Begitu puas, ia mengangkat wajahnya sambil mengunyah-ngunyah bibir korbannya tadi. Tampak ekor-ekor beberapa parasit yang kemudian kembali masuk ke mulutnya. Kini yang tersisa di wajah korbannya adalah seringai gigi-gigi kemerahan yang telanjang tanpa bibir indah dan kulit pipi yang mulus. "Lumayan! Sepertinya napasmu terbiasa digunakan untuk bermesum ria di ranjang dengan para pelangganmu. Napasmu kuat untuk berapa slot per hari, Nona?"

Plok plok plok… terdengar suara tepukan tangan di hadapannya. Seorang pria aneh mendekat. Si iblis mengelap sisa darah di mulutnya.

"Tanda lahir itu," komentar pria aneh itu begitu melihat goresan tegak lurus di sekitar matanya. "Jadi kau jauh-jauh kemari hanya untuk bernapas?"

"Aku diasingkan dari distrik Kabut Asap gara-gara tanda lahir ini. Parasit-parasit ini akan kembali ke tubuhku setelah mereka menuntaskan tugasnya. Mereka inilah yang membantuku mengumpulkan napas. Ngomong-ngomong, kamu siapa?"

"Kau akan segera tahu jika ikut denganku. Aku membutuhkanmu dan parasit-parasit di tubuhmu itu. Aku sudah banyak mendengar tentang kebuasanmu, Devila."

Mahluk bengis yang rupanya bernama Devila itu mengernyit. "Apa untungnya aku ikut?"

"Jika kau ikut denganku, kau bisa sembuh dari penyakit asma kutukanmu itu untuk selamanya."

"Oh, ya?" Devila melebarkan matanya.

"Dan aku juga akan memberikan makanan mewah untuk kawan-kawan di tubuhmu itu."

Devila tersenyum keji. "Tapi mereka hanya memakan tubuh manusia, terutama kulit yang bening."

"Jangan khawatir! Di tempatku ada banyak sisanya."

Devila langsung menegakkan tubuhnya. "Mereka bilang, mereka jadi penasaran rasanya." Ia kemudian lanjut mengikuti pria misterius itu.

Sementara itu, tubuh wanita malang tadi perlahan mengempis dan menyusut. Tangannya yang keriput drastis tiba-tiba saja terputus dan menggelinding ke dataran yang lebih rendah hingga ditemukan oleh seorang pria paruh baya. Melihat ada yang menggeliat-geliat di dalam potongan tangan itu, pria itu menyeruk dagingnya dengan ranting dan mengeluarkan seekor parasit dari sana.

"I-ini…" Pria itu terbelalak. "Monster 29 Februari dari kampung sebelah ada di sini?!"

***

Kriet…

Mahesa kembali ke kamar klinik dokter Anis tak sendirian. Di kedua lengan kokohnya tampak sesosok tubuh lunglai. Kepala pemuda yang terkulai itu, matanya terpejam seolah tengah terpulas.

Mahesa meletakkan tubuh tak berdaya itu di ranjangnya yang empuk hingga sebagian kecil tubuh itu tampak tenggelam di balik lembutnya sprai putih. Mahesa menghela peluh di keningnya. "Huft! Aku tak menduga kondisimu jadi separah ini,… Kawan."

Ia mengambil baskom berisi air hangat kemudian membilas darah mengering di sekitar wajah pemuda itu dengan handuk kecil. Begitu pelipis, hidung, dan mulut pemuda itu bersih dari darah, ia lanjut hendak membilas bagian tubuh lainnya. Namun Mahesa tertegun begitu melihat luka-luka ganas di tubuh itu. Ia kemudian menatap miris mata pemuda yang terpejam itu.

"Sebenci-bencinya aku padamu, aku tak akan tega menyiksamu seperti yang mereka lakukan. Mungkin seharusnya aku senang karena mereka memberimu pelajaran seperti orang haus darah. Tapi tetap saja, kau adalah… manusia. Caraku memberimu pelajaran lebih manusiawi kan daripada mereka karena aku memberimu kebebasan untuk melawan? Tapi kemarin kau membelenggu tanganmu sendiri untuk melawanku. Benar-benar cari mati!"

Mahesa menghela napas sambil menyeka luka-luka menganga bekas cambukan di tubuh itu dari darah, belum lagi lebam-lebam yang membuat siapa pun yang melihatnya akan iba. Sedikit-sedikit ia memalingkan wajahnya karena tak tega. "Kenapa kau mau-maunya saja diperlakukan seperti ini?" Ia kembali berbicara pada orang tidur itu. "Sepertinya kau ini tipe orang yang terlalu berlapang dada, ya?"

Tak lama ia menyingkir sebentar menuju lemari, mencari-cari obat. "Dokter Anis pasti punya obat pereda nyeri atau apa pun yang bisa membekap luka-lukamu yang menganga itu. Aku jadi tak tahan melihatnya." Ia berhasil mendapatkan obat yang dimaksudnya kemudian mengolesinya ke luka-luka itu. "Semoga saja ia berhasil mendapatkan adiknya dan kembali pulang."

Ia melakukannya dengan napas yang terengah-engah. "Mulai lagi, deh. Kau tahu? Kau itu kurang gizi, tapi lumayan berat. Membawamu ke sini dari sarang para bajingan itu, lumayan menguras tenaga juga. Untung saja mereka tengah tertidur semua. Untungnya lagi, aku melihatmu berada di sana—di bingkai mimpimu, jadi aku sengaja datang menempuh bahaya demi mendapatkanmu. Kau ingat kan apa yang kaukatakan padaku tadi? Kau adalah milikku. Semua yang kulakukan ini tentu saja ada imbalannya. Jadi kau tak perlu merasa tak enak hati padaku karena aku tak bermaksud menyelamatkanmu."

Mahesa menggeleng-gelengkan kepalanya begitu teringat betapa ibanya ia saat melihat pemuda yang tengah dirawatnya itu terantai tak berdaya. Darah berceceran di lantai sekitar tubuhnya dijerat. Tubuh yang berdarah-darah itu membuat matanya hampir berkaca-kaca.

"Argh! Aku benci sekali sama kamu!" serunya dengan perasaan tak karuan sambil menutup tubuh itu dengan selimut sebatas dada. Gerakan menyelimutinya tampak kasar. Mahesa memijat keningnya. "Aku benci karena kau mau menyelamatkanku. Aku benci sifatmu yang sok baik itu! Kau itu pembunuh. Dan akan kupastikan ajalmu segera tiba di eksekusi mati jilid 3 itu, tapi…"

Matanya kembali melunak. Ia menatap wajah tenang itu. "Tapi izinkan aku untuk membalas budi. Huban sudah banyak cerita padaku, makanya aku tak menangkapmu waktu itu. Semoga kau berhasil mencari nama aslimu di sana dan… dan kita akan berkenalan lagi. Ya, aku ingin mengenalimu sebagai orang baru, bukan sebagai…" kalimatnya menggantung begitu ingin mengeluarkan sebuah nama dari kepalanya.

"Ah, tidak! Kau sebenarnya tak pantas menggunakan nama seburuk itu." Matanya lalu menatap sekelilingnya. "Tapi ngomong-ngomong, malam ini aku harus tidur di mana? Apa aku harus menunggumu bangun?" Ia mendekatkan wajahnya ke wajah pulas pemuda itu.

"Huft. Enak saja!" Mahesa melipat tangannya. "Tapi untuk kali ini saja, ya. Eh ngomong-ngomong, sekarang kau lagi ngapain saja di sana?"

***

"Wow!" Mata Ghoul melebar begitu melayangkan pandangannya di aula Museum Semesta yang megah itu. Tak hanya ia yang berada di sana tentunya. Terdapat sekitar 60-an para pemimpi yang berhasil ditandai di sana. "Baru kali ini aku diundang ke acara semewah ini," komentarnya sambil melihat-lihat. Senyum tipisnya mengembang begitu melihat orang-orang aneh di sekitarnya yang berlalu lalang. "Ada kawan-kawan baru berkostum Halloween juga."

"Huh! Memangnya mereka pikir, mereka siapa? Berani-beraninya menggambil gambarku di pose memalukan seperti ini!" terdengar suara gerutu di telinga Ghoul. "Tak seorang pun yang berhak menilaiku semurahan ini."

Ghoul mencari sumber suara dingin itu dan melihat seorang gadis manis berambut merah panjang yang tengah memandangi lukisan dirinya di dinding aula. "Gadis itu reverier juga? Memangnya dia bisa bertarung? Dia terlalu 'terbuka' untuk itu," komentarnya sinis begitu melihat pakaian gadis yang agak terbuka itu. Ia bergegas meninggalkan gadis itu karena mengingatkannya pada si gadis mesum bernama Eve yang sudah lancang meraba-raba tubuhnya di bagian sensitif. Mengingatnya, wajahnya jadi memerah saking malunya. "Untung saja gadis itu bisa dibodoh-bodohi. Anggap saja sebagai bayaran karena gadis itu sudah berani pegang sana-sini."

Sambil mencari-cari lukisannya, Ghoul menyempatkan diri untuk berkenalan dengan para pemimpi lainnya dari berbagai negeri yang sempat ditemuinya di sana. Hitung-hitung, sebagai teman-teman barunyalah! Dan tentunya ia sangat menikmati kegiatan itu karena tak ada seorang pun dari mereka mengetahui profil angkernya yang terkenal itu. Mumpung mereka tak mengenalnya dengan baik, Ghoul merasa itu kesempatan emas untuk berteman dengan siapa saja di sana.

Ia kembali fokus pada tujuannya begitu puas bersosialisasi. "Mungkin lukisanku ukuran A5," komentarnya sambil mencari-cari. "Pertarunganku kan sangat memalukan…"

"Haha! Kalau lukisan pertarungannya setolol ini, sudah kubakar sekarang. Pose lukisan nomor 31 ini sangat tak layak untuk menjadi koleksi tempat ini. Kemampuan sampah," sebuah suara angkuh menarik perhatian Ghoul. Pria itu tampak tua dan sepertinya mengerti tentang lukisan. Namun yang membuat Ghoul tak terima karena lukisannya yang dikomentari. "Cuih!"

"Huh! Aku tak ingin membuat keributan di sini karena dia seorang bapak-bapak yang harus dihormati," gerutu Ghoul sambil melangkah melewati lukisannya sendiri. "Kenapa hari ini penuh dengan orang yang menyebalkan, ya?"

"Hm… Bau darah…"

Ghoul terpaku begitu mendengarnya. Ia menolehi pria itu sedikit sambil mengernyit. Pria itu menatapnya sambil menyeringai.

"Kau itu lemah tapi bau darah…"

Ghoul membalikkan tubuhnya hingga menghadapnya. "Maksud Paman apa?"

"Lukisan ini juga akan berubah penuh darah…" Pria itu menunjuk-nunjuk lukisannya yang Ghoul sendiri tak mau melihatnya saking memalukannya. Tatapan tajamnya tertuju penuh pada pria itu. "Kau itu kuat hanya untuk dihabisi, tapi lemah dalam pertarungan. Apakah kau yakin masih ingin melanjutkan impianmu di sini?"

Ghoul melipat tangan penuh percaya diri. "Begini-begini, aku pernah menjadi murid di Merpati Putih yang mengandalkan ilmu pernapasannya. Hm… tapi hanya sampai tingkat dasar dua sih," ia mengatakannya sambil menghindari tatapan pria itu. "Tapi…" Ia kembali menatap pria itu dengan mata elangnya, "…ayahku bilang, Tuhan akan selalu membantu orang yang ingin mengubah nasibnya. Ya, meskipun menjadi reverier di sini bukan satu-satunya cara untuk meraih impianku itu."

Pria itu terkekeh-kekeh. "Tuhan? Orang yang bau darah sepertimu masih bisa juga ya bawa-bawa nama Tuhan segala. Nak, coba kau pikir baik-baik! Apakah Tuhanmu mau membantu pembantai kambuhan sepertimu? Apakah kau pantas menerima uluran tangan-Nya?"

Ghoul membuka-tutup mulutnya—kehilangan kata-kata untuk membalasnya. Kedua tangannya terkulai lemas ke sisi tubuhnya.

"Nak, aku tak peduli apa agamamu. Tapi orang seperti kita, tak pantas menyebut-nyebut Tuhan lagi. Kau dan aku sama saja. Dan kali ini, hanya iblis yang bisa ikut campur membantumu bukan Tuhan! Tuhanmu itu sudah melepaskanmu dan itu sudah menjadi takdirmu. Kau diciptakan hanya untuk menjadi bagian dari iblis, tapi kenapa kau masih saja menolaknya? Kau tak ingin jadi iblis, tapi percuma kan jika Tuhan menakdirkanmu menjadi iblis? Kau tak akan bisa mengubah apa-apa! Jadi apakah kau masih bersikeras untuk setia pada agamamu?"

Mata Ghoul mulai berkaca-kaca mendengarnya. Napasnya terengah-engah mendengarnya. Ia tertunduk sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat. "Kau… kau hanya orang asing yang tak tahu apa-apa tentang diriku. Kau tak berhak berkomentar apa-apa tentangku!" raungnya lepas kendali sambil mengayunkan tinjunya ke wajah pria itu.

Bugh!

***

"Sebentar lagi Gladis akan kemari…"

Gadis cantik itu melangkah tanpa ragu memasuki sebuah ruangan. Mata dinginnya menatap kaku lambang bintang di depan pintunya. Lambang itu sebenarnya dikenal sebagai lambang seks setan.

Gadis berpakaian sutra itu terus melangkah dan berhenti tepat di hadapan puluhan orang yang duduk melantai di sana. Gadis itu tersenyum.

"Kalian pasti bertanya-tanya mengapa aku tak pernah lagi muncul di TV di tengah-tengah puncak kepopularitasku ini, kan?" terdengar suara dinginnya.

Orang-orang di hadapannya mengangguk-angguk. "Kenapa, Gladis?"

Gadis yang bernama Gladis itu kembali melangkah mendekati sebuah meja hitam yang penuh cangkir. "Itu karena aku sudah menyadari sesuatu."

"Apa itu?" tanya mereka kompak.

"Ketenaran, kecantikan, itu semuanya akan musnah dan aku lebih memilih jalan keabadian untuk tetap menjadi cantik dengan menjadi bidadari di surga-Nya daripada menjadi aktris di dunia yang sangat singkat ini. Kiranya kalau aku lebih cepat melakukan ini semua, aku akan menjadi gadis tercantik di surga-Nya yang tak terkalahkan. Kalian tahu sendiri kan aku tak suka jika peranku direbut pemain baru di FTV?"

"Tapi gadis itu tak secantik kamu!"

"Iya! Ia bukan sainganmu dalam berakting."

"Kami adalah penggemar setia yang akan terus mendukungmu!"

"Benar! Benar!"

Gladis kembali menghadap mereka semua. Senyumnya semakin mengembang. "Terima kasih sudah menjadi fans setiaku. Tapi aku sudah memutuskan untuk tak berambisi lagi di dunia seni peran karena aku sudah menemukan yang lebih baik lagi daripada itu yaitu dengan menjadi bidadari di surga Demos."

Para penggemarnya saling berbisik-bisik.

"Kalian pasti tahu apa tujuanku mengumpulkan kalian semua di sini. Apakah kalian masih tetap menjadi penggemar setiaku? Apakah kalian akan mengikuti jalanku seperti halnya kalian dulu mengikuti gaya hidupku, pola makanku, cara berbusanaku sewaktu jadi aktris dulu?"

Para penggemarnya hanya menatapnya terpana.

"Kesetiaan kalian akan diuji di sini. Jika kalian tetap setia, kita akan selalu bersama-sama. Tapi kalau tidak, kalian tak akan bisa melihatku lagi. Kalian pasti tak ingin kehilangan aku, kan?"

Seorang pemuda culun kemudian berdiri. "Gladis, aku sangat ngefans padamu sejak pertama kalinya kau masuk TV. Sungguh!"

Gladis tersenyum kemudian memberikan secangkir minuman dari meja hitam itu padanya. "Minumlah. Minuman ini akan membawamu bersamaku."

Pemuda itu langsung menerima cangkir itu dan tak ragu-ragu lagi meminumnya.

"Bagaimana dengan yang lain?" Gladis menatap orang-orang di sekitarnya. "Aku akan menjadi bidadari surga. Surga membutuhkan kecantikan yang baru di sana. Dan aku lebih memilih untuk menyerahkan kecantikanku ini untuk surga. Apa kalian masih mau berpikir-pikir lagi untuk ikut bersamaku ke sana?"

Bagai terhipnotis, orang-orang itu kemudian saling mengangguk.

"Ya, kami ingin ke surga bersama bidadari. Bawa kami ikut bersamamu, Gladis!"

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, mereka pun meminum isi cangkir di meja hitam tadi, bahkan berebutan agar tak sampai kehabisan. Gladis tersenyum puas melihatnya.

"Tunggu apa lagi? Selanjutnya kita akan mandi minyak wangi untuk menyucikan tubuh. Mari kita ke surga bersama-sama!"

***

Portal ajaib Ratu Huban muncul di sebuah ruangan dan seseorang kemudian dilempar keluar dari dalam sana hingga tersungkur. Bruk.

"Mbek?" Seekor domba mendekati tubuh itu kemudian menjilati rambutnya yang acak-acakan sebagai bentuk kepeduliannya.

"Buckazi?" Ghoul meringis sambil menyebut nama domba itu untuk pertama kalinya. Spontan saja ia menamainya begitu karena teringat bangkai domba yang diperebutkan para pemain berkuda di Arab. Olahraga itu disebut buckazi. Para pemain buckazi di atas kuda yang berlari kencang, berusaha saling merebut bangkai domba hingga domba malang tersebut tercabik-cabik. Ada yang dapat pahanya, ada yang dapat kepalanya, di mana semuanya terpotong karena aksi tarik-menarik di atas kuda. Ghoul pernah melihat adegan itu di film india Ashoka episode perdana (silakan lihat di youtube!). Tapi untung saja dombanya sudah mati sebelumnya. Terlalu kejam tentunya kalau dimainkan saat domba itu masih hidup. Kesenangan orang terdahulu memang mengerikan!

"Mbek…" nada suara Domba tersebut sepertinya kurang senang pada nama barunya karena tahu apa artinya. Mungkin ia minta namanya diganti. Tapi sepertinya ia harus menyesuaikan diri dengan majikan barunya yang juga memiliki arti nama yang mengerikan: Ghoul (pemakan mayat).

"Ugh," rintih Ghoul. Bibirnya jadi terluka karena terhantam lantai. Ia menegakkan kedua lengannya dan terpaku begitu menatap sekelilingnya. "Hu-Huban? Hubaaaaan?"

"Tak perlu manggil kencang-kencang. Aku ada di belakangmu," terdengar suara Ratu Huban. "Maaf ya aku sudah mendorongmu keras-keras."

Ghoul langsung menolehinya di belakang. "Kawan, tolong bawa aku segera pergi dari sini!" paniknya sambil mendekati Ratu Huban. "Aku… aku tak mau berada di sini! Aku takut! Aku benci tempat ini!"

"Ya, anggap saja ini hukuman buat kamu karena hampir saja berkelahi."

Mata Ghoul jadi gelagapan. "Maaf. Terima kasih sudah menghentikanku. Tapi karena kau mencekalku, pria itu berkesempatan meninjuku padahal aku belum sempat melakukan apa-apa padanya," tutur Ghoul sambil memegangi pipinya yang memar. "Tapi… tapi, Huban. Tolong jangan tempatkan aku lagi di sini. Tolong keluarkan aku dari sini!" Matanya kembali menatap liar ruangan yang baginya menakutkan itu.

"Tidak bisa!" tegas Ratu Huban. "Tempat ini adalah tempat dimana kau dilumpuhkan… ngh, maksudku tempat di mana kau tertidur setelah disiksa ramai-ramai."

Ghoul menatapnya memelas. "Kawan, aku tak suka tempat ini! Bagaimana kalau mereka muncul kembali dan…" Kalimat Ghoul jadi tergantung karena ngeri sendiri membayangkan apa yang akan terjadi padanya. Ia malah membayangkan tubuhnya akan dicabik-cabik seperti di olahraga buckazi itu.

"Ken," Ratu Huban memegang bahu Ghoul yang mulai gemetaran. "Kau tak usah takut lagi. Kau pasti bisa menghadapi mereka. Lagipula bukankah mereka tak bisa melihatmu karena kau tidur dalam tahap REM?"

"Bagaimana kalau tidur mereka bisa menembus tahap itu?" Ghoul mengucapkannya dengan lidah bergetar.

"Akan ada pertarungan seru di sini," jawab Ratu Huban sekenanya. "Maaf, Ken. Aku tak bisa memindahkanmu karena di tempat inilah tempat peristirahatanmu. Jadi kau harus selalu melihat tempat ini lagi tiap kali pertarunganmu selesai. Itu sudah menjadi peraturannya!" tegasnya.

Ghoul menghela napas pasrah. Ditatapnya lagi ruangan kelam itu. Ia melayangkan pandangannya sambil memutar-mutar tubuhnya. Rantai di mana ia diikat sebelumnya tampak tergeletak tak karuan di lantai, sementara di lantai sekitar tempatnya dirantai tadi masih tersisa ceceran darahnya.

"Sumpah, sebenarnya aku tak ingin melihat tempat mengerikan ini lagi," rintihnya sambil terduduk di pojok ruangan. Ia bersandar penuh ke dinding. "Kau bilang ini tempat peristirahatanku? Tempat peristirahatan macam apa ini? Yang ada aku tak bisa beristirahat sama sekali karena was-was. Kawan, kau ini mau melihatku mati perlahan di sini, ya?"

"Akh! Diamlah! Jangan cengeng begitu," tegur Ratu Huban. "Berhentilah merengek! Jangan khawatir, aku akan menemanimu di sini. Bagaimana kalau kita cerita-cerita saja soal kesan-kesanmu di museum semesta tadi supaya aku tak pulang-pulang?"

Ghoul tampak mengulang memorinya. "Syukurlah aku bisa punya teman-teman baru di sana. Dari 60-an reverier, aku hanya sempat berkenalan dengan 30 reverier. Bahkan ada di antara mereka—para wanita—yang meminta PIN BB atau nomor ponselku. Tapi aku kan tak punya…"

Ratu Huban terlihat meneguk ludah. "Abaikan saja soal wanita-wanita itu. Tapi hebat juga ya kau bisa bertahan dikerjain habis-habisan oleh Nine Lashes tadi. Disiksa malah minta nambah. Aku tak tahu apa yang kaupikirkan. Mungkin rasa sakit tidaklah penting untuk kaupikirkan."

Ghoul menyandarkan belakang kepalanya sepenuhnya ke tembok. Ia menatap tempatnya dirantai dengan mata redup. "Aku hanya ingin membuat mereka menyerah. Aku hanya ingin menunjukkan kalau aku bisa lebih kuat daripada mereka meski tak melawan. Aku hanya ingin meruntuhkan kepercayaan diri mereka kalau mereka tak bisa melukaiku begitu saja meski aku dirantai. Dan itu sangat-sangat-sangat menyakitkan kalau kau mau tahu. Aku menunggu mereka lelah, tapi rasanya tak sabar untuk itu. Kapan? Kapan mereka puas? Aku nyaris gila waktu itu. Kumengganti kata 'aduh' dengan terus memprovokasi mereka. Niatku tulus mengejek kemampuan mereka. Tapi mereka lebih 'tulus' lagi menghancurkanku. Rasanya aku ingin meminta mereka membunuhku saja waktu itu, tapi untung saja tak kukeluhkan meski kalimat itu sudah di ujung lidah."

Ratu Huban jadi merasa bersalah sudah memujinya. "Aku bermaksud memujimu loh, tapi kau malah sedih begitu. Hm, aku tak sangka kalau di penjara kau mendapatkan perlakuan lebih parah daripada itu. Aku sampai tak ingin membayangkannya."

Ghoul melebarkan mata menatap Ratu Huban. "Jadi kau juga menganggap serius ucapanku waktu itu? Kawan, kalau dikerjain Nine Lashes saja aku hampir gila, aku tak mungkin bertahan di penjara itu selama 3 tahun. Pasti aku sudah kabur di malam pertama. Jujur saja, tak sulit bagiku untuk kabur dari penjara itu. Aku bisa saja melakukannya di hari pertama, tapi tak kulakukan, kan?"

"Hum, semoga saja Nine Lashes tak sadar kalau mereka sudah dikelabui. Tapi kalau kau diperlakukan manusiawi di penjara, kenapa kau harus kabur? Masa hukumanmu tinggal berapa tahun?"

Wajah Ghoul mendung lagi. "Aku dijatuhi 13 tahun karena waktu itu masih di bawah umur. Aku… aku terpaksa kabur karena aku ulang tahun. Tapi karena kabur, orang-orang yang lahir di tanggal yang sama denganku akan diasingkan dan hukumanku…"

"Ulang tahun?!" Ratu Huban merasa tak percaya alasan itu.

"Kau tahu tidak kalau berulang tahun, kado favoritku adalah napas sejumlah orang. Ruh dalam tubuhku sangat menginginkan semua orang di penjara itu memberiku kado yang dia inginkan. Aku tak ingin membahayakan orang-orang di sana, sama seperti yang kulakukan waktu ulang tahunku yang ke-16 dulu."

"Ja-jadi kebakaran sekolah itu…" Ratu Huban tercekat begitu menyadarinya.

"Aku memang pantas dijatuhi hukuman mati. Kau pasti berpikiran begitu, kan?" Ghoul mencoba tersenyum.

Ratu Huban menggelengkan kepala untuk mengalihkan pembicaraan. "Sebaiknya kau bersiap-siap untuk ke lokasi selanjutnya. Mandi, kek. Kau ini bau sekali seperti bau darah."

Ghoul tertegun menatap Ratu Huban. Ia mengendus-ngendus kedua bahunya kemudian melepas rompi pemberian Shui. "Kau ini seperti ayahku saja yang menyuruhku mandi untuk ke sekolah."

Wajah Ratu Huban seolah merona malu karena Ghoul melepaskan pakaiannya. Ia langsung saja membalikkan badan membelakangi Ghoul. "Mau apa kau? Jangan anggap serius kata-kataku tadi. Jangan pamer bodi di hadapanku! Mentang-mentang situ oke."

Ghoul terperangah melihat gelagat itu. "Haha! Sori. Aku lupa kalau kamu lawan jenis. Kau benar. Aku bau bangkai. Tapi aku tak bisa mandi di tempat ini. Aku pasti akan menemukan tempat mandi di lokasi pertarungan selanjutnya. Jadi sebaiknya aku latihan saja dulu. Aku tak mau buang-buang waktu. Takutnya kalau aku bersantai-santai saja, para pemburu hadiah haus darah itu datang. Jadi aku harus siap kapan saja, kan?"

Ratu Huban menghela napas lega. Namun ia tak kunjung membalikkan badannya meski mendengar Ghoul tengah berlatih sendirian menghantam tembok. Ia merasa risih melihat dada telanjang laki-laki macho.

"Jadi kau mau olahraga? Kirain mau apa," komentar Ratu Huban sambil melangkah ke tempat tadinya Ghoul dirantai.

"Kirain apa? Aku ini bukan orang mesum, Kawan!" kata Ghoul sambil terus meninju-menendang tembok hingga secara perlahan temboknya rusak. "Kamu jangan khawatir. Aku tak akan memakai organ vitalku ke sembarang tempat atau… mungkin tak akan pernah memakainya untuk selamanya." Bugh! "Eh? Bicara apa aku ini? Jangan dimasukkan ke hati, ya!"

Ratu Huban memberanikan diri menatap Ghoul di belakangnya. Pemuda 20 tahun itu terhenti dengan napas terengah-engah. Kepalanya tertunduk dengan tinju kanan yang tertancap di tembok.

"Ken, apa tak ada cewek yang kamu suka?"

Perlahan Ghoul menatapnya sambil tersenyum. "Bicara apa kamu ini? Kamu lupa kalau aku akan dihukum mati? Aku tak akan menikah. Mana ada waktu untuk memikirkan percintaan atau aktivitas seksual?"

"Tapi apakah kau pernah berpikir untuk bercinta sebelum menikah?"

Wajah Ghoul memerah. Ia kemudian terduduk sambil kembali bersandar ke tembok. "Kenapa kau malah membahas hal ini denganku? Aku memang orang hina. Tapi aku tak mau bawa beban dosa yang lebih berat lagi ke hadapan-Nya. Orang yang mau mati, seharusnya lebih banyak insyafnya bukan?"

Ratu Huban tampak tertegun. "Di hari gini kau masih memikirkan soal dosa? Kau tak ingin mencari cintamu?"

Ghoul kemudian berdiri membelakanginya sambil mengenakan kembali rompinya. Dirapikannya perban-perban di sekujur tubuhnya, tak lupa menyamarkan sebagian warna rambutnya dengan arang kehitaman dari tangannya. Dibenahinya poninya agar tetap selalu menutupi luka bakar di sisi kanan wajahnya. "Kawan, aku memang sedang mencari seorang wanita. Tapi aku ini ingin mencari ibuku, bukan mau cari pasangan. Aku tak punya banyak waktu untuk memikirkan cinta. Kau sudah salah orang jika membahas ini denganku," ucap Ghoul lembut sambil membalikkan badannya menghadap Ratu Huban. Ia tetap memasang senyum tulusnya. "Aku sudah siap! Apa kita bisa mulai sekarang?"

Ratu Huban malah tampak terpana melihat penampilan Ghoul yang sekarang ini. "Apa-apaan rambutmu itu? Tapi melihatmu seperti ini, rasanya kau lebih pantas mengenakan jas dan sepatu. Kau pasti akan lebih keren dan terlihat seperti pangeran. Sayang sekali ya ketampananmu harus jadi mubasir di tempat pemancungan!"

Ghoul melangkah mendekati Ratu Huban kemudian memegang kedua bahunya. "Kawan, aku bukan pangeran dan aku tak butuh jas mau pun sepatu. Aku hanya butuh nama asliku! Berhentilah membayangkan hal-hal yang enak-enak tentangku."

Ratu Huban mengangguk buru-buru. "Ya kan tak ada salahnya membayangkan calon suamiku kelak orangnya seperti kamu…"

"Dan kau akan segera menjadi janda dan anakmu langsung menjadi anak yatim. Aku akan dipenggal. Kalau kau mau, nikahi saja kepalaku. Oke?"

Ratu Huban tertegun. "Humh, kamu ini jangan ge-er ya! Lagian mana ada sih gadis yang naksir dengan orang yang sebentar lagi kepalanya akan terpisah dari tubuhnya?"

"Bagus!" komentar Ghoul yang malah tersenyum. "Dan soal rambut ini, bukannya mau gaya-gayaan, sih. Tapi aku sedang menyamar. Bagaimana?"

"Tetap liar seperti biasanya. Tak ada yang berubah," komentar Ratu Huban.

"Begitu, ya?" Ghoul kembali merapikan rambutnya. "Hem…, Kawan! Kalau aku mati nanti, banyak-banyak kirim doa buat aku ya. Aku tak takut mati, tapi aku lebih takut hukuman di alam kuburku nanti. Aku sudah begitu banyak menderita, aku hanya ingin tenang di alam kematianku. Itu saja." Ghoul menggigit jarinya cemas.

Kalau Ratu Huban punya mata, mungkin akan terlihat kalau matanya tampak berkaca-kaca mendengar kecemasan Ghoul itu. Tapi untung saja ia tak bisa mengekpresikan perasaan ibanya itu.

"Pasti," ucapnya. "Kau selalu melakukan kebaikan tanpa kau sadari dan secara spontanitas. Kau bahkan tak peduli orang-orang yang kautolong sudah banyak menyakitimu sebelumnya. Hum, mereka pasti akan mengirim doa pula untukmu. Aku yakin!"

Mendengarnya, hati Ghoul sedikit terhibur. Ia kembali mengembangkan senyumnya meski pahit.

Trek. Pandangan Ghoul kemudian teralihkan ke tembok yang dipukulinya untuk latihan tadi. Karena penasaran, ia membersihkan serpihan-serpihan tembok itu dan matanya pun melebar. "Lihat! Ada tulisan di tembok ini. Tapi aku tak bisa baca tulisan dari dunia kalian."

Ratu Huban mendekati tulisan itu. Meski tak punya mata, tapi Ratu Huban tahu betul apa maksud dari pesan itu. "Oh, ini pesan dari Paman Kurator itu tentang lokasi pertarungan yang harus kaudatangi selanjutnya. Dia punya kabar bagus buat kamu."

Ghoul merekahkan senyumannya. "Apa isi pesannya? Bacakan, dong!"

"Intinya sih karena kau sudah banyak berbuat kebaikan, ia memberimu hadiah dengan menuju suatu tempat. Di tempat itu, kau bisa sembuh dari penyakit asmamu untuk selamanya hanya dengan tinggal selama 13 hari saja."

Ghoul mengangguk-angguk saja. "Cuma tiga belas hari? Menarik! Tapi ah, tak usahlah. Sebentar lagi aku kan akan mati juga. Tak apalah. Asma ini bukan masalah buatku."

"Tapi akan lebih baik kalau kau sembuh dulu. Bagaimana kalau kau mati di tengah jalan gara-gara asmamu kumat sebelum kau berhasil menemukan nama aslimu itu? Lagipula pikirkan nasib calon korban yang akan kaucuri napasnya. Kalau kau sembuh, kau tak akan membahayakan banyak orang lagi kan? Eh, maksudku ruh suram dalam tubuhmu itu."

Ghoul merenungkannya. "Apa kita akan ke dokter? Ke rumah sakit? Yang biayain siapa? Aku tak punya BPJS."

"Kau akan segera tahu itu…" Ratu Huban melirik Buckazi. "Buck, antarlah kawan baik kita ini ke sana," katanya sambil mendorong bahu Ghoul hingga ia terduduk di atas punggung domba itu.

"Kita mau ke mana?" Ghoul kebingungan.

"Hmmm… maaf ya, Ken," ucap Ratu Huban. "Tapi sebelumnya kau harus 'ini'!"

"Kau mau ap…"

Ghoul tak bisa berkata apa-apa lagi setelah kepalanya ditutupi kain hitam. Tak hanya itu, ia juga merasakan kedua tangannya diikat ke belakang. Ia tak bisa bergerak!

"Kita akan ke Brando. Selanjutnya kau akan diurus dengan baik oleh Detektif Ro!"

***

"Alatore devidatore tentarumo cosmerika…"

Seorang pria berusia 28 tahun yang mengenakan jubah merah marun dengan logo aneh di topi lancipnya tengah memimpin ritual pengorbanan jiwa kepada iblis di sebuah gereja tua. "Karuniakanlah kesucian untuk kami semua, wahai junjungan kami!"

Para pengikut sekte yang mengenakan pakaian hitam-hitam tersebut diketuai oleh seorang gadis—Gladis.

"Bawalah mereka ke surga bersama utusanmu yang kelak akan menghiasi surgamu ini. Hiasilah surgamu dengan jiwa-jiwa suci mereka dan mudahkanlah hamba untuk membawa lebih banyak pengikut lagi ke surgamu. Hamba sudah tak sabar lagi bertemu denganmu, wahai junjunganku!"

Sebagai juru kunci "portal ke surga", Pokiel hanya bisa mengantar para pengikutnya itu sampai ke "gerbang". Ia masih belum puas menutup "gerbang" tersebut, sebelum jumlah pengikutnya sesuai harapannya. Ia masih ingin memengaruhi lebih banyak orang lagi, baru ia bisa menutup "gerbang" tersebut sebagai kloter terakhir.

Gladis melangkah mendekat. "Aku tunggu kau di sana, Pokielku yang tampan. Jangan lama-lama ya, Sayang!" Gadis cantik itu tersenyum manis padanya. "Aku mencintaimu!"

"Tentu saja, Sayang. Aku juga sudah tak sabar lagi bertemu denganmu di sana. Doakan saja aku bisa merekrut lebih banyak pengikut lagi dan kita akan abadi di surga sana. Kita akan menjadi Adam dan Hawa di sana."

Mereka kemudian berciuman sebelum berpisah.

Gladis dan para penggemarnya sudah bersiap di depan "gerbang" yang merupakan sebuah kolam luas jauh di bawah sana. Tak lama, mereka mulai terjun satu per satu tanpa ragu ke "gerbang" itu.

"Huft! Akhirnya selesai juga," kata Pokiel setelah semuanya menghilang ke dalam kolam itu. "Melelahkan juga ya. Tapi hari ini jumlahnya lumayanlah!"

Jepret! Jepret!

Pokiel langsung menoleh ke belakang begitu cahaya kamera menyorotinya. "Devila! Apa-apaan kamu ini?"

Devila berhenti memotret dan mengeluarkan seringai mengerikannya. "Tak ada salahnya kan didokumentasikan?"

"Tapi kalau giliran kita, tak akan lagi ada yang bisa mendokumentasikannya."

"Siapa bilang aku mau jadi pengikutmu, Po?"

Pokiel memelototi Devila yang melangkah santai ke tepi kolam mengerikan itu.

"Tugasku hanya untuk membersihkan mayat-mayat aktivis kemanusiaan yang menentangmu dengan parasit-parasitku, kan? Aku heran. Kenapa tak kau buang saja mayat mereka ke kolam itu?"

"Enak saja! Itu karena jiwa mereka tak suci. Makanya aku merekrutmu untuk membantuku menghilangkan bukti. Hanya jiwa-jiwa suci yang berhak untuk larut ke kolam yang airnya berasal dari surga itu."

Devila menghirup udara bebas dengan wajah bergairah. "Kurasa kita sudah impas dengan begitu. Aku tak harus melakukan ritual bodoh ini juga. Bunuh diri? Aku tak pernah memikirkannya apalagi untuk iblis. Aku tak punya alasan bodoh untuk itu. Lagipula aku sudah mendapatkan napas yang kumau di sini. Sisa-sisa napas terakhir mereka sangat nikmat. Napas terakhir yang menguap ke seluruh ruangan ini. Aku yakin dalam beberapa hari ke depan, aku bisa sembuh dari asmaku. Parasit-parasitku tak perlu repot-repot lagi menelan napas orang untukku."

Pokiel mengepalkan kedua tangannya. Tapi ia menahan diri habis-habisan karena masih membutuhkan bantuan iblis 29 februari itu.

"Terima kasih ya sudah memercayakan semua ini padaku," ucap Devila sambil tersenyum aneh pada Pokiel yang langsung merinding melihat senyum itu.

Devila kemudian meninggalkan ruangan ritual itu dengan gontainya. Sementara itu, di bawah sana—di kolam kematian—bergejolak. Cairannya yang sudah menelan beberapa orang sekaligus tampak membuatnya "kekenyangan".

Cairan di kolam itu sebenarnya merupakan senyawa kimia asam yang mampu melarutkan daging dan organ dalam menjadi air. Bisa dibayangkan seperti vitamin C yang dilarutkan dalam air, seperti itulah perumpamaannya.

Sebelumnya, mereka diberi minuman yang akan menghipnotis mereka agar tak ragu untuk terjun ke kolam asam itu. Minuman itu juga membuat mereka kehilangan rasa sakit saat diuraikan oleh asam mengerikan di bawah sana.

Sekarang yang tersisa dari kolam asam berbahaya itu tinggal sisa-sisa tulang yang mengapung ke permukaan. Tulang-tulang itu sulit larut ke dalam asam. Jadi tak heranlah jika di permukaan kolam terdapat berbagai jenis tulang seperti tengkorak, potongan tulang paha, tulang jari-jari tangan dan lainnya.

Pokiel yang sudah terbiasa melihat pemandangan mengerikan itu hanya tersenyum kelam. "Selamat menikmati perjalanan ke surga, para pengikut setiaku. Doakan agar aku bisa segera menyusul kalian…"

***

"Terima kasih atas kesediaanmu yang sudah mau membawakan monster 29 Februari ini ke tempatku," tiba-tiba saja terdengar sebuah suara di telinga Ghoul. Tapi Ghoul tak bisa melihat siapa yang berbicara itu.


Ghoul mulai merasakan ada yang berbeda dengan dudukannya. Tak terasa empuk lagi, tapi ia seperti duduk di sebuah kursi. "Ke-ke mana Buck? Di mana dombaku?"

"Sip! Aku membantumu dengan senang hati asal bayarannya pas."

Ghoul mengenali suara itu. "Kawan? Apa maksudnya ini? Kau sedang berbicara dengan siapa? Di mana aku?" Ghoul terus mengajukan pertanyaan itu pada Ratu Huban sambil menghentak-hentakkan rantai yang membelit kedua tangannya di belakang.

"Ken, kau baik-baik di sini ya, Sayang," terdengar suara mahluk mimpi itu. Tak lama, ia merasakan kecupan bantalnya ke bibirnya. Ya meski tak bersentuhan secara langsung, tapi Ghoul tahu Ratu Huban berniat mengecup bibirnya meski ia tak punya bibir seksi seperti manusia.

"Kawan? Sebenarnya apa yang kaulakukan padaku? Kau mau ke mana?"

Setelah itu, ia tak mendengar suara apa-apa lagi selain deheman seorang pria dan suara pintu tertutup. Sepertinya Ratu Huban sudah pergi.

"Si-siapa?" Ghoul mulai kepanikan. "To-tolong siapa saja. Siapa pun kamu, tolong singkirkan kain ini dari kepalaku."

Syar! Pria itu langsung membuka karung di kepala Ghoul dengan kasarnya. Ghoul mengerjap-ngerjapkan matanya karena silau. Ditatapnya sekelilingnya. Tahu-tahunya saja, ia sudah berada di sebuah ruangan kecil yang redup cahaya lampu.

"Selamat datang di ruang introgasi saya!" ucap pria berusia 50-an tahun itu sambil melepas topi detektif coklat tuanya yang lusuh. Pria itu mengenakan mantel dan sebuah kacamata hitam tergantung di kerah bajunya.

"Kenapa aku bisa ada di sini?" Tak lama, mata Ghoul terfokus pada pria paruh baya di hadapannya. "Om siapa?"

"Am-Om, Am-Om! Saya Detektif Ro—detektif swasta yang disewa oleh para aktivis kemanusiaan untuk menangkap mahluk-mahluk sesat seperti kamu," pria tua bertubuh tinggi besar itu memperkenalkan diri.

"Terus apa hubungannya dengan saya, Om? Saya tak mengerti maksud Om!"

"Kau akan segera tahu. Kita mulai saja! Nama?" Ro memulai proses introgasinya sambil duduk di atas meja di hadapan Ghoul. Sebelah kakinya menginjak lutut Ghoul di kursi.

Ghoul tertegun mendengar pertanyaan itu. "Saya tak punya nama…"

Bug. Ro mengayunkan bogem sentimentilnya ke wajah Ghoul. Mau tak mau, Ghoul harus menahan sakit lagi. Namun ia hanya bisa mendesis perih.

"Kita ulangi lagi! Saya tanya baik-baik. Nama?" nada suara Ro mulai meninggi.

"Suka-suka Om deh mau panggil siapa!" Ghoul mulai kurang ajar pula.

Bugh-bugh. Ghoul masih mencoba bersabar menerima bogem di kedua sisi wajahnya.

"Ini yang terakhir! Nama?!" raung Ro menggelegar.

Mata Ghoul tak mau mengalah. "Saya akan menjawabnya kalau Om mau menjawab pertanyaan saya tadi," tegasnya tanpa nada ketakutan sedikit pun.

Deg deg deg. Hening. Ro tertegun cukup lama melawan mata adem Ghoul.

Pria itu kemudian melangkah membelakangi Ghoul sambil menyalakan cerutunya. "Aktivis kemanusiaan sangat menentang aliran sesat yang belakangan ini semakin meresahkan. Hanya dengan sekotak mi instan, penduduk rela menukar keyakinan mereka dengan menjadi pengikut sekte hitam itu. Para aktivis berniat menggagalkan proses ritual terkutuk itu dan menyelamatkan para pengikut sekte yang telah dicuci otaknya. Orang yang paling bertanggung jawab dalam kasus ini adalah Pendeta Pokiel dan…"

Ghoul menunggu penjelasan berikutnya. Namun Ro langsung membalikkan badannya.

"Karena itulah saya disewa untuk menyelidiki kegiatan kalian!"

Mulut Ghoul langsung menganga. "'Kalian'? Aku?!"

Tanpa ragu, Ro langsung menjambak rambut Ghoul. "Jangan pura-pura tak tahu kamu! Saya tahu tujuan sekte kalian untuk mengorbankan jiwa pada iblis dan kalian sebut itu sebagai pencerahan? Jangan bercanda! Bunuh diri massal dan pencerahan itu beda jauh! Aku tahu akal busuk kalian!"

"Om, saya… saya tak tahu apa-apa! Ampun!" Ghoul merasa rambutnya bisa rontok semua karena dijambak sepenuh hati oleh tangan sekekar itu.

"Jangan bohong kamu!" seruan itu disambut sebuah bogem mentah ke wajahnya lagi. Bugh!

"Adduh…" Ghoul meluruskan kembali wajahnya sambil menjilati luka pukulan di sudut bibirnya. "Om, sepertinya Om sudah salah tangkap orang. Saya ke sini untuk berobat. Lagian mana mau saya menjadi pengikut sekte itu hanya dengan sekotak mi instan?"

"Jangan banyak bicara! Diam!" Ro meraung sambil menyambar leher Ghoul. "Saya sudah menemukan bukti di lapangan! Pokiel merekrut monster 29 Februari. Kaupikir bisa membodohiku? Tanda lahirmu itu tak bisa menipuku!"

Ghoul memejamkan matanya dengan tenang, berusaha agar napasnya tak berantakan meski cengkraman Ro semakin menguat. "Om, yang lahir tanggal 29 Februari kan tak hanya saya. Kenapa sepertinya saya yang harus menanggung hukuman atas apa yang dilakukan orang lain, hanya karena tanggal lahirnya sama sepertiku?" Tak lama ia membuka matanya dengan sorot mata yang tenang menghanyutkan. "Om punya bukti apa kalau saya ada main dengan sekte tak jelas itu?"

"Aku bisa membuktikannya!" Ro akhirnya melepaskan cekikannya kemudian mengeluarkan sebuah pisau dari sakunya. Ghoul yang tengah terbatuk-batuk, melebarkan mata ketakutan. "Buktinya ada di dalam tubuhmu. Bagaimana kalau kita lihat apa isinya? Parasit-parasit itu tak akan bisa bersembunyi lagi."

Ghoul menelan ludah. "Parasit? Tapi aku bukan tipe pembawa parasit," Ghoul mencoba membela diri. "Aku mendapatkan napas tidak dengan cara seperti itu!"

"Saya tak butuh pengakuanmu!" raungan Ro kembali bersamaan dengan bogemnya yang melayang bebas ke wajah Ghoul. "Biarkan saya membuktikannya dengan membelah paru-parumu sekarang!"

Pisau itu semakin mendekat. Ghoul hanya bisa terbelalak sambil menggeleng-gelengkan kepala panik. Ia mencoba melepaskan rantai yang membelenggu tangannya ke belakang. Mau lari juga tak bisa karena kakinya diikat ke kaki kursi. "Tidak! Jangan!"

Bruk. Saking memberontaknya, ia dan kursinya tumbang ke lantai. Posisi itu memudahkan Ro menginjak dadanya dengan semena-menanya.

"Ro tak pernah salah…" Ia semakin mendekatkan pisaunya ke dada Ghoul hingga ujung lancipnya mulai menekan sternumnya.
Tetesan darah Ghoul mulai mengalir. Merasa acara cabik-cabik itu akan terus berlanjut, ia mencoba untuk terus memberontak. Begitu Ro ingin menusuk lebih dalam lagi, sebuah tangan muncul secara mendadak menahannya.

Ghoul tertegun menatap tamu tak diundang tersebut dengan napas ngos-ngosan. Sementara itu, Ro langsung menoleh dan melihat seorang pemuda berambut hitam gaya shaggy. Pemuda itu mengenakan trenchcoat abu-abu dengan kedua lengan digulung sampai siku dan kaos putih.

"Anda terlalu terburu-buru," kata pemuda asing itu. "Bukan anak ini yang Anda cari."

"Kau siapa, Anak Muda?" Ro mengalihkan perhatiannya dari Ghoul dan menatap pemuda itu dengan tatapan mengintimidasi. "Bagaimana kau bisa masuk?"

"Axel. Aku adalah seorang praktisi dunia gaib yang bekerja sebagai pembasmi setan. Aku tertarik menangani kasus yang sama dengan Anda. Aku bisa berada di sini karena dombaku melemparku ke ruangan ini. Kalau bisa sih, aku mau tukaran domba dengan peserta lain saja karena domba itu binal sekali."

"Kau reverier juga?" Ghoul melebarkan mata menatap pemuda sebayanya itu. "Aku juga! Tapi dombaku mengkhianatiku karena aku salah memberinya nama."

Ro terkekeh. "Apa kau teman anak ini?" Ia melirik Ghoul yang masih terikat di belakang sana. "Kenapa kau bisa seyakin itu? Ini masalah yang serius, loh!"

"Akan lebih fatal lagi kalau Anda salah tangkap orang. Aku pernah melihat monster parasit itu. Ia masih ada bersama Pokiel di gereja terlantar itu."

Ro memandangi Ghoul dan Axel secara bergantian. "Oke! Bagaimana kalau kita bersaing mendapatkannya?" tantangnya.

"Om! Jadi sekarang Om bisa lepaskan aku, kan? Aku akan menyeret monster itu ke hadapan Om!" Ghoul terus bernegosiasi.

Ro menatap Ghoul sinis. "Jangan senang dulu, Tanpa Nama! Saya ingin membuktikan ucapan si Pembasmi Setan ini dulu. Saya akan buktikan kalau dia salah. Kalau ia bohong, maka kalian berdua tak bakal selamat!" Ia kemudian melangkah keluar sambil memasang topinya. Dari luar sana, butiran salju beterbangan masuk. "Kalian pasti menyesal sudah cari masalah denganku. Jangan pikir bisa kabur dariku…"

Pandangan mereka berdua yang tadinya tertuju ke pintu sekarang saling bertemu. Ghoul tersenyum padanya. "Makasih, Kawan!"

Iris Axel yang mirip kucing menatapnya sinis pula. Tak lama, ia kemudian melangkah pergi.

"Kawan, tunggu! Bawa aku bersamamu. Aku ingin membersihkan nama baikku. Tolong!" Ghoul memohon dengan mata memelas.

Axel meliriknya sedikit. "Tak usah banyak berharap kamu! Aku tak bermaksud menolongmu. Itu karena kau memang tak melakukannya. Tapi sayangnya, aku tak bisa menjadi kawanmu karena kau monster 29 Februari yang legendaris itu. Jangan biarkan aku sampai menghabisimu pula atas kasus yang tak kuketahui."

Ghoul menelan ludah—tak berdaya. Akhirnya ia hanya bisa membiarkan Axel pergi dan menutup pintunya. "Semua orang sama saja! Mereka selalu saja menyamaratakan kami."

***

"Pendeta sesat itu merekrut semakin banyak pengikut!" teriak Ran—ketua aktivis kemanusiaan di Kota Brando itu—di depan teman-temannya. "Tentu saja ini tak bisa ditolerir lagi! Yang lebih bahayanya lagi, Pokiel merekrut monster 29 Februari yang sangat berbahaya itu!"

Kawanannya saling berbisik cemas. Grup aktivis kemanusiaan itu memang sudah lama tidak menyukai kegiatan pendeta sesat dan sektenya yang semakin populer di televisi dan merekrut semakin banyak pengikut. Selain menyewa detektif untuk menanganinya, mereka juga memiliki agenda lain yang tak kalah gencarnya.

Kota yang berarsitektur klasik itu memang sedang gempar setelah isu kemunculan monster 29 Februari merebak. Malam itu, mereka tengah berkumpul di alun-alun kota. Meski hujan salju, tapi semangat mereka tak beku. Kota tersebut memang didominasi bangunan tua yang sudah berumur ratusan tahun, serta jalan-jalan raya yang bukan terbuat dari aspal melainkan dari susunan batu. Populasi kota tidak padat, malah tampak sepi. Oleh karena itulah, Pendeta Pokiel menjadikan kota ini sebagai markas-nya.

"Ritual haram itu akan segera dilangsungkan di gereja terlantar di pusat kota. Sementara itu, sejumlah polisi korup sudah dibayar Pokiel untuk mengamankan perimeter gereja dari gangguan kita selama menjalankan ritual. Tapi kita sudah menyerahkan semua masalah itu pada detektif Ro dan fokus kita saat ini adalah…"

Ran mengayunkan langkahnya mendekati sebuah kotak besar yang lebih tinggi daripada tubuhnya. Kotak itu ditutupi kain hitam besar. Syur! Ran menarik penutup kotak itu dan begitu tersibak, kawanannya berseru-seru kaget.

"Astaga! Ya, Tuhan! Tanda lahir mereka…"

Di dalam kotak berjeruji yang seperti kandang singa itu, tampak 4 sosok dengan leher tergantung tali di langit-langit. Ada 3 pria dan 1 perempuan dengan tubuh terikat di sana. Tampak salah satu dari mereka yang masih meronta-ronta menahan sakitnya digantung, sementara sisanya sepertinya sudah mati. Tubuh ketiga mayat di sana tampak pucat dan kaku.

"Ya! Mereka adalah para monster 29 Februari yang berkeliaran di kota kita untuk mencuri napas. Kampung sebelah—distrik Kabut Asap—dengan liciknya mengasingkan sampah-sampah ini ke kota kita. Aku sengaja mengumpulkan kalian di sini karena ingin memperlihatkan kejutan ini pada kalian. Tapi kalian jangan senang dulu, karena ini belum semuanya."

Kawanan aktivis itu saling berpandangan cemas.

"Tapi kalian jangan khawatir karena kita akan bersama-sama mencari mereka. Kalau ketemu, langsung kalian bawa kemari untuk digantung! Tak peduli itu anak-anak maupun orang tua sekali pun. Entah ada berapa banyak kita menerima 'sumbangan' monster dari sana."

"Setuju!!!" riuh aktivis tersebut. Ran tersenyum senang mendengar nada perjuangan dari kawanannya.

Sementara itu, monster 29 Februari yang tadinya masih meronta-ronta, secara perlahan terkulai lemas dan tak bergerak lagi.

***

"Ugh!" Ghoul sendiri tengah berusaha membebaskan diri. Setelah berkutat cukup lama, akhirnya ia menyadari sesuatu.

"Astaga! Kenapa aku baru kepikiran untuk melakukannya, ya?"

Ia kemudian tampak mengumpulkan konsentrasinya hanya untuk mengatur napasnya. Dipejamkannya matanya sejenak kemudian menarik napas panjang selama 10 detik dan menahannya selama 8 detik kemudian mengembuskannya dengan kencang selama 5 detik. Selesai!

Ia segera membuka matanya begitu proses pernapasan hewan favoritnya—gorilla—selesai. Trang! Dengan mudahnya ia melepaskan rantai yang membelenggu tangannya dengan sekali hentakan.

"Mungkin ini semua gara-gara mereka selalu mengataiku monster, makanya cara berpikirku menjadi manusia biasa karena menolak tuduhan itu. Padahal aku kan beneren monster," komentarnya pada diri sendiri sambil melepas ikatan di kakinya. "Seharusnya aku bersyukur, bukan menyangkalinya."

Dengan langkah terhuyung-huyung, ia segera membuka pintunya dan…

"I-ini kan…" Matanya melebar begitu melihat pemandangan di balik pintunya.

***

"Aku benci kebodohan umat yang seperti ini," komentar Axel sambil melangkah menuju sebuah gereja tua di atas bukit. "Ritual terakhirnya akan berlangsung malam ini, kan? Polisi-polisi yang berjaga tadi sungguh merepotkan. Dalam misi ini, aku sengaja tak membawa adik dan kucingku. Tapi aku tak akan melakukan ini jika tak akan menang!" sahutnya penuh percaya diri.

Ia terhenti seketika begitu tak jauh di hadapannya terdapat sosok ganjil. Ia mengucek-ngucek matanya untuk memastikan sosok apa itu. "Apa itu? Bentuknya seperti pocong, tapi kok posenya seperti orang-orangan sawah ya?"

Insting Axel langsung saja berpikiran bahwa mahluk gaib itu hendak memperlambat misinya.

"Sepertinya ada reverier gaib lain yang harus kutangani di sini…"

***


Kriet. Mata Ghoul langsung melebar begitu membuka pintunya. Tahu-tahunya saja ia berada di depan sebuah ruangan megah bergaya ghotic. Ribuan tulang-belulang manusia ditata rapi menghiasi berbagai sudut tempat itu: di dinding, langit-langit, sekitar altar dan sebagainya.

"Ini kan gereja," desisnya. "Tapi aku yakin betul di balik pintu ini adalah teras rumah. Jelas-jelas kulihat perumahan di luar sana di bawah hujan salju. Aneh…"

Syut. Tiba-tiba saja ia merasakan embusan angin dari belakang punggungnya. Ia berbalik dan semakin kebingungan begitu salju menerpa wajahnya. "Dan ini…"

Ia mendapati dirinya kini tengah berada di tepi sebuah beranda gereja.

"Ke mana ruang introgasi itu? Ke mana menghilangnya ruangan itu? Kenapa aku tiba-tiba bisa berada di sini?"

Sekarang Ghoul dihadapkan oleh dua pilihan: masuk ke dalam gereja ataukah pergi.

"Huuuu… huuuuu…"

Belum sempat ia memutuskan langkah apa yang bagusnya dipilih, tiba-tiba saja terdengar suara tangisan seorang wanita dari dalam sana. Mau tak mau, Ghoul memutuskan untuk memasuki gereja itu untuk membantu wanita itu jika dalam masalah.

Ghoul melangkah perlahan di tengah-tengah bangku-bangku kosong. Sepertinya hanya ada dia dan wanita itu di dalamnya. Tak lama ia mendapati seorang wanita berambut merah yang duduk membelakanginya di bangku terdepan. Wanita itu tampak sedang berdoa sambil menangis tersedu-sedu. Namun suara tangisannya tak membuat iba, malah membuat merinding.

"Nona, maaf," Ghoul memberanikan diri menyapanya. "Ada yang bisa saya bantu?"

Wanita itu langsung menolehinya. Tak lama kedua mata hijaunya melebar begitu melihat Ghoul.

Ghoul sendiri tertegun melihatnya. Ia ingat pernah melihat wanita itu di mana. "Kamu reverier juga, kan?"

Wanita berkulit pucat itu kemudian menegakkan tubuhnya dan mendekati Ghoul. Ia menatap Ghoul penuh arti. "Kamu…" Jari-jari lentiknya mengusap hangat pipi Ghoul yang tampak memar sana-sini. Tapi wanita itu tak peduli dan tak mengalihkan pandangannya.

Dijamah seperti itu membuat wajah Ghoul memerah malu. Namun menjadi panas begitu wanita itu langsung saja memeluknya erat dan penuh gairah. Tangan-tangan lentik itu meremas-remas punggung Ghoul.

"Kalau saja kecelakaan itu tak terjadi di hari pernikahan kita, kita pasti sudah menjadi pasangan suami-istri sekarang dan gereja ini adalah saksinya."

"Su-suami-istri? Tapi aku bukan—" Ghoul yang gelagapan berusaha menenangkannya.

"Setiap harinya aku selalu berusaha untuk mencari cara kembali ke bumi untuk menemuimu, My Dear! Berkat Ratu Huban yang menawariku menjadi reverier, akhirnya impianku ini terwujud!"

"Aku bukan darlingmu, Nona Hantu. Aku… aku—"

"Sekarang akhirnya kita bisa menikah juga. Aku selalu mencintaimu meski dunia kita berbeda. Apakah sekarang kita bisa mulai saja pernikahannya mumpung kita berada di sini?"

"Menikah?!" Ghoul langsung mendorong bahu hantu wanita itu hingga pelukannya terlepas seketika. Hantu itu tampak syok dan sedih.

"Maaf," ucap Ghoul berusaha tetap lembut. "Tapi aku bukan orang yang kamu cari dan aku tak mau menikah dengan siapa pun."

Wanita itu menatap Ghoul baik-baik kemudian tertunduk. "Tapi kau mirip sekali dengannya," lirihnya sendu. Tak lama ia mengangkat wajahnya dan kembali mendekat.

"Tetap di sana, Nona! Kita bukan muhrim dan ini tempat suci, jadi jangan kaunodai," tegur Ghoul yang ingin melangkah mundur, tapi entah mengapa seperti ada yang memakunya di tempat. Mungkin karena terkesima memandangi kecantikan hantu itu.

Wanita itu terkikik. "Kau bilang tadi tak mau menikah, ya?" Akhirnya ia tiba juga di hadapan Ghoul. Jarinya menari turun dari perut Ghoul hingga ke resleting celananya yang agak terbuka. "Kau sebaiknya menikah agar ada wanita yang bisa mengurusmu," komentarnya sambil merapatkan resleting jins Ghoul dan memasang ikat pinggangnya dengan benar. "Tutup resleting saja tidak benar. Ikat pinggang pun kendor." Gerakannya sangat gemulai.

Ghoul berusaha untuk tetap tenang. Wanita cantik itu kembali mendongak menatapnya dengan mata redup. Srek. Ia malah semakin berani dengan melepaskan rompi Ghoul. Rompi itu melayang bebas ke lantai.

"Cukup," tegas Ghoul.

"Ssssst!" Si Hantu Manis mendaratkan telunjuknya ke bibir Ghoul. "Aku tak mau mendengarkan kata-katamu sekarang," desisnya seksi sambil menurunkan telunjuknya ke jakun Ghoul.

Ghoul tersenyum aneh. "Maksudku cukup sampai di sini karena…"

Si Manis kembali mendongakinya. "Apa?"

"Kita akan melanjutkannya di tempat lain…"

Si Manis terbelalak seolah tak percaya mendengarnya.

***

"Hei! Lepaskan! Lepaskan aku!"

Setelah melalui pertarungan yang cukup singkat, Axel akhirnya berhasil mengikat orang-orangan sawah berkemampuan gaib itu dengan tali glepnir miliknya. Karena si mahluk gaib tak bisa bergerak bebas, dengan lincahnya Axel melingkarkan tali itu ke perutnya hingga tak bisa menggunakan kekuatannya sama sekali.

"Tenanglah! Aku punya kejutan lain untukmu," kata Axel sambil menyalakan korek api revolvernya. Dari api tersebut, ia menciptakan sebuah selimut api yang kemudian dilemparkannya ke "pocong" itu.

"Graaaaa!!!" Tubuh jerami mahluk gaib itu pun terbakar.

"Urusanku denganmu lain kali saja. Sasaranku hari ini adalah Devila. Permisi!" ucap Axel sambil melanjutkan langkahnya ke gereja tua.

***

"Namaku Tal," Si Hantu Manis memperkenalkan diri sambil menarik tangan Ghoul menuju suatu tempat. "Kamu?"

Ghoul yang sudah mengenakan kembali rompinya sempat tertegun cukup lama. "Kau boleh memanggilku dengan nama calon suamimu saja."

Wajah Tal memerah mendengarnya. Ia semakin tak sabar membuka pintu ruangan yang dimaksudnya. Kriet. Pintu itu pun terbuka dan Tal segera menarik Ghoul masuk kemudian menutup pintunya rapat-rapat.

Ghoul menatap sekelilingnya. Di ruangan yang cukup besar itu terdapat beberapa kolam mandi yang sangat wangi. "Kenapa kau memilih kamar mandi ini?"

"Haha, Sayang! Ini kan gereja. Mana ada kamar pengantin di sini? Yang ada hanya tempat untuk bersuci. Kalau di mesjid sih mungkin sama seperti tempat wudhu," Tal menjelaskan. Tangan-tangannya kembali lancang mengelus-elus tubuh Ghoul.

"Terus kita mau apa?" Ghoul menggeliat sambil menatap sekelilingnya dengan ngeri—berusaha mencari-cari jalan kabur di sana kalau si hantu berani macam-macam.

"Aku ingin menggosok punggungmu." Tal mendekap Ghoul dari arah belakang. Ghoul menelan ludah. Tak lama Tal melangkah ke depannya dan menyibak poni panjang Ghoul. "Juga memangkas rambutmu."

"Jangan!" Ghoul spontan menelengkan wajahnya.

Namun terlambat, Tal terlanjur melihat luka bakar di sisi kanan wajahnya. "Kyaaa!" Ia membekap mulutnya karena kaget begitu melihat luka bakar mengerikan di sana. Mata kanan Ghoul tampak membelalak dan bola mata merahnya tak bisa bergerak sedikit pun, meski Ghoul masih bisa melihat dengan baik. Kerusakannya yang cukup parah membuat bola mata itu tetap berada di tengah. "Ghoul?" Tal menyebut nama mahluk itu begitu melihat mata kanannya yang mengerikan seperti mahluk ghoul.

"Jadi apakah kau mau menceraikanku karena aku buruk rupa?"

Tal buru-buru memperbaiki sikapnya. Sorot matanya kembali sama seperti tadi, penuh cinta. Tanpa diduga, Tal langsung mendekapnya lagi dan mengecup pipi kanan Ghoul cukup lama dan tanpa jijik sedikit pun. Ghoul terperangah. Bibir merah Tal kemudian bergeser dari pipi ke sudut mulutnya. Tal tak mengangkat bibirnya sedikit pun dan terus bergeser ke mulut Ghoul.

Ghoul merasakan sensasi begitu mereka berciuman. Ia yang awalnya tak merespon apa-apa, akhirnya luluh juga dan turut menikmatinya. Ghoul membiarkan Tal sendiri yang mengakhiri kecupannya jika sudah puas.

"Aku mencintaimu, Ghoul," Tal mengucapkan nama itu tanpa sengaja setelah melihat mata kanan Ghoul tadi. Ia tak tahu kalau Ghoul memang dipanggil seperti itu. "Menikahlah denganku!"

Ghoul menahan napas. "Ya Tuhan, ampuni aku!" lirih Ghoul begitu tersadar. "Aku tak bisa melanjutkan ini. Tempat ini mengekang kesadaranku. Aku tak mau birahi ini menguasai karena aku tak mencintaimu. Tolong jangan berbuat lebih! Aku masih percaya kalau ini bukan kebiasaanku."

Tal menatapnya sedih, namun berusaha untuk tersenyum. "Jadi kau lebih memilih aturan agamamu daripada cinta? Apakah kau masih bisa menahannya? Tapi aku tahu kau tak tahan ketika aku menutup resleting jinsmu tadi."

Ghoul menelan ludah. Ia memegangi kepalanya yang mulai dirasuki berbagai adegan mandi-mandi. Sebagai lelaki normal, tentu saja sulit baginya menahan diri apalagi ada wanita cantik seksi di hadapannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak! Aku ke sini untuk cari nama asliku, bukan untuk buang-buang waktu seperti ini! Aku memang mau, tapi aku tak mau namaku bertambah jelek lagi."

Tal terperangah melihat kesungguhan Ghoul yang polos itu.

Ghoul memasang senyum tegasnya penuh percaya diri. "Kau sudah memacariku satu menit, sekarang sebaiknya kita putus. Maaf!"

Tal mengepalkan kedua tangannya. "Padahal kau juga turut menikmatinya. Rupanya kau hanya cari-cari kesempatan saja, kemudian membuangku. Lelaki tampan sepertimu lebih baik mati saja!" raungnya murka sambil mendorong bahu Ghoul ke kolam wangi di belakangnya.

Byur!

Ghoul terkejut, namun tak sempat menjaga keseimbangannya begitu tercebur ke kolam sedalam 2 meter itu. Bau wangi bunga-bungaan menyerbu penciumannya. Ia mencoba untuk berenang ke permukaan, namun terhambat rasa perih karena air parfum itu menjilati luka-lukanya yang terbuka. Ia terus berjuang ke permukaan, tak ingin kalah oleh rasa perihnya…

***

"Gladis," pria 40 tahun yang tengah melangkah gontai ke gereja itu menggumamkan nama seorang aktris. "Padahal aku jauh-jauh datang ke sini untuk mengabadikan kecantikannya dalam lukisanku. Tapi sayangnya ia sudah tewas dalam ritual bodoh Pokiel," gerutunya.

Ia tertunduk kecewa. "Sia-sialah kedatanganku kemari. Sebaiknya aku mengundurkan diri jadi reverier saja."

Baru saja ia hendak melangkah pergi, tiba-tiba saja ia mendengar suara tangisan yang membuatnya kembali bergairah.

"Huuuuuuu…"

Sambil menjilati bibirnya, ia melangkah perlahan mendekati seorang wanita berambut merah yang tengah duduk membelakanginya di kursi terdepan gereja sana. Tak ada yang lain selain mereka berdua…

***

"Khaaaa!" Ghoul menarik napas sebanyak-banyaknya begitu tiba di permukaan kolam. Ia mengambil napas sepuasnya dan terhenti begitu menyadari sekelilingnya. Hujan salju melayang-layang di kepalanya. Diliriknya kolam tadi. Airnya keruh dan ikan-ikan berenang bebas ke sana-kemari. "Kenapa aku ada di luar sini? Aku kan berenang di kolam yang sama. Terus ini di mana?"

Ghoul melangkah keluar dari kolam itu sambil merapatkan rompinya yang tak berdaya menahan udara dingin. Ia menggigil basah kuyub. Tak lama, ia kembali terpaku begitu menyadari keganjilan di sekelilingnya. Secara perlahan, terdengar suara tawa liar sekumpulan orang dari balik kegelapan malam. Ia putuskan untuk kembali melangkah dan melihat belasan orang mabuk tengah menari-nari tak karuan. Orang-orang yang tengah berpesta itu tak menghiraukan keberadaannya. Ghoul memandangi mereka dan tercekat begitu melihat…

"Tanda lahir mereka…" Ia menyentuh tanda lahir di sekitar mata kirinya. "Tapi sedang apa mereka semua di sini?" Wajahnya terlihat cemas. Saking kepikirannya, napasnya mulai memburu. "Mereka tak sedang berbuat masalah di sini, kan? Aku dalam bahaya!"

Ghoul sadar ia bisa dituduh atas kesalahan yang dilakukan oleh mereka, sama seperti yang Ro lakukan padanya tadi.

Tep. Seseorang menepuk bahunya dari belakang. Wajahnya tak jelas karena mengenakan topi.

Ghoul terlonjak kaget dan langsung menoleh. "Kamu?" Ia mengenali siapa orang itu—kenalan masa kecilnya.

"Ken?" Orang itu tampak tak menyangka Ghoul ada di sana. "Kamu juga ada? Dengar-dengar kamu mau dipancung, ternyata kau lari ke sini juga," katanya santai.

"'Juga' katamu?" Ghoul tampak menggali informasi.

"Kamu belum dengar ya kalau pemerintah Kabut Asap mengasingkan kita semua di kota tua ini."

"'Kita'?" Ghoul menegaskan kata itu. Ia bisa mengerti apa maksud rekannya itu. "Jadi kalian—"

"Kalau aku sih kerja di gereja ini."

"Kerja? Kamu?" Ghoul merasa tak percaya. Ia melayangkan kembali sekelilingnya dan tersadar ia berada di belakang gereja. "Orang macam apa yang mau mempekerjakan orang seperti kamu?"

Orang itu tersenyum kemudian menarik tangan Ghoul. "Kau belum terlambat! Masih ada sisa pestanya, kok. Biar kutunjukkan padamu apa pekerjaanku itu."

Ghoul masih kebingungan. Ia mengira "sisa" yang dimaksud itu adalah sisa bir atau makanan pesta mereka. "Tapi pesta untuk apa?"

***

"Ghoul?!" Tal langsung menoleh begitu mendengar suara langkah di belakangnya. Namun tak lama ia terlihat kecewa.

Pria yang hendak mendekatinya tadi tertegun mendengar nama itu. "Kau tadi menyebutku siapa? Kau mengenali pemuda lancang itu?"

Tal memalingkan wajahnya kembali ke depan. Ia tak merespon apa-apa dan menghela air matanya.

Pria itu memberanikan diri duduk di sebelahnya. "Nona Manis, namaku William. Ada yang bisa saya bantu?"

Tal menatap William dengan tatapan sinis. "Kenapa kau menyebut Ghoul-ku sebagai pemuda lancang?"

"'Ghoul-mu'? Apa pemuda sok alim itu telah menyakitimu?" William terus menggali percakapan sambil memegang tangan dingin Tal. Tapi ia tak peduli.

Tal langsung beranjak berdiri dari bangku. "Ia tidak sok alim! Ia tak seperti kamu yang langsung pegang-pegang!"

"Halah, cowok dekil seperti itu ditangisin. Ia itu sangat lemah! Kau membutuhkan pria sekuat aku untuk melindungimu, Manis."

Tal mendelikinya. "Kau boleh saja menyebutnya lemah, tapi ia jauh lebih kuat menahan diri meski digoda habis-habisan olehku tadi daripada dirimu. Tapi kau tak digoda apa-apa, sudah sok akrab!"

William melotot geram dibandingkan seperti itu oleh wanita incarannya. "Bocah sok alim itu ada di sini?" Mulutnya mengerut dan tangannya mengepal-ngepal.

***

"Hsssssss." Ghoul menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Bibirnya kemudian tersenyum begitu menikmati udara sejuk di ruangan khusus itu. Tak lama ia membuka matanya dan menatap rekannya tadi dengan ceria. "Udara di sini enak sekali. Jadi upahmu seperti ini, Dev?"

Rekannya membuka topinya hingga terlihat jelaslah wajahnya kini: Devila!

"Setidaknya ini jauh lebih baik daripada di kampung, bukan? Dengan begini, aku bisa sembuh dari asmaku. Cukup bermalam di sini selama 13 hari. Karena kebanyakan, aku membaginya dengan yang lainnya agar tak usah susah-susah lagi mencuri napas."

Ghoul teringat tempat yang dijanjikan Kurator untuk menyembuhkan asmanya. Namun pikirannya langsung terusik suatu hal. "Tapi kamu kerja apaan? Dan kenapa udara di sini bisa menyembuhkan?"

Devila melangkah memunggunginya dan menghadap kolam. "Sebentar lagi, napas di kolam itu akan diisi. Itu cukup untuk menyembuhkan kita semua. Tapi setelah malam ini, aku akan kehilangan pekerjaanku karena hari ini adalah pengisian kolam yang terakhir."

Ghoul memandangi kolam besar beruap di bawah sana. Tampak dalam dan mengerikan seperti lubang sumur raksasa. "Jadi maksudmu kolam itulah obatnya? Jadi uapnyalah yang membuat udara di sini jadi begitu sejuk bagi kaum kita? Tapi apa yang ada di kolam itu?"

Devila membalikkan badan sambil tersenyum. "Uapnya itu adalah napas terakhir para pengikut sekte pendeta sesat—Pokiel!"

Ghoul terperangah syok. Tak lama, terngiang kembali omongan Ro tentang monster parasit yang direkrut Pokiel. "Parasit? Kau?"

Ghoul melayangkan pandangannya. "Jadi ini ulahnya Devila? Itu artinya ini ritual terakhir aliran sesat Pokiel. Kalau begitu… akan banyak jiwa lagi yang akan melayang!"

Ia melirik Devila yang tampak menikmati udara di ruangan itu. "Sebentar lagi hidangan penutupnya akan datang. Makanya kami berpesta menanti. Ini adalah pesta kematian yang harus kita syukuri dan rayakan!"

Ghoul tertunduk sambil menahan napas. "Ia sangat menanti kematian orang-orang malang yang dicuci otaknya itu. Ia pasti akan menentangku habis-habisan. Aku memang sangat menikmati udara di sini, tapi aku tak mau sembuh dengan cara begini. Ini terlalu jahat!"

"Ken, ngomong-ngomong kau wangi sekali!" puji Devila begitu tersadar. Namun ekspresinya tampak kebratan. "Tapi baumu itu malah merusak udara suci di sini."

"Ng, kalau begitu… aku mau ke belakang dulu untuk mandi," Ghoul berpura-pura pamit.

"Toiletnya di atas, ya!" Devila mengarahkan.

Ghoul tentu saja tak memedulikan arahan itu karena memang ia tak sedang mencari toilet. Ia melangkah terburu-buru sambil menahan napas, saking tak teganya menghirup napas terakhir banyak orang.

Sementara itu, Devila menatapnya was-was dari belakang.

***

"Pahit…" Tal menyentuh bibirnya. "Rasa manis bibir Ghoul hilang," keluhnya sambil meneteskan air mata.

"Huuuuu… Gladis, kenapa kau mati sebelum menjadi objek lukisanku?"

Tal melirik William yang tengah meratap sedih di lantai. Gadis itu mendekatkan wajahnya ke lelaki itu sambil tersenyum sinis. "Inilah bedanya antara kamu dengan Ghoul. Kalau aku mengecup Ghoul, hasilnya adalah kebahagiaan. Tapi kalau kecupanku ini mendarat ke bibir lancangmu itu, yang ada hanyalah kesedihan…"

Tal mengelus domba yang tak lama berada di hadapannya kemudian mengendarainya pergi mencari cinta yang lain…

***

Drap drap drap…

Ghoul berlari-lari di lantai atas sambil celingukan. "Mereka pasti ada di sini. Tapi di ruangan mana? Aku harus cepat!"

Ghoul terhenti sejenak sambil mengatur napas. "Kalau seandainya saja aku menemukan mereka, apakah mereka mau mendengarkanku?" pikirnya sejenak.

"To-tolong…"

Suara rintihan itu membungkam pikirannya tadi. Ia memasang telinganya baik-baik dan mencari sumber suara menyedihkan itu. Ia melangkah perlahan dan terhenti di depan sebuah pintu. "Suaranya dekat…"

Kriet. Tanpa pikir panjang, Ghoul memasuki ruangan remang-remang itu untuk mencari-cari si pemilik suara. Belum sempat ia menemukan orang itu, aroma busuk yang menusuk langsung menerkam indera penciumannya dengan semena-mena.

"Bau apa ini?!"

Matanya langsung terbelalak begitu melihat pemandangan apa yang bergelimpangan di lantai ruangan besar itu. "Mayat?!" serunya tak percaya. Puluhan mayat membusuk tergeletak tak karuan di sana. Ada yang sudah membengkak, ada yang tidak utuh lagi, ada yang mengempis, bahkan ada yang tinggal tulang-belulangnya saja. Ada beberapa yang ditumpuk seperti karung beras.

Ghoul syok setengah mati melihatnya. Baru saja ia hendak keluar karena tak tahan bau busuknya, tiba-tiba saja sebuah tangan mencengkram pergelangan kakinya. "Waaa!"

"Tolong…" Seorang pemuda belia berambut ungu dan bertanduk menatapnya tak berdaya.

Ketegangan Ghoul berkurang begitu melihat itulah orang yang dicari-carinya daritadi. Ia berlutut kemudian merangkul kepala orang itu. "Kamu tak apa-apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Namaku Ul, Kak. Mereka adalah para aktivis kemanusiaan yang dibantai oleh Devila. Aku secara tak sengaja terdampar kemari saat vaksinasi anti mimpi dilangsungkan. Aku tertidur dan di alam mimpi aku bertemu dengan si Kepala Bantal yang malah memberiku mimpi seburuk ini. Devila mengiraku salah satu targetnya dan menyeretku kemari. Ia menghajarku habis-habisan dan hampir saja membunuhku!"

Ghoul menatap sekitarnya. "Sepertinya tinggal kau yang masih hidup di sini. Bertahanlah! Aku akan segera menggendongmu keluar."

Baru saja Ghoul hendak mengangkat Ul, tiba-tiba saja telapak kakinya tersengat sesuatu. Ghoul meletakkan kembali Ul ke lantai untuk mengecek apa yang melukai kakinya. Ia memicingkan matanya. Tapi karena cahaya minim, ia kurang jelas melihatnya.

Ia menaikkan telunjuknya dan mengatur napas agar api di telunjuknya bisa keluar. Awalnya ia gagal seolah baru saja menggunakannya, tapi akhirnya api di ujung jarinya menyala juga.

Perlahan diarahkannya api di ujung jarinya untuk menyorot lantai dan terperangah syok begitu melihat benda-benda menggeliat yang ada di lantai berdarah itu…

***

"Lama sekali ia ke toilet," gerutu Devila yang tampak gelisah. "Jangan-jangan ia menemukan ruangan itu. Tadi aku lupa menguncinya. Sebaiknya segera kususul dia." Baru saja ia hendak melangkah pergi, ia terpaku begitu suara teriakan membahana.

"Akkkhhh!!!"

"Waaaakh!!!"

Devila membalikkan badan ke arah kolam. Matanya terbelalak. Kawanannya tergeletak tak karuan di lantai. Dari kegelapan sana, sosok misterius yang membantai kawanannya pun mendekat.

"Akhirnya ketemu juga kamu!" Sosok tersebut tersenyum sambil mengacungkan korek api revolvernya.

***

"Hiiii!" Ghoul berusaha menghindar dari parasit-parasit yang menggeliat di lantai. Ukurannya tampak lebih besar dan mengerikan lagi. Parasit-parasit gemuk yang rata-rata sebesar tokek itu merayap keluar satu per satu dari potongan mayat-mayat.

Tentu saja Ul yang sekarat tak kuasa membantunya. Tadi ia lupa memperingatkannya. Ghoul meninggalkan Ul dan merapat ke tembok. Ia melirik pintunya dan Ul secara bergantian, tapi ia sendiri geli jika harus melintasi parasit-parasit obesitas ini.

Seperti ada medan magnet dari tubuh Ghoul sehingga parasit-parasit itu mengerubunginya dan tak tertarik lagi pada hidangan mereka tadinya. Napas Ghoul jadi memburu saking tegangnya. Napas itu malah membuat mereka semakin bergairah.

"Sepertinya mereka mengincar napasku! Monster 29 Februari mana yang tak tertarik dengan udara napas sesamanya? Devila memang sangat setiakawan, tapi tidak dengan piaraannya!"

Ghoul berniat menyerang mereka dengan serangan api di tangannya. Namun, kedua tangannya yang merapat di tembok tadi tak bisa bergerak. Ia melirik apa yang terjadi dan terbelalak. Beberapa parasit tampak membelit pergelangan tangannya dan merapatkannya ke tembok. Mereka memungsikan dirinya sebagai borgol agar yang lainnya bisa menyerangnya. Mungkin karena terbawa perasaan jijiknya, ia sampai-sampai tak menyadarinya.

Ghoul meronta sekuat tenaga, namun belitan mereka terlalu kuat. Ghoul mencoba menenangkan dirinya dan akhirnya memejamkan matanya untuk melakukan proses pernapasan hewan terkuat. Sementara itu, para parasit gemuk semakin mendekatinya.

Ghoul membuka matanya dengan gerakan menyentak. Dengan sekali sentakan ayunan tangan, para parasit yang membelenggunya berjatuhan ke lantai. Ghoul mencoba melawan sisanya dengan kobaran api yang membungkus kedua tangannya. Api tersebut menjalar dari ujung jari hingga ke pergelangan tangannya. Tentu saja teknik itu tak akan membakar tangannya.

Parasit-parasit itu semakin agresif. Dengan tenaga penuh, mereka dapat melakukan lompatan yang cukup tinggi seperti anjing yang ingin menyerang. Ghoul mengibas-ngibaskan tangannya hingga ada di antara mereka yang terpelanting dan ada pula yang terbakar di tangannya. Ghoul menggenggam parasit-parasit yang berhasil ditangkapnya erat-erat hingga terbakar menjadi abu.

Ghoul mencecarkan abu-abu di tangannya ke lantai. Abu-abu itu berjatuhan bagai salju. Ia siap melawan para parasit yang masih berjuang. Tak seharusnya ia menganggap enteng kekompakan mahluk menggelikan itu karena parasit-parasit yang merayap di tembok menjatuhinya. Ada yang hinggap ke kepalanya, ke bahunya, dan ke punggungnya. Ia mencoba menangkap dan melepaskan mereka semua sebelum mereka menyengatnya. Itu membuatnya sangat sibuk!

Ia ingin membakar semuanya! Namun semakin lama teknik api yang dinyalakannya, napasnya jadi semakin berat. Belum lagi ia harus bergerak super aktif. Untuk menghemat tenaga, terpaksa ia mematikan api di kedua tangannya. Para parasit itu harus dikalahkannya dengan cara manual! Begitu ada yang ditangkapnya, ia hempaskan ke lantai kemudian menginjaknya hingga remuk. Sebelum ada parasit yang menjatuhinya, ia meninju parasit-parasit itu di tembok hingga temboknya retak sekali pun. Darah dan cairan lengket menjijikkan bertebaran di mana-mana.

Entah sudah berapa banyak parasit yang dihancurkannya dengan injakan dan pukulan. Namun para parasit itu masih keras kepala. Beberapa dari mereka merayap di lehernya dan nekat membuat lubang di sana. Ghoul segera menyambarnya dan menggigit kepala mereka sekaligus (bukan karena doyan sih) hingga putus karena saking kesalnya. Ia hempaskan tubuh menjijikkan itu dan meludahkan kepalanya ke lantai. Mulutnya berlumuran darah dan lendir parasit juga darah di lehernya mulai mengalir meski luka ringan. Ul yang melihatnya sampai ingin muntah!

"Cukup sudah!" Ghoul meraung stres sambil menyingkirkan sisa parasit di lehernya. Namun karena kelelahan, ia tak sempat membunuh mereka, tapi hanya membuangnya jauh-jauh. Tentu saja mereka kembali mendekat meski ada juga yang hancur setelah menghantam tembok.

Ghoul jatuh berlutut begitu ada parasit yang berhasil melubangi punggungnya. Mungkin ia tak menyadari ada yang menggali di sana karena terlalu sibuk. Buru-buru tangannya menarik ekor mahluk itu sebelum masuk ke dalam tubuhnya yang tentu saja akan semakin membuatnya kesakitan. Parasit itu ngotot terus menggali masuk. Luka cukup besar tercipta di sana. Darahnya mengalir semakin deras. Tapi Ghoul hanya berhasil menghancurkan setengah tubuh mahluk itu saja. Itu artinya ia harus mengeluarkan sisa bangkai yang ada di tubuhnya. Itu akan sama seperti mengeluarkan peluru yang tertanam di tubuh.

Ghoul menyingkirkan sisa parasit dari tubuhnya sebelum berhasil membuat lubang. Ia menabrakkan punggungnya ke tembok hingga parasit yang berada di sana langsung remuk. Gerakannya semakin melemah karena parasit yang tak ada habis-habisnya. Belum lagi luka yang dideritanya, entah bagaimana jadinya kalau lebih daripada itu. Perdarahannya semakin parah karena tubuh parasit yang melubangi punggungnya tadi cukup besar.

Sementara itu, Ul setengah mati mencari-cari senjatanya—Plasma Bubble Maker X-50XZ. Ia kepanikan karena tak menemukan benda itu di mana-mana. Karena benda itu tercecer, makanya ia tak bisa melawan Devila tadi. "Aku harus segera menemukannya sebelum Kakak itu mati! Tapi di mana?"

Bruk. Ghoul terjerembab dengan sisa-sisa tenaganya. Matanya semakin meredup. Napasnya mulai berantakan. Ia tak sanggup lagi menguatkan diri dan membentengi dirinya dari para parasit yang kembali mendekat. Mungkin tak lama lagi nasibnya akan sama dengan mayat-mayat menyedihkan di sana.

"Aku tak boleh mati dulu… mayatku tak boleh dinisankan dengan nama Ghoul. Aku mau nama asliku kembali…"

Namun sepertinya ia tak usah berputus asa, begitu ledakan kabut asap putih yang menghalangi pandangan menyebar seperti bom asap…

***

Dor! Entah sudah berapa kali korek api revolver Axel mengeluarkan peluru apinya, namun Devila selalu berhasil menghindarinya.

"Hosh-hosh…," Axel beristirahat sejenak. "Mahluk itu lincah sekali! Ia selalu bisa menghindari seranganku."

Napas Devila tetap tenang meski seaktif apa pun ia bergerak. Namun tentu saja ia tak akan tinggal diam diserang terus. Maka ia segera melepaskan kemejanya dan mengambil pisau dari sakunya. Bukan! Pisau itu tak akan digunakannya untuk menyerang Axel meski Axel mewaspadainya, tapi…

Grek! Dengan tenangnya, Devila menyayat dadanya sendiri di sepanjang sternumnya.

Axel yang terbelalak melihatnya masih kebingungan. "Ia tak mungkin bunuh diri!"

Meski dadanya terluka, tapi Devila tak memperlihatkan ekspresi kesakitan sedikit pun. Ia malah tersenyum menantang. Axel kemudian menyadari. Dari luka sayatan itu bukannya lelehan darah yang keluar, tapi mahluk-mahluk yang menggeliatlah yang merayap keluar.

"Parasit?!"

"Larilah, Tuan. Aku sudah melatih mereka agar merayap lebih cepat, loh!"

***

Ul cukup kewalahan memapah Ghoul keluar dari ruangan terkutuk itu.

"Aku menyerah sampai di sini saja," tutur Ul yang sudah berada di depan dombanya. "Aku hampir mati di tempat ini. Aku ingin pulang saja. Bagaimana denganmu, Kak?"

Ghoul yang kini terduduk mencoba tersenyum. "Seharusnya aku yang selamatkan kamu. Tapi kenapa kamu yang harus repot-repot kalau bisa menyelamatkan diri sendiri?"

Ul yang penuh luka-luka bersimpuh di hadapan Ghoul. "Aku tahu kau sedang mencari nama aslimu. Apakah kau sudah menemukannya di sini?"

Ghoul menggeleng lesu.

"Kalau begitu, ikutlah denganku pulang. Jangan sampai kau mati di sini sebelum mendapatkannya," Ul kembali menawari.
"
Aku masih ada urusan. Kau lari saja duluan."

"Kakak yakin?"

Ghoul mengangguk mantap. "Aku harus kembali ramai-ramai dengan mereka…"

***

Axel hampir saja meninggalkan ruangan itu karena luka-luka gigitan sana-sini. Para parasit segar tadi masih terus saja memburunya. Devila memang hanya bermaksud mengusir orang itu karena sebentar lagi ritual penutupnya digelar.

Namun para parasit itu malah mengepungnya di tepi kolam jiwa. Axel gantian melirik antara para parasit dan tepian kolam. Mereka semakin mendekat dan tak ada cela untuk lari. Ia tahu apa risikonya kalau sampai terjatuh ke kolam sana. Tapi hanya ada dua pilihan untuknya: mati di kolam jiwa atau dimakan para parasit.

Akhirnya ia memutuskan untuk terjun ke kolam jiwa, tapi bukan untuk mati. Ia tahu parasit-parasit itu tak akan berhenti untuk mendapatkannya. Melihat Axel terjun, Devila tersenyum penuh kemenangan. Namun senyumnya kemudian memudar secara perlahan begitu semua parasit miliknya ikut terjun mengikuti Axel. Devila lupa kalau piaraannya itu kelaparan dan tak ingin melepaskan mangsanya begitu saja dan tak tahu bahaya apa di depannya.

"Tidaaaaaaaaaak!!!" raung Devila mencoba menghentikan para piaraan kesayangannya itu. Ia berlari ke tepi kolam untuk mengambil mereka semua—koleksi berharganya itu. Ia sudah memungut beberapa dan mengembalikannya ke dalam isi dadanya. Namun karena kehilangan keseimbangan, ia malah terjun bebas ke kolam jiwa itu dan terbelalak begitu melihat Axel tengah bergelantungan di tepi kolam.

Axel tersenyum menang padanya. Air mata Devila bercucuran karena tak menyadari siasat itu. Tubuhnya harus mendarat ke cairan asam yang langsung saja mengurai tubuhnya menjadi air. Csssss…

"Ngadalin iblis memang keahlianku," sahut Axel bangga. Yang harus dilakukannya sekarang adalah kembali naik dengan hati-hati dan menunggu dombanya menjemputnya.

***

"Hosh-hosh…" Ghoul menarik napas di tengah-tengah tangga naik. Ia merasa harus mencari para pengikut sekte itu di setiap lantai. "Apa mereka masih ada di gereja, ya? Apa aku harus menunggu mereka di kolam jiwa tadi? Hm, mungkin sebaiknya aku kembali saja ke sana dengan hati-hati. Biar di sana aku pikirkan bagaimana baiknya."

Baru saja ia berlari, tiba-tiba saja telapak kakinya terasa nyut-nyutan. Rasa sakit itu membuatnya terjerembab. Ia bangkit sekuat tenaga dan menyadari ada yang tak beres di sana. Ia teringat saat kakinya tersengat di ruangan mayat tadi. Matanya melebar. Ia bergegas mengecek telapak kaki kanannya dan melihat lubang sebesar gundu di sana.

"Kenapa aku tak menyadari hal ini?" Bola matanya bergerak-gerak cemas. Tanpa pikir panjang lagi, ia mengisap lubang di telapak kakinya kuat-kuat. Namun ia hanya bisa meludahkan darah. Ia coba lagi, tapi hasilnya sama saja. Hatinya semakin cemas. "Se-semoga saja mereka belum berhasil masuk saat itu." Ia mencoba untuk tersenyum, meski tak yakin.

Ghoul menguatkan diri untuk menegakkan tubuhnya. Meski cemas luar biasa, tapi ia berusaha untuk tetap kuat. Tak lama ia kembali berlari menuju kolam jiwa…

***

"Sepertinya aku terlambat," gerutu sebuah suara diikuti jejak sepatunya. Kaki si pemilik suara itu lalu menendang-nendang para parasit di tepi kolam jiwa itu ke dalam cairan asam sana. Ia memandangi isi kolam. Tulang tengkorak Devila tampak mengapung-apung. Beberapa parasit bagaikan melaut di atas tengkoraknya.

"Sepertinya surganya Pokiel dan kawan-kawan jauh lebih mengerikan daripada neraka dalam agamaku, ya? Neraka jahanam juga nggak gini-gini amat, deh!" Ia tersenyum sinis kemudian menyalakan cerutunya.

Pandangan Ro teralihkan begitu menyadari keramaian mendekati ruangan itu. Matanya melebar begitu pintunya terbuka…

***

Ghoul celingukan mengingat-ingat jalan. "Kalau tak salah tangga yang ini, ya?"

Ia kemudian memutuskan untuk menuruni tangga itu dan…

Bruk. Ia malah jatuh berguling-guling di tangga itu hingga ke bawah karena kakinya terasa nyut-nyutan lagi. Meski meringis karena luka-luka, ia buru-buru menegakkan kembali tubuhnya dan menebarkan pandangan ke sekitar. Ia tertegun begitu melihat isi ruangan itu dengan napas megap-megap.

Ruangan itu berdinding kayu. Pisau-pisau tampak tertancap di tembok membentuk lambang seks setan. Lambang dari pisau-pisau itu terdapat di keempat sisi ruangan. Tanpa sadar Ghoul berjalan-jalan sejenak di sana.

Ghoul memegang pisau-pisau yang tertancap itu. "Wow, keren! Tapi aku salah ruangan." Ghoul berniat untuk keluar, namun sebuah pisau yang melayang dari belakangnya membuatnya terpaku. Pisau itu melesat nyaris melukai telinganya. Saking kencangnya, anginnya juga membuat poninya berantakan. Syut!

Ghoul membalikkan badan sambil menelan ludah. Ia menatap tegang seorang pria yang memegang beberapa pisau di tangannya itu.

"Singkirkan tangan kotormu dari pisau-pisau sakralku!" geramnya.

Ghoul melangkah mundur. Ia tersadar siapa pria itu begitu melihat penampilannya. "Anda Pendeta Pokiel yang dimaksud Pak Ro?"

Pokiel memicingkan mata menatapnya. "Kau mengenali tua bangka itu? Kau siapanya?!" Pria itu kembali melempar dua pisaunya.

Ghoul masih bisa menghindarinya dengan lincah, namun dua pisau lainnya menyusul. "Aku tawanannya… tadinya!" jawabnya sambil sibuk menghindar. Ia mencari-cari tempat berlindung, namun ruangan itu nyaris kosong!

Pokiel tersenyum. "Oh, kebetulan sekali! Jadi kau dikirim kemari sebagai tumbal, ya? Baik juga ya dia." Pokiel mencabut beberapa pisau di tembok lagi.

Ghoul tertegun. "Sabar, Mas! Aku hanya orang nyasar di sini. Izinkan aku pergi karena Devila pasti menungguku."

"Aku tak peduli kau teman bajingan itu. Tapi kamu jangan buru-buru karena aku membutuhkan darahmu sebagai kelengkapan ritual penutupku hari ini. Seharusnya kau bersyukur darahmu bisa jatuh di ujung pisau-pisau keramatku. Demos pasti senang!"

Syut! Kali ini pisau-pisau yang melesat ke arahnya jauh lebih kencang lagi. Ghoul terbelalak dengan status serius setengah mati. Pokiel tanpa ampun terus melempar pisau-pisaunya. Keahliannya dalam bermain pisau tak bisa diremehkan lagi. Ghoul mencoba untuk keluar, namun jalan keluar yang cukup jauh itu membuatnya ragu untuk membelakangi Pokiel. Salah-salah pisau itu menikam punggungnya. Ia yakin kecepatan pisau itu lebih cepat daripada larinya.

"Menyerahlah, Sayang! Jangan membuat para pengikutku di aula kolam jiwa menunggu terlalu lama. Saya mohon kerja samanya! Ini tak akan lama! Tak juga terlalu sakit kalau kamu mau diam!" teriak Pokiel sambil terus melempar pisau-pisaunya dalam jumlah banyak sekaligus.

Sret. Sret. Pisau-pisau tersebut berhasil menyerempet sisi perut dan lengannya. Ghoul mendesis perih. Tanpa sempat menyeka darahnya sedikit pun, ia kembali menghindar. Masih untung hanya diserempet!

"Sebelum kolam jiwa digunakan, aku harus menuangkan darah segar dulu untuk Demos ke kolam jiwa itu, juga ke minuman mereka. Tapi sayangnya, stok darah dari koleksi mayatnya Devila sudah kering semua hingga ritual ini terpaksa diundur beberapa jam. Tapi untunglah kamu datang, Sayang! Aku tak perlu repot-repot keluar mencari darah."

Ghoul masih terus disasar. Dari pisau-pisau yang dilempar padanya, ia tak sempat memungut benda-benda itu karena pisau-pisau lainnya menyusul. Saat ingin memungut sebuah pisau, pisau yang lain malah tertancap di lantai di hadapannya sebelum ia berhasil. Ghoul tak kekurangan akal. Dengan gerakan cepat, ia berinisiatif berlari ke sisi tembok lainnya dan berusaha mencabut beberapa pisau di sana, namun…

"Ugh! Keras sekali! Tak bisa dicabut!" gerutunya panik meski sudah mengerahkan kakinya ke tembok pula agar tenaganya double. Akhirnya ia memutuskan untuk menyerah dan pergi. Tapi ia terlambat.

Trek. Posisi Ghoul yang merapat ke tembok, memudahkan sebuah pisau menancap di ujung bawah rompinya hingga menahannya ke tembok.

"Percuma, Sayang! Hanya aku yang bisa mencabut pisau-pisau itu!"

Ghoul tahu ia sudah salah posisi. Ia menarik rompinya meski harus robek agar bisa berlari menjauhi tembok, namun terlambat. Kecepatannya yang mulai menurun kalah cepat dengan sebuah pisau yang kembali melayang ke arahnya.

Sebuah pisau berhasil menembus bahunya hingga kembali memaksa punggungnya merapat ke tembok. Saking kuatnya lemparan Pokiel, pisau itu tertancap ke tembok meski harus menembus daging di bahu kanan Ghoul. Pokiel tersenyum puas. Ghoul tertahan secara otomatis di sana hingga Pokiel berpeluang besar menyembelih lehernya dan menampung darahnya.

"Arrrrghhhh!!! Setan!"

***

"Ugh!"

"Ng?" Mahesa mengalihkan pandangannya dari buku yang tengah dibacanya begitu mendengar Ghoul yang tengah terpulas itu merintih-rintih. Buru-buru ia beranjak dari kursinya dan mendekati Ghoul. "Ia tampak kesakitan. Tapi kenapa? Apa yang terjadi di sana?"

Mahesa berusaha untuk tenang, namun segera mencari obat pereda nyeri di lemari…

***

"Demi Tuhan!!!"

Tak usah ditanyakan lagi apa yang terjadi selanjutnya. Ghoul menjerit-jerit histeris, kalimat makian meluncur deras dari bibirnya yang berlumuran darah. Semuanya jadi serba salah. Mau diam, salah. Tapi mau dilepas, juga sakitnya minta ampun.

Pokiel tersenyum saat Ghoul berusaha mencabut pisau di bahunya. Tapi tak bisa, meskipun air matanya sudah meleleh saking sakitnya. Akhirnya Ghoul hanya bisa memegang lukanya agar darahnya tak terlalu banyak keluar.

"Dasar penghuni jahanam nyasar!"

Meski urat leher Ghoul hampir pecah karena teriak pun, tak ada gunanya. Ia sadar kalau sekarang ia tak boleh banyak bergerak. Salah-salah, lukanya semakin melebar. Tancapan pisau itu ke tembok sangat kuat. Darahnya mulai bertumpahan bagai hewan sembelihan. Napas Ghoul semakin berat. Akhirnya ia memilih untuk diam agar kondisinya tak tambah parah. Secara perlahan, tubuhnya melemas. Tangan sebelahnya pun terkulai.

Pokiel menampung darah yang menetes dari luka di bahu kanan Ghoul dengan mangkuk. Ia meletakkan mangkuk itu di lantai kemudian menegakkan tubuhnya menatap kepala Ghoul yang terkulai. Ia menjambak rambut Ghoul hingga mata merahnya menatapnya.

"Kuberitahu. Tuhanmu tak bisa berbuat apa-apa di sini," bisik Pokiel kelam sambil menghela air mata Ghoul. "Percuma saja kamu selalu ibadah. Menolongmu saja, Tuhanmu tak bisa. Lemah!"

Bibir Ghoul mengerucut geram. Ia menatap Pokiel beringas.

"Aku sudah membakar kitab suci dari semua agama di kota ini. Rumah ibadah pun sudah kami ratakan dengan tanah. Lega rasanya tak lagi melihat gereja lain, mesjid, pura, kuil di sini. Tak boleh lagi ada agama lain yang diakui selain aliran kami. Agama kalian harus musnah! Penganut agama aneh pun harus dibinasakan. Kamu pasti akan membenarkannya. Ini daerahku. Tuhanmu tak punya kuasa di sini. Menggagalkan kami memusnahkan kitab suci saja, Dia tak bereaksi. Apalagi mempersoalkan hamba kotor sepertimu."

Pandangan Ghoul mulai berkunang-kunang, namun ia masih kuat mengatakan, "Tuhan sengaja membiarkanmu berpikiran begitu karena ia ingin dosa-dosamu memenuhi syarat kelengkapan lolos ke jahanam."

Wajah Pokiel memerah karena kesal. Tanpa segan ia memukul perut Ghoul berkali-kali hingga pemuda itu muntah darah. "Jadi kau berpikir Tuhanmu akan memasukkanmu ke surga kalau kau disiksa karena membela-Nya? Klise sekali! Oke! Oke, akan kubuktikan kalau neraka di kepercayaanku ini jauh lebih menyakitkan daripada neraka yang disediakan Tuhanmu untukku. Aku akan segera membawamu ke sana!"

Ghoul menggeleng-geleng ketakutan. "Jangan… jangan bawa aku ke kolam jiwa!"

***

"Dapat!"

Tapi tugas Mahesa belum selesai begitu ia membalikkan badan dan melihat Ghoul muntah-muntah darah. Mahesa melebarkan matanya. "Astaga, Ghoul?!"

Buru-buru diambilnya handuk kemudian menyeka muntahan darah di sekitar mulut Ghoul. "Ya Tuhan, selamatkan dia di sana! Aku harus bagaimana? Ghoul, kamu ada di mana?!" seru Mahesa panik. "Katakan! Katakan agar aku bisa menolongmu!"

Namun tentu saja Ghoul tak bisa menjawabnya…

***

"Argh!"

Secara mendadak, Pokiel langsung mencabut pisau dari bahu kanan Ghoul. Ghoul terbelalak syok dan langsung jatuh tergeletak. Bruk.

Ghoul mengangkat kepalanya dengan sorot mata melemah. Tanpa ampun, Pokiel langsung menarik tangan kanan Ghoul, menyeretnya ke suatu tempat.

"Ampuuuun!!! Ya Tuhan!!! Aaaaarrrgghhhh!!!" Ghoul meronta-ronta sambil menjerit-jerit hebat. Tangan kirinya berjuang mencakar-cakar tangan Pokiel yang menyeretnya kayak mayat. Namun tak berpengaruh. Mau berdiri juga, masih lemas.

"Kupikir monster 29 Februari kuat-kuat. Ternyata mereka lemah sekali asalkan tak ada udara di paru-parunya. Percuma kau mau menangis darah sekali pun, aku tak akan kasihan!" Pokiel masih terus menarik tangan kanan Ghoul. "Auw!"

Pokiel langsung melepaskannya begitu tangan kiri Ghoul yang menggenggam tangan terkutuknya jadi terasa panas bagai bara. Ghoul kembali tergeletak tenang dengan napas memburu. Mungkin itulah tenaga api terakhirnya karena apinya hanya bertahan tak sampai semenit. Tapi cukup membuat Pokiel kepanasan luar biasa.

Pokiel mengibas-ngibaskan tangannya. Luka bakarnya sampai berdarah segala, kulitnya terkelupas parah. Rasa panasnya yang luar biasa membuatnya kepanikan, padahal baru tangannya yang kena api Ghoul. Rasa panasnya menyengat dan seolah masih membakar tangannya.

"Monster sialan!!!" Pokiel yang murka menendang-nendang perut Ghoul yang sudah tak berdaya melawan. Ghoul tak sempat bangun lagi dan hanya bisa meringis. Bibirnya sudah berlumuran darah karena muntah darah daritadi.

Pokiel sadar ia tak punya banyak waktu menyiksa Ghoul lagi. Ia harus mencari air!

Kelabakan, ia terhuyung-huyung menuju lemari di pojok ruangan. Luka bakarnya semakin menyakitkan. Akhirnya ia menemukan beberapa botol air besar memenuhi lemari itu. Buru-buru dituangkannya sebotol air itu ke luka bakarnya, namun yang terjadi…

"Waaaaakkkkhhhh!!!" Ia meraung-raung semakin mengerikan begitu air itu malah membuat tangannya meleleh. Ia semakin menggila. Rasa sakitnya menjalar. "Ini… ini air surga kolam jiwa! Aaaarrrghhh!!! Sialan!!! Kenapa aku lupa?!"

Tanpa sengaja, Pokiel menabrak lemari itu hingga seluruh botol-botol itu malah jatuh menimpanya. Sebagiannya pecah di lantai dan sebagiannya lagi pecah hingga cairannya mengenai sekujur tubuh Pokiel. Hasilnya semakin parah. Jeritan Pokiel semakin ganas. Tubuhnya terus meleleh. Darahnya belepotan deras sana-sini.

"Arrrgghhhh!!! Aaaaarrrghhhh!!!"

Ghoul yang sudah bisa terduduk, terperangah syok melihatnya. Di depan matanya sendiri, ia harus melihat tubuh Pokiel meleleh bagai lilin dan menyatu dengan cairan kolam jiwa di lantai sana. Tak lama, jeritan mengerikan Pokiel redam sudah begitu tubuh itu sudah tak berbeda jauh dengan cairan di lantai. Tapi Ghoul lupa sesuatu!

Cairan berbahaya itu mengalir semakin luas dengan cepatnya. Ghoul tersadar. Ia harus bergerak cepat sekarang sebelum cairan itu menelannya. Sekuat tenaga, ia menegakkan tubuhnya dan berusaha lari. Tangganya masih jauh. Laju cairan itu malah lebih cepat daripada larinya. Ghoul mengencangkan larinya yang tertatih-tatih. Rasa lemasnya tak membungkam semangat hidupnya.

Sayangnya cairan itu sudah mendekati tempatnya berada. Bahkan menghalangi langkahnya. Ghoul menarik napas dalam-dalam agar bisa melompatinya dengan maksimal. Ia mengambil ancang-ancang untuk melompat dan hup!

Pas ia melompat, cairan asam tadi segera mengerubungi lantai tempatnya tadi berada. Ia jatuh berguling-guling. Kepalanya semakin pusing, namun perjuangannya masih belum berakhir. Ia harus bergerak cepat karena cairan berikutnya menyusul mendekat. Meski kepalanya terasa berat, ia berjuang untuk terus berlari ke tangga.

Bruk. Di saat-saat gawat seperti ini, kakinya malah terasa nyut-nyutan. Ia menyeret-nyeret tubuhnya dengan satu tangan, berjuang menaiki tangga yang tinggal sedikit lagi. Tapi cairan asam yang mengalir itu semakin meluas juga ke sana. Bahkan lajunya tentunya jauh lebih cepat daripada gerakan merayapnya!

Ghoul kehabisan tenaga, namun terus berjuang semakin keras. Keringatnya bercucuran pula. Meski kehabisan tenaga, tapi ia tak kehabisan akal. Ia melepas rompinya kemudian melemparnya ke cairan yang semakin mendekat. Ia berharap rompi itu bisa menyerap cairannya agar tak semakin meluas. Namun tentu saja rompinya ditelan oleh cairan itu. Tapi untung saja jumlah cairan yang mendekat tak sebanyak tadi. Jumlahnya menipis.

Ghoul memanfaatkan kesempatan itu untuk mempercepat gerakan merayapnya. Meski cairan yang mengejarnya tinggal sedikit, tapi membuat Ghoul kesakitan ketika setetes cairan itu menyentuh jempol kakinya.

Tep. Tangan kiri Ghoul sudah menapak ke anak tangga pertama. Ia tinggal menarik tubuhnya sebelum cairan asam itu berhasil memenuhi ruangan Pokiel. Ia berusaha menarik tubuhnya. Belum berhasil. Ia mencoba lagi sambil melirik ke belakang. Tinggal secela lagi cairan itu menyentuh kaki Ghoul. Ghoul tak bisa menggerakkan kakinya menjauh.

Merayap di lantai saja susah, apalagi merayap menaiki tangga. Ghoul merasa lemas minta ampun. Tenaganya berada jauh di bawah kecepatan laju cairan asam yang membasahi lantai meminta korban. Untuk mengeluarkan tenaga sebesar itu, napasnya jadi semakin sesak!

Ghoul memejamkan matanya saking putus asanya. "Ya Tuhan, tolong beri aku bukti bahwa kuasa-Mu itu ada di mana-mana. Jangan biarkan pendeta busuk itu benar, Ya Tuhan!"

Air mata Ghoul menetes. Tiba-tiba saja sebuah tangan menengadah air matanya. Ghoul susah payah mendongakinya.

"Mau menangis sampai kapan, 'Nona'?"

***

Mahesa kelabakan sendiri. Napas Ghoul terlihat memburuk. Rambut kuning kucelnya memutih secara perlahan. "Bagaimana ini?!" Mahesa menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Mana Dokter Anis tak ada di tempat! Obat juga tak ada!" paniknya.

Obat-obatan di lemari sudah berserakan keluar karenanya.

Suara napas Ghoul terdengar semakin menyedihkan. Ia terdengar berjuang penuh menarik napas yang susahnya bukan main. Mahesa menatap Ghoul miris.

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, Kawan?" Ia menggenggam jemari tangan Ghoul. "Kumohon jangan mati! Kita kan belum kenalan. Aku juga penasaran sebenarnya siapa nama asli dari pemuda kampung sepertimu."

Mahesa menggigit bibir sebelum pada akhirnya ia tersadar. "Oh, iya! Kenapa baru terpikirkan olehku, ya? Aku kan bisa melakukan 'itu'…"

***

Selain suara langkah, suara napas berat Ghoul lebih terasa dominan di koridor itu. Ia terkulai lemas di atas gendongan kedua lengan seseorang.

"Luar biasa!" komentar orang itu. "Kau memang lemah. Tapi gilanya hanya dengan kekuatan sekecil tadi, kau mampu membuat Pokiel kebakaran jenggot."

Ghoul berusaha mendongakinya. "Hosh-hosh… jadi Om melihatnya? Kenapa… kenapa nggak ditolongin?" tanyanya susah payah.

Orang tersebut terpaku. "Maaf…"

"Turunin, Om. Berat," pinta Ghoul dingin.

Orang yang tak lain adalah Detektif Ro itu kemudian menurunkan tubuh Ghoul dalam posisi duduk dengan menyandarkannya ke tembok. Ghoul menatap Ro kecewa. Tatapan itu membuat Ro mengalihkan pandangan dengan gugupnya seperti orang yang bersalah.

"Om hanya ingin melihatku mati… Om hanya bisa menyaksikan semuanya dari balik layar. Om pasti ingin hasil akhirnya kami berdua bisa mati ditelan cairan kolam jiwa itu tanpa harus ikut campur." Ghoul tersenyum masam. "Om tak mau capek-capek terlibat, yang penting Pokiel mati, bukan? Om pasti merasa sekali menepuk dua lalat hanya dengan berdiam diri."

Ro tertunduk mendengar Ghoul mengucapkannya setengah mati. Nadanya terdengar kecewa berat. Ro teringat tadinya ia hanya santai merokok sambil menyaksikan pertarungan mereka berdua dari atas sana. Ia tak peduli Ghoul teriak-teriak kesakitan bersimbah darah, juga saat disiksa oleh Pokiel. Ia tak peduli Ghoul akan mati saat itu dan rencananya, ia baru akan turun setelah Ghoul dibunuhnya. Setelah itu, sisanya ia yang akan membunuh Pokiel yang tenaganya tinggal separuh. Ia sadar, diam-diam berharap Ghoul bisa mengalahkan Pokiel.

"Tapi Om tak usah menyesalinya karena aku memang orang jahat…" Ghoul menghela napas lemah. "Oh ya, bagaimana… mereka?" Ghoul menanyakan kondisi para pengikut sekte dengan kalimat yang dipangkas. "Pengikut Pokiel itu…"

Ro mengangkat wajahnya. "Mereka aman. Aku sudah berhasil mengeluarkan mereka dari pikiran keliru mereka."

Ghoul malah berusaha tersenyum meski sudah sesak habis. "Syukurlah…"

Ro terpana melihat senyum tulus itu.

"Mbek…"

Ghoul menoleh ke arah suara itu. "Buck?!" Ia tampak lega melihat domba itu tak jauh darinya. Bagai orang lumpuh, Ghoul merayap dengan satu tangan ke domba itu dengan tak sabarannya. "Bawa aku pulang. Aku tak suka di sini…"

Ro berdiri sambil mengawasi Ghoul menuju dombanya. Begitu ingin menaikinya, ia tampak kesulitan. Ia menjambak bulu di punggung dombanya untuk menarik tubuhnya agar ia bisa berdiri, namun karena kehilangan keseimbangan ia terjatuh.

Ro segera menahan tubuhnya sebelum menyentuh lantai. Ia membantu Ghoul menaiki domba itu dengan sedikit mengangkatnya lagi. Ghoul tertelungkup di atas dombanya.

"Hati-hati, Nak…"

"Maaf sudah mengecewakan Om Detektif karena aku tak mati di sini." Ghoul lalu memberikan senyum terakhirnya meski lemah. "Om, kalau Om mau… mau melihatku mati, aku undang untuk datang ke lapangan eksekusi mati jilid tiga di kampung sebelah. Dijamin seru…"

Ro menelan ludah mendengarnya. Domba itu pun segera menghilang dari hadapannya. Bulu kuduknya merinding saking perasaan berdosanya. "Matanya tadi itu, senyumnya, tak ada kepalsuan sama sekali," komentarnya. Tentu saja ia bisa menganalisisnya karena ia seorang detektif. "Ia benar-benar mengkhawatirkan para pengikut Pokiel. Aku memang tak tahu apa niatnya berada di sini. Tapi ia berbeda… sangat berbeda daripada monster 29 Februari berengsek lainnya yang biasa kutangani."

Ro masih harus berkonsultasi dengan hati kecilnya dulu untuk mengetahui kebenarannya…

***

Bruk…

Karena masih tak bisa berdiri dengan benar, Ghoul terjatuh dari dombanya begitu ingin turun setibanya mereka di base. Punggung Buck berlumuran darah bekas lukanya dan domba itu pastinya akan menagih dimandikan olehnya jika sembuh nanti.

Ghoul yang terjerembab, melentangkan tubuhnya sambil megap-megap. Sorot mata teduhnya berubah kebingungan begitu melihat kondisi base-nya saat ini: sebuah ruangan beraroma obat-obatan dan bersih. Tak ada ceceran darah dan rantai, juga ruangan yang serba kasar yang katanya menjadi base-nya.

"Buck! Sepertinya kau salah alamat, Kawan. Ini bukan markasnya Nine Lashes. Mereka tak serapi ini…"

"Mbek!" Buck menggerakkan kepalanya ke suatu titik.

Ghoul mengikuti ke mana kode itu mengarah dan menelengkan wajahnya ke sisi kanan. Ia terbelalak begitu melihat Mahesa tengah merawat seorang pemuda di ranjang sebegitu paniknya. Begitu ia bisa melihat jelas, rupanya pemuda itu adalah jasadnya di dunia nyata yang terpulas.

"Mahesa… dia membawa dan merawat tubuhku?!" gumamnya tak percaya. Tapi sebenarnya lebih mengarah pada kalimat: ia membawa tubuhku dari markas Nine Lashes. Apa dia tak apa-apa melawan mereka demi mendapatkanku?

Lagi-lagi ia lebih mencemaskan orang lain daripada kondisinya saat ini! Rambutnya tampak lebih memutih daripada sebelumnya.

"Oh, iya! Kenapa baru terpikirkan olehku, ya? Aku kan bisa melakukan 'itu'…" Terdengar suara Mahesa ke telinga Ghoul.

"A-apa maksudmu, Kawan?" Ghoul mengernyit tak mengerti.

Ia baru bisa memahami niatnya begitu Mahesa mendekatkan wajahnya ke hidung Ghoul di dunia nyata yang semakin sulit menarik napas.

Ghoul terbelalak. "Tidak! Jangan!" pekiknya tak kalah paniknya. "Sudah, Kawan! Biarkan saja begitu!" Ia ingin mengusir Mahesa dari tubuhnya, namun Mahesa tak mendengar apa-apa tentunya.

"Ck! Sial!" geram Ghoul saat ingin menggerakkan tubuhnya ke arah Mahesa yang semakin mendekati hidung jasadnya. Ia bahkan sudah tak bisa membalikkan tubuhnya lagi untuk merayap. Mati rasa di lengan kanannya menguncinya, belum lagi kakinya masih belum bisa berjalan. Ia seperti kecoa terlentang sekarang yang tak bisa ke mana-mana!

Ghoul menjulurkan tangan kirinya susah payah yang tentu saja tak dapat meraih Mahesa. "Mahesa keparat! Kau tak mengerti apa yang kaulakukan! Hentikan, Bego! Aku tidak apa-apa! Sungguh!"

Mahesa terhenti, namun tak berpindah gerakan. "Aku tahu kau mau protes. Aku bisa merasakannya. Tapi kau tak bisa mencegahku kali ini. Ghoul, terimalah! Kukembalikan napasmu…"

Tanpa pikir panjang lagi, Mahesa pun melanjutkan niatnya…

"Tidaaaaaaaaaaaaaakkkkk!!!"

(***)


(disambung: EPISOD SELANJUTNYAJ)

18 komentar:

  1. Buahahahahaha! Pocongnya numpang lewat terus meninggal XD

    BalasHapus
  2. Halo Ghoul
    Mungkin salah saya juga ga ngikutin kisah ini dari awal. Tapi saya merasa setiap turn of event di cerita ini berasa mendadak dan gada sebab musababnya. Bahkan beberapa kejadian seperti kemunculan William dan Tal berasa ga ada impact ke seluruh cerita.

    Meski kalau saya bisa ekstrak inti ceritanya soal Ghoul si tanpanama dan seluruh monster, saya bisa bilang plotmu well built. Kaget juga gimana apa yang ada di dunia Ghoul bisa ke merge sama kota tua Brando

    William A. Anderson memberikan entry ini 7
    Agak sedih juga William dan Tal cuma muncul kayak gitu.

    BalasHapus
  3. ==Riilme's POWER Scale==
    Plot points : C
    Overall character usage : D
    Writing techs : C
    Engaging battle : C
    Reading enjoyment : B

    Kok rasanya kocak ya liat Mahesa terus aja bermonolog sendirian sampe berapa paragraf, kayak bacain naskah drama cd. Habis diterusin, ternyata Ghoul pun juga begini. Jadi kepatri di kepala saya kalau mungkin penulis seneng karakternya berceloteh sendiri

    Penjelasan tentang nama Buckazi itu ngga banget deh

    Kenapa Huban manggil Ghoul Ken? Dan rasanya percakapan Huban sama Ghoul itu agak dragging, plus Ghoul ini kelihatannya punya karakter sok akrab ke siapa aja ya

    Devila ini dari dunia aslinya Ghoul kan? Kok dia bisa ikut ke settingan ronde ini? Setelah baca sampe tengah, malah kesannya setting ronde ini nyatu sama dunia Ghoul, karena orang"nya juga tau soal monster 29 Februari. Tapi jeleknya ga ada penjelasan kenapa bisa begitu

    Ugh, sfx di narasi entah kenapa sampe sekarang susah saya toleransi tiap nemu. Kalo ini komik okelah, tapi kalo tulisan gini baiknya digambarin aja dengan sesuatu yang lain

    Adegan interogasi Ro itu cukup kocak. Ghoul kalo sok akrab agak nyebelin, tapi ngeliat dia jadi korban polos ga tau apa" gitu lucu juga. Lebay malah. Mana ada detektif maksain pertanyaan sampe pengen belah dada orang?

    >bukan muhrim
    >tempat suci (gereja)
    Entah emang diniatin atau ngga, tapi sepanjang baca entri ini saya ngerasa overall pembawaannya beneran komedik

    Tal ini ga konsisten ya, katanya semua laki" sama aja, tapi pas ketemu William malah ngebelain Ghoul lagi. Sayang, reverier lain kayaknya ga punya banyak andil ke cerita ini sendiri

    Saya lumayan kaget ngeliatnya banyaknya entri r1 taun ini yang bawa" soal agama. Cuma di entri Ghoul ini, ga jelas juga dia keyakinannya apa tentang Tuhan

    ==Final score: C (7)==
    OC : Iris Lemma

    BalasHapus
  4. haduh... aku pengen ngakak pas bagian Axel ngadalin Devila. Dipancing ke kolam dan cess... sfx adem sari, tuh.hahahahaha...
    Aku cuma ngrasa kok cerita si ghoul berkesan komedik gitu. Terutama si detektif yang notabene bule kok gaya ngomongnya berasa indo abis “am-om, am-om”. Terus banyak juga lawakan yang niat breaking 4th wall. BPJS ato apalah gitu. Cuma karena gak pas ato kata orang jawa “ora gathuk”, hasilnya jadi ...krik...krik...krik.
    Maaf ya, 7 dulu.

    BalasHapus
  5. saya sempat bingung bedain lokasi bingkai mimpi ghoul sama lokasi misi. ditambah lg location shifting terus saja terjadi di bingkai misi.

    alur di awal-awal juga kaya lompat-lompat jadi rada susah diikuti tp nyampe tngah jd lumayan enak diikuti. awalnya saya ngira ghoul yang muncul di awal itu ghoul tp kok kurang nyambung sama bab berikutnya. ternyata dia devila toh. baru paham alurnya begitu nyampe tengah.

    ada kejadian yang bikin aneh bacanya. knp orang2 yang ada di bingkai misi (lokasi konflik maksudnya) begitu ke jebur ke kolam langsung terurai? sementara waktu ghoul sendiri yang kejebur malah nggak langsung terurai dan bisa naik ke permukaan? di sini radak ngganjal menurut saya. apa si ghoul ini punya sedikit resisten terhadap larutan asam tersebut? tp waktu cairan yang ditumpahin pokiel smakin melebar, dia malah coba kabur.
    8

    BalasHapus
  6. Ane hampir skip entry ini gara2 warning di atas. Tapi rasa penasaran ane lebih tinggi daripada was2 adult content
    Oh, ternyata masih safe #eh

    Ane kaget sumpah dengan beberapa adegan di entry ini. Macam yang terjadi dengan Huban dan Tal.. Tal sih gapapa, tapi.. itu.. Huban.. si gadis polos.. *pundung*

    Hanya saja banyak yg bikin ane bingung, Ghoul kenapa bisa teleport tiba-tiba ke berbagai tempat?

    Tapi untuk beberapa scene ane ngakak. Salah satunya Mahesa. Ane sempat bawa serius, eh ternyata banyak juga unsur komedinya xD
    ---------------
    Rate: 7
    Ru Ashiata(N.V)

    BalasHapus
  7. Kadang-kadang scene yg harusnya menegangkan malah jadi lucu. “ditawarin sekotak mi instan buat gabung sekte”, “lari ala joging pagi.” Bravo bravo Ghoul.

    Saya suka sih bagian Mahesa merawat Ghoul (itu Ghoul kan ya?) sambil dia ngomong sendiri. karakter Mahesa lumayan kerasa di situ, walaupun baru ini saya baca soal OC Mahesa

    Sfx-nya ngga enak yah. Tapi bisa ditoleransi kalo entrinya emang diniatin setengah komedi.

    Nilai 8

    BalasHapus
  8. E: Enryuumaru
    A: Amut

    E: Jadi saya yang mulai nih?
    A: Mangga atuh.
    E: Ya udah. Jadi punten, saya sama Mbah numpang mampir di lakon mas(?) Gaul ini. Langsung aja kita ke intinya, soal ko-men-tar.
    A: Untuk lakon yang satu ini. Mbah rasa ceritanya oke juga. Dan gak nyangka juga pembawaannya jadi setengah gendeng begini. Dan rasanya tadinya mbah mau ngelakonnya kayak begini gendengnya, tapi gak kesampean.
    E: Cuma, apa perasaan saya aja, apa kalau misalnya mau ngeh cerita di R1 ini, harus baca Entri FBC-nya juga ya?
    A: Buat kita yang udah baca sih jadi lumayan ngerti lah, tapi kayaknya harus dipertimbangkan juga, yang lain ada yang, ehem, males baca cerita-cerita sebelumnya. Heheheh.
    E: Jadi, udah?
    A: Ya deh, udah komentarnya, intinya mah kalo dibanding di prelim jadi lebih jelas.
    E: Nilai?
    A: 7?
    E: Gak 8?
    A: 7 aja deh. Ada beberapa yang masih kurang sreg buat mbah. Kayak di monolognya Mahesa yang kelamaan.
    E: Ya udah, 7 deh.
    A: Oke, kayaknya segitu aja. Punten ngeganggu. Kita udah dulu ya.

    Salam Sejahtera dari Enryuumaru dan Mbah Amut.

    BalasHapus
  9. Ngakak bacanya... seharusnya ini cerita menegangkan kok jadi kocak gini
    Terus itu ratu Huban kok jadi kayak anak ABG gitu?
    Untuk segi cerita menurutku sudah bagus

    Nilai 9
    Penulis Dadakan / Arca

    BalasHapus
  10. Ide : Sangat Baik = 2
    Plot : Sangat Baik = 2
    Enjoy : Lumayan = 1
    EYD : Sangat Baik = 2
    Usaha : Sangat Baik = 2

    Nilai : 2 + 2 + 1 + 2 + 2 = 9

    Enjoy kurang 1 point karena Ratu Huban yang karakternya jadi kayak remaja labil dan lagi kepala Ratu Huban adalah bantal, gimana gambarin ekspresinya?

    NewbiDraft (Revand Arsend)

    BalasHapus
  11. saya bingung ini ceritanya mau dibawa kemana, Ghoul. Well, terus 'kegunaan' Tal di dalam ceritamu juga untuk apa? sama seperti di entri William. kalian berdua menggunakan Tal seolah hanya untuk diambil hal-hal negatifnya, mending sih kalau sesuai, lah kalau OOC kan jadi sayang lhooo..

    alurnya sedikit membingungkan untuk saya. keterkaitan antara satu tokoh dengan yang lainnya menurutku terjadi beberapa miss. dan buat cerita ini kurang padu.

    finally, 6 deh buat kamu.

    MirorMirors/Tal

    BalasHapus
  12. Pembawaan dan narasi nya ceria ya, ditambah dengan komedi yang berhasil benar benar nilai plus!

    Hanya saja pemilihan font itu baik, saya waktu liat font aneh nan gede di awal sempet mikir 'Duh baca ga ya?' ... lain kali pilih font yang pas ya :D

    Terus ceritanya pun dapat dimengerti, namun sangat disangkan ghoul seolah meraup semua porsi karakter, jadi karakter lain kurang bersinar disini.

    Nilai 7 dulu ya:(

    Wasalam
    Ganzo Rashura

    BalasHapus
  13. shomehow disini narasinya buat saya terasa terang, yep terang, soalnya berbalik dari image nama "ghoul', iyaa saya keseret animu sebelah yg orangnya makan orang //eehhh //skipp

    komedinya biki ngakak saya, saya susah ketawa dan wkwkwk nangkep jokenya.

    tapi somehow... usable karakter lain nya kalah =3= kurang balance @3@ //kek saya sendiri ndak aja //eehh

    dari saya 8 :3

    Airi Einzworth

    BalasHapus
  14. Setuju dengan Scarlet. Narasinya berasa terang. Masih ga jauh beda dengan prelim, tapi mungkin ini juga bawaan dari sifat-sifat Ghoul sendiri ya? Sebagai orang yang 'terkutuk', Ghoul termasuk tipe orang yang lumayan santai dan enjoy aja dalam menghadapi situasi di depannya. Kontras kalo kita bandingin sama orang terkutuk berinisial K yang ada di sebuah anime dengan konsep ghoul juga. Ghoul lebih kayak Naruto yang lebih banyak sisi terangnya.

    Hmm, pertarungan dengan Pokiel bikin saya cukup meringis. Penjelasan Pokiel bahwa dia ngebakar segala sesuatu tentang agama lain nunjukin betapa opresifnya dia. Itu pertarungan paling seru di entri ink menurut saya. Walau memang Ghoul ga bisa semudah itu dibunuh pake belati.

    Sayangnya, interaksi dengan Pokiel dan Ro yang berkesan ditaruh di akhir. Oh ya. Karakter2 di entri Ghoul ini entah kenapa dialognya agak bercampur dengan "dialog sehari-hari" jadi berasa pas lagi ngobrol dengan dialog "ala cerpen" tiba2 mereka kerasa lebih intim dengan bahasa sehari2 yang seolah mereka itu berasal dari dunia kita, para pembaca. Contohnya Ghoul yang bilang, "Sabar dulu, Mas!" atau William yang bilang "Tinggalin aja cowok begitu."

    Ah ya, entri Ghoul ini termasuk yang konsisten bawa OC Mahesa dari FBC. Sepertinya dia bakalan jadi bagian dari bahan utama canon Ghoul ya?

    7

    Pucung

    BalasHapus
  15. Scene seksadis(?) di awal itu udah lumayan bikin merinding. Eh, tau tau masuk cerita malah dapet banyak selipan komedi. Favorit saya sendiri adalah teriakan-teriakan konyol model : 'Aaaarggh!! Setan!!!" dan ketika bagian cerita baru, ujug-ujug teriak "Demi Tuhan!!" - Berhubung belum dijelasin siapa yang ngomong, saya langsung ngebayangin Si Arya ngegebrak meja XDDD

    Sama kayak yang udah dibilang authornya pucung juga, asli ngakak saya pas bahasa gaul keluar dari mulutnya para reverier ini, best lah akakaka xD

    Tapi, untuk penggunaan karakternya sendiri jujur lumayan awful, walau masih mending daripada cuma numpang absen doang kayak di entri Kang Mus versi laut. Expect more from Ghoul.

    8/10

    OC : Takase Kojou

    BalasHapus
  16. Sama dengan Shade, di entry ini juga si Ghoul djceritakan kondisi alam nyatanya yang sedang dirawat Mahesa ya. Saya nggak sempat baca entry sebelumnya sih, jadj nggak begitu menangkap pembukaan awalnya.

    Saya heran juga kok entry inj bahasanya ringan banget, meskipun ada bbrp.kalkmat maknanya dalam, tapi ini berkebalikan dengan impresi nama Ghoul sendiri. So, maaf... berasa entry horor tapi horor ala FTV yang penuh jeritan, cewek seksi, dan adegan yang kurang greget, kurang sinematik... belum nemu something special di sini.

    Oh ya,dialognya Wall of text, ada beberpa kalkmat dalam paragraf yang sebenarnya bisa di-cut. Termasuk Buckazi, alasan Ghoul bersenang2 dengan para gadis, somehow terasa kurang signifikan itu tujuannya apa.

    Saranku, use your own Chekov gun, saat editing, jadilah raja tega yang mangkas banyak kalimat dalam tulisanmu!!

    Nilai 7.

    Rakai A
    OC Shade

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya....! Revisi ding, entry ini berasa mirip komedinya Yu Yu Hakusho cuma masih minus di greget petualangannya ...

      YYH.. itu nostalgic banget huhuhu

      Hapus

Selamat mengapresiasi~

Tuliskan komentar berupa kesan-kesan, kritik, ataupun saran untuk entri ini. Jangan lupa berikan nilai 1 s.d. 10 sesuai dengan bagus tidaknya entri ini berdasarkan ulasan kalian. Nilai harus bulat, tidak boleh angka desimal. Perlu diingat, ulasan kalian harus menunjukkan kalau kalian benar-benar membaca entri tersebut, bukan sekadar asal komen. Admin berhak menganulir jika merasa komentar kalian menyalahi aturan.

PENTING: Saling mengkritik sangat dianjurkan tapi harus dengan itikad baik. Bukan untuk menjatuhkan peserta lain.